Dampak Fisik dan Ekologi

membahas persoalan pertanian. Terdapat beberapa perkumpulan petani khususnya pada golongan muda diantaranya Asosiasi Penangkar Benih Kentang dan Komunitas Petani Kentang Dieng. Asosisasi Penangkar Benih Kentang anggotanya terdiri dari perkumpulan kelompok tani sejumlah 40 kelompok di Dataran Tinggi Dieng. Asosiasi penangkar benih kentang lahir sejak tahun 2009 sebagai wadah untuk menampung penangkar benih dan dapat mensertifikatkannya. Spesifikasi kegiatan asosiasi adalah dalam kegiatan pembenihan. Saat ini ada 17 orang penangkar yang berasal dari kelompok tani maupun perorangan. Selain kegiatan pembenihan asosiasi juga melepas benih yang sudah siap ke masyarakat petani jika benih layak dilepas. Komunikasi dengan petani terus dijalankan dan petani difasilitasi untuk memenuhi stok benih. Asosiasi bekerjasama dengan kelompok tani non-penangkar yang mengembangkan benih menjadi kentang konsumsi. Selain itu Asosiasi juga berhubungan erat dengan Dinas Pertanian dan Balai Penelitian Tanaman pangan BPTP. Asosiasi berdiri secara independen, belum berbadan hukum tetapi dilirik untuk dapat berdiri secara formal. Asosiasi pernah mengikuti Pekan Kentang Nasional dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Balitsa tahun 2008. Komunitas Petani Kentang Dieng KPKD berbentuk komunitas dalam jejaring sosial facebook yang terbentuk sejak tahun 2013. karena aktif di jejaring sosial facebook maka komunitas ini mengadakan pertemuan kopi darat setiap satu bulan sekali pada hari jumat legi selepas solat jumat. Komunitas memiliki ketua dan administrator yang mengurus facebook. Kegiatan kopi darat biasanya dihadiri sekitar 30 orang meliputi seluruh petani di Dataran Tinggi Dieng. Komunitas ini memiliki koordinator pada setiap desa di Dataran Tinggi Dieng. Meskipun dinamakan Komunitas Petani Kentang Dieng tapi keanggotaannya dapat diikuti secara terbuka oleh siapa pun di facebook dan saat ini sudah mencapai 1.700 anggota. Kegiatan yang dilakukan ketika kopi darat adalah diskusi seputar pertanian mulai dari kegiatan pra hingga pasca panen. Komunitas ini menjadi sarana tukar-menukar informasi antar petani kentang dari berbagai daerah. Komunitas ini disebutkan sebagai komunitas independen yang tidak tergabung dengan institusi apa pun termasuk pemerintah desa. Komunitas ini 95 diikuti oleh anak muda yang rata-rata bisa lebih kritis. Komunitas ini menjadi wadah untuk menyaring berbagai informasi sekaligus menjadi sarana untuk mengintorduksikan teknologi. Munculnya kelompok dan komunitas yang memiliki perhatian terhadap perubahan kondisi iklim merupakan peluang bagi upaya adaptasi supaya petani lebih resisten terhadap perubahan iklim. Namun demikian perkembangan kelompok-kelompok tersebut perlu diperhatikan dengan lebih mendalam karena anggota kelompok yang tergabung rata-rata adalah petani yang memiliki pendidikan tinggi dan terdedah media sosial. Bagi petani golongan menengah dan tua yang tidak terlalu paham dengan media sosial, perkumpulan terbatas pada kelompok tani. Secara umum terlihat bahwa perkumpulan-perkumpulan yang ada di masyarakat petani di Dataran Tinggi Dieng dapat menjadi sarana yang efektif bagi proses pertukaran informasi di antara petani. Pertukaran informasi tersebut penting karena menunjukkan tingkat keberdayaan petani. Hanya saja jangkauan perkumpulan yang ada baik kelompok tani, asosiasi benih, maupun komunitas petani kentang lebih mengarah pada petani yang menguasai lahan baik petani pemilik maupun penggarap. Artinya kelompok petani yang tidak menguasai lahan atau buruh tani masih tersisih darielum mau masuk dalam perkumpulan yang ada. Hal ini tidak terjadi begitu saja namun bagi mereka yang menjadi buruh tani lebih sibuk untuk mencari sumber penghidupan dibanding menghabiskan waktu untuk berkumpul. Kerentanan Petani Terhadap Perubahan Iklim Kerentanan petani terhadap perubahan iklim dalam penelitian ini terkait erat dengan kondisi penguasaan lahan di tingkat