Bahan dan Alat Hasil Seleksi Isolat Lokal Penghasil Aflatoksin Menggunakan KIT ELISA

22

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Aspergillus sp. isolat lokal yang dikumpulkan dari berbagai daerah disekitar Jawa Barat dan Jabotabek, isolat Aspergillus sp. JCM, standar aflatoksin B1 AFB1, metanol 60, pengencer konjugat, konjugat aflatoksin peroksidase AFB1-HRPO, tetramethilbenzidine TMB, buffer natrium asetat, media agar miring SDA Sucrose Dextrose Agar, media PDB Potato Dextrose Broth, asam klorida HCl 1 M, natrium hidroksida NaOH 1 M, media GAN Glucose Ammonium Nitrate, kloroform, akuades, akuades steril, asam sulfat H2SO4 1,25M, glukosa, ammonium nitrat, kalium dihidrogen fosfat, magnesium sulfat, suplemen mineral, timbal asetat, asam asetat glasial, akuabides, alkohol 85, metanol, n-heksana, dan trifluoroasetat TFA. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain botol sampel, ELISA-kit Aflavet mencakup mixing plate, antibody-coated plate dan, botol konjugat, microplate spectrophotometer , pipet 100 l, pipet 200 l, multi-channel pipette, tip, timer, bak cuci, komputer, printer, erlenmeyer pyrex ® iwaki te-32 250 ml , tabung reaksi, pipet Boeco C000267 1 mL, sarung tangan lateks, masker wajah, freezer, inkubator, beberapa mikroskop Olympus mikroskop inversi cx-41rf class:student microscope; Vickers mikroskop binokular M. 750294 , hemasitometer Marienfeld assistent No. 422, vorteks, pembakar bunsen, kapas tutup erlemenyer, alumunium foil, oven Memmert tv50b; Bindered 53, autoklaf All American1941x, kulkas Sanyo SR-258FG frost type, TLC-plates, TLC-reader, dan laminary air flow cabinet Oliphant VLF4LUS S198, dan HPLC Hitachi D-7000 HSM: Interface D- 7000, FL-Detector L-7485, Autosampler L-7200, UV-detector L-7400.

B. Metode

1. Seleksi Isolat Lokal Aspergillus sp yang Berpotensi Memproduksi

Aflatoksin Uji potensi isolat menggunakan kit ELISA yang dikembangkan oleh Rachmawati et al. 2005. Sebanyak 10 isolat lokal yang terdiri dari 55 sampel yang telah diisolasi dari biji jagung, kacang tanah tanpa kulit, dan pakan ternak dari beberapa daerah di Jabodetabek ditumbuhkan pada media PDB inkubasi 9 hari, suhu 25°C. Sampel-sampel tersebut kemudian diuji potensinya untuk memproduksi aflatoksin menggunakan teknik ELISA. Seleksi dilakukan dengan jumlah produksi aflatoksin B1 sebagai kriteria seleksi. Sampel dengan hasil produksi aflatoksin B1 tertinggi akan dipilih untuk evaluasi pada tahap berikutnya.

2. Evaluasi Produksi Aflatoksin pada Dua Medium Cair

a. Penyegaran Isolat Sampel Hasil Seleksi

23 Penyegaran isolat dilakukan untuk persiapan pembuatan suspensi isolat dalam media cair sebagai persiapan untuk tahap pembiakan isolat lokal hasil seleksi dalam media cair. Isolat lokal Aspergillus flavus dari sampel cair hasil seleksi disegarkan kembali dengan cara ditumbuhkan pada media agar miring SDA Sucrose Dextrose Agar selama satu minggu pada suhu 25°C. Koloni yang tumbuh kemudian disuspensikan untuk memperoleh suspensi Aspergillus sp sebanyak 10 9 sporamL. Suspensi yang diperoleh kemudian diinokulasikan pada media cair yang telah disiapkan seperti yang dijelaskan di bawah.

b. Evaluasi Pertumbuhan Isolat dalam Media Cair dan Produksi

Aflatoksin Evaluasi dilakukan terhadap isolat hasil penyegaran untuk melihat kurva produksi aflatoksin dan jumlah produksi aflatoksin dengan ilustrasi percobaan yang dapat dilihat pada Gambar 9. Suspensi Aspergillus sp. Sebanyak 10 9 sporamL yang telah disiapkan dari hasil penyegaran isolat diinokulasikan sebanyak 1,5 mL pada erlemenyer yang berisi 150 mL media cair sehingga diperoleh 10 7 sporamL pada media yang siap untuk ditumbuhkan. Adapun media cair yang digunakan dalam penelitian ini ialah: I. Media Potato dextrose broth PDB dengan pengaturan pH pada kisaran pH 4,00 Kusumaningtyas 2007. II. Medium GAN glucose ammonium nitrate mengikuti Brian et al. 1961 termodifikasi yang terdiri atas 30 g glukosa, 30 g sukrosa, 2,4 g NH 4 NO 3 , 10,0 g KH 2 PO 4 , 2,0 g MgSO 4 .7H 2 O, dan suplemen mineral mencakup 26,6 mg ZnSO 4 .7H 2 O, 2,67 mg CuSO 4 .5H 2 O, 1,36 mg CoNO 3 2 .6H 2 O dan 66,67 mg CaCl 2 dengan pH 7,00. Gambar 9. Ilustrasi Percobaan dengan menggunakan isolat S.26 s dari dua media berbeda PDB dan GAN dalam lima ulangan dengan kontrol negatif - yakni media yang tidak diinokulasi dan kontrol positif + berupa media yang diinokulasi isolat JCM. s + ‐ s + ‐ PDB GAN 24 Kondisi pertumbuhan kemudian diatur pada suhu 25 o C dengan tingkat kelembaban normal. Selanjutnya pertumbuhan pada kedua media cair tersebut diamati tren produksi aflatoksin melalui pengamatan jumlah aflatoksin yang terdapat dalam medium. Pengamatan tren produksi aflatoksin dilakukan selama 21 hari dengan mengadakan sampling pada interval waktu yang telah ditentukan seperti dapat dilihat pada Gambar 10. H H 1 H 2 H 3 H 4 H 5 H 6 H 7 H 8 H 9 H 10 S1 S2 S3 S4 S5 H 11 H 12 H 13 H 14 H 15 H 16 H 17 H 18 H 19 H 20 H 21 S6 S7 S8 S9 S10 Gambar 10. Interval sampling yang dilakukan S1-S10 dari total 21 hari inkubasi H0-H21 Hasil sampling kemudian dianalisis dengan metode TLC untuk melihat total aflatoksin dalam media sebagai hasil metabolisme sekunder Aspergillus flavus. yang ditumbuhkan pada media. Total aflatoksin dari hasil sampling kemudian digambarkan dalam bentuk kurva produksi aflatoksin untuk memperoleh informasi saat produksi maksimum aflatoksin tercapai. Setelah produksi aflatoksin mencapai maksimum, media dengan nilai produksi maksimum tertinggi akan dipanen untuk selanjutnya dilakukan tahapan produksi massal.

C. Analisis

1. Seleksi Isolat Lokal Menggunakan KIT ELISA Aflatoksin Produksi

Bbalitvet

a. Preparasi Ekstrak Sampel

Metode analisis yang digunakan yaitu metode ELISA kompetitif langsung Rachmawati 2005; Rachmawati et al. 2004. Sebanyak 1 mL sampel cair yang terdiri atas 55 sampel isolat lokal Aspergillus flavus yang telah ditumbuhkan pada media PDB inkubasi 9 hari pada suhu 25° dipipet ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan klorofom sebanyak 1 mL dan divorteks selama 1 menit. Fase klorofom kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Kemudian ditambahkan lagi 1 mL klorofom pada larutan yang tersisa di dalam tabung untuk kemudian divorteks selama 1 menit. Fase klorofom diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel. 25 Klorofom dalam botol sampel kemudian dikeringkan dalam water bath. Selanjutnya ditambahkan metanol 60 sebanyak 1 mL pada sampel dalam botol sampel dan dikocok hingga aflatoksin terlarut dalam metanol 60. Larutan yang dihasilkan kemudian diambil untuk dianalisis dengan cara di bawah.

