29 konsumen juga harus memiliki keunggulan kompetitif agar produk yang
didistibusikan dapat terjaga kualitasnya, tinggi tingkat ketersediaannya, dan singkat waktu penyediaannya. Keunggulan kompetitif tersebut diwujudkan ke
dalam kemampuan untuk memasokmenyediakan produk kepada konsumen dengan baik, memadai, cepat, dan tepat. Oleh karena itu, penataan dan
penyempurnaan SCM mulai dari produsen hingga ke konsumen menjadi sorotan yang penting. Dijelaskan pula bahwa kajian SCM dapat meliputi kajian deskriptif
pada struktur dan anggota rantai, sasaran rantai, manajemen rantai, proses bisnis rantai, performa rantai, hambatan-hambatan, serta rekomendasi. Kemudian dapat
dilanjutkan pada kajian strategi peningkatan kinerja SCM. Pada penelitian ini analisis SCM hanya dibatasi pada kajian deskriptif struktur rantai, manajemen
rantai, proses bisnis rantai dan sumberdaya rantai.
2.6.2 Perkembangan konsep supply chain management
Pada tahun 1959 dan 1960, kebanyakan perusahaan manufaktur menerapkan produksi masal untuk meminimalkan biaya produksi sebagai strategi utama dalam
beroperasi dengan tingkat fleksibilitas yang rendah. Tingkat pengembangan produk baru relatif rendah dan sangat tergantung pada teknologi dan kapasitas
yang dimiliki. Operasi yang cenderung menghasilkan kondisi “bottleneck”
didukung dengan tingkat inventori yang besar untuk mempertahankan aliran barang yang seimbang yang mengaitkan besarnya tingkat investasi pada work in
process inventory WIP. Berbagai teknologi dan kelebihan dengan pelanggan
dan supplier dianggap terlalu beresiko dan tidak dapat diterima. Pada tahun 1970, konsep manufacturing resource planning MRP diperkenankan dan para manager
kemudian menyadari besarnya pengaruh WIP yang besar terhadap biaya produksi, kualitas, pengembangan produk baru dan waktu pengiriman. Produsen kemudian
beralih kepada konsep manajemen baru untuk meningkatkan kinerja perusahaan Septanto 2006.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kompetisi global yang meningkat pada tahun 1980 memberi tekanan pada organisasi untuk dapat menawarkan produk
dengan biaya rendah, berkualitas tinggi dan dapat diandalkan. Produsen kemudian menerapkan konsep just-in-time JIT dan konsep manajemen lainnya untuk dapat
30 meningkatkan efisiensi produksi dan cycle time. Seiring waktu berjalan, para
produsen menyadari bahwa hubungan yang terjalin baik dengan pembeli dan supplier
akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar sehingga muncul konsep supply chain management yang pada awalnya merupakan langkah
eksperimental dari para produsen. Evolusi dari SCM berlanjut sampai pada tahun 1990 dimana setiap organisasi berupaya untuk mengembangkan praktek
manajemen dengan memasukkan fungsi pemasok dan logistik ke dalam value chain
.
2.7 Penelitian Terkait
Maringi 2009 melakukan penelitian untuk mengembangkan pembangunan pedesaan berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan kawasan minapolitan
di Kabupaten Boyolali. Status berkelanjutan dianalisis berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi serta hukum dan kelembagaan. Hasil
analisis prospektif diperoleh lima faktor kunci faktor penentu keberhasilan pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele, yaitu 1 teknologi budi daya
ikan lele, 2 ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budi daya, 3 permintaan ikan lele, 4 tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya, dan 5
standarisasi mutu produk. Asmara 2010 melakukan penelitian untuk analisis keberlanjutan kawasan Minapolitan di Kabupaten Banyumas sedangkan Setiawan
2010 menganalisis kinerja dan status keberlanjutan kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Tar 2010 mengkaji
arahan pengembangan kawasan minapolitan Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.