Kondisi Kesehatan Pada Rumah Tangga Miskin

pokok mayoritas petani di Dataran Tinggi Dieng dengan pola tanam kentang musim 1-kentang musim 2-kentang musim 3 dalam satu tahun musim tanam. Berdasarkan Turasih dan Adiwibowo 2012, pada dekade 80-an, tepatnya sekitar tahun 1983, masyarakat Dataran Tinggi Dieng mulai beralih dari tanaman tembakau ke tanaman sayur-sayuran. Tahun 1985, kentang masuk secara intensif dan diperkenalkan oleh petani dari Pangalengan, Jawa Barat. Boomgard 2002 1 menjelaskan bahwa sebelum kentang masuk menjadi komoditi yang bertahan ditanam hingga saat ini, jagung merupakan komiditi andalan bagi petani di Dataran Tinggi Dieng. Ketika sistem tanam paksa cultuur Stelsel mulai diperkenalkan sekitar tahun 1830, Dataran Tinggi Dieng merupakan daerah yang memproduksi jagung dalam jumlah yang cukup tinggi selain Jawa Timur dan Madura. Pada periode tahun 1830-1900, di Dataran Tinggi Dieng lahan tegalan dapat menghasilkan dua atau tiga kali panenan jagung dalam waktu satu tahun, sebagian karena beberapa varietas memiliki masa tanam yang sangat pendek. Biasanya, panenan jagung ke dua hanya akan menghasilkan tiga perempat dari hasil panenan pertama. Jagung hampir menjadi tanaman monokultur, juga sering ditanam bersama tanaman lain atau tumpangsari bersama padi, kacang- kacangan, atau tembakau. Selama abad ke-19 proporsi lahan yang ditanami jagung dan palawija meningkat sedikit demi sedikit dari sekitar 20 menjadi 35 pada tahun 1880. Kemudian pada akhir 1930-an, lahan yang dibudidayakan oleh petani untuk tanaman pangan musiman adalah 45 untuk padi, 23 untuk jagung, dan 11 untuk ketela pohon. Selain jagung dan palawija, antara tahun 1900-1940 Dataran Tinggi Dieng juga menjadi pusat penanaman tembakau. Tembakau merupakan jenis tanaman perdagangan yang ditanam khusus untuk pasar lokal dan daerah lain. Hasilnya per hektar dalam bentuk uang tunai yang sangat tinggi dan dapat digunakan oleh petani untuk menyewa tenaga upahan dan membeli input lainnya seperti pupuk dan benih. Disebutkan bahwa, pupuk untuk tembakau juga dihasilkan dari kotoran manusia, juga pupuk kandang dari ternak dan kuda. Kondisi penanaman tembakau ini menunjukkan bahwa petani di Dataran Tinggi Dieng juga memelihara ternak. Persoalan kerugian mulai nampak dalam hal penanaman tembakau yang penyebabnya termasuk penggundulan hutan dan masalah yang berkaitan dengan kekurangan air. Konsumsi kayu bakar untuk mengeringkan daun tembakau di tempat yang tinggi mengurangi luas tutupan hutan. Meskipun di Dieng petani secara lokal telah menanam pohon seperti kemlandingan gunung Albizzia montana dan bahkan Eucalyptus yang diintroduksi dari luar dan disediakan oleh Dinas Kehutanan, namun kekurangan kayu bakar masih tetap terjadi. Daerah penanaman tembakau di Dataran Tinggi Dieng tidak dibuat dalam bentuk teras- teras, gambaran ini menunjukkan bahwa penanaman tembakau dilakukan di wilayah rawan dan menyebabkan ekspansi yang terus menerus. Mata Pencaharian Penduduk di Dataran Tinggi Dieng 1 Dalam Li, Tania Muray, 2002, Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Bab 2. Jagung dan Tembakau di Dataran Tinggi di Indonesia 1600-1900, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mayoritas Masyarakat di Dataran Tinggi Dieng menggantungkan hidupnya dari pertanian lahan kering. Sektor pertanian menyumbang 66,65 dari total pendapatan Kecamatan Batur atau 66,48 persen menurut PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan 66,82 menurut PDRB Atas Dasar Harga Konstan Pemkab Banjarnegara 2012. Artinya lebih dari separuh kehidupan penduduk tergantung dan ditopang oleh sektor pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian di kecamatan Batur sesuai dengan hasil Sensus Pertanian tahun 213 adalah 5.905 rumah tangga. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding data yang disajikan dalam Kecamatan Batur Dalam Angka 2013 yaitu sebanyak 6.146 rumah tangga pertanian yang 1.276 diantaranya mengkombinasikan dengan peternakan, 15 mengkombinasikan dengan perikanan, dan 224 mengkombinasikan dengan tanaman perkebunan Tabel 12. Komoditas utama yang menjadi tumpuan rumah tangga petani adalah komoditas kentang dan sayuran. Tabel 12 Jumlah Rumah Tangga Pertanian, Peternakan, Perikanan, dan Perkebunan di Kecamatan Batur Tahun 2013 RT Tani Pertanian RT Peternakan RT Perikanan RT Perkebunan Batur 1.955 842 13 45 Sumberejo 668 111 20 34 Pesurenan 240 107 Dieng Kulon 601 14 1 8 Karang Tengah 799 68 12 Bakal 799 21 6 Kepakisan 486 51 1 Pekasiran 598 62 118 JUMLAH 6.146 1276 15 224 Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013 Sesuai jenis komoditasnya, sebanyak 78 rumah tangga pertanian di Kecamatan Batur merupakan rumah tangga yang bergantung dengan komoditas hortikultura semusim terutama kentang. Sisanya menanam palawija 8 , tanaman pangan 7 , dan jagung 7 , sedikit sekali yang menanam padi, ubi jalar, gandum, hortikultura tahunan berupa tanaman buah, tanaman hias dan tanaman obat Gambar 11. 8 7 7 78 Presentase Rumah Tangga Pertanian Sesuai Komoditas Padi Palawija Tanaman Pangan Jagung Ubi Jalar Gandum Hortikultur buah tahunan Hortikultur semusim Tanaman hias semusim Tanaman obat semusim Tanaman kebun tahunan Tanaman kebun semusim Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013 Gambar 11 Presentase rumah tangga pertanian berdasarkan komoditas di Kecamatan Batur Jumlah rumah tangga petani yang menanam hortikultura semusim seperti kentang dan tambahan sayuran terbesar ada di Desa Batur yaitu 1.522 rumahtangga Tabel 13. Terdapat juga rumah tangga yang menanam tanaman perkebunan seperti cengkeh, kopi, teh, dan tembakau, namun jumlahnya sangat minoritas. Selain itu sebagian rumah tangga juga memiliki ternak berupa sapi potong, sapi perah, kambing, domba, ayam kampung ayam lokal, ayam ras, itik, dan ternak lain seperti kelinci Tabel 14. Tabel 13 Kombinasi komoditas yang ditanam oleh rumah tangga petani di Kecamatan Batur A B C D E F G H I J K L Jumlah Batur 142 142 139 1 3 1.522 1 4 1 1.955 Sumberejo 23 23 21 2 2 590 2 1 2 2 668 Pesurenan 1 2 3 2 231 1 240 Dieng Kulon 598 2 1 601 Karang Tengah 1 1 795 1 1 799 Bakal 1 2 1 794 1 799 Kepakisan 486 486 Pekasiran 2 2 2 587 5 598 JUMLAH 2 170 172 165 1 5 3 5.603 4 2 8 11 6.146 Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013 Keterangan: A : Padi; B: Palawija; C: Tanaman Pangan, D: Jagung; E: Ubi Jalar; F: Gandum; G: Hortikultur buah tahunan; H: Hortikultur semusim; I: Tanaman hias semusim; J: Tanaman obat semusim; K: Tanaman kebun tahunan; L: Tanaman kebun semusim Tabel 14 Komoditas ternak yang dibudidayakan oleh rumah tangga petani di Kecamatan Batur Sapi potong Sapi perah Kambing Domba Ayam Lokal Ayam ras pedaging Itik Lainnya Batur 223 97 11 463 43 1 4 842 Sumberejo 5 1 1 63 32 9 111 Pesurenan 8 4 83 8 2 2 107 Dieng Kulon 8 4 2 14 Karang Tengah 37 1 28 2 68 Bakal 1 16 3 1 21 Kepakisan 1 32 14 1 3 51 Pekasiran 10 4 26 20 2 62 JUMLAH 292 99 41 700 118 3 3 20 1276 Sumber: Diolah dari Kecamatan Batur Dalam Angka 2013 Selanjutnya, mata pencaharian pada rumah tangga miskin di Kecamatan Batur sesuai dengan data TNP2K tahun 2012 tercantum pada tabel 15. Sebaran mayoritas pekerjaan adalah sebagai petani pada komoditas hortikultura. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani pada rumah tangga miskin rata-rata sebagai petani penggarap atau bekerja pada penguasa lahan. Tabel 15 Mata pencaharian individu di Kecamatan Batur berdasarkan tingkat kesejahteraan 30 terendah di Indonesia No Mata pencaharian Jumlah 1 Pertanian tanaman padi dan palawija 55 2 Hortikultura 6.726 3 Perkebunan 26 4 Perikanan budidaya 2 5 Peternakan 82 6 Kehutanan 1 7 Pertambanganpenggalian 5 8 Industri pengolahan 13 9 Listrik dan gas 8 10 Bangunankonstruksi 63 11 Transportasi dan pergudangan 64 12 Keuangan dan transportasi 2 13 Jasa 128 14 Lainnya 130 TOTAL 7.690 Sumber: Data TNP2K 2012 Pemukiman Masyarakat Dataran Tinggi Dieng Masyarakat di Dataran Tinggi Dieng tinggal dalam satuan-satuan pemukiman yang rapat satu sama lain di daerah dengan lereng datar. Sebagaimana ciri masyarakat desa, penduduk di Dataran Tinggi Dieng Kecamatan Batur memiliki relasi sosial yang baik dengan tetangga. Rata-rata mereka saling mengenal satu sama lain. Rumah-rumah yang saling berdekatan memungkinkan penduduk untuk sering bertemu. Khususnya di Desa Batur wilayahnya yang terbagi menjadi 13 RW Kadus dan 53 RT, klasifikasi RW dan RT tersebut berdasarkan kedekatan wilayah dan lingkungan masyarakat. Secara rinci jumlah RT per masing-masing dusun disajikan pada Tabel 16. Empat dusun pertama yang disebukan dalam Tabel 16 yaitu Dusun Batur Kidul, Batur Lor, Batur Tengah, dan Bujangsari, merupakan dusun dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik dibanding dusun-dusun lainnya. Selain pada sektor pertanian, sebagian penduduknya juga masuk ke sektor formal sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS. Dusun Bujangsari di RW 4 merupakan dusun yang terletak di wilayah pinggiran hutan karena bersentuhan dengan area Perhutani. Berdasarkan informasi yang diperoleh kondisi dusun-dusun yang masih terdapat banyak rumah tangga miskin adalah Dusun Tieng, Njlegong, Mbakalan, dimana wilayahnya memiliki kondisi kesehatan sanitasi yang masih perlu mendapatkan perhatian ketat. Tabel 16 Jumlah Rukun Tetangga RT pada setiap dusun RWRukun Warga di Desa Batur No Dusun RWRukun Warga Jumlah RT 1 Dusun Batur Kidul RW 1 6 2 Dusun Batur Tengah RW 2 7 3 Dusun Batur Lor RW 3 11 4 Dusun Bujangsari RW 4 6 5 Dusun Tieng RW 5 3 6 Dusun Njlegong RW 6 3 7 Dusun Mbakalan RW 7 2 8 Dusun Purwajiwa RW 8 2 9 Dusun Karanganyar RW 9 3 10 Dusun Kalianget RW 10 3 11 Dusun Majatengah RW 11 4 12 Dusun Mbandingan RW 12 2 13 Dusun Tlagabang 1 TOTAL 53 Sumber: Wawancara dengan perangkat Desa Batur 2014 Sebagian rumah penduduk berada dekat dengan lahan pertaniannya. Kondisi suhu yang dingin menyebabkan arsitektur rumah dibuat dengan ventilasi yang sedikit dengan sebagian besar atap terbuat dari seng. Rumah penduduk rata- rata memiliki dapur yang sekaligus berfungsi sebagai tempat untuk menghangatkan badan. Terdapat anglo atau tungku yang menggunakan bahan bakar arang yang digunakan sebagai alat untuk menghangatkan badan. Dibanding ruangan lain di dalam rumah, dapur memiliki fungsi sentral karena setiap pagi dan sore hari keluarga akan berkumpul sambil menghangatkan badan yang bersumber dari panas anglo. Wiraprama, Zakaria, dan Purwantiasning 2014 menjelaskan bahwa pemukiman terbentuk karena adanya kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kebutuhan akan berhuni. Pemukiman yang dibentuk karena adanya sekelompok rumahtempat tinggal memiliki fasilitas penunjang baik fasilitas umum maupun sosial yang mendukung kegiatan bermukim dalam suatu kelompok masyarakat dengan jangka waktu yang cukup lama. Selain kegiatan bermukin dan berhuni suatu kelompok masyarakat, dalam sebuah pemukiman juga terdapat kegiatan sosial kemasyarakatan yang mendukung satu sama lain dalam kelompok masyarakat. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di pemukiman di Desa Batur meliputi sumber air, fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, polindes, dan masjid. Pembangunan di Dataran Tinggi Dieng Arbangiyah 2012 menyebutkan bahwa pada tahun 1978 di kawasan Dataran Tinggi Dieng area jalan aspal meningkat dari 27 kilometer menjadi 62 kilometer, dan jumlah desa yang mampu mengakses jalan aspal dan berbatu meningkat dari kira-kira 10 persen menjadi 30 persen. Perbaikan jalan memungkinkan proses distribusi panen menjadi semakin mudah. Perbaikan jalan juga menekan biaya transportasi karena petani tidak perlu repot menjualnya ke kota sebab banyak pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan tangan pedagang dari Surabaya, Jakarta, dan Semarang akan membelinya langsung dari ladang. Pada tahap selanjutnya eksistensi petani terhadap dinamika pembangunan di Dataran Tinggi Dieng tersebut menciptakan polarisasi yang mencolok antara petani kaya dan petani miskin. Sistem penghidupan dan nafkah dari pertanian kentang ini memberi konsekuensi pada semakin tajamnya potret kemiskinan di Dataran tinggi Dieng. Pembangunan pertanian ala modernisasi yang mengedepankan modal besar pada titik tertentu menghancurkan tatanan sosial serta menciptakan keserakahan untuk menguasai sebanyak mungkin modal lahan termasuk dengan merambah hutan sebagai area tangkapan. Eksploitasi terhadap daerah miring dan area hutan tersebut menghasilkan kehancuran pada aspek sosial, ekonomi, dan ekologi secara sistemik. Merujuk Wright 1978 dalam Sanderson 2010 modernisasi pertanian di Indonesia menunjukkan pembentukan struktur kelas kapitalis dimana terdapat petani kaya yang menguasai modal tanah, dominasi terhadap akses teknologi dan kredit, serta kontrol bagi keberadaan usaha tani yang lebih leluasa dibanding petani kecil. Perubahan yang kentara terlihat berikutnya adalah dari kentang pula muncul orang- orang kaya yang lazim disebut “haji kentang”, mereka bisa naik haji dan membangun masjid dari penghasilan usahatani kentang Turasih dan Adiwibowo 2012. Pertanian modern semakin memunculkan rasionalitas di kalangan petani. Pada masa lalu, pertanian di Dataran Tinggi Dieng selalu diawali dengan ritual sebelum menanam. Ritual kebudayaan yang terkait dengan pertanian seperti nglekasi, wiwit, ruwat bumi, dan baridan yang tujuan utamanya untuk meminta berkah kepada leluhur supaya pada musim tanam diberikan kelancaran. Ritual tersebut dipengaruhi budaya Hindu yang pada saat itu masih kental di Dataran Tinggi Dieng. Pada perkembangannya saat kentang masuk ke Dataran Tinggi Dieng, nilai-nilai tersebut digantikan oleh rasionalitas bahwa orientasi pertanian kentang adalah keuntungan ekonomi. Sebagai komoditi yang bernilai tinggi, kentang mempengaruhi kebudayaan dan cara hidup baik individu maupun masyarakat. Fenomena yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng pasca masuknya komoditi kentang sebagai unggulan dan sumber matapencaharian petani memberikan dampak tidak hanya bagi komunitas petani di wilayah tersebut, namun merambah ke area di bawahnya. Mengingat Dieng merupakan hulu dari DAS Serayu yang memberikan suplai energi bagi pembangkit listrik tenaga air PLTA wilayah Jawa dan Bali. Perhatian bagi isu kerusakan lingkungan akibat pertanian kentang di Dataran Tinggi Dieng mendapatkan perhatian dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, swasta, hingga LSM. Berbagai upaya penyelamatan lingkungan Dieng terkait dengan pola pertanian tanaman monokultur telah dicanangkan. Tahun 2005 dicanangkan pembentukan hutan sekolah di wilayah Wonosobo. Tahun 2006 dilakukan sosialisasi kepada penduduk dan petani Dieng yang selama ini memanfaatkan lahan untuk budidaya tanaman kentang. Selain itu, metode Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM juga dilaksanakan. Namun hasilnya masih belum sesuai dengan harapan Turasih et al 2010. Penyebabnya selama ini dibebankan kepada petani sebagai aktor yang berperan merusak lingkungan. Pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Wonosobo membentuk Tim Kerja Pemulihan Dieng TKPD sebagai sebuah bentuk kepedulian terhadap kerusakan lingkungan di Dataran Tinggi Dieng, kelembagaannya dikukuhkan melalui SK Bupati Wonosobo tahun 2007 www.savedieng.org . Bahkan Bupati Wonosobo memberikan larangan keras bagi petani untuk tidak menanam di lahan dengan kontur kemiringan yang sudah tidak bisa ditoleransi. Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara mendapatkan bantuan dari UNDP United Nation Development Programme melalui proyek proyek Penguatan Komunitas Berbasis Hutan dan Manajemen Aliran Sungai SCBFWM. Berbagai program yang terus digalakkan tersebut meskipun mengusung perhatian bagi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan pada kenyataan masih bersifat mekanistis dan lebih menekankan lingungan sebagai objek utama. Padahal permasalahan di Dataran Tinggi Dieng bukan semata-mata hancurnya lingkungan akibat usahatani kentang yang terlalu menekankan produktivitas, tetapi juga munculnya stratifikasi sosial akibat konsentrasi kepemilikan lahan. Berdasarkan data penelitian Turasih dan Adiwibowo 2012 mengenai kepemilikan lahan di Desa Karang Tengah Dataran Tinggi Dieng adalah 77,42 persen petani pemilik dimana 31,23 persen merupakan pemilik dengan luas dibawah 0,3 ha, 35,48 persen petani dengan kepemilikan lahan 0,5-1 ha dan hanya 9,68 persen merupakan pemilik lahan 1-2 ha. Petani pemilik tersebut murni melakukan usahatani di atas lahan yang dimilikinya. Selain status milik, terdapat juga petani dengan status lahan sewa. Petani yang melakukan sewa tersebut adalah mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali dimana jumlahnya 6,54 persen. Kategori penguasaan lahan lainnya adalah petani pemilik sekaligus penyewa lahan yang berjumlah 12,90 persen dari seluruh responden. Sejumlah 9,68 persen merupakan pemilik lahan 0,1 ha-0,3 ha dan 3,22 persen merupakan pemilik lahan 0,3 ha-0,5 ha. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa petani yang tidak memiliki lahan tidak melakukan penyewaan dan menyebabkan mereka menjadi buruh tani. Persentase petani yang memiliki lahan dibawah 0,3 ha relatif mendominasi di Dataran Tinggi Dieng ditambah dengan buruh tani. 5 STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PETANI DI DATARAN TINGGI DIENG Perubahan Iklim di Dataran Tinggi Dieng Perkembangan wilayah Dataran Tinggi Dieng kentara terlihat dari proses perubahan kondisi lansekap di kawasan tersebut pada era pra dan pasca introduksi tanaman kentang. Perubahan yang lebih dapat teridentifikasi secara langsung adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan seperti kondisi hutan, sumber daya air, dan kondisi lahan pertanian. Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Banjarnegara 2012 diketahui bahwa perkembangan Dataran Tinggi Dieng menunjukkan fakta kerusakan lingkungan yang semakin mencemaskan terutama terkait dengan krisis air dan krisis sumberdaya lahan lihat Tabel 17. Kerusakan ini semakin diperparah dengan kondisi iklim yang tidak menentu terutama kondisi curah hujan yang menyebabkan intensitas kejadian longsor menjadi semakin tinggi. Tabel 13 Kondisi hutan, air, pertanian, dan erosi di Dataran Tinggi Dieng periode 1975 - 2011 Tahun Hutan Air Pertanian Erosi 1975-1979 Subur serba utuh Tersedia melimpah Tembakau dan sayuran Tidak 100 100 1980-1984 Subur serta mulai berkurang Tersedia dan mulai berkurang Tembakau dan sayuran kentang Terjadi erosi 90 100 5 1985-1989 Subur dan pembukaan lahan mencapai 20 Masih tersedia dan semakin berkurang Sayuran dan kentang Terjadi erosi 40 100 50 15 1990-1994 Subur dan berkurang Masih tersedia dan semakin berkurang Kentang mencapai 20-30 ton per ha Terjadi erosi 25 80 75 20 1995-1999 Tutupan hutan tinggal 10 Ketersediaan air turun drastis Kentang dengan intensitas 3 kali setahun Erosi semakin mengkhawatirkan 10 50 80 40 2000-2005 Tutupan hutan bertambah kembali 5 Ketersediaan air turun Kentang dengan penggunaan pestisida Erosi mulai sangat terasa 15 50 100 40 2006-2010 Tutupan hutan bertambah 5 Beberapa mata air kering Produksi kentang mulai menurun dan menggunakan CM Erosi semakin terasa, lapisan tanah menipis 20 50 90 40 2010-2011 Tutupan bertambah dengan adanya usaha-usaha konservasi Mata air kering, air telaga beralih fungsi Produksi kentang turun drastis 5-8 ton per ha, mulai beralih ke tanaman alternatif Erosi masih sangat terasa dengan adanya sedimentasi PLTA Mrica yang sangat terasa 25 50 70 40 Sumber: Pemerintah Kabupaten Banjarnegara 2012 Kejadian longsor yang semakin bertambah intensitasnya dalam kurun waktu 40 tahun terakhir selain dipengaruhi oleh kondisi luas tutupan lahan hutan yang semakin berkurang juga karena jumlah hari hujan yang semakin bertambah pada bulan basah. Sejak tahun 1990 bulan basah dengan jumlah hari hujan yang lebih banyak terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Oktober, November, dan Desember. Bulan kering terjadi antara Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September dengan jumlah hari hujan yang semakin sedikit. Berdasarkan Gambar 12, diketahui bahwa dalam kurun waktu tahun 1990 – 2000 jumlah hari hujan di tahun 2000-an meningkat di bulan basah dan berkurang di pada saat bulan kering. Kondisi ini berdasarkan Efendi, Sunyoko, dan Sulistya 2012 menyebabkan kecenderungan meningkatnya resiko kejadian longsor di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Resiko tersebut telah terjadi di Dataran Tinggi Dieng. Pada musim penghujan, kejadian longsor semakin banyak terjadi di lahan-lahan pertanian yang miring dan memunculkan resiko ke wilayah- wilayah yang berada lebih jauh di bawahnya. Sebaliknya, pada musim kemarau masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani harus mengeluarkan biaya penyedotan air telaga atau sumber air lain untuk menyiram lahan pertaniannya. Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka 1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012 Gambar 12 Jumlah hari hujan berdasarkan bulan di kecamatan batur tahun 1990- 2011 WWF 2007 menyatakan bahwa perubahan distribusi curah hujan menyebabkan potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin tinggi seperti banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit. Sebaliknya pada kondisi curah hujan yang mengecil potensi bencananya berupa kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai permasalahan sosial yang mungkin timbul. Persoalan yang dihadapi di Dataran Tinggi Dieng serupa dengan gambaran tersebut dimana jumlah curah hujan memiliki tren menurun dari tahun 1990 hingga 2014 Gambar 13 namun jumlah hari hujan di bulan basah semakin meningkat Gambar 12. Berdasarkan fakta 5 10 15 20 25 30 1990 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2007 2009 2010 2011 1990 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2007 2009 2010 2011 19 1990 2011 tersebut diketahui bahwa indikator perubahan iklim dari parameter cuaca nyata terjadi. Sumber: Data Kecamatan Batur Dalam Angka 1991, 1994, 1998, 2002, 2004, 2008, 2010, 2012 BMKG Stasiun Kalilunjar 2004, 2005, 2006, 2008, 2012, 2013, 2014 Gambar 13 Jumlah dan Rata-rata Curah Hujan Tahunan Periode 1990-2014 di Kecamatan Batur Indikator perubahan iklim dari aspek peningkatan temperatur tidak terlalu kentara di Dataran Tinggi Dieng karena kondisi iklimnya yang masih sejuk. Berdasarkan data BMKG stasuin Kalilunjar-Banjarnegara tahun 2009-2014 diketahui bahwa suhu rata-rata maksimal sekitar 28,5 derajat celcius dan suhu rata-rata minimalnya sekitar 20,7 derajat celcius. Pada musim kemarau sekitar bulan Juli-Agustus, suhu minimum bisa mencapai 0 derajat. Kondisi perubahan yang lebih kentara yang adalah kondisi jumlah hari hujan dan curah hujan di Dataran Tinggi Dieng menunjukkan indikasi terjadinya perubahan iklim mikro di tingkat wilayah. Hal yang paling dapat ditandai adalah kejadian iklim ekstrem yang lebih sering terjadi sejak tahun 2007 yaitu hujan yang lebih deras dan musim kemarau yang lebih kering. Kondisi tersebut diperburuk dengan minimnya luas tutupan lahan yang tersisa di wilayah Dataran Tinggi Dieng sebagai area tangkapan air. Kawasan hutan di Dataran Tinggi Dieng berangsur habis dikonversi menjadi kebun kentang. Kementrian Lingkungan Hidup mencatat, dari luas Dataran Tinggi Dieng 619.846 ha, hutan yang tersisa tinggal 20,1 persen padahal idealnya 30 persen Kompas 03 Juni 2011. kondisi tutupan lahan yang kurang dari 30 persen tersebut masih berlangsung hingga penelitian ini dilaksanakan tahun 2014. Berdasarkan penuturan dari narasumber penelitian dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, bahwa kondisi tutupan lahan kurang dari 30 persen menyalahi amanat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berkurangnya tutupan lahan hutan tersebut diakibatkan konversi lahan hutan ke lahan pertanian kentang. Pengetahuan Petani Tentang Perubahan Iklim Perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng dipahami oleh masyarakat berdasarkan fenomena lokal yang terjadi. Secara umum jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Kabupaten Banjarnegara, Dataran Tinggi Dieng merupakan wilayah dengan suhu dingin sehingga gejala perubahan iklim dari peningkatan suhu tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian, mereka mengakui bahwa situasi saat ini di Dataran Tinggi Dieng relatif lebih hangat dibanding ketika tahun 1990-an. Diungkapkan oleh salah seorang narasumber penelitian bahwa saat ini ia tidak perlu menggunakan jaket yang terlalu tebal atau bahkan di saat tertentu ketika suhu terasa hangat ia tidak perlu mengenakan jaket. “Nggih seniki sampun lumayan anget Mbak, timbang mbiyen pas kulo tasih enem, jan nek asrep nggih bener-bener asrep. Nek seniki rasane biasa wae. Mbiyen sering nganggo sarung, seniki ngganggo tapi mboten ndina- ndina.” Sekarang sudah lumayan hangat Mbak, dibanding dulu ketika saya masih muda, kalau dingin benar-benar dingin. Kalau sekarang rasanya biasa saja. Dulu sering pakai sarung, sekarang pakai tetapi tidak seharian. AB, 54 tahun Hal yang sama juga dikatakan oleh petugas dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara yang bertugas di Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur. “Kondisi Dieng sekarang sudah berbeda, selama 14 tahun bertugas di Banjarnegara, dulu ketika bertugas ke Dieng harus pakai jaket, namun sekarang merasa tidak apa-apa jika memakau baju biasa. Suhu sudah menjadi lebih hangat. Dulu nggak pernah dirasakan suhu sampai tiga puluh derajat di Dieng, tapi sekarang bisa terasa apalagi ketika kondisi ramai seperti saat musim liburan dan musim wisata DCF 2 .” SH, 54 tahun Indikasi menghangatnya suhu di Dataran Tinggi Dieng juga terjadi dengan ditandainya kemunculan hewan cicak yang saat ini menjadi lebih banyak. Meskipun diduga bahwa cicak bisa berasal dari daerah yang lebih hangat misalnya ada orang yang pulang dari kota suhu hangat dengan membawa kardus atau tempat yang di dalamnya bisa jadi terdapat cicak. Kenyataan bahwa cicak dapat hidup di wilayah dingin menjadi satu tanda bahwa wilayah tersebut sudah semakin hangat. Indikasi lain bahwa suhu sudah semakin menghangat adalah dilihat dari pertumbuhan tanaman. Semakin hangat suhu lingkungan maka tanaman akan tumbuh semakin tinggi. Hal tersebut juga terjadi pada tanaman kentang yang rata-rata saat ini tumbuh semakin tinggi. Petani memaknai perubahan iklim sebagai sebuah kondisi iklim yang sangat mengancam aktivitas pertanian. Petani mengidentifikasi lima fenomena iklim utama yang terjadi dan berkait dengan pertanian mereka yaitu: 1 curah hujan yang semakin ekstrem pada musimnya, 2 situasi kekeringan yang melanda 2 Dieng Culture Festival pertanian, 3 musim angin ribut, 4 kondisi suhu ekstrem pada Bulan Juli atau Agustus ketika muncul embun upas atau titik salju yang menjadikan tanaman muda menjadi layu dan mati, serta yang paling meresahkan adalah 5 kondisi iklim yang semakin sukar diprediksi. Pada saat musim hujan, diakui bahwa curah hujan menjadi lebih deras yang akibatnya kejadian erosi di lahan pertanian menjadi semakin tinggi. Kondisi lahan pertanian yang miring dan tidak memiliki kontur terasering menjadi penyebab tanah semakin mudah terbawa aliran air hujan. Pola penanaman di lahan tanpa teras memicu potensi erosi yang tinggi karena lapisan tanah bagian atas akan terbawa air hujan yang memunculkan sedimentasi pada saluran-saluran air. Tidak hanya di lahan pertanian, namun hampir seluruh wilayah di Dataran Tinggi Dieng termasuk Desa Batur rawan longsor pada saat musim hujan. Musim hujan merupakan musim yang paling ditakuti petani karena resiko kegagalan lebih tinggi pada musim ini dimana tanaman kentang lebih banyak layu. Musim hujan merupakan musim yang sulit bagi petani karena biaya produksi cenderung naik namun produksi justru turun. Pada periode 20102011 sepanjang tahun terjadi hujan dan petani banyak dirugikan pada saat kondisi itu. Hama menjadi tinggi pada saat musim hujan karena biasanya pestisida tidak mempan digunakan pada musim tersebut. Hama jenis litoptera yang dikenal petani dengan istilah tekle atau folio saat ini tidak hanya menyerang batang tetapi juga sudah menyerang daun. Tanaman kemudian menjadi layu dan mati. Pada tahun 2012 muncul hama kutu kebul. Musim hujan menyebabkan intensitas kemunculan hama menjadi tinggi. Pada tahun 1958 pernah terjadi kemarau panjang hingga 9 bulan, kemudian sekitar tahun 1964 kemarau panjang terjadi hingga 6 bulan. Awal musim kemarau merupakan musim yang sangat sulit bagi petani karena merupakan musim transisi dari penghujan ke kemarau. Banyak petani yang tidak menanam pada awal kemarau karena takut gagal. Akibat kondisi tanah yang gembur, pada saat musim kemarau, air tanah menjadi mudah menguap dan mengakibatkan lahan pertanian menjadi rawan kekeringan. Kondisi sumber air untuk pertanian di Dataran Tinggi Dieng pada musim kemarau debitnya menjadi lebih kecil. Salah satu sumber air yang dimanfaatkan untuk pertanian pada saat musim kemarau adalah Telaga Merdada yang diambil dengan cara menyedotnya menggunakan mesin genset. Efeknya, jika air telaga disedot dalam jumlah besar maka debitnya akan menjadi semakin kecil. Air merupakan hal yang krusial diperlukan dalam pertanian kentang karena kondisi lahan pertanian kentang tidak dapat menyimpan air tanah. Musim kemarau merupakan musim yang relatif sulit bagi petani apabila tidak ada sumber air. Pada musim ini, petani yang mengolah lahan jauh dari sumber air hanya bisa menanam satu tahun sekali. Pada bulan Juli atau Agustus muncul embun upas di Dataran Tinggi Dieng. Meskipun telah disadari oleh petani bahwa kejadian ini rutin terjadi, namun petani tetap khawatir. Pada saat itu suhu berada di titik kritis mencapai suhu nol dan bahkan minus sehingga menyebabkan munculnya frozz. Suhu terendah yang terjadi pada saat titik kritis bisa mencapai -8 Celcius dan menyebabkan tanaman kentang layu dan busuk dan petani beresiko gagal panen. Kekhawatiran petani juga disebabkan oleh munculnya angin ribut. Pada tahun 2011 terjadi serangan angin ribut yang merusak tanaman kentang. Angin ribut ini menjadi perkara besar bagi petani karena berdasarkan perhitungan terjadi setiap lima tahun sekali. Jika sebelumnya terjadi di tahun 2011 maka ke depan diprediksi tepat akan terjadi pada akhir tahun 2015 atau awal 2016. Pada musim angin tegakan tanaman rusak dan tanaman yang baru tumbuh habis tersapu angin. Selain empat kondisi yang telah dijelaskan, hal yang paling meresahkan bagi petani adalah prediksi musim yang semakin sulit ditebak. Petani menghadapi musim yang membingungkan, menebak terjadi musim hujan namun kenyataannya kemarau dan demikian juga sebaliknya. Dulu petani masih menggunakan pranata mangsa untuk menandai musim tanam, namun hal tersebut tidak lagi akurat apalagi semenjak melewati sekitar tahun 2007. Pranata mangsa saat ini tidak lagi sama dengan perhitungan petani dan juga tidak sama dengan data yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika BMKG. Sulitnya prediksi musim saat ini menyebabkan petani sangat membutuhkan informasi cuaca dan iklim yang sifatnya harian karena penting untuk menentukan musim tanam. Perhitungan musim tanam tersebut sangat berkaitan dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani. Sebelum tahun 2007 musim masih dapat diprediksi namun memasuki tahun 2008 relatif lebih sulit dan sering meleset dari prakiraan. Iklim sudah bergeser jauh. Mangsa kanem-kapitu yang dulu terjadi pada Bulan November-Desember merupakan musim yang paling enteng dan cocok untuk menanam. Namun saat ini waktu tersebut menjadi musim yang paling berat. Tahun 2010 kondisi lebih kering jadi tidak terlalu bermasalah untuk petani. Pada tahun 2013 sampai 2014 kondisi hujan lebih banyak sehingga terasa lebih berat.” DD, 34 tahun Berdasarkan kutipan di atas, keluhan petani atas perubahan iklim adalah kondisi cuaca yang sulit diduga. Persoalan pendugaan cuaca oleh petani yang semakin hari semakin sulit disebabkan oleh kondisi pertanian yang saat ini belum beradaptasi dengan baik sesuai kondisi iklim. Padahal dalam skala global fenomena El-Nino dan La-Nina terus menerus berulang setiap periode. Banyak petani bangkrut karena kondisi iklim yang tidak menentu. Pada tahun 1983 perbandingan penanaman 1 keranjang bisa panen hingga 10 keranjang. Sejak tahun 2000-an, 1 keranjang benih hanya memberikan penghasilan sebanyak 7 hingga 8 keranjang panen ketika musimnya stabil. Pada musim penghujan 1 keranjang benih hanya menghasilkan 5 keranjang panen. Hal tersebut menjadi cerminan bahwa fenomena perubahan iklim menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh petani karena berkaitan langsung dengan setiap kegiatan pertanian dan mempengaruhi kondisi kehidupan petani. Penurunan hasil panen mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani dan menentukan keberlanjutan penanaman di musim selanjutnya setelah panen. Lokalitas Dampak Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan fenomena global namun dampaknya bersifat lokal dan regional serta mempengaruhi komunitas dalam intensitas yang berbeda. Bagi petani dataran tinggi, kondisi iklim sangat penting terutama terkait dengan pencahayaan sinar matahari, suhu, serta ketersediaan air. Identifikasi dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh petani di Dataran Tinggi Dieng didasarkan pada berbagai perubahan yang terjadi di tingkat wilayah serta penuturan yang disampaikan oleh petani. Dampak perubahan iklim yang dimaksud dilihat dari aspek lingkungan dan ekologi, sosial, dan ekonomi terkait dengan lima fenomena iklim utama seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab pengetahuan petani tentang perubahan iklim.

1. Dampak Fisik dan Ekologi

Dampak perubahan iklim secara fisik dan ekologis di Dataran Dieng berkaitan dengan praktek pertanian hortikultur sayuran terutama kentang yang bersifat monokultur di wilayah tersebut. Tuntutan kondisi lahan pertanian kentang yang harus terbuka dan tidak terganggu naungan pohon menyebabkan kondisi kawasan Dataran Tinggi minim tutupan lahan. Selain itu keperluan pertanian kentang adalah kontur tanah miring yang dibuat searah dengan kemiringan lereng dan penggunaan dosis pupuk yang tinggi. “Secara kasat mata memang tidak banyak yang kelihatan berubah kecuali tutupan lahan yang semakin berkurang. Namun perlakukan terhadap lahan sangat mempengaruhi kondisi lingkungan saat ini. Saat ini pupuk N sudah terlalu tinggi kadar penggunaannya. Sumber N dapat berasal dari pupuk organik mapun anorganik sepeti urea dan ZA. Ciri-ciri tingginya kandungan N ini dapat dilihat di bagian kanan dan kiri screen pembenihan kentang dimana lumut sudah banyak dijumpai.” SH, 50 tahun Kondisi fisik dan ekologi pada saat musim ekstrem menjadi keluhan tersendiri bagi masyarakat di Dataran Tinggi Dieng. Dampak perubahan iklim dalam aspek fisik dan ekologi lebih ke arah dampak negatif dan dapat berujung bencana. Pada saat musim hujan banyak terjadi longsor dan pada saat musim kemarau bisa terjadi kebakaran hutan yang ada di sekitar Dataran Tinggi Dieng serta berkurangnya debit air untuk pertanian. Diungkapkan oleh narasumber juga bahwa pada musim hujan intensitas kejadian bencana gas beracun menjadi lebih tinggi. Kejadian iklim yang berkaitan dengan curah hujan serta angin ribut memberikan konsekuensi kerusakan dan peningkatan potensi bencana alam. Dari segi infrastruktur wilayah, perubahan iklim terutama karena curah hujan yang ektrem menyebabkan kerusakan jalan aspal di wilayah Dataran Tinggi Dieng berlubang. Di Desa Batur, jalanan rusak terdapat di area Pasar Batur serta jalan- jalan menuju dusun-dusun yang jauh dari pusat pemerintahan. Kerusakan tersebut diperparah juga akibat jalan dilintasi kendaraan dengan muatan yang berat. Pada musim hujan, dampak curah hujan yang tinggi akan tampak di sepanjang jalan raya yang berdekatan dengan area pertanian. Jalan raya beraspal yang posisinya lebih landai dibanding lahan pertanian banyak tertutup tanah yang dibawa oleh aliran air hujan. Pada kondisi ektrem tertentu, curah hujan yang tinggi menyebabkan longsor yang tidak hanya berdampak bagi kondisi lahan pertanian tetapi juga mengancam keamanan rumah-rumah penduduk yang posisinya dekat dengan lereng dan aliran sungai. Angin ribut menyebabkan kerusakan pada bangunan rumah, pohon tumbang, dan rusaknya tanaman pertanian. Pada saat musim kemarau, meskipun dikatakan oleh narasumber bahwa sumber air relatif masih ada dan mencukupi untuk pertanian di Dataran Tinggi Dieng namun fenomena kekeringan tidak dapat dipungkiri menjadi persoalan tersendiri. Semua desa di Dataran Tinggi Dieng rawan dengan kondisi kekeringan. Pertanian mengandalkan air telaga untuk dimanfaatkan pada musim kemarau, petani memasang pompa air yang dioperasikan dari pagi hingga sore hari jam 7 pagi hingga 4 sore dan bahkan ada yang dipasang selama 24 jam. Dampak yang ditimbulkan dari penyedotan air secara serempak ini adalah debit air telaga menjadi semakin cepat berkurang. Petani merasa khawatir apabila air telaga disedot secara terus menerus pada musim kemarau dan musim hujan terlambat datang maka cadangan air untuk pertanian akan habis. Musim kemarau juga menjadi musim yang rentan terhadap kejadian kebakaran hutan. Kawasan Dataran Tinggi Dieng dikelilingi oleh hutan lindung yang rentan kebakaran pada saat musim kemarau. Kejadian kebakaran hutan yang cukup luas terjadi pada Bulan Juli tahun 2014 dimulai dari area Kabupaten Batang dan merambat ke Kabupaten Banjarnegara di Kecamatan Batur. Kebakaran tersebut dimungkinan oleh gesekan ranting kayu maupun akibat keringnya tanaman yang disebabkan oleh serangan embun upas. Dituturkan oleh masyarakat bahwa sejarah kekeringan dan kebakaran hutan dulu tidak pernah terjadi bahkan ketika kejadian kemarau panjang hingga 9 bulan di tahun 1958. Ketika pertanian intensif kentang dan hortikultur sayuran digalakkan, pada saat kemarau mudah sekali terjadi kekeringan dan kebakaran. 2. Dampak Ekonomi Pada saat menghadapi musim kemarau khususnya dengan kondisi kekeringan yang terjadi, petani harus menambah biaya produksi pertanian untuk memperoleh air yang cukup guna menyiram tanaman. Petani tidak memiliki pilihan selain memompa air dari telaga dan sungai yang ada di kawasan Dataran Tinggi Dieng dan yang terdekat dengan letak lahannya. Setiap hari petani memerlukan 5-20 liter bahan bakar premium untuk mengoperasikan mesin pompa air dan mengalirkannya dari telaga ke lahan pertanian. Jarak antara telaga sumber air dengan lahan pertanian berkisar mulai dari 400 meter hingga 3 km, semakin jauh jaraknya maka biaya yang dikeluarkan semakin besar. Satu hari petani biasanya hanya mampu menyiram hingga 0,5 ha lahan, apabila lahannya lebih luas maka diperlukan waktu lebih lama dan jumlah biaya tenaga kerja yang lebih besar. Kondisi tersebut berlangsung hingga 2-3 bulan sampai puncak musim kemarau. Bagi petani yang mengolah lahan pertanian sangat jauh dari sumber air akhirnya ada yang memilih hanya menanam satu kali per tahun karena tidak memiliki modal yang cukup. “Menawi mangsa terang kulo kedah tumbas bensin limolas liter nggo mompa banyu. Limolas liter dinggo nyiram lahan setengah hektar.” Apabila musim kemarau saya harus membeli bensin lima belas liter untuk memompa air. Lima belas liter digunakan untuk menyiram lahan setengah hektar. KS, 45 tahun Musim kemarau bukan menjadi titik kekhawatiran petani karena resiko yang dihadapi pada musim ini tergolong lebih kecil dibanding pada saat musim penghujan tiba. Petani perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar pada musim hujan. Pada musim penghujan, petani perlu membeli pestisida dan obat-obatan pertanian sehingga biaya semakin membengkak. Pada musim hujan, petani juga perlu menambah tenaga kerja untuk pertanian guna meminimalisir gagal kerja. Hal ini karena musim hujan menyebabkan pekerja lebih sering beristirahat ketika hujan turun. Oleh karenanya jumlah tenaga perlu ditambah guna memperoleh hasil kerja yang diharapkan dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Tenaga kerja di pertanian kentang dibayar Rp 25.000 selama 5 jam kerja dari jam 08.00 pagi hingga jam 14.00 siang jika tidak disediakan makanan oleh pemiliki lahan. Sedangkan jika pekerja mendapatkan makanan dikirim makanan ke kebun maka upah yang diterima hanya Rp 20.000 dengan jumlah jam kerja yang sama. Perbedaan yang dihadapi oleh petani untuk musim hujan dan musim kemarau terkait tenaga kerja adalah pada musim kemarau petani harus menanggung biaya tenaga kerja untuk penyiraman tanaman karena kurangnya ketersediaan air. Pada di musim penghujan, petani menghadapi mahalnya biaya perawatan untuk pembelian pestisida. namun bagi petani, musim kemarau lebih menguntungkan dibanding musim hujan. Dari sisi pendapatan diketahui bahwa fluktuasi harga kentang tidak selalu mengalami perubahan yang signifikan. Namun demikian kondisi iklim yang ekstrem memberikan konsekuensi pengeluaran pertanian yang lebih besar yaitu pada musim hujan untuk membeli pestisida dan pada musim kemarau untuk melakukan penyedotan air. Musim hujan cenderung berdampak negatif bagi penghasilan petani, sebaliknya pada musim kemarau petani dapat lebih untung. Pada saat pendapatan tinggi di musim kemarau petani dapat mengalokasikan pendapatannya dengan lebih leluasa baik untuk pengeluaran non pangan dan investasi. Ketika pendapatan menurun, di tingkat rumah tangga petani harus mengurangi konsumsi non pangan dan tidak ada investasi. Pada saat pendapatan turun beberapa kasus di rumah tangga hingga sampai menjual atau menyewakan aset utama berupa lahan pertanian, meningkatkan hutang, dan menurunkan konsumsi. 3. Dampak Sosial Sulitnya prediksi musim menjadi keniscayaan bagi petani untuk harus siap dan sedia menghadapi ketidakstabilan kondisi pertanian. Perubahan kondisi fisik pertanian menyebabkan berbagai perubahan dari aspek sosial. Sebelum tahun 2000-an tenaga kerja pertanian di Desa Batur kebanyakan berasal dari luar desa dan luar kecamatan. Seiring dengan perkembangan waktu dan pilihan bekerja di luar sektor pertanian tenaga kerja luar desa tersebut semakin susah didapatkan. Menghadapi kondisi sulitnya memperoleh tenaga kerja di tengah tuntutan keperluan tenaga kerja di musim-musim ekstrem, petani saling bekerjasama untuk menentukan giliran penggunaan tenaga kerja dengan sistem menunggu selesainya pekerjaan di lahan petani lain. Hal tersebut meningkatkan intensitas komunikasi antar petani yang mengolah lahan. Kondisi iklim yang tidak menentu menimbulkan kesadaran bagi petani terutama pada golongan muda untuk perlu memiliki wadah bersama guna membahas persoalan pertanian. Terdapat beberapa perkumpulan petani khususnya pada golongan muda diantaranya Asosiasi Penangkar Benih Kentang dan Komunitas Petani Kentang Dieng. Asosisasi Penangkar Benih Kentang anggotanya terdiri dari perkumpulan kelompok tani sejumlah 40 kelompok di Dataran Tinggi Dieng. Asosiasi penangkar benih kentang lahir sejak tahun 2009 sebagai wadah untuk menampung penangkar benih dan dapat mensertifikatkannya. Spesifikasi kegiatan asosiasi adalah dalam kegiatan pembenihan. Saat ini ada 17 orang penangkar yang berasal dari kelompok tani maupun perorangan. Selain kegiatan pembenihan asosiasi juga melepas benih yang sudah siap ke masyarakat petani jika benih layak dilepas. Komunikasi dengan petani terus dijalankan dan petani difasilitasi untuk memenuhi stok benih. Asosiasi bekerjasama dengan kelompok tani non-penangkar yang mengembangkan benih menjadi kentang konsumsi. Selain itu Asosiasi juga berhubungan erat dengan Dinas Pertanian dan Balai Penelitian Tanaman pangan BPTP. Asosiasi berdiri secara independen, belum berbadan hukum tetapi dilirik untuk dapat berdiri secara formal. Asosiasi pernah mengikuti Pekan Kentang Nasional dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Balitsa tahun 2008. Komunitas Petani Kentang Dieng KPKD berbentuk komunitas dalam jejaring sosial facebook yang terbentuk sejak tahun 2013. karena aktif di jejaring sosial facebook maka komunitas ini mengadakan pertemuan kopi darat setiap satu bulan sekali pada hari jumat legi selepas solat jumat. Komunitas memiliki ketua dan administrator yang mengurus facebook. Kegiatan kopi darat biasanya dihadiri sekitar 30 orang meliputi seluruh petani di Dataran Tinggi Dieng. Komunitas ini memiliki koordinator pada setiap desa di Dataran Tinggi Dieng. Meskipun dinamakan Komunitas Petani Kentang Dieng tapi keanggotaannya dapat diikuti secara terbuka oleh siapa pun di facebook dan saat ini sudah mencapai 1.700 anggota. Kegiatan yang dilakukan ketika kopi darat adalah diskusi seputar pertanian mulai dari kegiatan pra hingga pasca panen. Komunitas ini menjadi sarana tukar-menukar informasi antar petani kentang dari berbagai daerah. Komunitas ini disebutkan sebagai komunitas independen yang tidak tergabung dengan institusi apa pun termasuk pemerintah desa. Komunitas ini 95 diikuti oleh anak muda yang rata-rata bisa lebih kritis. Komunitas ini menjadi wadah untuk menyaring berbagai informasi sekaligus menjadi sarana untuk mengintorduksikan teknologi. Munculnya kelompok dan komunitas yang memiliki perhatian terhadap perubahan kondisi iklim merupakan peluang bagi upaya adaptasi supaya petani lebih resisten terhadap perubahan iklim. Namun demikian perkembangan kelompok-kelompok tersebut perlu diperhatikan dengan lebih mendalam karena anggota kelompok yang tergabung rata-rata adalah petani yang memiliki pendidikan tinggi dan terdedah media sosial. Bagi petani golongan menengah dan tua yang tidak terlalu paham dengan media sosial, perkumpulan terbatas pada kelompok tani. Secara umum terlihat bahwa perkumpulan-perkumpulan yang ada di masyarakat petani di Dataran Tinggi Dieng dapat menjadi sarana yang efektif bagi proses pertukaran informasi di antara petani. Pertukaran informasi tersebut penting karena menunjukkan tingkat keberdayaan petani. Hanya saja jangkauan perkumpulan yang ada baik kelompok tani, asosiasi benih, maupun komunitas petani kentang lebih mengarah pada petani yang menguasai lahan baik petani pemilik maupun penggarap. Artinya kelompok petani yang tidak menguasai