b. Preparasi Konjugat Encer

Konjugat aflatoksin peroksidase AFB1-HRPO dicampur dengan pengencer konjugat dalam perbandingan 30 l konjugat per mL pengencer konjugat. Konjugat yang telah dibuat kemudian disiapkan untuk dicampurkan dengan standar dalam plat pencampuran.

c. Preparasi larutan Substrat

Substrat A buffer natrium asetat dalam ELISA-Kit Aflavet dicampur dengan substrat B tetramethilbenzidine dalam perbandingan 30 l substrat B per mL substrat A. Substrat yang telah siap kemudian digunakan dalam proses pencampuran.

d. Analisis Aflatoksin B1 dengan KIT ELISA

1. Tahap Pencampuran dalam microplate Sebelum pencampuran semua bahan terlebih dahulu dikondisikan dalam suhu ruang. Larutan standar aflatoksin B1 AFB1 dengan konsentrasi 0,12; 0,37; 1,10; 3,30; 10,00; dan 30,00 ppb disiapkan. Kemudian dalam plat pencampuran dibuat campuran antara 100 l standar AFB1 dan 100 l konjugat yang telah diencerkan. Blanko juga dibuat dengan mencampurkan 100 l metanol 60 dengan 100 l metanol 60. 2. Tahap reaksi Campuran standar atau ekstrak sampel dan konjugat pada plat pencampuran kemudian dipindahkan sebanyak 75 l ke dalam plat terlapis antibodi masing-masing duplo. Campuran pada plat terlapis antibodi kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 5 menit. Selanjutnya larutan dibuang dan plat dicuci dengan 3 kali pencucian dalam air kemudian dikeringkan. Pada plat terlapis antibodi kemudian ditambahkan larutan substrat yang sudah disiapkan sebanyak 100 l dan plat diinkubasikan kembali selama 10 menit dalam suhu ruang . Pada tahap ini akan terbentuk warna hijau yang kepekatannya berbanding terbalik dengan konsentrasi aflatoksin yang terdeteksi pada plat. Tahap selanjutnya ialah penambahan 50 l larutan penghenti H 2 SO 4 1,25 M hingga warna larutan pada plat terlapis antibodi berubah menjadi kuning dan siap untuk dibaca pada ELISA reader microplate spectrophotometer. Ilustrasi pada plat terlapis antibodi dapat dilihat pada Gambar 11 Catatan: A1=campuran baris A kolom 1 pada plat pencampur. 26 1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 6’ 7’ 8’ 9’ 10’ 11’ 12’ A’ A1 A1 A2 A2 B’ B1 B1 B2 B2 C’ C1 C1 C2 C2 D’ D1 D1 D2 D2 E’ E1 E1 E2 E2 F’ F1 F1 F2 F2 G’ G1 G1 G2 G2 H’ H1 H1 H2 H2 Gambar 11. Ilustrasi pada antibody-coated microplates 3. Tahap Pembacaan dan Perhitungan Larutan pada plat terlapis antibodi dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dengan ELISA reader akan mendapatkan nilai serapan warna optical density pada tiap sumur plat. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan yang telah tersedia pada program penunjang. Data kandungan AFB1 pada sampel diperoleh dengan memasukkan hasil pengukuran OD atau persen inhibisi sampel ke persamaan garis kurva kalibrasi standar, dikalikan faktor pengenceran dan dibagi bobot sampel. Apabila inhibisi sampel yang diperoleh lebih besar dari persen inhibisi standar 10-30 ppb, terdapat kemungkinan sampel mengandung AFB1 dalam jumlah tinggi sehingga diperlukan perlakuan pengenceran untuk mendapat kisaran konsentrasi yang terdeteksi pada ELISA-Kit. Konsentrasi akhir kemudian harus dikalikan lagi dengan faktor pengenceran.

2. Analisis Produksi Aflatoksin Bainton et al. 1980

27 a. Sampling Proses sampling dilakukan dengan mengambil 1 mL media secara aseptis dan kemudian disimpan pada botol sampel yang telah disiapkan .

b. Ekstraksi Aflatoksin

Proses esktraksi dilakukan dengan mencampurkan 1 mL sampel dengan 1 mL klorofom dalam tabung reaksi bertutup kemudian divorteks selama 1 menit. Setelah itu dilakukan pemisahan fase klorofom dan hasil pemisahan dimasukkan ke dalam botol hasil ekstrak yang telah disiapkan. Larutan yang tersisa dalam tabung reaksi ditambahkan lagi klorofom sebanyak 1 mL dan divorteks selama 1 menit. Kemudian dilakukan pemisahan fasa klorofom dan hasil pemisahan dimasukkan dalam botol hasil ekstraksi. Fasa klorofom kemudian dihilangkan menggunakan waterbath. Hasil ekstraksi telah siap untuk dianalis.

c. Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC Bainton et al. 1980

1. Tahap Persiapan Persiapan dilakukan dengan penjenuhan bejana TLC dengan fase gerak kloroform : aseton=9 : 1. Persiapan lempeng TLC dilakukan dengan mendiamkan lempeng TLC dalam oven dengan suhu 80 ˚C selama satu jam . 2. Tahap Identifikasi Analisis aflatoksin dilakukan dengan menggunakan Thin Layer Chromatography TLC satu dimensi dengan fase gerak kloroform : aseton = 9 : 1. Plat TLC yang digunakan adalah plat dengan fase diam silika gel. Ekstrak aflatoksin yang telah dihasilkan kemudian ditotolkan secara kuantitatif pada lempeng kromatografi. Setelah itu lempeng kromatografi dimasukkan ke dalam bejana yang berisi pelarut kloroform : aseton = 9 : 1 yang telah dijenuhkan lalu dielusi dari bawah ke atas sampai pelarut mencapai batas elusi. Lempeng kromatografi kemudian dikeringkan. 3. Tahap pengamatan Hasil elusi dikeringkan dan diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 365 nm. Perpendaran dan waktu rambatnya Rf dari bercak sampel dan standar dibandingkan . 4. Perhitungan Kandungan aflatoksin pada sampel didapatkan dengan membandingkan intensitas perpendarannya dengan standar. Hal tersebut didapatkan dari deret standar aflatoksin yang dielusi dengan pelarut. Aflatoksin dikatakan positif apabila Rf sampel 28 sama dengan standar. Kandungan aflatoksin ditentukan dengan rumus sebagai berikut Bainton et al., 1980 : Keterangan : S : Volume aflatoksin standar L yang memberikan perpendaran setara dengan Z L sampel. Y : Konsentrasi aflatoksin standar aflatoksin dalam gmL. Z : Volume ekstrak sampel L yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran setara S L standar aflatoksin. W : Berat aflatoksin yang diekstrak g. V : Volume pelarut yang dibutuhkan L FP : Faktor pengenceran.

