Manajemen rantai pasok Analisis model integrasi supply chain tuna dan layur
97 Pada rantai pasok tuna dan layur Gambar 29 dimulai dari nelayan dan
pemilik kapal pedagang pengumpul dimana nelayan mendapat kontrak kerja sama dengan pemilik kapal untuk dapat menghasilkan ikan seoptimal mungkin.
Nelayan melakukan operasi penangkapan berdasarkan permintaan pemilik kapal atau atas persetujuan pemilik kapal proses pull. Pada musim paceklik, pemilik
kapal kadang memerintahkan nelayan untuk tidak melaut. Pada kasus pemilik kapal layur, kadangkala nelayan diperintahkan merubah strategi target
penangkapannya yaitu menggunakan gillnet. Pada nelayan pemilik yang tidak berfungsi sebagai pedagang pengumpul, terjadi proses push dan proses pull karena
nelayan tersebut melaut tidak hanya atas dasar permintaan saat ini tetapi mengantisipasi permintaan yang akan datang. Kondisi ini terjadi karena
permintaan layur dari pedagang pengumpul hingga saat ini tidak terbatas. Pemilik kapal terus terpacu untuk menambah armada penangkapan karena
permintaan layur dari perusahaan sangat tinggi berapapun jumlah layur yang dipasok pemilik kapal selalu diterima perusahaan. Artinya, antara pemilik kapal
dan perusahaan terjadi proses pull dan proses push. Proses pull dan push juga terjadi antara perusahaan dengan pelanggan di pasar ekspor, terlihat dari adanya
permintaan dari pasar ekspor dan perusahaan menyedikan stok layur untuk mengantisipasi permintaan di masa mendatang.
Dalam upaya memenuhi permintaan pelanggan luar negeri, perusahaan eksportir layur tidak memilih strategi untuk memiliki armada penangkapan
sendiri, tetapi bermitra dengan pemilik kapal pemasok layur. Atas pilihan strategi tersebut, perusahaan menerapkan strategi pemberian pinjaman modal
kepada pemilik kapal untuk keperluan bisnis pemilik kapal seperti penambahan alat tangkap, pembelian cool box, dan keperluan operasional lainnya. Jenis
kemitraan bisnis tersebut dapat dikatagorikan sebagai kemitraan inti-plasma dimana perusahaan sebagai pihak inti dan pemilik kapal sebagai plasma.
Rangkaian hubungan bisnis yang terjadi mulai dari nelayan, pemilik kapal pedagang pengumpul dan perusahaan merupakan bentuk integrasi supply chain
secara vertikal. Proses bisnis pada rantai pasok layur sama dengan tuna, di mana proses pull
terjadi antara nelayan dan pemilik kapal sedangkan proses pull dan proses push
98 terjadi antara pemilik kapal dan perusahaan serta antara perusahaan dan pelanggan
luar negeri. Perbedaaannya terletak pada strategi perusahaan dalam memenuhi permintaan pelanggan luar negeri. Perusahaan pengekspor tuna tidak memilih
strategi pemberian pinjaman modal kepada pemilik kapal tuna tetapi lebih memilih untuk memiliki armada penangkapan sendiri.
Proses pull dan push yang terjadi pada rantai pasok tuna atau layur memilik keuntungan dan kerugian bagi pelaku bisnis. Menurut Marimin dan Maghfiroh
2011 keuntungan proses pull adalah penjual dapat mengurangi biaya inventory produknya dan mengurangi produk yang menumpuk akibat bullwhip kelebihan
stok. Pada proses push, penjual berusaha menyediakan produk di gudangnya guna mengantisipasi datangnya pesanan dari konsumen. Akibatnya, terjadi
penumpukan barang di penjual yang berpotensi memunculkan risiko kerusakan barang jika barang tersebut tidak langsung dijual, namun keuntungannya adalah
dapat melayani pesanan konsumen dengan cepat. Lain halnya dengan proses pull yang membutuhkan waktu menunggu lebih lama dibandingkan proses push.
Dengan demikian, dilihat dari segi biaya maka pola pull lebih aman risiko rendah dan menguntungkan dibandingkan proses push. Namun jika dilihat dari
segi kecepatan waktu pelayanan kepada konsumen responsivitas, maka proses push
lebih baik ketimbang proses pull. Penerapan manajemen rantai pasok yang baik mampu mengoptimalkan kecepatan waktu pelayanan, namun rendah resiko.
Pelaku bisnis dalam rantai pasok yang lebih kuat dan lebih mampu menerapkan harga produk akan memiliki kekuatan tawar lebih tinggi. Dalam
kasus rantai pasok tuna dan layur di PPN Palabuhanratu, kekuatan tawar tertinggi dipegang oleh perusahaan kemudian diikuti oleh pemilik kapal. Pelaku bisnis
yang mempunyai kekuatan tawar lebih tinggi akan memiliki keuntungan yang lebih tinggi karena harga ditentukan oleh pelaku bisnis yang mempunyai kekuatan
tawar yang lebih tinggi. 2 Pola distribusi
Ikan memiliki sifat yang mudah rusak sehingga dibutuhkan pola distribusi yang efektif dan efisien. Oleh karena itu pengaturan pola distribusi dan kerja sama
yang baik di antara anggota rantai pasok dapat mengurangi kerusakan produk dan penghematan biaya distribusi. Pola distribusi tuna dan layur tercermin pada model
99 struktur rantai pasok Gambar 20 dan Gambar 23. Pada komoditas ekspor tuna
dan layur, pola distribusi produk sebagai berikut: 1 Nelayan layur - pemilik kapal pedagang pengumpul - perusahaan ekspor
- pelanggan luar negeri; 2 Nelayan tuna - pemilik kapal tonda - agen tuna Palabuhanratu - perusahaan
ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri; 3 Nelayan tuna - pemilik kapal tuna agen tuna Palabuhanratu - perusahaan
ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri; 4 Nelayan tuna - perwakilan perusahaan ekspor tuna Jakarta - perusahaan
ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri. Berdasarkan keempat pola distribusi tersebut, pola distribusi layur di PPN
Palabuhanratu lebih pendek dibandingkan pola distribusi tuna. Kondisi ini terjadi karena perusahaan ekspor layur di PPN Palabuhanratu dapat langsung ekspor ke
negara tujuan processing layur telah dilakukan oleh perusahaan eksportir di PPN Palabuhanratu.
Muninggar 2008 menganalisis supply chain di PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan jaringan supply chain ideal berdasarkan teori dari beberapa
literatur dan yang telah berhasil dijalankan di beberapa negara. Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisa supply chain kegiatan distribusi hasil tangkapan
di PPN Pelabuhanratu menyimpulkan bahwa pelabuhan belum menjalankan koordinasi supply chain yang efektif. Permasalahan yang terjadi pada aktivitas
distribusi rendahnya pasokan ikan untuk tujuan ekspor diduga belum adanya koordinasi yang baik antara PPN Palabuhanratu dengan nelayan dan pihak
eksportir. Pada kajian tersebut, Muninggar 2008 juga menjelaskan beberapa prioritas
kebijakan yang dapat diterapkan, yaitu 1 perbaikan sistem transportasi dengan cold chain system
sistem rantai dingin, 2 penerapan sistem informasi berkaitan dengan aliran produk, pasar dan teknologi oleh pengelola pelabuhan, 3 bekerja
sama dengan Pemerintah Pusat dalam program penelitian teknologi dalam meningkatkan mutu ikan, 4 penerapan kebijakan kontrol terhadap mutu ikan
harus dilakukan oleh pelabuhan bekerja sama dengan industri pengolah, dan instansi terkait, 5 menyediakan Sistem Informasi terpadu berkaitan dengan