Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC

36 sedangkan pengamatan lainnya menunjukkan bahwa pH asam lemah secara nyata menekan pertumbuhan kapang namun menghasilkan aflatoksin yang lebih tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan media PDB dengan pH awal 4.00 mampu mendukung produksi aflatoksin lebih baik dibanding media GAN termodifikasi yang memiliki pH awal 7.00 terhadap strain S.26 dan JCM yang dievaluasi. Meskipun demikian, tidak diketahui signifikansi pengaruh faktor pH awal karena pH akhir pada kedua media tidak diukur. Pengaruh dari pH awal bergantung pada komposisi media sehingga pH awal yang optimum untuk tiap media akan berbeda. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa pH awal 7.00 mungkin merupakan salah satu penyebab minimnya produksi aflatoksin pada media GAN termodifikasi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk melihat pengaruh pH awal sekaligus menentukan pH awal yang paling optimum untuk media GAN termodifikasi. Parameter lain selain pH awal dan komposisi media antara media GAN termodifikasi dan media PDB adalah sama. Parameter seperti ketersediaan O 2 dan CO 2 , suhu, dan kelembaban udara dianggap seragam karena kedua media ditempatkan pada ruang inkubasi yang sama. Kedua media ditempatkan pada ruangan dengan temperatur sekitar 25 ˚C dan kelembaban udara normal. Temperatur ruang inkubasi diusahakan tetap konstan dalam kisaran 25 ˚C. Meskipun demikian, pengatur suhu yang berupa AC Air Conditioner memungkinkan adanya sedikit variasi suhu selama pembiakan kapang, namun variasi suhu tersebut dialami oleh biakan dalam kedua media sehingga dalam hal ini kondisi pembiakan dapat disimpulkan seragam. Kedua jenis sampel baik dari isolat lokal S.26 dan JCM memiliki produksi tertinggi pada ulangan kedua. Sampel isolat S.26 pada ulangan kedua menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 400 ppb dan sampel isolat JCM menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 500 ppb. Sampel dari ulangan kedua kemudian dianalisis menggunakan HPLC untuk memperoleh nilai kandungan aflatoksin yang lebih akurat. Metode TLC dalam analisis aflatoksin yang dilakukan masih memiliki beberapa kelemahan seperti tingkat sensitivitas yang lebih rendah dari metode lain seperti HPLC. Publikasi hasil penelitian yang menggunakan TLC juga telah menurun jumlahnya dalam tahun- tahun belakangan. Meskipun demikian, metode ini masih dapat digunakan untuk melihat kurva produksi aflatoksin dari sampel yang diuji. Metode TLC dengan teknik perbandingan dengan standar dalam mengestimasi konsentrasi aflatoksin merupakan pengukuran subjektif. Kesulitan dalam memperkirakan perbedaan-perbedaan kecil dalam intensitas fluoresensi secara visual menyebabkan adanya kisaran presisi sebesar ± 20 dalam kondisi ideal Jones 1972. Faktor yang mempengaruhi tingkat presisi analisis antara lain kesalahan dalam spotting, variasi resolusi dari batch yang berbeda tiap lempeng silika gel, dan kesalahan dalam penentuan peak areas pada pengamatan di UV-reader. Akurasi dan tingkat presisi dalam analisis aflatoksin bisa ditingkatkan dengan mengembangkan instrumen pengukuran yang dapat mengukur intensitas fluoresensi secara objektif.

C. Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC

Analisis menggunakan metode HPLC kemudian dilakukan sebagai uji konfirmasi dari analisis menggunakan metode TLC yang dilakukan sebelumnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan HPLC fase normal secara bertahap hingga menemukan kandungan aflatoksin pada sampel dalam range pada kromatogram. Sebelum sampel diinjeksikan standar terlebih dahulu diinjeksikan. Berikut ini merupakan salah satu kromatogram standar Gambar 15. 37 Gambar 15. Kromatogram standar aflatoksin: B1=5 ppb, B2=2,5 ppb, G1=25 ppb, dan G2=7,5 ppb Sampel ulangan kedua dari media PDB kemudian mengalami proses derivatisasi dengan trifluoroasetat TFA sebelum kemudian dianalisis menggunakan HPLC. Data diperoleh dalam bentuk kromatogram seperti dapat dilihat pada Gambar 16 . Gambar 16. Kromatogram sampel ulangan ke-2 S. 26 PDB H9 AFB1=13 ppb 38 Hasil analisis sampel ulangan kedua yang telah diderivatisasi ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Hasil perhitungan setelah memasukkan variabel faktor pengenceran dan berat contoh sehingga menghasilkan kadar aflatoksin dalam sampel dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 . Hasil uji HPLC a kadar aflatoksin sampel ulangan 2 pada media PDB b Sampel c Kadar Aflatoksin ppb d Ulangan Jenis Sampel Kode Sampel B1 B2 G1 G2 ULANG AN 2 Isolat Aspergillus flavus JCM PDB + H7 369,1 -nd- --nd-- 3,7 PDB + H9 652,6 -nd- --nd-- 7,8 PDB + H12 847,7 17,9 --nd-- --nd-- PDB + H14 447,7 0,9 --nd-- --nd-- PDB + H16 74,7 -nd- --nd-- --nd-- Isolat Aspergillus flavus lokal S.26 PDB H7 290,2 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H9 935,8 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H12 596,2 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H14 148,6 4,7 304,2 --nd-- PDB H16 201,5 82,6 1.772,3 --nd-- a High Performance Liquid Chromatography menggunakan fase gerak isokratik metanol:asam asetat glasial:akubiades 15:20:65, laju alir:1,2 mLmenit, volume injeksi: 20µL, detektor: fluoresen em 425 nm, eks 365 nm, kolom C 18 µBondapack 3,9x300 mm. Nilai SBR=0,21-2,00. Analisis ANOVA one-variant f hitung =0.04953 menunjukkan kedua sampel S.26 dan JCM tidak berbeda nyata. b media PDB Potato Dextrose Broth dengan pH awal 4.00 c Sampel merupakan ulangan kedua dari lima ulangan d part per billion Analisis menggunakan HPLC mampu mendeterminasi kandungan aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat Ruiqian et al. 2004. HPLC merupakan alat berbasis-kimia untuk kuantifikasi dan analisis sejumlah komponen kimia dalam suatu campuran kimiawi. Alat tersebut memiliki banyak kegunaan dan dapat diotomatisasi dengan mudah meskipun aplikasi yang lebih luas menjadi terbatas karena prosedurnya yang kompleks dan peralatannya yang mahal. Meskipun demikian, aplikasi pada penelitian yang beragam mampu menjadikan metode HPLC sebagai metode yang paling banyak dilakukan dalri seluruh metode kromatografi Skoog et al. 2007. Hasil analisis aflatoksin pada kedua sampel dimulai pada sampel H-7 seperti dapat dilihat pada Gambar 17. 39 Gambar 17. Kurva produksi aflatoksin B1 isolat S.26 dan JCM pada media PDB pH 4,00 dan suhu inkubasi 25°C dengan interval h7-h21. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua sampel memiliki nilai dan waktu produksi maksimum yang berbeda. Sampel isolat lokal memiliki nilai produksi toksin maksimum sebesar 935,8 ppb yang diperoleh pada H-9 sedangkan sampel isolat JCM memproduksi aflatoksin sebesar 847,7 ppb yang diperoleh pada H-12. Hasil tersebut dapat dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Aryantha et al. 2007 yang menghasilkan aflatoksin sebesar 1090,1 ppb. Kandungan aflatoksin sampel isolat lokal S.26 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan hasil seleksi yang diperoleh menggunakan teknik ELISA, yakni sebesar 1.212,3 ppb. Hal tersebut mnegindikasikan adanya kemungkinan hasil kesalahan positif pada uji seleksi. Penurunan nilai produksi maksimum aflatoksin juga mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh dari berbagai faktor yang membedakan sampel uji HPLC dengan sampel yang digunakan dalam seleksi. Sampel yang dianalisis menggunakan HPLC telah mengalami penyegaran dalam media padat agar miring dan berbagai serial transfer dalam proses persiapan dan pembiakan. Hal tersebut bisa mempengaruhi kemampuan sampel dalam meproduksi toksin. Strain dari Aspergillus flavus seringkali mengalami degenerasi melalui perlakuan serial transfer pada media berkultur yang menyebabkan perubahan morfologi seperti penurunan sporulasi pada area hifa, serta ketidakmampuan untuk memproduksi sklerotia diiringi penurunan produksi aflatoksin Horn et al.. 2001. Aspergillus flavus diketahui dapat tumbuh secara aseksual dengan baik dalam kondisi laboratorium, meskipun demikian populasinya secara alamiah sangat poliformik Hedayati et al. 2007. Reddy et al. 1971 menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada media sintetis untuk pertumbuhan fungi secara umum lebih rendah dari produksi pada media crude seperti media padat jagung maupun media sintetis dengan ekstrak crude. Bilgrami et al. 1988 memberikan postulasi bahwa penurunan produksi aflatoksin pada kondisi laboratorium bisa disebabkan oleh minimnya paparan terhadap lingkangan kompetitif dan kondisi stres seperti terdapat di alam. Penurunan produksi aflatoksin setelah melalui serial transfer di laboratorium mungkin dapat diartikan pada level populasi dimana seleksi lebih memilih varian Aspergillus yang tidak menghasilkan aflatoksin. Horn et al. 2001 menjelaskan bahwa dalam populasi di alam, kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan cenderung memilih spesies tipe liar wild type dan H7 H9 H12 H14 H16 H19 H21 AFB1 S,26 0,290230 0,935820 0,596220 0,148654 0,201552 0,000000 0,000000 AFB1 JCM 0,369099 0,652630 0,847690 0,447693 0,074684 0,000000 0,000000 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 Jumlah AFB 1 ppm 40 menyingkirkan spesies-spesies yang umumnya hanya dapat diamati di laboratorium. Meskipun demikian, efek yang lebih jelas dari kompetisi dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Aspergillus flavus seringkali sulit untuk dideteksi karena keberagaman yang tinggi dalam produksi aflatoksin pada tiap sampel. Produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis, serta faktor-faktor lain meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al . 2007; Martins et al. 2008. Selain itu, pengelompokkan gen mengindikasikan bahwa produksi aflatoksin memiliki kaitan dengan fungsi kelangsungan hidup kapang. Meskipun demikian, hal tersebut masih belum sepenuhnya dipahami mengingat tidak semua Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin namun masih tetap dapat bersaing dengan Aspergillus flavus dalam relung yang sama Yu et al. 2002. Berbeda dengan biosintesis kebanyakan metabolit sekunder lainnya, ekpresi gen aflatoksin terbantu dengan adanya karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa, dan maltosa, namun bukan oleh pepton maupun laktosa. Chiou et al. 2002 Melaporkan bahwa dari 18 enzim yang terlibat dalam reaksi biosintesis aflatoksin, gen Afi-J merupakan gen yang menentukan produktivitas aflatoksin. Apabila gen tersebut terganggu atau inaktif, produksi aflatoksin akan menurun dengan sangat signifikan bahkan sampai tidak memproduksi aflatoksin samasekali. Yu et al. 2002 lebih lanjut menyatakan bahwa beberapa faktor nutrisi dan lingkungan tersebut dapat mempengaruhi akumulasi aflatoksin dengan mengubah aktivitas dari satu atau lebih enzim yang terlibat dalam biosintesis aflatoksin. Ruiqian et al. 2004 menyatakan bahwa aflatoksin hanya diproduksi pada temperatur 12-42 ˚C dengan temperatur optimal 25-35˚C. Produksi aflatoksin umumnya lebih optimum dalam kelembaban tinggi. Sebagai misal, kelembaban udara maksimum untuk produksi aflatoksin pada jagung adalah 25 pada 30 ˚C dengan kelembaban relatif bervariasi dari 83-88. Kandungan O 2 dan CO 2 juga mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Penurunan kandungan CO 2 dalam udara sebesar 20 akan menekan produksi aflatoksin dan pertumbuhan kapang. Penurunan kandungan O 2 dalam udara sebesar 10 juga akan menekan produksi aflatoksin. Meskipun demikian, pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin hanya akan benar-benar terhenti pada kandungan O 2 dalam udara kurang dari 1 Ruiqian et al. 2004. Kemampuan Aspergillus untuk memproduksi aflatoksin bergantung pada sistem metabolismenya, terutama metabolisme primer lipida dan enzim-enzim synthetase spesifik untuk memproduksi metabolit sekunder Martins et al . 2008. Hal tersebut merupakan ciri-ciri spesifik yang unik dari tiap strain sehingga strain- strain yang berbeda dapat memberikan hasil yang berbeda dimana beberapa strain mampu memproduksi aflatoksin, terutama aflatoksin B 1 dan B 2 , dalam jumlah besar sementara beberapa strain yang lain tidak Hedayati et al. 2007. Hasil pengamatan dengan TLC dan HPLC menunjukkan bahwa kadar aflatoksin dapat turun bahkan sampai tidak terdeteksi pada beberapa ulangan. Secara alami produsen aflatoksin, yakni beberapa strain Aspergillus sp. tertentu mampu melakukan proses biodegradasi dari aflatoksin. Ciegler et al. 1966 menyatakan bahwa degradasi aflatoksin merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan beberapa parameter. Beberapa penulis menyatakan bahwa toksin digunakan sebagai sumber energi ketika karbohidrat yang tersedia sudah habis. Meskipun demikian hal tersebut nampaknya kurang tepat ketika Ciegler et al. 1966 melaporkan bahwa 41 penambahan karbohdrat setelah produksi maksimum toksin tercapai tidak mencegah degradasi toksin. Ciegler et al. 1966 lebih lanjut menyatakan bahwa lisis miselia diperlukan untuk terjadinya degradasi aflatoksin. Beberapa strain Aspergillus flavus yang tidak menunjukkan kemampuan mendegradasi aflatoksin sebelumnya bisa diinduksi untuk melakukan degradasi dengan melakukan fragmentasi pada miselianya. Sementara itu, strain yang mampu mendegradasi toksin dapat dicegah dengan menempatkan strain tersebut dalam kondisi dimana miselia lisis sulit untuk terjadi. Pengamatan lebih lanjut menyimpulkan adanya sebuah reaksi non-spesifik pada miselia yang telah lisis. Sementara itu, Hamid dan Smith 1987 menyatakan bahwa terhambatnya degradasi toksin pada miselia yang utuh dan tidak lisis mengindikasikan adanya sejenis sistem enzim cytochrome P-450 monooxygenase dalam proses biodegradasi aflatoksin. Meskipun demikian, peranan spesifik enzim tersebut dalam lajur degradasi aflatoksin masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Penelitian lainnya juga menunjukkan keberadaan sistem enzim tersebut pada Aspergillus flavus , meskipun demikian lokasi yang tepat dari aktivitas enzim tersebut dalam jalur degradasi toksin masih belum diketahui . Azab et al. 2005 menyatakan bahwa fragmentasi miselia sangat penting untuk biodegradasi aflatoksin, dimana fragmentasi akan melepaskan faktor intraselular yang bertanggung jawab untuk proses biodegradasi aflatoksin. Hasil biodegradasi fungi mengungkapkan bahwa laju degradasi tercepat diasosiasikan dengan miselia fungi berusia sembilan hari baik pada spesies Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang mengalami fragmentasi miselium Sumber: Azab et al. 2005 42 Hasil pengamatan pada kromatogram sampel juga menunjukkan adanya komponen- komponen lain baik yang tidak teridentifikasi maupun komponen aflatoksin selain aflatoksin B 1 yang berasal dari reaksi silang yang mungkin terjadi selama proses seleksi. Hal tersebut menjadikan kemurnian aflatoksin dalam sampel belum mencukupi untuk dijadikan standar. Proses purifikasi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mencapai kemurnian standar yang diinginkan. Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Reddy et al. 2009. Hasil penelitian Reddy et al. 2009 menunjukkan bahwa dari 85 strain Aspergillus flavus yang diseleksi, hanya 51 strain yang mampu menghasilkan aflatoksin B1 sebesar 200-40000 pbb dalam uji ELISA dari isolat yang ditumbuhkan pada medium YES. Hasil tersebut secara komparatif menunjukkan potensi yang jauh lebih besar dibandingkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yakni sebesar 17,7-1213,3 ppb. 5 sampel dengan nilai produksi aflatoksin tertinggi ditumbuhkan pada media padat beras dan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dalam kisaran 13000-415000 ppb. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Reddy et al. 1971 yang menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada crude media umumnya lebih tinggi dari media sintetis. Reddy et al. 2009 juga menemukan adanya medium yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada isolat yang ditumbuhkan, yakni medium AFPA Aspergillus flavus and parasiticus agar . Seperti halnya medium GAN termodifikasi yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada penelitian ini, diduga medium AFPA tidak cocok untuk mendukung produksi aflatoksin dari isolat yang digunakan. Secara umum penelitian yang dilakukan Reddy et al. 2009 mampu menghasilkan produksi aflatoksin yang jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian ini. Produksi aflatoksin B1 yang tinggi dari strain Aspergillus flavus potensial bisa membantu menghasilkan standar murni untuk analisis kontaminasi aflatoksin pada beras di pasar domestik dan ekspor Reddy et al. 2009. 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan