Tujuan Penelitian Aspergillus flavus

2 sebagai senyawa bioterorisme yang menyebabkan peredaran maupun perdagangannya sangat diawasi dengan ketat oleh pihak-pihak terkait. Kapang Aspergillus sp., seperti A. flavus penghasil aflatoksin dapat tumbuh dengan baik pada iklim tropis Indonesia yang memiliki kelembaban, suhu, serta curah hujan tinggi. Hal tersebut menjadikan aflatoksin sebagai mikotoksin terpenting di Indonesia dari sekian banyak jenis mikotoksin lainnya. Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin yang sangat besar bagi produk- produk pertanian Indonesia membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana yang mencakup manajemen pengelolaan komoditas pangan baik pra-panen dan pasca panen. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk meminimalisasi kontaminasi aflatoksin terutama pada komoditas pertanian untuk memperkecil hambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri melalui manajemen yang baik. Manajemen yang baik mencakup penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat. Hal tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan tersedianya standar acuan aflatoksin yang bisa diperoleh dengan cepat, terjangkau, dan berkesinambungan. Potensi isolat lokal dari kapang Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin sangat tinggi, sehingga memungkinkan pemanfaatannya untuk memproduksi aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan. Kesulitan untuk memperoleh standar komersial memberikan peluang untuk menggali potensi isolat Aspergillus flavus. lokal sebagai penghasil aflatoksin untuk dijadikan standar. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan untuk berbagai laboratorium termasuk identifikasi dan kuantifikasi cemaran aflatoksin.

B. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan potensi isolat lokal Aspergillus flavus dalam menghasilkan aflatoksin. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Menyeleksi potensi isolat lokal A. flavus dalam memproduksi aflatoksin B1 dengan uji ELISA. 2. Mengevaluasi produksi aflatoksin dari isolat lokal terbaik pada medium cair PDB Potato Dextrose Broth dan medium cair GAN Glucose ammonium nitrate yang dimodifikasi. 3. Menganalisis aflatoksin yang dihasilkan dengan metode TLC dan mengkonfirmasi hasilnya dengan metode HPLC. Hasil pengamatan terhadap kromatogram kemudian dijadikan acuan dalam menentukan apakah isolat lokal yang digunakan memiliki potensi yang cukup untuk memproduksi aflatoksin dalam skala besar untuk dijadikan acuan dalam analisis aflatoksin. Penelitian ini diharapkan mampu membantu untuk menguji potensi isolat lokal sebagai penghasil aflatoksin. Hal tersebut pada akhirnya diharapkan mampu membantu membuat standar alternatif untuk analisis aflatoksin. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspergillus flavus

Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus Frazier dan Westhoff 1978. Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA. Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan Abbas 2005. Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada a w water activity yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan Penicillium Hocking 2006. Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia Hocking 2006; Pitt 2006. Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1. Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi Scheidegger dan Payne 2003. Sifat morfologis Aspergillus Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar Hedayati et al. 2007 4 flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam Smith dan Pateman 1977. Ruiqian et al. 2004 menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang 400-800 µm dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak Gambar 2. Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari Ruiqian et al. 2004. Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007. Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi grup Aspergillus flavus dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak dipelajari hingga saat ini. Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus Hedayati et al. 2007 Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang dapat tersebar melalui udara airborne dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban sebagai variabel yang paling penting Hedayati et al. 2007. Tingkat penyebaran Aspergillus flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman Bhatnagar 2000. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi Abbas 2005. Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang 5 mengkontaminasi produk agrikultur Yu et al. 2002. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80 a w minimum=0.80 dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83 a w minimum pembentukan aflatoksin=0.83. Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80 dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan a w minimum bertambah tinggi Makfoeld 1993. Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi Gambar 3. Vujanovic et al. 2001 berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada a w 0.86 dan 0.96. Sauer 1986 menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85 dan kadar air di bawah 16. A w minimum yang dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 Richard et al. 1982 . Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion. Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi Hedayati et al. 2007. Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang laiinya Hedayati et al. 2007. Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007. Hedayati 2007 menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus Reddy et al. 2010 6 magnesium dan unsur mikro besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum. Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30 ˚C dengan Rh ≥ 95 Onions et al. 1981. Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O 2 dan N 2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO 2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O 2 minimum 1 untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.

B. Aflatoksin