32 Rachmawati et al. 2004. Analisis berlangsung dalam plat mikro. Aflatoksin B1 yang terdapat
pada sampel akan berkompetisi dengan konjugat untuk berikatan dengan antibodi yang terlapis dalam plat mikro.
Data hasil seleksi menunjukkan bahwa dari 55 sampel isolat lokal yang diseleksi diperoleh 69 hasil positif. Sampel terdeteksi mengandung aflatoksin dalam kisaran 17,7-1212,3
ppb dengan 27 sampel mengandung aflatoksin 100 ppb, 27 sampel mengandung aflatoksin dalam kisaran 100-1000 ppb, dan satu sampel mengandung aflatoksin 1000 ppb dengan
kandungan aflatoksin rata-rata sebesar 187,5 ppb. Jumlah aflatoksin terdeteksi tertinggi ditemukan pada sampel S.26C dengan jumlah aflatoksin B1 terdeteksi sebesar 1212,3 ppb.
Sampel tersebut kemudian akan dipilih untuk dilanjutkan ke tahapan penelitian berikutnya. Tahapan seleksi yang dilakukan menggunakan ELISA-Kit berjalan dengan cepat dan efisien,
sehingga bisa mempercepat waktu seleksi yang dibutuhkan. Pada hasil seleksi ditemukan pula beberapa sampel yang menghasilkan nilai n.d not
detected . Hal tersebut terjadi karena jumlah aflatoksin B1 apabila ada pada sampel-sampel
tersebut berada di bawah limit deteksi AFB1 ELISA-Kit Aflavet yakni 0,3 ngg Rachmawati et al.
2004. Hal tersebut kemungkinan disebabkan sampel-sampel tersebut menghasilkan aflatoksin B1 dalam jumlah terlalu sedikit, tidak menghasilkan aflatoksin B1 atau bahkan
memang tidak menghasilkan aflatoksin samasekali. Uji ELISA seringkali memberikan hasil kesalahan positif, sehingga konfirmasi hasil uji ELISA menggunakan uji lain yang lebih spesifik
seperti HPLC High Performance Liquid Chromatography sangatlah penting untuk dilakukan Ruiqian et al. 2004.
B. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC
Sampel yang telah dibiakkan dalam media cair PDB dan GAN termodifikasi kemudian di-sampling secara aseptis untuk analisis kandungan aflatoksin menggunakan metode TLC Thin
Layer Chromatography . Sampel kemudian disimpan dalam suhu refrigerator sebelum diekstrak
menggunakan klorofom. Sampel yang telah diekstrak dianalisis dengan metode TLC menggunakan teknik perbandingan dengan standar Jones 1972. Sampel di-spotting pada
lempeng silika gel fase stasioner dengan fase gerak kloroform-aseton 9:1 yang telah dipersiapkan dan diletakkan dalam developing chamber yang telah dijenuhkan terlebih dahulu.
Secara alami aflatoksin memberikan fluoresensi pada panjang gelombang tertentu yang disebabkan oleh struktur oxygenated pentaheterocyclic aflatoksin Fente et al. 2001. Hal
tersebut memungkinkan analisis aflatoksin menggunakan TLC untuk kemudian hasil fluoresensi dibaca menggunakan UV-reader pada panjang gelombang 365 nm. Hasil fluoresensi yang
diamati dalam UV-reader dibandingkan dengan hasil fluoresensi standar yang digunakan. Selanjutnya dilakukan perhitungan konsentrasi aflatoksin dalam sampel sesuai dengan rumus
yang tersedia. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel dari semua ulangan yang diperoleh
dari media GAN termodifikasi tidak terdeteksi menghasilkan aflatoksin. Uji TLC yang dilakukan pada sampel dari media GAN termodifikasi telah diujikan dengan berbagai volume spotting
namun tetap tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin yang terdeteksi pada sampel. Hal tersebut berbeda dengan hasil analisis TLC pada sampel dari media PDB yang secara konstan
33 menunjukkan adanya produksi aflatoksin pada tiap ulangan sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Hasil uji TLC
e
kadar aflatoksin sampel pada media PDB
a
Sampling Kadar Aflatoksin ppb
Ulangan 1 Ulangan 2
Ulangan 3 Ulangan 4
Ulangan 5 Rataan
JCM
b
S.26
c
JCM
b
S.26
c
JCM
b
S.26
c
JCM
b
S.26
c
JCM
b
S.26
c
JCM
b
S.26
c
H0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 H2
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
H5 100
100 0,0
0,0 100
100 0,0
0,0 0,0
0,0 40
40 H7
100 250
250 250
150 100
50 50
100 100
130 150
H9 150
450 300
500 200
200 200
200 150
150 200
290 H12
200 300 400
300 200
150 250
200 150
200 240
230 H14
200 100
250 200
200 150
100 100
150 100
180 130
H16 100
100 100
150 150
150 100
50 100 150
110 120
H19 0,0
100 50
150 100
50 50
50 100
100 60
90 H21
0,0 0,0
50 50
50 0,0
25 25
50 50
35 25
a
Media PDB pH 4.00, suhu 25°C
b
Kontrol positif + berupa isolat Aspergillus flavus Koleksi JCM
c
Sampel berupa isolat lokal Aspergillus flavus S.26
d
ppm part per billion=ngg
e
Konsentrasi standar aflatoksin yang digunakan: B
1
=200 ppb, B
2
=100 ppb, G
1
=1000 ppb, G
2
=300 ppb. LoD = 0.4 ppb Meilawati 2007
Berbeda dengan sampel pada medium GAN termodifikasi, sampel pada medium PDB menunjukkan adanya produksi aflatoksin. Perbedaan hasil yang cukup signifikan
mengindikasikan adanya perbedaan kapabilitas kedua media yang digunakan dalam mendukung produksi aflatoksin pada strain S.26 dan JCM. Meskipun hasil analisis sampel dari media GAN
termodifikasi tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin, hasil pengamatan visual selama periode pembiakan kapang pada media GAN termodifikasi menunjukkan adanya pertumbuhan kapang
yang ditunjukkan dengan adanya koloni pada media. Meskipun demikian, ciri-ciri morfologis koloni yang terdapat pada media GAN termodifikasi berbeda dengan koloni yang dijumpai pada
media PDB. Koloni pada media PDB memiliki ciri morfologis berwarna kuning kehijauan dan berubah menjadi hijau tua pada koloni yang sudah tua Gambar 13. Sementara itu, koloni pada
media GAN termodifikasi berwarna putih yang berasal dari miselium kapang Gambar 14.
34 Brian et al. 1961 menyatakan bahwa medium GAN Glucose Ammonium Nitrate
mampu menunjukkan hasil produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus
. Meskipun demikian, hasil penelitian Maggon et al. 1969 menunjukkan bahwa medium GAN dapat memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu.