d. Konfirmasi Hasil Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC

1. Tahap Derivatisasi Analisis aflatoksin konfirmasi dilakukan menggunakan High Performance Liquid chromatography HPLC fase terbaik reversed phase dengan fase gerak akuabides : metanol grade : asam asetat glasial = 65 : 15 : 20 yang telah melalui proses vacuum filtering dengan sonikator. Sampel hasil ekstraksi sebanyak 1 mL diderivatisasi dengan menambahkan 50 µL TFA dan 200 µL n-heksana lalu didiamkan selama 15 menit dalam ruang asam. Sampel kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu ±50 ˚Cselama 10 menit, selanjutnya dilarutkan dalam 1 mL fase gerak dan diinjeksikan ke dalam HPLC. 2. Tahap Analisis Sampel yang telah diderivatisasi divorteks sebelum kemudian diinjeksikan ke dalam HPLC. Hasil analisis kemudian ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Setiap sampel yang dianalisis memiliki nilai faktor pengenceran yang berbeda bergantung pada intensitas aflatoksin yang teramati dalam sampel. Kondisi instrumen HPLC yang digunakan meliputi: a. Kolom : C 18 µBondapack 3,9 x 300 mm column b. Detektor : Fluoresen, em 425nm dan eks 365 nm c. Volume injeksi : 20 µL d. Laju aliran : 1,2 mLmenit e. Fase gerak isokratik : metanolakuabidesasam asetat glasial 152065 29 f. Lama running : 30 menit. g. Suhu : suhu ruang 3. Tahap Perhitungan Perhitungan kadar aflatoksin yang terdapat pada sampel secara konvesional dapat dihitung menggunakan persamaan: Keterangan: Cp = Konsentrasi aflatoksin dalam sampel ppm Lc = Luas area contoh Ls = Luas area standar Cs = konsentrasi standar ppm FP = Faktor pengenceran Bc = Bobot contoh g Meskipun demikian, instrumen HPLC yang digunakan mampu memproses data secara otomatis sehingga perhitungan dapat pula dilakukan dengan persamaan: Keterangan: Cp = Konsentrasi aflatoksin dalam sampel ppm Ch = Konsentrasi aflatoksin dalam kromatogram ppm Bc = Bobot contoh g IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Seleksi Isolat Lokal Penghasil Aflatoksin Menggunakan KIT ELISA

Proses seleksi sampel isolat lokal Aspergillus sp. yang dilakukan menggunakan Kit ELISA dengan format kompetitif langsung telah berhasil dilakukan. Jumlah total sampel yang telah menjalani uji potensi ialah sebanyak 55 sampel dari 10 isolat Aspergillus flavus yang diperoleh dari hasil sampling di daerah Jawa Barat dan Jabotabek, disertai isolat JCM. Hasil pembacaan dari microplate spectrophotometer kemudian diolah dengan perhitungan hingga menghasilkan nilai persen inhibisi. Nilai serapan OD dan persen inhibisi dari ikatan konjugat dan antibodi kemudian dijadikan kurva kalibrasi standar, yaitu plot antara nilai OD dan konsentrasi aflatoksin B 1 . Kedua kurva kalibrasi analisis menunjukkan linieritas yang baik. Berikut ini ialah salah satu kurva kalibrasi yang digunakan Gambar 12. 30 Gambar 12. Tampilan kurva kalibrasi analisis untuk sampel S.3 A 6809, S.5 D 29709, S.26 C 31709, dan F-0213 B 13809 berdasarkan pembacaan dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm dengan ELISA kit Aflavet. ELISA-kit yang digunakan merupakan ELISA-kit yang dikembangkan oleh Balitvet yakni ELISA-kit Aflavet yang spesifik untuk analisis aflatoksin B1. Hasil seleksi dari 10 isolat lokal S3, S5, S9, S11, S14, S17, S19, S23, S26, dan F-0213 yang terdiri atas 50 sampel dengan satu isolat kontrol positif JCM yang terdiri dari 5 sampel menggunakan ELISA-kit ditampilan pada Tabel 9. Tabel 9 . Kadar aflatoksin dalam sampel berdasarkan analisis g menggunakan ELISA Kit c y = 14,55lnx + 22 R² = 0,940 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 10 100 Inhibi s i Aflatoksin B1 ngml 31 a Aflatoksin B 1 . b Sampel isolat lokal Aspergillus flavus koleksi Bbalitvet Culture Collection BCC yang ditumbuhkan dalam media PDB inkubasi 9 hari, suhu 25°C. Data merupakan hasil sampling pada hari ke-1, 3, 5, 8, dan 11. c ELISA-Kit Aflavet dengan format direct competitive ELISA yang dikembangkan oleh Balitvet Balai Besar Penelitian Veteriner, Cimanggu, Bogor. d Sampel diinkubasi tambahan selama 10 menit sebelum dibaca persen inhibisi pada ELISA-reader. e Sampel isolat lokal Aspergillus flavus yang dipilih untuk dilanjutkan dalam tahapan penelitian berikutnya. f part per billion g Persamaan yang digunakan dalam menentukan nilai persen inhibisi ialah: y=14,721Lnx + 25,931; R2=0,9159 . Pengecualian pada sampel S.3 H11, S.5 H3, S.26 H5, dan F-0213 H8 yang menggunakan persamaan y=14,551Lnx + 22; R2=0,9406. Sampel dengan kadar aflatoksin tertinggi ialah sampel S.26 H5 dengan kandungan aflatoksin sebesar 1212,3 ppb . n.d = not detected below quantitation limit: 0,3 ngg h Isolat JCM merupakan isolat kontrol positif + Balitvet mengembangkan metode analisis AFB1 secara Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA berupa Aflavet yang telah divalidasi dengan melakukan inner laboratorium study dan telah terbukti mendapatkan hasil konsisten dengan metode standar kromatografi Sampel b Kadar aflatoksin a ppb f Sampel Kadar aflatoksin ppb f Sampel Kadar aflatoksin ppb f S3 H1 534,0 S14 H1 27,7 S26 H1 319,7 H3 267,0 H3 29,4 H3 108,4 H5 491,4 H5 878,6 H5 1212,3 H8 n.d H8 145,7 H8 145,1 H11 31,4 H11 79,9 H11 143,7 S5 H1 219,9 S17 H1 n.d F-0213 H1 14,7 H3 234,2 H3 n.d H3 84,5 H5 219,9 H5 n.d H5 25,6 H8 101,2 H8 n.d H8 252,8 H11 433,7 H11 n.d H11 64,9 S9 H1 267,0 S19 H1 n.d JCM h H1 n.d H3 178,6 H3 n.d H3 734,6 H5 223,0 H5 n.d H5 556,7 H8 302,5 H8 n.d H8 809,4 H11 178,6 H11 n.d H11 445,9 S11 H1 38,3 S23 H1 n.d H3 135,4 H3 n.d H5 18,1 H5 n.d H8 108, 4 H8 n.d H11 249.0 H11 n.d 32 Rachmawati et al. 2004. Analisis berlangsung dalam plat mikro. Aflatoksin B1 yang terdapat pada sampel akan berkompetisi dengan konjugat untuk berikatan dengan antibodi yang terlapis dalam plat mikro. Data hasil seleksi menunjukkan bahwa dari 55 sampel isolat lokal yang diseleksi diperoleh 69 hasil positif. Sampel terdeteksi mengandung aflatoksin dalam kisaran 17,7-1212,3 ppb dengan 27 sampel mengandung aflatoksin 100 ppb, 27 sampel mengandung aflatoksin dalam kisaran 100-1000 ppb, dan satu sampel mengandung aflatoksin 1000 ppb dengan kandungan aflatoksin rata-rata sebesar 187,5 ppb. Jumlah aflatoksin terdeteksi tertinggi ditemukan pada sampel S.26C dengan jumlah aflatoksin B1 terdeteksi sebesar 1212,3 ppb. Sampel tersebut kemudian akan dipilih untuk dilanjutkan ke tahapan penelitian berikutnya. Tahapan seleksi yang dilakukan menggunakan ELISA-Kit berjalan dengan cepat dan efisien, sehingga bisa mempercepat waktu seleksi yang dibutuhkan. Pada hasil seleksi ditemukan pula beberapa sampel yang menghasilkan nilai n.d not detected . Hal tersebut terjadi karena jumlah aflatoksin B1 apabila ada pada sampel-sampel tersebut berada di bawah limit deteksi AFB1 ELISA-Kit Aflavet yakni 0,3 ngg Rachmawati et al. 2004. Hal tersebut kemungkinan disebabkan sampel-sampel tersebut menghasilkan aflatoksin B1 dalam jumlah terlalu sedikit, tidak menghasilkan aflatoksin B1 atau bahkan memang tidak menghasilkan aflatoksin samasekali. Uji ELISA seringkali memberikan hasil kesalahan positif, sehingga konfirmasi hasil uji ELISA menggunakan uji lain yang lebih spesifik seperti HPLC High Performance Liquid Chromatography sangatlah penting untuk dilakukan Ruiqian et al. 2004.

B. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC