Adaptasi privat untuk kepentingan publik

subsistensi di mana resiko-resiko dihindari sebagai hal yang mengandung potensi bencana, sedangkan di luar batas itu berlaku kalkulasi laba yang bersifat borjuis. Bagi petani, jaminan terhadap krisis merupakan prinsip stratifikasi yang lebih aktif dibandingkan dengan penghasilan. Petani-petani dengan mobilitas ke bawah mungkin akan berusaha bertahan mati-matian pada garis batas di mana meraka menghadapi risiko kehilangan sebagian besar dari kepastian yang mereka miliki sebelumnya. Pada akhirnya petani akan melakukan strategi bertahan hidup demi mempertahankan kecukupan pada rumah tangganya. Terdapat tiga sebab utama mengapa petani melakukan strategi untuk bertahan yaitu: 1 fluktuasi- fluktuasi hasil karena sebab alami kerawanan ekologis; 2 fluktuasi-fluktuasi pasar dunia kerawanan harga; dan 3 fluktuasi hasil monokultur kerawanan monokultur. Untuk menghadapi fluktuasi tersebut petani melakukan empat strategi utama yaitu: 1 Self-help: pengandalan pada bentuk-bentk setempat dari usaha swadaya; 2 pPengandalan pada sektor ekonomi bukan petani; 3 pengandalan pada bentuk-bentuk patronase dan bantuan yang didukung oleh negara; 4 pengandalan pada struktur proteksi dan bantuan yang bersifat keagamaan atau oposisi. Keempat strategi bertahan hidup tersebut tidak bersifat eksklusif, artinya dapat berubah-ubah menurut waktu. Seorang petani bisa saja menggunakan keempat pola tersebut sekaligus. Strategi Penghidupan Rumah Tangga Konsep livelhood telah banyak digunakan dalam berbagai tulisan mengenai kemiskinan dan pembangunan pedesaan, namun demikian definisinya dapat bermacam-macam tergantung dari sumbernya. Livelihood memiliki makna kamus yaitu ‘cara hidup’ means of living. Ellis 2000 mengelaborasi definisi livelihood yaitu: A livelihood comprises the assets natural, physical, human, financial, and social capital, the activities, and the access to these mediated by institution and social relations that together determined the living gained by the individual or household. Konstruksi livelihood harus dilihat sebagai sebuah proses yang terus menerus dan tidak sama dari waktu ke waktu. Aset-asetnya dapat dibangun, berkurang, ataupun dapat rusak begitu saja. Hal tersebut juga dipengaruhi leh tren ekonomi yang lebih besar di level nasional dan bahkan level yang lebih luas. Begitupun akses terhadap aset sumberdaya dan kesempatan yang dapat berubah bagi individu maupun rumah tangga misalnya dipengaruhi oleh perubahan norma dan kelembagaan sosial. Selanjutnya Ellis 2000 memberikan gambaran mengenai kerangka kerja analisis livelihood pedesaan Gambar 4. Rumah tangga pedesaan merupakan unit sosial utama dalam kerangka analisis tersebut. Hal ini berarti penggunaan istilah “livelihood strategy” atau strategi penghidupan di mana rumah tangga sebagai unit sosialnya digunakan untuk melihat keberagaman aktivitas berdasarkan aset dan perubahan kondisi sekitarnya. Di pedesaan atau level komunitas, strategi penghidupan tunggal tidak dapat diaplikasikan, rumah tangga akan melakukan strategi-strategi yang berbeda berdasarkan aset dan status aksesnya terhadap aset tersebut. Ellis 2000 menyatakan bahwa pengertian livelihood berbeda dengan pendapatan income, namun demikian keduanya berkaitan erat karena pendapatan merupakan hasil dari livelihood yang paling dapat diukur. Ellis membagi income ke dalam tiga kelompok yaitu: 1 Farm income; 2 Off-farm income; 3 Non-farm income. Farm income merupakan pendapatan yang dihasilkan dari pertanian baik berasal dari lahan milik sendiri maupun lahan sewa dan bagi hasil. Off-farm income yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil harvest share system, kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. Non farm income yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang meliputi upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian, usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik misalnya: sewa, kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. A B C D E F Livelihood platform Acces modified by In context of Resulting in Composed of With Effects on Social relations Gender Class Age Ethnicity Trends Population Migration Technological change Relative prices Macro Policy National econ trends World econ trends NR-based activities Collection Cultivation food Cultivation non-food Livestock Non-farm NR Livelihood security Income level Income stability Seasonality Degrees of risk Assets Natural capital Physical capital Human capital Financial capital Social capital Institution Rules and customs Land tenure Market in practice Livelihood strategies Organisations Associations NGOs Local admin State agencies Shock Drought Floods Pests Diseases Civil war Non-NR-based rural trade other services rural manufacture remitances other transfers Env. Sustainability Soils and land quality Water Rangeland Forests Biodiversity Sumber: Ellis, 2000 Gambar 4 Kerangka kerja untuk analisa kebijakan mikro pada livelihood pedesaan Scoones 1998 juga telah membuat sebuah kerangka pemikiran mengenai livelihood yang menghubungkan antara kondisi, konteks, dan kecenderungan yang terjadi di masyarakat. Saleh 2014 menyatakan bahwa kerangka kerja Scoones dapat digunakan pada skala yang berbeda-beda baik individu, rumah tangga, organisasi kekerabatan, desa, daerah, atau bahkan negara. Berdasarkan kerangka kerja Scoones tersebut penghidupan yang berkelanjutan dapat dinilai pada level- level yang berbeda sesuai interaksi berbagai aspek. Kerangka kerja Scoone dapat dilihat pada Gambar 5 Scoones membagi strategi penghidupan menjadi tiga yaitu: 1 strategi intensifikasiekstensifikasi pertanian; 2 strategi diversifikasi pendapatan; 3 strategi migrasi. Oleh Scoones disebutkan bahwa rumah tangga dapat melakukan kombinasi kegiatan dan pilihan-pilihan yang dibuat untuk mencapai kesejahteraan. Strategi tersebut meliputi cara-cara rumah tangga merangkai berbagai kegiatan untuk memperoleh pendapatan, cara-cara memanfaatkan berbagai aset, pilihan aset untuk invesatsi dan bagaimana rumah tangga mempertahankan aset serta pendapatannya. Kerangka kerja Scoones tercantum pada gambar 5. Sumber: Scoones, 1998 Gambar 5 Kerangka kerja sustainable rural livelihoods Kerangka Pemikiran Asumsi dasar dari penelitian ini adalah: petani dataran tinggi telah dan sedang melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi, di sektor pertanian dampak besar yang dirasakan adalah perubahan siklusmusim kemarau dan penghujan, dan perubahan curah hujan. Kedua perubahan ini akan menimbulkan potensi tingginya kegagalan panen, selain itu petani akan kesulitan untuk menentukan waktu memulai bercocok tanam karena ketidakpastian musim kemarau dan musim hujan. Perubahan iklim dalam penelitian ini mengikuti pengertian IPCC 2007 bahwa perubahan iklim termasuk variabilitas iklim alami dan perubahan yang disebabkan faktor manusia antrophogenic seperti pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia. Pada sektor pertanian perubahan iklim dapat dicirikan dari perubahan temperatur dan kejadian iklim ekstrem. Kejadian perubahan iklim memberikan dampak bagi kehidupan pada aspek fisik dan ekologi, ekonomi, dan sosial. Dampak tersebut mempengaruhi rumah tangga dan komunitas berdasarkan lima aset yang dikuasai meliputi aset alam, aset manusia, aset keuangan, aset fisik, dan aset sosial. Akses terhadap aset –aset tersebut mempengaruhi strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi dalam menghadapi perubahan iklim. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng dipengaruhi oleh lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal meliputi lingkungna fisik yaitu pengelolaan lahan dan pemukiman, serta lingkungan sosial yang meliputi nilainorma, interaksi sosial, dan sistem ekonomi. Lingkungan eksternal terdiri dari dua hal yaitu proses kebijakan dan intervensi eksternal dalam proses-proses pembangunan yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi dalam menghadapi perubahan iklim mengarah pada adaptasi yang direncanakan planned adaptation Boer dan Kolopaking 2010 dalam Kolopaking 2011. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani dataran tinggi berkaitan dengan kerentanan mereka terhadap dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim. Diperkirakan petani dataran tinggi memiliki strategi adaptasi yang berkaitan dengan tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan dilihat berdasarkan tingkat keterpaparan exposure, tingkat sensitivitas sensitivity, dan kapasitas adaptif adaptive capacity. Keberhasilan strategi adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga petani dapat menjadi pendukung bagi penguatan kelembagaan adaptasi petani di tingkat lokal dan mendukung keberlanjutan strategi penghidupan pada rumah tangga petani. Keberlanjutan strategi penghidupan dapat terjadi apabila strategi adaptasi perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh rumah tangga petani dapat melihat aspek pengurangan resiko terhadap perubahan iklim dan dapat meningkatkan peluang dari kejadian yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. Gambaran mengenai alur kerangka berpikir penelitian ini tercantum pada Gambar 6. Keterangan: Mempengaruhi Saling terkait Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian strategi adaptasi perubahan iklim petani dataran tinggi Strategi penghidupan berkelanjutan  Mengurangi resiko  Meningkatkan peluang RT Petani Dataran Tinggi Strategi adaptasi perubahan iklim  Antisipatif  Otonom  Terencana Lingkungan internal  Lingkungan fisik: pengelolaan lahan dan pemukiman  Lingkungan sosial: nilainorma, interaksi sosial, sistem ekonomi Lingkungan eksternal  Proses Kebijakan  Intervensi eksternal Kerentanan  Keterpaparan exposure  Sensitivitas sensitivity  Kapasitas Adaptif adaptive capacity Aset Alam Sosial Manusia Keuangan Fisik Perubahan iklim IPCC, 2007: variabilitas iklim alami, antrophogenic pertumbuhan penduduk dan aktvitas manusia RTKomunitas Perubahan iklim sektor pertanian: perubahan temperatur dan kejdian iklim ekstrem Dampak perubahan iklim: 1. Fisik dan ekologi 2. Ekonomi 3. Sosial METODOLOGI Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-interpretatif yang dikuatkan dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif mengandalkan grounded research dan fenomenologi untuk melihat interpretasi-konstruktif dari tineliti mengenai pemaknaan atas fenomena perubahan iklim yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didukung dengan melakukan wawancara mendalam in-depth interview dan wawancara terstruktur. Wawancara mendalam berguna untuk memperoleh datainfomasi tentang pengalaman, pendapat-reflektif, perasaan, pemaknaanpemahaman subjektif k atas berbagai hal terkait dengan proses-proses adaptasi yang terjadi pada petani dataran tinggi dalam menghadapi perubahan iklim. Juga memperoleh data bagaimana upaya adaptasi tersebut dilakukan supaya bisa melembaga dan mampu mendukung kebijakan di tingkat daerah. Sumber datainformasi dalam hal ini adalah resource persons tokoh masyarakat, pemerintah desa, panutan masyarakat yang bertindak atas nama dirinya sendiri maupun atas nama masyarakat luas menceritakan apa yang terjadi pada masyarakat dimana resource person menjadi bagiannya. Prinsip penelitian fenomenologi yang dipilih sebagai teknik kajian untuk memahami proses pengorganisasianperencanaan strategi adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani di dataran tinggi. Wawancara mendalam akan digunakan untuk menggali informasi dari tineliti subjekorang yang diteliti. Tineliti menceritakan pandangannya dan pendapatnya tanpa intervensi dan interpretasi sedikitpun dari peneliti. Wawancara terstruktrur structured interview mengacu pada situasi ketika seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap responden dengan kategori jawaban tertentuterbatas Fontana dan Frey 1997. Peneliti menyediakan sedikit ruang bagi variasi jawaban, kecuali jika menggunakan metode pertanyaan terbka open-ended question yang tidak menuntut keteraturan. Jawaban untuk setiap pertanyaan dicatat berdasarkan skema kode coding scheme. Penggunaan wawancara terstruktur adalah untuk meminimalisasi kesalahan-kesalahan. Dalam setting wawancara terstruktur hanya ada sedikit kelenturan flexibility terkait dengan cara pertanyaan seharusnya disampaikan atau bagaimana jawaban diberikan. Wawancara terstruktur dengan kuesioner ini dilakukan untuk menilai kerentanan rumah tangga petani terhadap perubahan iklim. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Dataran Tinggi Dieng di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian menganalisa wilayah Dataran Tinggi Dieng sebagai satu kawasan yang terdiri dari 8 Desa yaitu Desa Batur, Desa Sumberejo, Desa Pekasiran, Desa Kepakisan, Desa Karang Tengah, Desa Bakal, Desa Pesurenan, dan Desa Dieng Kulon. Kemudian untuk menganalisa kondisi spesifik desa diambil studi kasus di Desa Batur. Selain itu, penelitian juga dilakukan di berbagai SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kabupaten Banjarnegara yang meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda, Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November-Desember tahun 2014. Unit Analisis dan Subjek Penelitian Unit analisis utama dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani di Desa Batur, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara yang terletak di Dataran Tinggi Dieng. Rumah tangga dikelompokkan berdasarkan tipe penguasaan lahan yang terdiri dari rumah tangga yang tidak menguasai lahan 0 ha, rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,1 ha ≤ x 0,3 ha, rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,3 ha ≤ x 0,5 ha, rumah tangga dengan penguasaan lahan 0,5 ha ≤ x 1 ha, dan rumah tangga dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha. Unit analisis pendukungnya terdiri dari kelembagaan petani yang terdapat di tingkat komunitas, desa, maupun daerah yang meliputi Kelompok Tani di Desa Batur, Asosiasi Penangkar Benih Kentang Dieng, Komunitas Petani Kentang Dieng, Pemerintah Desa Batur, Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD di Kabupaten Banjarnegara yang meliputi Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjarnegara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara, Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara, dan lembaga pemerintah non-departemen yaitu Badan Penanggunalan Bencana Daerah BPBD Kabupaten Banjarnegara, dan penyuluh pertanian. Subjek penelitian sesuai dengan unit analisis ini dipilih berdasarkan teknik purposive sampling sesuai dengan kriteria penguasaan lahan. Metode purposive sampling diberlakukan dengan mempertimbangkan kriteria dari responden yang diwawancarai yaitu sebagai responden yang diharapkan bisa tahu mengenai informasi yang diharapkan oleh peneliti. Total rumah tangga yang menjadi subjek penelitian adalah 30 rumah tangga dan subjek dari unit analisis pendukung terdiri dari 16 orang. Rincian subjek penelitian tersebut tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Subjek penelitian dari unit analisis utama dan unit analisis pendukung No Unit Analisis Jumlah 1 Rumah tangga non penguasa lahan 8 rumah tangga 2 Rumah tangga penguasa lahan 0,1 ha ≤ x 0,3 ha 7 rumah tangga 3 Rumah tangga penguasa lahan 0,3 ha ≤ x 0,5 ha 5 rumah tangga 4 Rumah tangga penguasa lahan 0,5 ha ≤ x 1 ha 5 rumah tangga 5 Rumah tangga penguasa lahan ≥ 1 ha 5 rumah tangga 6 Kelompok Tani 4 orang 7 Asosiasi Penangkar Benih Kentang Dieng 1 orang 8 Pemerintah Desa Batur 1 orang 9 Bappeda Kabupaten Banjarnegara 3 orang 10 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara 1 orang 11 Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara 1 orang 12 Badan Penanggulangan Bencana Daerah 1 orang 13 Penyuluh pertanian Kecamatan Batur 1 orang Skor kumulatif per variabel = Jumlah skor sub variabel Jumlah skor tertinggi sub variabel Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara dan observasi langsung, sedangkan data sekunder berasal dari literatur, dokumen, film, dan data-data statistik yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Data penelitian berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif bersumber dari hasil wawancara, literatur, dokumen, film, dan sumber yang relevan. Sedangkan data kuantitatif utama dalam penelitian bersumber dari dari data statistik berupa data Kecamatan Batur Dalam Angka Periode Tahun 1990-2014. Data kuantitatif lainnya diperoleh dari sumber literatur pendukung yang sesuai dengan konteks penelitian. Pengolahan dan Analisis Data Analisis data mengikuti tahapan analisis yang digagas oleh Huberman dan Miles 1997 dimana analisis data menggunakan model interaktif dan penyajian datanya bersifat sekuensial dan interaktif. Analisis data meliputi tiga subproses yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan keputusanverifikasi.

1. Reduksi data

Reduksi data berarti bahwa kesemestaan potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris. Hasil catatan lapangan, wawancara, serta data pendukung yang tersedia dalam penelitian ini dirangkum data summary, pengodean coding, merumuskan tema-tema, pengelompokan clustering, dan penyajian cerita secara tertulis. Hasil catatan lapangan dari penelitian ini dirangkum dan dikelompokkan, kemudian dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil wawancara terstruktur terutama untuk mengetahui kerentanan rumah tangga petani terhadap perubahan iklim di-coding sesuai dengan panduan kuesioner lihat lampiran 7 kemudian dilakukan skoring. Skoring dari setiap variabel keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi dihitung mean rata-rata dari setiap komponennya. Kemudian hasil rataan tersebut dinilai selisihnya antara nilai terendah dan nilai tertinggi yang kemudian dibagi 5 sesuai dengan golongan penguasaan lahan di tingkat rumah tangga petani. Selanjutnya mengikuti Boer 2010, kerentanan diklasifikasikan dalam tipologi rendah, sedang menengah dan tinggi. Tingkat kerentanan = Skor Keterpaparan x Skor Sensitivitas Skor Kapasitas Adaptasi

2. Penyajian data

Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk teks naratif berupa deskripsi dari semua informasi yang diperoleh di lapangan. Data juga disajikan dalam bentuk gambar, diagram, dan matriks. Sajian data dan kesimpulannya saling memengaruhi satu sama lain. Penyajian data hasil analisis merupakan perpaduan dari rangkuman hasil penelitian di lapangan, keterhubungan dengan teks analitik, dan hasil analisis sebagaimana digambarkan pada Gambar 7. Sumber: Huberman dan Miles 1997 Gambar 7 Alur analisis data penelitian

3. Verifikasi

Tahapan verifikasi dilakukan terus menerus sesuai dengan data yang ditemukan serta dilakukan pengecekan ulan untuk memastikan keabsahan hasil temuan. PENYAJIAN DATA TEKS ANALITIK Mengajukan analisis ulang Memadukan atau mengelaborasi Melakukan perbandingan Memahami dan memahamkan Merangkum Melihat tema, pola, atau kelompok Menemukan hubungan Mengembangkan penjelasan 4 DATARAN TINGGI DIENG DARI MASA KE MASA Sejarah dan Legenda Dataran Tinggi Dieng Kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan kawasan bernilai budaya tinggi dan merupakan salah satu pusat kebudayaan hindu pada masanya. Supeno et al 2014 menjelaskan bahwa sekitar abad ke-8 Masehi Dinasti Wangsa Sanjaya membangun situs percandian di komplek Dataran Tinggi Dieng. Candi Dieng dibangun khusus untuk peribadatan umat hindu dan berlokasi di lembah Dataran Tinggi Dieng yang subur. Dikutip dari Pemerintah Kabupaten Banjarnegara 2012 banyak peninggalan masa hindu di komplek candi berupa arca dewa seperti Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha, dan lain-lain. Masyarakat setempat menamai candi dengan nama tokoh pewayangan pada cerita Mahabarata seperti Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, Candi Bima, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, dan Candi Puntadewa. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama-namanya diberikan setelah bangunan candi tidak digunakan lagi sekitar abad ke-9 Masehi. Bangunan candi-candi di Dieng disusun dari batu jenis andeshif. Batu-batu tersebut berasal dari gunung Pakuaja, yaitu sebuah gunung yang berada di sebelah selatan kompleks candi Soehadha 2013. Candi dan prasasti yang ada di kawasan Dieng dianggap sebagai bangunan historis paling awal yang ditemukan di Jawa. ”Peradaban Dieng” telah mengalami sivilisasi dan historisasi masif dan luas hingga membentuk ”mata air” peradaban Nusantara. Ragam artefak dan prasasti itu menjadi bukti arkeologis hingga posisi Dieng dianggap sebagai ”poros peradaban” Jawa. ”Peradaban Dieng” diduga melahirkan wangsa-wangsa besar yang menguasai Jawa dalam bentuk kerajaan, yakni Wangsa Syailendra dan Sanjaya arkeologi.web.id. Soehadha 2013 menjelaskan bahwa Dieng masa lalu merupakan salah satu pusat peradaban Hindu. Masyarakat Dieng pada waktu itu menganut agama Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Setelah masuknya pengaruh Islam yang dibawa oleh para wali di Jawa, secara berangsur masyarakat Dieng menganut Islam. Meskipun sudah menganut Islam, namun religiusitas masyarakat masih diwarnai dengan praktek ritual bernuansa Hindu yang kental. Salah satu ritual bernuansa Hindu yang masih dilaksanakan masyarakat adalah ritual ruwatan anak berambut gimbal. Menurut keyakinan masyarakat Dieng, tumbuhnya rambut gimbal pada anak-anak di Dieng dianggap sebagai fenomena yang hanya dialami oleh penduduk di sekitar Dataran Tinggi Dieng. Anak berambut gimbal atau dikenal dengan sebutan anak Bajang dipercaya oleh masyarakat keturunan dari pemuka masyarakat Dieng pada era Kerajaan Mataram Kuno yang dipanggil Kyai Kolodete. Pada mulanya anak-anak berambut gimbal ini lahir normal sebagaimana anak-anak lain pada umumnya, namun pada satu waktu mengalami demam tinggi dan rambutnya menjadi gimbal. Anak gimbal dianggap memiliki keistimewaan dan segala keinginannya harus dituruti karena merupakan kehendak dari leluhur. Menurut Soehadha 2013 terdapat dua pendapat berbeda tentang penyebab terjadinya rambut gimbal menurut penafsiran masyarakat setempat. Sebagian percaya bahwa tumbuhnya rambut gimbal disebabkan oleh pengaruh makhluk halus yang merasuki jiwa anak-anak sebagai bagian dari pengaruh Tumenggung Kolo Dete. Sebagian masyarakat yang lain menganggap bahwa penyebab tumbuhnya rambut gimbal disebabkan oleh pengaruh cuaca atau gejala alam dan kebiasaan masyarakat yang malas menyisir rambut. Penelitian Damayanti 2011 memberikan interpretasi bahwa anggapan masyarakat mengenai keistimewaan perilaku anak gimbal sebagai keturunan leluhur Ki Kolodete dapat diputus ketika diadakan upacara ruwat potong rambut. Perilaku-perilaku yang melekat pada anak gimbal akan hilang setelah rambutnya dipotong. Pemahaman tentang ruwat ini menghasilkan dua terminologi prosesi ruwat Soehadha 2013. Pertama, ruwat rambut gimbal merupakan ritual murni yang berangkat dari keyakinan masyarakat Dieng bahwa anak berambut gimbal adalah anak istimewa yang patut disyukuri dengan cara melaksanakan ruwat pada waktu rambutnya hendak dipotong. Keyakinan ini cukup ekstrem bahwa anak- anak rambut gimbal merupakan penjelmaan roh-roh gaib pada anak berambut gimbal. Kedua, rambut gimbal merupakan gejala patologis yang bersumber dari faktor genetikketurunan. Sebagai bentuk penghormatan kepada pendahulu, warga Dieng melaksanakan satu bentuk ritual khas bernuansa lokal dalam bentuk syukuran keluarga. Gesekan dua terminologi ruwat inilah yang saat ini membawa tradisi ruat keluarga menjadi ruwat publik yang berorientasi pada pasar wisata Dieng. Ruwat rambut gimbal telah dilakukan secara masal melalui kegiatan wisata yang secara khusus didesain dalam bentuk festival. Kekhasan sejarah dan legenda yang ada di Dataran Tinggi Dieng tersebut memberikan suatu kenyataan bahwa proses sosial, ekonomi, maupun kondisi ekologi yang ada saat ini merupakan bagian dari proses panjang pemahaman masyarakat tentang dari mana asal-usul mereka. Bangunan candi dan kepercayaan masyarakat Dieng mengenai tradisi-tradisi lokal mereka merupakan bagian diri sisi religiusitas orang jawa yang menunjukkan kekhasan perilaku masyarakat Dataran Tinggi Dieng. Sebagaimana Geertz 1993 menyatakan bahwa kepercayaan orang jawa meliputi tatanan kosmis mengenai keterhubungan antara kepercayaan agama dengan perilaku di dunia nyata sehari-hari. Masyarakat di Dataran Tinggi Dieng sebagaimana orang jawa pada umumnya menggunakan konsep rasa Geertz 1993 yang meliputi “akal-rasa-perasaan-makna” sense- taste-feeling-meaning untuk melihat setiap gejala yang terjadi di lingkungannya. Kondisi Geografis dan Iklim Dataran Tinggi Dieng dan Lokasi Penelitian Desa Batur Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang terlingkup dalam penelitian ini terletak di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Terdiri dari delapan desa yaitu Batur 1.212,14 ha, Sumberejo 792,93 ha, Pesurenan 154,42 ha, Bakal 484,85, Dieng Kulon 337,85 ha, Karangtengah 488,81 ha, Kepakisan 526,88 ha, dan Pekasiran 719,22 ha. Desa dengan area paling luas adalah Desa Batur yang menjadi lokasi spesifik dari penelitian ini. Ketinggian kawasan Dataran Tinggi Dieng ini berkisar antara 1.609 mdpl di Desa Sumberejo hingga 2.093 mdpl di Desa Dieng Kulon. Secara geografis Kecamatan Batur terletak di bagian utara dan timur wilayah Kabupaten Banjarnegara dengan batas wilayah sebagai berikut: