Kondisi Kesehatan Pada Rumah Tangga Miskin
pokok mayoritas petani di Dataran Tinggi Dieng dengan pola tanam kentang musim 1-kentang musim 2-kentang musim 3 dalam satu tahun musim tanam.
Berdasarkan Turasih dan Adiwibowo 2012, pada dekade 80-an, tepatnya sekitar tahun 1983, masyarakat Dataran Tinggi Dieng mulai beralih dari tanaman
tembakau ke tanaman sayur-sayuran. Tahun 1985, kentang masuk secara intensif dan diperkenalkan oleh petani dari Pangalengan, Jawa Barat.
Boomgard 2002
1
menjelaskan bahwa sebelum kentang masuk menjadi komoditi yang bertahan ditanam hingga saat ini, jagung merupakan komiditi
andalan bagi petani di Dataran Tinggi Dieng. Ketika sistem tanam paksa cultuur Stelsel mulai diperkenalkan sekitar tahun 1830, Dataran Tinggi Dieng merupakan
daerah yang memproduksi jagung dalam jumlah yang cukup tinggi selain Jawa Timur dan Madura. Pada periode tahun 1830-1900, di Dataran Tinggi Dieng lahan
tegalan dapat menghasilkan dua atau tiga kali panenan jagung dalam waktu satu tahun, sebagian karena beberapa varietas memiliki masa tanam yang sangat
pendek. Biasanya, panenan jagung ke dua hanya akan menghasilkan tiga perempat dari hasil panenan pertama. Jagung hampir menjadi tanaman monokultur, juga
sering ditanam bersama tanaman lain atau tumpangsari bersama padi, kacang- kacangan, atau tembakau. Selama abad ke-19 proporsi lahan yang ditanami
jagung dan palawija meningkat sedikit demi sedikit dari sekitar 20 menjadi 35 pada tahun 1880. Kemudian pada akhir 1930-an, lahan yang dibudidayakan oleh
petani untuk tanaman pangan musiman adalah 45 untuk padi, 23 untuk jagung, dan 11 untuk ketela pohon.
Selain jagung dan palawija, antara tahun 1900-1940 Dataran Tinggi Dieng juga menjadi pusat penanaman tembakau. Tembakau merupakan jenis tanaman
perdagangan yang ditanam khusus untuk pasar lokal dan daerah lain. Hasilnya per hektar dalam bentuk uang tunai yang sangat tinggi dan dapat digunakan oleh
petani untuk menyewa tenaga upahan dan membeli input lainnya seperti pupuk dan benih. Disebutkan bahwa, pupuk untuk tembakau juga dihasilkan dari kotoran
manusia, juga pupuk kandang dari ternak dan kuda. Kondisi penanaman tembakau ini menunjukkan bahwa petani di Dataran Tinggi Dieng juga memelihara ternak.
Persoalan kerugian mulai nampak dalam hal penanaman tembakau yang penyebabnya termasuk penggundulan hutan dan masalah yang berkaitan dengan
kekurangan air. Konsumsi kayu bakar untuk mengeringkan daun tembakau di tempat yang tinggi mengurangi luas tutupan hutan. Meskipun di Dieng petani
secara lokal telah menanam pohon seperti kemlandingan gunung Albizzia montana dan bahkan Eucalyptus yang diintroduksi dari luar dan disediakan oleh
Dinas Kehutanan, namun kekurangan kayu bakar masih tetap terjadi. Daerah penanaman tembakau di Dataran Tinggi Dieng tidak dibuat dalam bentuk teras-
teras, gambaran ini menunjukkan bahwa penanaman tembakau dilakukan di wilayah rawan dan menyebabkan ekspansi yang terus menerus.
Mata Pencaharian Penduduk di Dataran Tinggi Dieng
1
Dalam Li, Tania Muray, 2002, Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Bab 2. Jagung dan Tembakau di Dataran Tinggi di Indonesia 1600-1900, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Mayoritas Masyarakat di Dataran Tinggi Dieng menggantungkan hidupnya dari pertanian lahan kering. Sektor pertanian menyumbang 66,65
dari total pendapatan Kecamatan Batur atau 66,48 persen menurut PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan 66,82 menurut PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Pemkab Banjarnegara 2012. Artinya lebih dari separuh kehidupan penduduk tergantung dan ditopang oleh sektor pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian di
kecamatan Batur sesuai dengan hasil Sensus Pertanian tahun 213 adalah 5.905 rumah tangga. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding data yang disajikan dalam
Kecamatan Batur Dalam Angka 2013 yaitu sebanyak 6.146 rumah tangga pertanian yang 1.276 diantaranya mengkombinasikan dengan peternakan, 15
mengkombinasikan dengan perikanan, dan 224 mengkombinasikan dengan tanaman perkebunan Tabel 12. Komoditas utama yang menjadi tumpuan rumah
tangga petani adalah komoditas kentang dan sayuran.
Tabel 12 Jumlah Rumah Tangga Pertanian, Peternakan, Perikanan, dan Perkebunan di Kecamatan Batur Tahun 2013
RT Tani Pertanian RT Peternakan RT Perikanan RT Perkebunan
Batur
1.955 842
13 45
Sumberejo
668 111
20 34
Pesurenan
240 107
Dieng Kulon
601 14
1 8
Karang Tengah
799 68
12
Bakal
799 21
6
Kepakisan
486 51
1
Pekasiran
598 62
118
JUMLAH
6.146 1276
15 224
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013
Sesuai jenis komoditasnya, sebanyak 78 rumah tangga pertanian di Kecamatan Batur merupakan rumah tangga yang bergantung dengan komoditas
hortikultura semusim terutama kentang. Sisanya menanam palawija 8 , tanaman pangan 7 , dan jagung 7 , sedikit sekali yang menanam padi, ubi
jalar, gandum, hortikultura tahunan berupa tanaman buah, tanaman hias dan tanaman obat Gambar 11.
8 7
7
78 Presentase Rumah Tangga Pertanian Sesuai Komoditas
Padi Palawija
Tanaman Pangan Jagung
Ubi Jalar Gandum
Hortikultur buah tahunan Hortikultur semusim
Tanaman hias semusim Tanaman obat semusim
Tanaman kebun tahunan Tanaman kebun semusim
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013
Gambar 11 Presentase rumah tangga pertanian berdasarkan komoditas di Kecamatan Batur
Jumlah rumah tangga petani yang menanam hortikultura semusim seperti kentang dan tambahan sayuran terbesar ada di Desa Batur yaitu 1.522
rumahtangga Tabel 13. Terdapat juga rumah tangga yang menanam tanaman perkebunan seperti cengkeh, kopi, teh, dan tembakau, namun jumlahnya sangat
minoritas. Selain itu sebagian rumah tangga juga memiliki ternak berupa sapi potong, sapi perah, kambing, domba, ayam kampung ayam lokal, ayam ras, itik,
dan ternak lain seperti kelinci Tabel 14. Tabel 13 Kombinasi komoditas yang ditanam oleh rumah tangga petani di
Kecamatan Batur
A B
C D
E F
G H
I J
K L
Jumlah
Batur 142
142 139
1 3
1.522 1
4 1
1.955 Sumberejo
23 23
21 2
2 590
2 1
2 2
668 Pesurenan
1 2
3 2
231 1
240 Dieng
Kulon 598
2 1
601 Karang
Tengah 1
1 795
1 1
799 Bakal
1 2
1 794
1 799
Kepakisan 486
486 Pekasiran
2 2
2 587
5 598
JUMLAH 2
170 172
165 1
5 3
5.603 4
2 8
11 6.146
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013 Keterangan:
A : Padi; B: Palawija; C: Tanaman Pangan, D: Jagung; E: Ubi Jalar; F: Gandum; G:
Hortikultur buah tahunan; H: Hortikultur semusim; I: Tanaman hias semusim; J: Tanaman obat semusim; K: Tanaman kebun tahunan; L: Tanaman kebun semusim
Tabel 14 Komoditas ternak yang dibudidayakan oleh rumah tangga petani di Kecamatan Batur
Sapi potong
Sapi perah
Kambing Domba
Ayam Lokal
Ayam ras pedaging
Itik Lainnya
Batur 223
97 11
463 43
1 4
842
Sumberejo 5
1 1
63 32
9
111
Pesurenan 8
4 83
8 2
2
107
Dieng Kulon
8 4
2
14
Karang Tengah
37 1
28 2
68
Bakal 1
16 3
1
21
Kepakisan 1
32 14
1 3
51
Pekasiran 10
4 26
20 2
62
JUMLAH 292
99 41
700 118
3 3
20
1276
Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013
Selanjutnya, mata pencaharian pada rumah tangga miskin di Kecamatan Batur sesuai dengan data TNP2K tahun 2012 tercantum pada tabel 15. Sebaran
mayoritas pekerjaan adalah sebagai petani pada komoditas hortikultura. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani pada rumah
tangga miskin rata-rata sebagai petani penggarap atau bekerja pada penguasa lahan.
Tabel 15 Mata pencaharian individu di Kecamatan Batur berdasarkan tingkat kesejahteraan 30 terendah di Indonesia
No Mata pencaharian
Jumlah
1 Pertanian tanaman padi dan palawija
55 2
Hortikultura 6.726
3 Perkebunan
26 4
Perikanan budidaya 2
5 Peternakan
82 6
Kehutanan 1
7 Pertambanganpenggalian
5 8
Industri pengolahan 13
9 Listrik dan gas
8 10
Bangunankonstruksi 63
11 Transportasi dan pergudangan
64 12
Keuangan dan transportasi 2
13 Jasa
128 14
Lainnya 130
TOTAL 7.690
Sumber: Data TNP2K 2012
Pemukiman Masyarakat Dataran Tinggi Dieng
Masyarakat di Dataran Tinggi Dieng tinggal dalam satuan-satuan pemukiman yang rapat satu sama lain di daerah dengan lereng datar. Sebagaimana
ciri masyarakat desa, penduduk di Dataran Tinggi Dieng Kecamatan Batur memiliki relasi sosial yang baik dengan tetangga. Rata-rata mereka saling
mengenal satu sama lain. Rumah-rumah yang saling berdekatan memungkinkan penduduk untuk sering bertemu. Khususnya di Desa Batur wilayahnya yang
terbagi menjadi 13 RW Kadus dan 53 RT, klasifikasi RW dan RT tersebut berdasarkan kedekatan wilayah dan lingkungan masyarakat. Secara rinci jumlah
RT per masing-masing dusun disajikan pada Tabel 16.
Empat dusun pertama yang disebukan dalam Tabel 16 yaitu Dusun Batur Kidul, Batur Lor, Batur Tengah, dan Bujangsari, merupakan dusun dengan tingkat
pendidikan masyarakat yang lebih baik dibanding dusun-dusun lainnya. Selain pada sektor pertanian, sebagian penduduknya juga masuk ke sektor formal
sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS. Dusun Bujangsari di RW 4 merupakan dusun yang terletak di wilayah pinggiran hutan karena bersentuhan dengan area
Perhutani. Berdasarkan informasi yang diperoleh kondisi dusun-dusun yang masih terdapat banyak rumah tangga miskin adalah Dusun Tieng, Njlegong, Mbakalan,
dimana wilayahnya memiliki kondisi kesehatan sanitasi yang masih perlu mendapatkan perhatian ketat.
Tabel 16 Jumlah Rukun Tetangga RT pada setiap dusun RWRukun Warga di Desa Batur
No Dusun RWRukun Warga
Jumlah RT
1 Dusun Batur Kidul RW 1
6 2
Dusun Batur Tengah RW 2 7
3 Dusun Batur Lor RW 3
11 4
Dusun Bujangsari RW 4 6
5 Dusun Tieng RW 5
3 6
Dusun Njlegong RW 6 3
7 Dusun Mbakalan RW 7
2 8
Dusun Purwajiwa RW 8 2
9 Dusun Karanganyar RW 9
3 10
Dusun Kalianget RW 10 3
11 Dusun Majatengah RW 11
4 12
Dusun Mbandingan RW 12 2
13 Dusun Tlagabang
1
TOTAL 53
Sumber: Wawancara dengan perangkat Desa Batur 2014 Sebagian rumah penduduk berada dekat dengan lahan pertaniannya.
Kondisi suhu yang dingin menyebabkan arsitektur rumah dibuat dengan ventilasi yang sedikit dengan sebagian besar atap terbuat dari seng. Rumah penduduk rata-
rata memiliki dapur yang sekaligus berfungsi sebagai tempat untuk menghangatkan badan. Terdapat anglo atau tungku yang menggunakan bahan
bakar arang yang digunakan sebagai alat untuk menghangatkan badan. Dibanding ruangan lain di dalam rumah, dapur memiliki fungsi sentral karena setiap pagi dan
sore hari keluarga akan berkumpul sambil menghangatkan badan yang bersumber dari panas anglo.
Wiraprama, Zakaria, dan Purwantiasning 2014 menjelaskan bahwa pemukiman terbentuk karena adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki kebutuhan akan berhuni. Pemukiman yang dibentuk karena adanya sekelompok rumahtempat tinggal memiliki fasilitas penunjang baik fasilitas
umum maupun sosial yang mendukung kegiatan bermukim dalam suatu kelompok masyarakat dengan jangka waktu yang cukup lama. Selain kegiatan bermukin dan
berhuni suatu kelompok masyarakat, dalam sebuah pemukiman juga terdapat kegiatan sosial kemasyarakatan yang mendukung satu sama lain dalam kelompok
masyarakat. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di pemukiman di Desa Batur meliputi sumber air, fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, polindes, dan masjid.
Pembangunan di Dataran Tinggi Dieng
Arbangiyah 2012 menyebutkan bahwa pada tahun 1978 di kawasan Dataran Tinggi Dieng area jalan aspal meningkat dari 27 kilometer menjadi 62
kilometer, dan jumlah desa yang mampu mengakses jalan aspal dan berbatu meningkat dari kira-kira 10 persen menjadi 30 persen. Perbaikan jalan
memungkinkan proses distribusi panen menjadi semakin mudah. Perbaikan jalan juga menekan biaya transportasi karena petani tidak perlu repot menjualnya ke
kota sebab banyak pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan tangan pedagang dari Surabaya, Jakarta, dan Semarang akan membelinya langsung dari
ladang.
Pada tahap selanjutnya eksistensi petani terhadap dinamika pembangunan di Dataran Tinggi Dieng tersebut menciptakan polarisasi yang mencolok antara
petani kaya dan petani miskin. Sistem penghidupan dan nafkah dari pertanian kentang ini memberi konsekuensi pada semakin tajamnya potret kemiskinan di
Dataran tinggi Dieng. Pembangunan pertanian ala modernisasi yang mengedepankan modal besar pada titik tertentu menghancurkan tatanan sosial
serta menciptakan keserakahan untuk menguasai sebanyak mungkin modal lahan termasuk dengan merambah hutan sebagai area tangkapan. Eksploitasi terhadap
daerah miring dan area hutan tersebut menghasilkan kehancuran pada aspek sosial, ekonomi, dan ekologi secara sistemik. Merujuk Wright 1978 dalam
Sanderson 2010 modernisasi pertanian di Indonesia menunjukkan pembentukan struktur kelas kapitalis dimana terdapat petani kaya yang menguasai modal
tanah, dominasi terhadap akses teknologi dan kredit, serta kontrol bagi keberadaan usaha tani yang lebih leluasa dibanding petani kecil.
Perubahan yang kentara terlihat berikutnya adalah dari kentang pula muncul orang-
orang kaya yang lazim disebut “haji kentang”, mereka bisa naik haji dan membangun masjid dari penghasilan usahatani kentang Turasih dan
Adiwibowo 2012. Pertanian modern semakin memunculkan rasionalitas di kalangan petani. Pada masa lalu, pertanian di Dataran Tinggi Dieng selalu diawali
dengan ritual sebelum menanam. Ritual kebudayaan yang terkait dengan pertanian seperti nglekasi, wiwit, ruwat bumi, dan baridan yang tujuan utamanya untuk
meminta berkah kepada leluhur supaya pada musim tanam diberikan kelancaran. Ritual tersebut dipengaruhi budaya Hindu yang pada saat itu masih kental di
Dataran Tinggi Dieng. Pada perkembangannya saat kentang masuk ke Dataran Tinggi Dieng, nilai-nilai tersebut digantikan oleh rasionalitas bahwa orientasi
pertanian kentang adalah keuntungan ekonomi. Sebagai komoditi yang bernilai tinggi, kentang mempengaruhi kebudayaan dan cara hidup baik individu maupun
masyarakat.
Fenomena yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng pasca masuknya komoditi kentang sebagai unggulan dan sumber matapencaharian petani memberikan
dampak tidak hanya bagi komunitas petani di wilayah tersebut, namun merambah ke area di bawahnya. Mengingat Dieng merupakan hulu dari DAS Serayu yang
memberikan suplai energi bagi pembangkit listrik tenaga air PLTA wilayah Jawa dan Bali. Perhatian bagi isu kerusakan lingkungan akibat pertanian kentang
di Dataran Tinggi Dieng mendapatkan perhatian dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, swasta, hingga LSM. Berbagai upaya penyelamatan lingkungan
Dieng terkait dengan pola pertanian tanaman monokultur telah dicanangkan. Tahun 2005 dicanangkan pembentukan hutan sekolah di wilayah Wonosobo.
Tahun 2006 dilakukan sosialisasi kepada penduduk dan petani Dieng yang selama ini memanfaatkan lahan untuk budidaya tanaman kentang. Selain itu, metode
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM juga dilaksanakan. Namun
hasilnya masih belum sesuai dengan harapan Turasih et al 2010. Penyebabnya selama ini dibebankan kepada petani sebagai aktor yang berperan merusak
lingkungan.
Pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Wonosobo membentuk Tim Kerja Pemulihan Dieng TKPD sebagai sebuah bentuk kepedulian terhadap kerusakan
lingkungan di Dataran Tinggi Dieng, kelembagaannya dikukuhkan melalui SK Bupati Wonosobo tahun 2007
www.savedieng.org . Bahkan Bupati Wonosobo
memberikan larangan keras bagi petani untuk tidak menanam di lahan dengan kontur kemiringan yang sudah tidak bisa ditoleransi. Pada tahun 2012, Pemerintah
Kabupaten Banjarnegara mendapatkan bantuan dari UNDP United Nation Development Programme melalui proyek proyek Penguatan Komunitas Berbasis
Hutan dan Manajemen Aliran Sungai SCBFWM. Berbagai program yang terus digalakkan tersebut meskipun mengusung perhatian bagi aspek sosial, ekonomi,
dan lingkungan pada kenyataan masih bersifat mekanistis dan lebih menekankan lingungan sebagai objek utama. Padahal permasalahan di Dataran Tinggi Dieng
bukan semata-mata hancurnya lingkungan akibat usahatani kentang yang terlalu menekankan produktivitas, tetapi juga munculnya stratifikasi sosial akibat
konsentrasi kepemilikan lahan.
Berdasarkan data penelitian Turasih dan Adiwibowo 2012 mengenai kepemilikan lahan di Desa Karang Tengah Dataran Tinggi Dieng adalah 77,42
persen petani pemilik dimana 31,23 persen merupakan pemilik dengan luas dibawah 0,3 ha, 35,48 persen petani dengan kepemilikan lahan 0,5-1 ha dan hanya
9,68 persen merupakan pemilik lahan 1-2 ha. Petani pemilik tersebut murni melakukan usahatani di atas lahan yang dimilikinya. Selain status milik, terdapat
juga petani dengan status lahan sewa. Petani yang melakukan sewa tersebut adalah mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali dimana jumlahnya 6,54
persen. Kategori penguasaan lahan lainnya adalah petani pemilik sekaligus penyewa lahan yang berjumlah 12,90 persen dari seluruh responden. Sejumlah
9,68 persen merupakan pemilik lahan 0,1 ha-0,3 ha dan 3,22 persen merupakan pemilik lahan 0,3 ha-0,5 ha. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa petani
yang tidak memiliki lahan tidak melakukan penyewaan dan menyebabkan mereka menjadi buruh tani. Persentase petani yang memiliki lahan dibawah 0,3 ha relatif
mendominasi di Dataran Tinggi Dieng ditambah dengan buruh tani.
5 STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PETANI DI DATARAN TINGGI DIENG
Perubahan Iklim di Dataran Tinggi Dieng
Perkembangan wilayah Dataran Tinggi Dieng kentara terlihat dari proses perubahan kondisi lansekap di kawasan tersebut pada era pra dan pasca introduksi
tanaman kentang. Perubahan yang lebih dapat teridentifikasi secara langsung adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan seperti kondisi
hutan, sumber daya air, dan kondisi lahan pertanian. Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Banjarnegara 2012 diketahui bahwa perkembangan
Dataran Tinggi Dieng menunjukkan fakta kerusakan lingkungan yang semakin
mencemaskan terutama terkait dengan krisis air dan krisis sumberdaya lahan lihat Tabel 17. Kerusakan ini semakin diperparah dengan kondisi iklim yang tidak
menentu terutama kondisi curah hujan yang menyebabkan intensitas kejadian longsor menjadi semakin tinggi.
Tabel 13 Kondisi hutan, air, pertanian, dan erosi di Dataran Tinggi Dieng periode 1975 - 2011
Tahun Hutan
Air Pertanian
Erosi
1975-1979 Subur serba
utuh Tersedia
melimpah Tembakau dan
sayuran Tidak
100 100
1980-1984 Subur serta
mulai berkurang
Tersedia dan mulai
berkurang Tembakau dan
sayuran kentang Terjadi erosi
90 100
5 1985-1989
Subur dan pembukaan
lahan mencapai 20
Masih tersedia dan semakin
berkurang Sayuran dan
kentang Terjadi erosi
40 100
50 15
1990-1994 Subur dan
berkurang Masih tersedia
dan semakin berkurang
Kentang mencapai 20-30
ton per ha Terjadi erosi
25 80
75 20
1995-1999 Tutupan hutan
tinggal 10 Ketersediaan
air turun drastis Kentang dengan
intensitas 3 kali setahun
Erosi semakin mengkhawatirkan
10 50
80 40
2000-2005 Tutupan hutan
bertambah kembali 5
Ketersediaan air turun
Kentang dengan penggunaan
pestisida Erosi mulai sangat
terasa 15
50 100
40 2006-2010
Tutupan hutan bertambah 5
Beberapa mata air kering
Produksi kentang mulai
menurun dan menggunakan
CM Erosi semakin
terasa, lapisan tanah menipis
20 50
90 40
2010-2011 Tutupan
bertambah dengan adanya
usaha-usaha konservasi
Mata air kering, air
telaga beralih fungsi
Produksi kentang turun
drastis 5-8 ton per ha, mulai
beralih ke tanaman
alternatif Erosi masih
sangat terasa dengan adanya
sedimentasi PLTA Mrica yang sangat
terasa
25 50
70 40
Sumber: Pemerintah Kabupaten Banjarnegara 2012
Kejadian longsor yang semakin bertambah intensitasnya dalam kurun waktu 40 tahun terakhir selain dipengaruhi oleh kondisi luas tutupan lahan hutan
yang semakin berkurang juga karena jumlah hari hujan yang semakin bertambah pada bulan basah. Sejak tahun 1990 bulan basah dengan jumlah hari hujan yang
lebih banyak terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Oktober, November, dan Desember. Bulan kering terjadi antara Mei, Juni, Juli, Agustus,
dan September dengan jumlah hari hujan yang semakin sedikit. Berdasarkan Gambar 12, diketahui bahwa dalam kurun waktu tahun 1990
– 2000 jumlah hari hujan di tahun 2000-an meningkat di bulan basah dan berkurang di pada saat
bulan kering. Kondisi ini berdasarkan Efendi, Sunyoko, dan Sulistya 2012 menyebabkan kecenderungan meningkatnya resiko kejadian longsor di musim
penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Resiko tersebut telah terjadi di Dataran Tinggi Dieng. Pada musim penghujan, kejadian longsor semakin banyak
terjadi di lahan-lahan pertanian yang miring dan memunculkan resiko ke wilayah- wilayah yang berada lebih jauh di bawahnya. Sebaliknya, pada musim kemarau
masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani harus mengeluarkan biaya penyedotan air telaga atau sumber air lain untuk menyiram lahan pertaniannya.
Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka 1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012
Gambar 12 Jumlah hari hujan berdasarkan bulan di kecamatan batur tahun 1990- 2011
WWF 2007 menyatakan bahwa perubahan distribusi curah hujan menyebabkan potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi
semakin tinggi seperti banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit. Sebaliknya pada kondisi curah hujan yang mengecil potensi bencananya
berupa kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai permasalahan sosial yang mungkin timbul. Persoalan yang dihadapi di Dataran
Tinggi Dieng serupa dengan gambaran tersebut dimana jumlah curah hujan memiliki tren menurun dari tahun 1990 hingga 2014 Gambar 13 namun jumlah
hari hujan di bulan basah semakin meningkat Gambar 12. Berdasarkan fakta
5 10
15 20
25 30
1990 1992
1993 1994
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2007
2009 2010
2011 1990
1992 1993
1994 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2007 2009
2010 2011
19 1990
2011
tersebut diketahui bahwa indikator perubahan iklim dari parameter cuaca nyata terjadi.
Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka 1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012 BMKG Stasiun Kalilunjar 2004, 2005, 2006, 2008, 2012, 2013, 2014
Gambar 13 Jumlah dan Rata-rata Curah Hujan Tahunan Periode 1990-2014 di Kecamatan Batur
Indikator perubahan iklim dari aspek peningkatan temperatur tidak terlalu kentara di Dataran Tinggi Dieng karena kondisi iklimnya yang masih sejuk.
Berdasarkan data BMKG stasuin Kalilunjar-Banjarnegara tahun 2009-2014 diketahui bahwa suhu rata-rata maksimal sekitar 28,5 derajat celcius dan suhu
rata-rata minimalnya sekitar 20,7 derajat celcius. Pada musim kemarau sekitar bulan Juli-Agustus, suhu minimum bisa mencapai 0 derajat. Kondisi perubahan
yang lebih kentara yang adalah kondisi jumlah hari hujan dan curah hujan di Dataran Tinggi Dieng menunjukkan indikasi terjadinya perubahan iklim mikro di
tingkat wilayah. Hal yang paling dapat ditandai adalah kejadian iklim ekstrem yang lebih sering terjadi sejak tahun 2007 yaitu hujan yang lebih deras dan musim
kemarau yang lebih kering. Kondisi tersebut diperburuk dengan minimnya luas tutupan lahan yang tersisa di wilayah Dataran Tinggi Dieng sebagai area
tangkapan air. Kawasan hutan di Dataran Tinggi Dieng berangsur habis dikonversi menjadi kebun kentang. Kementrian Lingkungan Hidup mencatat, dari
luas Dataran Tinggi Dieng 619.846 ha, hutan yang tersisa tinggal 20,1 persen padahal idealnya 30 persen Kompas 03 Juni 2011. kondisi tutupan lahan yang
kurang dari 30 persen tersebut masih berlangsung hingga penelitian ini dilaksanakan tahun 2014. Berdasarkan penuturan dari narasumber penelitian dari
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, bahwa kondisi tutupan lahan kurang dari 30 persen menyalahi amanat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Berkurangnya tutupan lahan hutan tersebut diakibatkan konversi lahan hutan ke lahan pertanian kentang.
Pengetahuan Petani Tentang Perubahan Iklim
Perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng dipahami oleh masyarakat berdasarkan fenomena lokal yang terjadi. Secara umum jika dibandingkan dengan
wilayah lainnya di Kabupaten Banjarnegara, Dataran Tinggi Dieng merupakan wilayah dengan suhu dingin sehingga gejala perubahan iklim dari peningkatan
suhu tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian, mereka mengakui bahwa situasi saat ini di Dataran Tinggi Dieng relatif lebih hangat dibanding
ketika tahun 1990-an. Diungkapkan oleh salah seorang narasumber penelitian bahwa saat ini ia tidak perlu menggunakan jaket yang terlalu tebal atau bahkan di
saat tertentu ketika suhu terasa hangat ia tidak perlu mengenakan jaket.
“Nggih seniki sampun lumayan anget Mbak, timbang mbiyen pas kulo tasih enem, jan nek asrep nggih bener-bener asrep. Nek seniki rasane
biasa wae. Mbiyen sering nganggo sarung, seniki ngganggo tapi mboten ndina-
ndina.” Sekarang sudah lumayan hangat Mbak, dibanding dulu ketika saya masih
muda, kalau dingin benar-benar dingin. Kalau sekarang rasanya biasa saja. Dulu sering pakai sarung, sekarang pakai tetapi tidak seharian.
AB, 54 tahun
Hal yang sama juga dikatakan oleh petugas dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara yang bertugas di Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan
Batur.
“Kondisi Dieng sekarang sudah berbeda, selama 14 tahun bertugas di Banjarnegara, dulu ketika bertugas ke Dieng harus pakai jaket, namun
sekarang merasa tidak apa-apa jika memakau baju biasa. Suhu sudah menjadi lebih hangat. Dulu nggak pernah dirasakan suhu sampai tiga
puluh derajat di Dieng, tapi sekarang bisa terasa apalagi ketika kondisi ramai seperti saat musim liburan dan musim wisata DCF
2
.” SH, 54 tahun
Indikasi menghangatnya suhu di Dataran Tinggi Dieng juga terjadi dengan
ditandainya kemunculan hewan cicak yang saat ini menjadi lebih banyak. Meskipun diduga bahwa cicak bisa berasal dari daerah yang lebih hangat
misalnya ada orang yang pulang dari kota suhu hangat dengan membawa kardus atau tempat yang di dalamnya bisa jadi terdapat cicak. Kenyataan bahwa cicak
dapat hidup di wilayah dingin menjadi satu tanda bahwa wilayah tersebut sudah semakin hangat. Indikasi lain bahwa suhu sudah semakin menghangat adalah
dilihat dari pertumbuhan tanaman. Semakin hangat suhu lingkungan maka tanaman akan tumbuh semakin tinggi. Hal tersebut juga terjadi pada tanaman
kentang yang rata-rata saat ini tumbuh semakin tinggi.
Petani memaknai perubahan iklim sebagai sebuah kondisi iklim yang sangat mengancam aktivitas pertanian. Petani mengidentifikasi lima fenomena
iklim utama yang terjadi dan berkait dengan pertanian mereka yaitu: 1 curah hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, 2 situasi kekeringan yang melanda
2
Dieng Culture Festival
pertanian, 3 musim angin ribut, 4 kondisi suhu ekstrem pada Bulan Juli atau Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju yang menjadikan tanaman
muda menjadi layu dan mati, serta yang paling meresahkan adalah 5 kondisi iklim yang semakin sukar diprediksi.
Pada saat musim hujan, diakui bahwa curah hujan menjadi lebih deras yang akibatnya kejadian erosi di lahan pertanian menjadi semakin tinggi. Kondisi
lahan pertanian yang miring dan tidak memiliki kontur terasering menjadi penyebab tanah semakin mudah terbawa aliran air hujan. Pola penanaman di lahan
tanpa teras memicu potensi erosi yang tinggi karena lapisan tanah bagian atas akan terbawa air hujan yang memunculkan sedimentasi pada saluran-saluran air.
Tidak hanya di lahan pertanian, namun hampir seluruh wilayah di Dataran Tinggi Dieng termasuk Desa Batur rawan longsor pada saat musim hujan. Musim hujan
merupakan musim yang paling ditakuti petani karena resiko kegagalan lebih tinggi pada musim ini dimana tanaman kentang lebih banyak layu. Musim hujan
merupakan musim yang sulit bagi petani karena biaya produksi cenderung naik namun produksi justru turun.
Pada periode 20102011 sepanjang tahun terjadi hujan dan petani banyak dirugikan pada saat kondisi itu. Hama menjadi tinggi pada saat musim hujan
karena biasanya pestisida tidak mempan digunakan pada musim tersebut. Hama jenis litoptera yang dikenal petani dengan istilah tekle atau folio saat ini tidak
hanya menyerang batang tetapi juga sudah menyerang daun. Tanaman kemudian menjadi layu dan mati. Pada tahun 2012 muncul hama kutu kebul. Musim hujan
menyebabkan intensitas kemunculan hama menjadi tinggi.
Pada tahun 1958 pernah terjadi kemarau panjang hingga 9 bulan, kemudian sekitar tahun 1964 kemarau panjang terjadi hingga 6 bulan. Awal
musim kemarau merupakan musim yang sangat sulit bagi petani karena merupakan musim transisi dari penghujan ke kemarau. Banyak petani yang tidak
menanam pada awal kemarau karena takut gagal. Akibat kondisi tanah yang gembur, pada saat musim kemarau, air tanah menjadi mudah menguap dan
mengakibatkan lahan pertanian menjadi rawan kekeringan. Kondisi sumber air untuk pertanian di Dataran Tinggi Dieng pada musim kemarau debitnya menjadi
lebih kecil. Salah satu sumber air yang dimanfaatkan untuk pertanian pada saat musim kemarau adalah Telaga Merdada yang diambil dengan cara menyedotnya
menggunakan mesin genset. Efeknya, jika air telaga disedot dalam jumlah besar maka debitnya akan menjadi semakin kecil. Air merupakan hal yang krusial
diperlukan dalam pertanian kentang karena kondisi lahan pertanian kentang tidak dapat menyimpan air tanah. Musim kemarau merupakan musim yang relatif sulit
bagi petani apabila tidak ada sumber air. Pada musim ini, petani yang mengolah lahan jauh dari sumber air hanya bisa menanam satu tahun sekali.
Pada bulan Juli atau Agustus muncul embun upas di Dataran Tinggi Dieng. Meskipun telah disadari oleh petani bahwa kejadian ini rutin terjadi,
namun petani tetap khawatir. Pada saat itu suhu berada di titik kritis mencapai suhu nol dan bahkan minus sehingga menyebabkan munculnya frozz. Suhu
terendah yang terjadi pada saat titik kritis bisa mencapai -8
Celcius dan menyebabkan tanaman kentang layu dan busuk dan petani beresiko gagal panen.
Kekhawatiran petani juga disebabkan oleh munculnya angin ribut. Pada tahun 2011 terjadi serangan angin ribut yang merusak tanaman kentang. Angin ribut ini
menjadi perkara besar bagi petani karena berdasarkan perhitungan terjadi setiap
lima tahun sekali. Jika sebelumnya terjadi di tahun 2011 maka ke depan diprediksi tepat akan terjadi pada akhir tahun 2015 atau awal 2016. Pada musim angin
tegakan tanaman rusak dan tanaman yang baru tumbuh habis tersapu angin.
Selain empat kondisi yang telah dijelaskan, hal yang paling meresahkan bagi petani adalah prediksi musim yang semakin sulit ditebak. Petani menghadapi
musim yang membingungkan, menebak terjadi musim hujan namun kenyataannya kemarau dan demikian juga sebaliknya. Dulu petani masih menggunakan pranata
mangsa untuk menandai musim tanam, namun hal tersebut tidak lagi akurat apalagi semenjak melewati sekitar tahun 2007. Pranata mangsa saat ini tidak lagi
sama dengan perhitungan petani dan juga tidak sama dengan data yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika BMKG. Sulitnya prediksi
musim saat ini menyebabkan petani sangat membutuhkan informasi cuaca dan iklim yang sifatnya harian karena penting untuk menentukan musim tanam.
Perhitungan musim tanam tersebut sangat berkaitan dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani. Sebelum tahun 2007 musim masih dapat diprediksi
namun memasuki tahun 2008 relatif lebih sulit dan sering meleset dari prakiraan.
Iklim sudah bergeser jauh. Mangsa kanem-kapitu yang dulu terjadi pada Bulan November-Desember merupakan musim yang paling enteng dan
cocok untuk menanam. Namun saat ini waktu tersebut menjadi musim yang paling berat. Tahun 2010 kondisi lebih kering jadi tidak terlalu
bermasalah untuk petani. Pada tahun 2013 sampai 2014 kondisi hujan
lebih banyak sehingga terasa lebih berat.” DD, 34 tahun Berdasarkan kutipan di atas, keluhan petani atas perubahan iklim adalah
kondisi cuaca yang sulit diduga. Persoalan pendugaan cuaca oleh petani yang semakin hari semakin sulit disebabkan oleh kondisi pertanian yang saat ini belum
beradaptasi dengan baik sesuai kondisi iklim. Padahal dalam skala global fenomena El-Nino dan La-Nina terus menerus berulang setiap periode. Banyak
petani bangkrut karena kondisi iklim yang tidak menentu. Pada tahun 1983 perbandingan penanaman 1 keranjang bisa panen hingga 10 keranjang. Sejak
tahun 2000-an, 1 keranjang benih hanya memberikan penghasilan sebanyak 7 hingga 8 keranjang panen ketika musimnya stabil. Pada musim penghujan 1
keranjang benih hanya menghasilkan 5 keranjang panen. Hal tersebut menjadi cerminan bahwa fenomena perubahan iklim menjadi sebuah tantangan yang harus
dihadapi oleh petani karena berkaitan langsung dengan setiap kegiatan pertanian dan mempengaruhi kondisi kehidupan petani. Penurunan hasil panen
mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani dan menentukan keberlanjutan penanaman di musim selanjutnya setelah panen.
Lokalitas Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan fenomena global namun dampaknya bersifat lokal dan regional serta mempengaruhi komunitas dalam intensitas yang berbeda.
Bagi petani dataran tinggi, kondisi iklim sangat penting terutama terkait dengan pencahayaan sinar matahari, suhu, serta ketersediaan air. Identifikasi dampak
perubahan iklim yang dirasakan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng didasarkan pada berbagai perubahan yang terjadi di tingkat wilayah serta penuturan yang
disampaikan oleh petani. Dampak perubahan iklim yang dimaksud dilihat dari aspek lingkungan dan ekologi, sosial, dan ekonomi terkait dengan lima fenomena
iklim utama seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab pengetahuan petani tentang perubahan iklim.