Hasil percobaan yang dilakukan Moggan et al. 1969 mengindikasikan bahwa medium GAN bisa memberikan hasil yang variatif bergantung pada strain Aspergillus flavus yang
diujikan. Aspergillus tidak membutuhkan garam untuk produksi toksin sehingga ketersediaan trace element
dalam media sangat mempengaruhi produksi toksin. Meskipun demikian, setiap strain memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga efek dari trace element yang tersedia
dalam medium GAN dapat menunjukkan hasil yang variatif Moggan et al. 1969. Nazari 2010 menyatakan bahwa perubahan pada komposisi medium bisa mempengaruhi parameter
pertumbuhan yang berbeda. Hal tersebut menjelaskan mengapa beberapa peneliti telah melaporkan adanya pengaruh yang besar dari suatu medium terhadap pertumbuhan suatu kapang
Gambar 14. Koloni Aspergillus flavus pada media PDB
Gambar 13. Koloni Aspergillus flavus pada media GAN termodifikasi
35 sementara beberapa peneliti lain melaporkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan dari kapang yang sama. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa strain S.26 C dan JCM yang digunakan dalam analisis dengan TLC, seperti halnya strain DUKR 79 F dan DUKR
79 K dalam penelitian Moggan et al. 1969 tidak menunjukkan produksi aflatoksin dalam medium GAN termodifikasi karena pengaruh dari modifikasi medium berupa substitusi sukrosa
pada sebagian glukosa, penetapan pH awal 7, maupun ketidakcocokan strain terhadap medium GAN. Uji TLC dilakukan pada 100 sampel yang berasal dari sampling pada lima ulangan yang
berasal dari strain yang sama sehingga apabila strain yang digunakan tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada medium GAN termodifikasi maka semua sampel yang diujikan akan
memberikan hasil yang sama. Kasno 2003 menyatakan bahwa koloni Aspergillus flavus yang sudah menghasilkan
spora akan berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman dan miselium yang berwarna putih sudah tidak nampak lagi. Penampakkan warna putih pada koloni kapang di media GAN
termodifikasi diduga terjadi karena kapang yang tumbuh belum atau tidak mampu menghasilkan spora. Bukti-bukti menunjukkan bahwa metabolit sekunder dapat diasosiasikan dengan proses
perkembangan kapang seperti sporulasi dan pembentukkan sklerotia Yu et al. 2002. Rendahnya produksi aflatoksin disebabkan pula oleh rendahnya pembentukkan biomassa miselia kapang
yang mengindikasikan adanya pertumbuhan yang terhambat. Pertumbuhan yang terhambat akan mempengaruhi produksi aflatoksin karena meskipun aflatoksin merupakan metabolit sekunder
namun produksinya sangat terkait dengan berbagai enzim yang ikut terhambat saat pertumbuhan terhambat.
Sardjono et al.
1992 dan Aryantha et al. 2007 menyimpulkan bahwa pertumbuhan miselia yang terhambat memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung kepada sintesis enzim
termasuk enzim yang berperan dalam produksi aflatoksin sehingga akan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin baik langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut Yu et al. 2002
menyatakan bahwa hasil pengamatan menunjukkan kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk metabolisme sekunder dan pembentukkan spora adalah sama. Pembentukkan spora dan metabolit
sekunder juga berlangsung secara bersamaan. Hal ini mungkin bisa menjelaskan alasan tidak ada aflatoksin yang terdeteksi pada uji TLC pada sampel-sampel dari media racikan. Berbeda dengan
koloni pada media GAN termodifikasi, warna koloni pada media PDB menandakan bahwa koloni tersebut telah menghasilkan spora dan metabolit sekunder. Hal tersebut sejalan dengan
hasil analisis TLC yang menunjukkan adanya aflatoksin yang diproduksi oleh kapang pada media PDB.