rumah tangga. Petani di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan penguasaan lahannya terkategori menjadi petani yang tidak menguasai lahan, petani dengan penguasaan lahan antara 0,1 ha ≤ x 0,3 ha, petani dengan penguasaan lahan antara 0,3 ha ≤ x 0,5 ha, petani dengan penguasaan lahan antara 0,5 ha ≤ x 1 ha, dan petani dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha. Kondisi penguasaan lahan tersebut dihubingkan dengan representasi lima modal utama yang dapat diakses oleh rumah tangga petani sesuai dengan penguasaan lahan pertaniannya dengan merujuk livelihood framework Chambers dan Conway 1991. Modal yang dimaksud meliputi modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial, dan modal sumberdaya alam. Modal manusia yang dimaksud meliputi kapasitas pengetahuan dan keterampilan petani dalam melakukan praktek-praktek pertanian sekaligus tingkat pendidikan yang memungkinkan mereka masuk ke sektor non pertanian. Petani di Dataran Tinggi Dieng saat ini masih didominasi oleh golongan umur tua dengan pendidikan maksimal Sekolah Dasar atau pada masanya disebut Sekolah Rakyat SR. Pada perkembangannya karena situasi pertanian kentang yang sangat menguntungkan maka usaha tani tersebut diturunkan kepada anak-anaknya yang saat ini menjadi petani muda. Sumberdaya petani yang terdiri dari anak-anak muda tersebut tingkat pendidikannya sudah lebih tinggi minimal di Sekolah Menengah Pertama SMP. Ada juga generasi muda yang mengenyam bangku perkuliahan S1 dan S2 yang memutuskan menjadi petani. Hal ini menjadi peluang bahwa sumberdaya manusia petani ke depan khususnya dalam pertanian hortikutura akan semakin baik. Keterkaitan petani satu sama lain merupakan salah satu bentuk modal sosial yang dimiliki oleh petani. Keterkaitan tersebut membuka informasi bagi petani satu sama lain untuk mengetahui berbagai hal terkait pertaian. Modal sosial terbentuk karena interaksi yang terus menerus dan bahkan di beberapa kasus hingga mewujudkan perkumpulan petani maupun organisasi. Perkumpulan dilakukan secara informal untuk membicarakan perihal pertanian dalam berbagai situasi misalnya ketika bertemu secara tidak sengaja di jalan maupun saling mengunjungi satu sama lain atau disebut dengan istilah ngendong bertamu. Perkumpulan tidak hanya terwujud secara nyata tatap muka namun juga di golongan muda muncul komunitas virtual yang membahas tentang pertanian kentang, komunitas tersebut melakukan aktivitas di jejaring sosial facebook dengan nama komunitas Petani Kentang Dieng PKD. Interaksi yang mewujud menjadi organisasi adalah tumbuhnya kelompok tani dan asosiasi penangkar benih kentang. Menariknya modal sosial tersebut cenderung menjadi modal yang paling kuat yang dimiliki oleh petani pada berbagai tingkat penguasaan lahan. Meskipun bentuk jaringannya berbeda antara satu petani dengan petani lainnya namun setiap aktivitas petani ditentukan dari intensitas interaksi dengan orang lain. Seorang petani penguasa lahan akan lebih mudah mendapatkan pestisida jika kenal dengan pedagangnya atau pun memperoleh informasi mengenai jenis pestisida yang tepat dari tetangganya. Buruh tani akan lebih mudah memperoleh pekerjaan jika sering berinteraksi dengan buruh lainnya maupun dengan penguasa lahan karena informasi yang didapatkan semakin lancar. Artinya modal sosial dari proses interaksi petani dengan berbagai pihak menentukan proses sampainya informasi ke tangan petani. Bagi petani selain modal manusia dan modal sosial, modal fisik juga menjadi penentu keberlangsungan kegiatan pertanian. Jenis modal fisik yang menjadi aset penduduk yang bergerak di bidang pertanian meliputi berbagai sarana produksi pertanian. Petani dengan penguasaan lahan 0,5 ha – 1 ha dan di atas 1 ha memiliki jenis modal fisik yang lebih beragam dan kuantitasnya lebih banyak. Biasanya petani tersebut memiliki mesin genset, bak pengangkut hasil panen, bahkan petani memiliki gudang, garasi, motor dan mobil yang diperuntukkan bagi kegiatan pertanian. Jenis modal fisik lain yang dimiliki juga meliputi sarana produksi pertanian lainnya, seperti cangkul, sabit, penyemprot pestisida, bak penampung air, dan sepatu lahan. Untuk jenis sarana produksi pertanian yang harganya tidak terlalu mahal biasanya hampir dimiliki oleh seluruh petani. Apabila jenis modal fisik tersebut tidak dimiliki, petani dengan sumber finansial yang cukup memungkinkan untuk melakukan penyewaan. Sumber finansial yang cukup merupakan modal penting bagi keberlangsungan hidup petani, baik untuk memastikan kebutuhan dasar rumah tangga terpenuhi maupun untuk modal pertanian. Besar dan sumber pendapatan rumah tangga menjadi penentu bagi besaran modal finansial yang dimiliki. Petani dengan kepemilikan lahan lebih dari 1 ha rata-rata memiliki kemampuan finansial yang lebih tinggi dan memiliki investasi berupa tabungan. Petani dengan kepemilikan lahan di atas 1 ha juga memiliki akses yang lebih besar apabila ingin melakukan pinjaman ke lembaga keuangan bank karena memiliki jaminan yang layak. Sebaliknya bagi petani dengan kepemilikan lahan di bawah 0,3 ha kondisi finansialnya berada di posisi tidak aman dan sangat rentan dengan defisit. Keempat modal yang telah disebutkan menjadi penentu bagi kerentanan petani terhadap perubahan iklim. Modal selanjutnya adalah modal sumber daya alam. Bagi rumah tangga petani modal sumber daya alam yang paling penting adalah lahan pertanian. Posisi tawar petani ditentukan oleh lahan pertanian dengan empat karakterstik yaitu luas lahan, jarak lahan dari sumber air, jarak lahan dari jalan raya atau jalan usaha tani, dan posisi kelerengan lahan. Semakin luas lahan pertanian yang dikuasai petani mengindikasikan bahwa akses petani tersebut terhadap sumber daya alam semakin besar. Hal tersebut berdampak pada keleluasaan pengolahan serta menentukan besarnya sumber pendapatan rumah tangga. Jarak lahan dengan sumber air menentukan besaran usaha dan biaya yang dibutuhkan ketika menghadapi bencana iklim kekeringan. Jarak lahan dengan jalan raya atau jalan usaha tani menentukan kemudahan akses petani ke lahan baik untuk aktivitas budidaya maupun panen. Lahan yang dekat dengan jalan raya maupun jalan usaha tani juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga pemiliknya memiliki posisi tawar yang lebih menguntungkan. Selain luas dan jarak, posisi kelerengan lahan juga penting bagi petani. Posisi lahan di lereng yang miring lebih rawan terhadap kondisi iklim terutama saat musim hujan karena rentan dengan bahaya erosi. Sebaliknya posisi lahan di lokasi yang datar memberikan kemudahan dalam proses pengolahannya. Berdasarkan kondisi lima modal di tingkat rumah tangga petani tersbeut, ditemukan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani maka nilai akses terhadap modal relatif lebih tinggi. Pada Gambar 14 tergambarkan bahwa petani dengan penguasaan lahan ≥ 1 ha memiliki akses yang lebih leluasa terhadap modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial, dan modal sumberdaya alam. Sebaliknya bagi yang tidak menguasai lahan modal yang dapat diandalkan adalah modal sosial dan modal manusia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kekhawatiran atas kerentanan terhadap perubahan iklim lebih tinggi bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan dan juga petani dengan lahan sempit. Sumber: Data Primer 2014 Gambar 14 Karakteristik Modal Petani Berdasarkan Luas Penguasaan Lahan Sesuai dengan kondisi akses terhadap lima modal utama yang telah disebutkan diketahui keterkaitan antara karakteristik rumahtangga petani berdasarkan penguasaan lahan dengan tiga aspek utama kerentanan berdasarkan definisi IPCC 2007 bahwa kerentanan berkaitan dengan tiga hal utama yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif masyarakat. Berdasarkan akses petani terhadap lima modal utama Gambar 11 terpetakan aspek kerentanan petani terhadap perubahan iklim sesuai dengan penguasaan lahan pertanian pada tingkat rumah tangga.

1. Tingkat Keterpaparan exposure

0.5 1

1.5 2

2.5 3

3.5 4

Modal Manusia Modal Sosial Modal Fisik Modal Finansial Modal Sumberdaya Alam Tidak Menguasai Lahan 0,1 ha ≤ x ≤ 0,3 ha 0,3 ha ≤ x ≤ 0,5 ha 0,5 ha ≤ x ≤ 1 ha ≥ 1 ha Kolopaking 2011 merumuskan dua indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keterpaparan dan relevan diterapkan pada rumah tangga petani di dataran tinggi. Indikator pertama adalah kedekatan properti atau sumber mata pencaharian keluarga meliputi rumah, lahan pertanian, sumber mata pencaharian dan properti lainnya terhadap pusat bencana banjir, bahaya longsor, dan kekeringan. Indikator kedua berhubungan dengan upaya atau langkah- langkah penanganan bencana yang sudah dilakukan dan tingkat keberhasilan efektivitas upaya yang dilakukan dalam mengurangi besarnya dampak. Kawasan Dataran Tinggi dieng merupakan kawasan yang telah terpapar kejadian perubahan iklim. Peningkatan curah hujan pada saat bulan basah menyebabkan intensitas kejadian longsor semakin tinggi, sebaliknya pada musim kemarau terjadi kekeringan yang mengancam aktivitas pertanian. Diketahui bahwa mayoritas penduduk di Dataran Tinggi Dieng bergantung pada sektor pertanian lahan kering berupa pertanian kentang yang memerlukan perlakuan khusus dalam menghadapi kondisi iklim. sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa lokalitas perubahan iklim di Dataran Tinggi Dieng terkait dengan lima kejadian iklim utama yaitu curah yang ekstrem, situasi kekeringan, angin ribut, suhu ekstrem, dan iklim yang sulit diprediksi. Kondisi iklim tersebut memberikan paparan bagi rumah tangga pertanian terutama paparan bagi rumah tempat tinggal, sumber mata pencaharian, lahan pertanian, aset bergerak, dan aset tidak bergerak. Aset bergerak meliputi kendaraan, traktor, dan alat-alat pertanian seperti genset, mesin penyemprot, dan lain-lain. Aset tidak bergerak meliputi gudang penyimpanan hasil panen kentang dan kios. Prediksi dan penjelasan historis mengenai kondisi iklim di Dataran Tinggi Dieng menunjukkan bahwa ancaman perubahan iklim yang terberat yang dialami oleh petani adalah curah hujan yang tinggi dan ancaman kekeringan di musim kemarau. Ancaman iklim tersebut memberikan paparan yang relatif sama bagi keseluruhan wilayah di Dataran Tinggi Dieng dengan karakteristik kawasan yang sama. Tingkat paparan menjadi berbeda jika diperdalam di tingkat rumah tangga. Meskipun di wilayah yang terpapar dengan perubahan iklim namun di tingkat rumah tangga ada yang masuk kategori rentan dan tidak rentan. Hal ini dinilai berdasarkan status penguasaan lahan pada lima kategori rumah tangga. Lima kategori rumah tangga petani di Dataran Tinggi Dieng seluruhnya terpapar oleh dampak perubahan iklim. Perbedaannya adalah rumah tangga dengan penguasaan lahan semakin sedikit atau bahkan tidak menguasai lahan memiliki tingkat keterpaparan yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan efektifitas penanganan dampak keterpaparan perubahan iklim yang lebih rendah dibanding rumah tangga penguasa lahan yang memiliki aset. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa meskipun keterpaparan berkaitan erat dengan properti yang dikuasai di tingkat rumah tangga, namun keterpaparan tersebut dapat direduksi apabila rumah tangga memiliki efektifitas yang baik terhadap penanganan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Tabel 18 Aspek keterpaparan terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun 2014 No Aspek Keterpaparan Tidak Menguasai Lahan 0,1 ha ≤ x 0,3 ha 0,3 ha ≤ x 0,5 ha 0,5 ha ≤ x 1 ha ≥ 1 ha 1 Rumah tempat tinggal Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang 2 Lahan pertanian Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 3 Sumber mata pencaharian Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang 4 Aset bergerak Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang 5 Aset tidak bergerak Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang Efektifitas penanganan Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tingkat Keterpaparan Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah Sumber: Data Primer 2014 Keterangan: diperoleh dari skoring variabel keterpapararan

2. Tingkat Sensitivitas

Tingkat sensitivitas menunjukkan derajat suatu sistem yang terpengaruh oleh perubahan iklim dan bagaimana sistem tersebut mampu responsif dengan perubahan. Sistem berkaitan dengan konteks sosial dan ekonomi dari area yang terkena dampak. Perubahan iklim memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kelompok rumah tangga di Dataran Tinggi Dieng, hal tersebut dikarenakan perbedaan tingkat sensitivitas terhadap ancaman iklim. rumah tangga dengan kategori non-penguasa lahan atau yang mayoritas menjadi buruh tani merupakan kelompok yang paling sensitif terhadap ancaman perubahan iklim. Kelompok non-penguasa lahan memiliki ancaman yang tinggi akibat kehilangan mata pencaharian, tidak memiliki jaminan keamanan berupa asuransi, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, dll, kerusakan properti rumah tangga, tidak memiliki investasi maupun tabungan, juga rendahnya akses terhadap informasi. Sebaliknya bagi petani dengan penguasa lahan, semakin luas lahan yang dikuasai petani semakin memiliki jaminan keamanan berupa asuransi, pendidikan yang lebih baik, ada investasi dan tabungan, akses informasi lebih terbuka, dan kemungkinan mobilitas lebih tinggi. Pada kasus petani di dataran tinggi, tingkat sensitivitas tersebut berkaitan dengan 9 aspek yaitu sumber pendapatan utama pertanian, sumber pendapatan sampingan, pengeluaran rumah tangga, investasitabungan rumah tangga, kondisi keamanantingkat kriminalitas, perubahan lingkunganekosistem, sumber air bersih untuk keluarga, akses air bersih ketika terjadi bencana iklim, dan sumber air untuk pertanian . Tabel 19 Aspek sensitivitas terhadap perubahan iklim per kategori rumah tangga berdasarkan penguasaan lahan di Dataran Tinggi Dieng tahun 2014 No Aspek sensitivitas Tidak Menguasai Lahan 0,1 ha ≤ x ≤ 0,3 ha 0,3 h a ≤ x ≤ 0,5 ha 0,5 ha ≤ x ≤ 1 ha ≥ 1 ha 1 Sumber pendapatan utama pertanian Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah 2 Sumber pendapatan sampingan Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah 3 Pengeluaran rumah tangga Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah 4 Investasitabungan rumah tangga Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah 5 Kondisi keamanantingkat kriminalitas Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah 6 Perubahan lingkunganekosistem Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 7 Sumber air bersih untuk keluarga Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang 8 Akses air bersih ketika terjadi bencana iklim Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang 9 Sumber air untuk pertanian Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sensitivitas terhadap perubahan iklim secara keseluruhan Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah Kemampuan responsif Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi Sumber: diolah dari data primer 2014 Keterangan: diperoleh dari skoring variabel keterpapararan Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 19 bahwa kelompok rumah tangga non-penguasa lahan dan rumah tangga dengan penguasaan lahan sempit merupakan kelompok yang paling sensitif terhadap dampak negatif perubahan iklim. Sebaliknya petani dengan penguasaan aset yang lebih banyak termasuk menguasai lahan lebih luas mampu lebih responsif terhadap sensitivitas dampak perubahan iklim. Sensitivitas dibentuk karena tren pertanian kentang di Dataran Tinggi yang berkontribusi terhadap pengingkatan skala resiko iklim karena terjadi dengan cepat dan dalam skala masif. Pembukaan lahan untuk pertanian mengubah fungsi ekosistem yang seharusnya menjadi penyangga wilayah. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang tinggi juga tidak dipungkiri meningkatkan kebutuhan atas tanah dan kendaraan serta kebutuhan lainnya sehingga wilayah dapat lebih sensitif terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan musim sukar diprediksi menimbulkan dampak negatif bagi kegiatan pertanian berupa ancama hasil panen, kebutuhan biaya budidaya yang semakin meningkat, dan ketidakpastian pasar. Hal ini terutama akan membawa dampak bagi mata pencaharian petani miskin