Meskipun demikian, penyebab adanya perbedaan hasil dari kedua media masih belum dapat dijelaskan dengan akurat karena faktor utama yang menyebabkan adanya perbedaan belum
bisa diidentifikasi. Kedua media yang digunakan secara umum hanya memiliki perbedaan dalam pH awal dan sumber nitrat yang digunakan. Media GAN termodifikasi memiliki pH 7.00 dengan
nitrat berasal dari sumber anorganik yakni ammonium nitrat. Sementara itu, media PDB yang digunakan memiliki pH awal 4.00 dengan nitrat berasal dari sumber organik. Kedua faktor
tersebut diduga mempengaruhi produksi aflatoksin pada kedua media. Yu et al. 2002 menyatakan bahwa terdapat bukti potensial tentang ekspresi gen dalam produksi aflatoksin yang
dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, seperti pH dan kandungan nitrat. Meskipun demikian, pengaruh nitrat terhadap produksi aflatoksin sampai saat ini masih belum jelas. Sementara itu,
Buchanan et al. 1975 dan Ruiqian 2004 menyatakan bahwa bahwa pH awal tidak mempengaruhi produksi aflatoksin pada beberapa strain secara signifikan dan universal,
36 sedangkan pengamatan lainnya menunjukkan bahwa pH asam lemah secara nyata menekan
pertumbuhan kapang namun menghasilkan aflatoksin yang lebih tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan media PDB dengan pH awal 4.00 mampu mendukung produksi aflatoksin lebih
baik dibanding media GAN termodifikasi yang memiliki pH awal 7.00 terhadap strain S.26 dan JCM yang dievaluasi. Meskipun demikian, tidak diketahui signifikansi pengaruh faktor pH awal
karena pH akhir pada kedua media tidak diukur. Pengaruh dari pH awal bergantung pada komposisi media sehingga pH awal yang optimum untuk tiap media akan berbeda. Namun
demikian, terdapat indikasi bahwa pH awal 7.00 mungkin merupakan salah satu penyebab minimnya produksi aflatoksin pada media GAN termodifikasi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan
untuk melihat pengaruh pH awal sekaligus menentukan pH awal yang paling optimum untuk media GAN termodifikasi.
Parameter lain selain pH awal dan komposisi media antara media GAN termodifikasi dan media PDB adalah sama. Parameter seperti ketersediaan O
2
dan CO
2
, suhu, dan kelembaban udara dianggap seragam karena kedua media ditempatkan pada ruang inkubasi yang sama.
Kedua media ditempatkan pada ruangan dengan temperatur sekitar 25 ˚C dan kelembaban udara
normal. Temperatur ruang inkubasi diusahakan tetap konstan dalam kisaran 25 ˚C. Meskipun
demikian, pengatur suhu yang berupa AC Air Conditioner memungkinkan adanya sedikit variasi suhu selama pembiakan kapang, namun variasi suhu tersebut dialami oleh biakan dalam
kedua media sehingga dalam hal ini kondisi pembiakan dapat disimpulkan seragam. Kedua jenis sampel baik dari isolat lokal S.26 dan JCM memiliki produksi tertinggi
pada ulangan kedua. Sampel isolat S.26 pada ulangan kedua menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 400 ppb dan sampel isolat JCM menghasilkan nilai produksi
maksimum aflatoksin sebesar 500 ppb. Sampel dari ulangan kedua kemudian dianalisis menggunakan HPLC untuk memperoleh nilai kandungan aflatoksin yang lebih akurat.
Metode TLC dalam analisis aflatoksin yang dilakukan masih memiliki beberapa kelemahan seperti tingkat sensitivitas yang lebih rendah dari metode lain seperti HPLC.
Publikasi hasil penelitian yang menggunakan TLC juga telah menurun jumlahnya dalam tahun- tahun belakangan. Meskipun demikian, metode ini masih dapat digunakan untuk melihat kurva
produksi aflatoksin dari sampel yang diuji. Metode TLC dengan teknik perbandingan dengan standar dalam mengestimasi konsentrasi aflatoksin merupakan pengukuran subjektif. Kesulitan
dalam memperkirakan perbedaan-perbedaan kecil dalam intensitas fluoresensi secara visual menyebabkan adanya kisaran presisi sebesar ± 20 dalam kondisi ideal Jones 1972. Faktor
yang mempengaruhi tingkat presisi analisis antara lain kesalahan dalam spotting, variasi resolusi dari batch yang berbeda tiap lempeng silika gel, dan kesalahan dalam penentuan peak areas pada
pengamatan di UV-reader. Akurasi dan tingkat presisi dalam analisis aflatoksin bisa ditingkatkan dengan mengembangkan instrumen pengukuran yang dapat mengukur intensitas
fluoresensi secara objektif.
C. Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC