Aflatoksin Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin

6 magnesium dan unsur mikro besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum. Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30 ˚C dengan Rh ≥ 95 Onions et al. 1981. Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O 2 dan N 2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO 2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O 2 minimum 1 untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.

B. Aflatoksin

Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip Ruiqian et al. 2004. Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu Yu et al. 2002. Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004. Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan Yu et al. 2004; Yusrini 2005. Aflatoksin memiliki karakteristik seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 . Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksin a Aflatoksin Rumus Molekul Berat Molekul Titik leleh C B 1 C 17 H 12 O 6 312 268-269 B 2 C 17 H 14 O 6 314 286-289 G 1 C 17 H 12 O 7 328 244-246 G 2 C 17 H 14 O 7 330 237-240 M 1 C 17 H 12 O 7 328 299 M 2 C 17 H 14 O 7 330 293 B 2A C 17 H 14 O 7 330 240 G 2A C 17 H 14 O 8 346 190 a Sumber: http:www.icrisat.orgaflatoxinaflatoxin.asp 2010 Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, 7 aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008. Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin aflR maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi Yu et al. 2002. Yu et al. 2002 menyatakan bahwa aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide anthraquinone . Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi Gambar 4 yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut. hexanoyl CoA precursor — norsolorinic acid, NOR — averantin, AVN — hydroxyaverantin, HAVN — averufin, AVF — hydroxyversicolorone, HVN— versiconal hemiacetal acetate, VHA — versi-conal, VAL — versicolorin B, VERB — versicolorin A, VERA — demethyl-sterigmatocystin, DMST — sterigmatocystin, ST — O- methylsterigmatocystin, OMST— aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1, AFG1. Gambar 4. Skema produksi aflatoksin Yu et al. 2002 Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks Gambar 5 dan diatur oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Yu et al. 2002 menyatakan bahwa efek posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan lingkungan. D’Mello 2002 secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil koenzim-A. 8 Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterigmatosistin Yu et al. 2002 Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin secara biologis maupun dalam kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan yang membatasi pertumbuhan Carvalho 2010. 9 Fente et al. 2001 menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus , dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan Wang et al. 2005. Kapang- kapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses pelapukan Diener dan Davis 1969 atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi Winn dan Lane 1978 meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet Syarief et al. 2003. Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B blue dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G green. Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip Gambar 6. Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin Lee et al. 2004 10 Semakin kecil indeks angka tambahan tersebut, semakin cepat Rf Rate of Flow dari spot sehingga rasio antara jarak spot dan eluen semakin besar. Steyn 1991 dan Miller 1994 menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan turunan dihidroaflatoksin G1. Goldblatt 1969 menyatakan bahwa aflatoksin M1 adalah 4-hidroksiaflatoksin B1 dan aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2. AFM1 dan AFM2 pertama kali diisolasi dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan yang terkontaminasi aflatoksin Ruiqian et al. 2004. Ruiqian et al. 2004 menyatakan bahwa molekul aflatoksin memiliki inti coumarin yang berikatan dengan bifuran atau pentanon seperti pada AFB1 dan AFB2, atau lakton seperti pada AFG1 dan turunannya AFG2. Aflatoksin merupakan grup komponen heterosiklik turunan polikeptida dari furanocoumarins yang dapat berpendar dengan setidaknya 16 jenis toksin yang sudah terkarakterisasi memiliki kaitan struktural yang umumnya digolongkan berdasarkan residu dihidrofuran atau tetrahidrofuran yang tergabung ke coumarin moiety tersubstitusi D’Mello 2002; Yu et al. 2002. Pembentukan aflatoksin terjadi pada kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoksin pada Aspergillus flavus pada kacang tanah steril adalah 25°C selama 7-9 hari Makfoeld 1993. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain Diener dan Davis 1969. Aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang tinggi dan berbahaya Diener dan Davis 1969 serta paling banyak ditemui dalam konsentrasi tinggi baik pada pangan maupun pakan Lee et al. 2004. Oleh karena itu, kebanyakan penelitian yang telah dilakukan umumnya cenderung difokuskan untuk meneliti aflatoksin B1. Regulasi terkait akan aflatoksin telah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah menetapkan batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing sebesar 20 ppb dan 35 ppb Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.1405 tahun 2004. Beberapa negara uni-eropa menerapkan regulasi batas maksimum jumlah aflatoksin sebesar 5 ppb Yu et al. 2002.Lee et al. 2004 menyatakan bahwa nilai LD 50 dari aflatoksin ialah 0,5 mgkg berat badan sehingga aflatoksin diketahui lebih bersifat karsonogenik dibandingkan hampir semua karsinogen lainnya dan dikategorikan sebagai karsinogen kelas I oleh International Agency for Research on Cancer IARC. Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan Yu et al. 2002. Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang kronis dan penyakit jangka pendek akut bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan Martins et al . 2008. Aflatoksin umumnya mempengaruhi liver dan beberapa kasus terkontaminasi aflatoksin telah terjadi pada kelompok masyarakat di berbagai negara, terutama negara tropis. Meskipun demikian, kasus keracunan akut masih jarang terjadi sehingga kewaspadaan masyarakat masih terbilang rendah. Syarief et al. 2003 menyatakan bahwa aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Hasil penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa telah terdapat cukup bukti berupa hasil penelitian in vitro dan in vivo yang mendukung pandangan bahwa manusia memiliki proses biokimia yang dibutuhkan oleh karsinogen yang diinduksi oleh 11 aflatoksin Verma 2004. Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati. Hedayati et al. 2007 menyebutkan bahwa sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B AmB dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus. Meskipun belum ada laporan terinci mengenai kerugian ekonomi dikarenakan adanya keengganan untuk melaporkan kasus kontaminasi aflatoksin, data penelitian menunjukkan adanya dampak aflatoksin pada produksi pertanian dan peternakan di Indonesia Bahri et al. 2003; Lilieanny et al. 2005 termasuk pada bahan pangan dan pakan Aryantha et al. 2007. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan menyebabkan adanya residu dalam tubuh yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Van Eijkeren et al. 2006; Diaz et al. 2006. Data dari LIPI mengindikasikan bahwa 47 kecap yang didistribusikan di Jawa telah terkontaminasi aflatoksin Aryantha et al. 2007. Pitt dan Hocking 1997 memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi kematian 20.000 orang penderita kanker hati di Indonesia yang disebabkan oleh aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang menjadi perhatian bagi produsen produk dairy diantara lebih dari 200 jenis mikotoksin yang telah diidentifikasi. Hal tersebut mendorong adanya regulasi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin dalam produk pangan. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 penduduk dunia Egmond et al. 2005. Berikut ini ialah beberapa regulasi yang terkait dengan aflatoksin. Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 . Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkan a a Sumber: www.ipm.iastate.edu 2010 b part per billion Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan. Kebanyakan kasus kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan yang telah dilaporkan di Indonesia umumnya berupa produk berbasis kacang-kacangan dengan 80 produk kacang-kacangan yang dipercontohkan dapat mengandung aflatoksin B1 dengan jumlah rataan sebesar 30 ppm. Potensi bahaya dari aflatoksin dan kecenderungannya untuk menjadi residu pada berbagai bahan pangan dan pakan menimbulkan kebutuhan akan batasan yang wajar mengenai Konsentrasi aflatoksin ppb b Efek yang ditimbulkan 20 Level maksimal yang diijinkan untuk manusia 50 Level maksimal yang diijinkan untuk hewan 100 Pertumbuhan lambat pada usia muda 200-400 Pertumbuhan lambat pada usia tua 400 Kerusakan hati dan kanker 12 jumlah aflatoksin dalam suatu bahan pakan atau pangan. Hal ini berkaitan erat dengan isu keamanan pangan yang semakin menjadi perhatian. Seluruh pihak yang berkepentingan stakeholder perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. yang dapat dilihat dalam Tabel 3. Penerapan standar yang aman akan menurunkan resiko terjadinya paparan aflatoksin dari bahan pangan maupun pakan. Tabel 3. Konsentrasi aflatoksin maksimum untuk berbagai penggunaan a Penggunaan Konsentrasi aflatoksin ppb b Susu perusahaan susu Tidak terdeteksi Jagung yang belum pasti pengolahannya 20 Jagung untuk hewan muda 20 Jagung untuk pakan ternak lembu 20 Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa 100 Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong 200 Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong 300 a Sumber: http:www.pubs.caes.uga.edu 2009 b part per billion Lee et al. 2004 menyatakan bahwa kontaminasi aflatoksin dapat terjadi di lapangan, selama panen dan distribusi, dan dalam kondisi dimana kapang dimungkinkan untuk tumbuh. Aflatoksin dapat menginduksi efek akut pada manusia dan kasus di lapangan terus terjadi meskipun kesadaran masyarakat dunia akan toksisitas dan implikasinya terhadap kesehatan telah semakin meningkat. Beberapa masalah yang ditimbulkan memiliki kesamaan, meskipun demikian terdapat perbedaan dalam prioritas masalah yang dikhawatirkan Shier et al. 2005. Permintaan untuk pemyediaan metode pemantauan kontaminasi aflatoksin yang sederhana, cepat, dan ekonomis dengan peralatan yang sederhana dalam cakupan regional berkembang seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika terus meningkat dikarenakan tingginya insiden kanker hati Lee et al. 2004. D’Mello 2002 menyatakan bahwa aflatoksin banyak dijumpai pada kacang-kacangan di daerah Afrika Timur dan Barat, India, Taiwan, Thailand, dan Filipina yang menyebabkan kanker hati, kwashiorkor, serosis, hepatitis akut, dan sindrom Reye’s. Perkembangan yang ada dalam lingkup regional pada akhirnya akan mempengaruhi lingkup internasional. Regulasi aflatoksin pada perdagangan baik regional maupun internasional merupakan perhatian berbagai pihak terkait baik konsumen, produsen, maupun penentu kebijakan. Seiring meningkatnya perhatian akan isu keamanan pangan, kadar aflatoksin pada komoditi ekspor-impor pangan dan pakan saat ini merupakan salah satu parameter utama jaminan mutu dan keamanan produk. Berbagai regulasi mengenai aflatoksin yang dikeluarkan mengindikasikan tanggapan pemerintah yang serius akan isu keamanan pangan dan pakan yang disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu miktoksin yang diregulasikan oleh US. Food and Drug Administration FDA seperti dapat dilihat pada Tabel 4. 13 Tabel 4 . Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan pakan. Kandungan Aflatoksin ppb a Komoditas Spesies 0.5 aflatoksin M 1 Susu Manusia 20.0 Semua pangan kecuali susu Manusia 20.0 Pakan Ternak 100.0 b Jagung Ternak lembu, ternak babi, dan unggas dewasa 200.0 b Jagung Karkas babi 100 lbs. 300.0 b Jagung Karkas sapilembu 300.0 b Biji kapas sebagai pakan Ternak a part per billion b pengecualian Kontaminasi aflatoksin memberikan dampak yang besar baik di negara maju maupun negara berkembang. Berikut ini Tabel 5 ialah perbandingan dampak kontaminasi aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang. Tabel 5 . Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang 1 . Faktor Negara maju Negara berkembang Periode produksi aflatoksin Pra-panen Pasca-panen Tanaman yang terkontaminasi Jagung, kacang tanah, kacang pohon. Jagung, kacang, kopra, jewawut, tepung ubi jalar, dan tepung singkong Perhatian pertama Biaya regulator untuk pemantauan Keracunan kronis, meliputi hepatokarsinoma primer, penurunan kekebalan tubuh, dan keracunan akut. Perhatian kedua Yield loss pada pakan ternak Yield loss pada pakan ternak 1 Sumber: Shier et al. 2005 Negara-negara maju umumnya telah memiliki instrumen yang memadai untuk memantau level kontaminasi pada pangan dan pakan Cardwell dan Henry 2005, namun tidak demikian halnya untuk negara berkembang, terutama daerah-daerah pertanian yang miskin. 14 Negara maju juga telah memiliki sistem pengalihan produk-produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, sebagai contoh, jagung yang terkontaminasi masih dapat digunakan untuk pakan sapi sesuai batasan yang diregulasikan. Hal tersebut berbeda dengan negara berkembang yang masih belum memiliki diversitas pasar yang cukup sehingga produk-produk pertanian yang terkontaminasi masih dapat ditemukan pada produk untuk konsumsi manusia dan mengancam keamanan pangan. Binder et al. 2007 menyatakan bahwa terdapat indikasi yang jelas dari kontaminasi aflatoksin yang tinggi pada sampel dari wilayah Asia Selatan dengan kontaminasi aflatoksin tertinggi ditemukan di India 275 ppb. Level kontaminasi rata-rata ialah 52 ppb dengan nilai median 24 ppb. Perhatian utama tentang aflatoksin pada negara berkembang umumnya terpusat pada efek toksik dan dampak kesehatan melalui konsumsi langsung produk- produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, terutama permasalahan keracunan kronis, berbeda dengan negara maju yang umumnya berupa kerugian pasar akibat komoditi yang ditolak Binder et al. 2007. Perhatian akan keracunan kronis semakin meningkat seiring ditemukannya bukti bahwa aflatoksin dapat bersinergi dengan polutan dari industri maupun toksin alami dari lingkungan Shier et al. 2005. Aflatoksin juga dilaporkan mampu mengurangi imunitas pada ternak ayam dan dimungkinkan untuk mengurangi imunitas pada manusia karena toksisitas kronis ditemukan mampu memodulasi sistem imun sehingga meningkatkan kecenderungan infeksi Oswald, et al. 1998; D’Mello 2002. Toksisitas akut bisa terjadi tiga minggu setelah ingesti Omaye 2004. D’Mello 2002 mengelompokkan aflatoksin sebagai salah satu dari miktoksin yang tersebar melalui makanan foodborne mycotoxins yang umum dijumpai di kacang-kacangan dan buah yang dikeringkan. Potensi bahaya aflatoksin menimbulkan kebutuhan akan analisis aflatoksin yang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Standar yang dibutuhkan dalam analisis aflatoksin dapat diperoleh dari isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Reddy et al. 2009 melakukan penelitian berupa seleksi isolat Aspergillus flavus potensial yang diisolasi dari beras yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 . Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi dari beras a . Isolat Asal Sampel Kandungan Aflatoksin B1 ppb YES b medium AFPA c medium Crude rice grain medium d DRAf 002 Tamil Nadu 6400 - 62000 DRAf 006 Tamil Nadu 4500 - 13000 DRAf 009 Tamil Nadu 40000 - 415000 DRAf 012 Maharashtra 5800 - 15000 DRAf 018 Maharashtra 5000 - 36000 a Sumber: Reddy et al. 2009 b YES Yeast Extract Sucrose agar. c AFPA Aspergillus flavus and parasiticus agar d Rice cultivar : Pusa Basmati 1 Penelitian yang dilakukan oleh Reddy et al. 2009 bertujuan untuk melihat potensi isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Isolat lokal yang memiliki potensi tinggi 15 akan digunakan untuk menghasilkan standar murni. Aflatoksin termasuk toksin yang stabil dalam pengaruh panas sehingga sangat sulit untuk dihancurkan apabila sudah terbentuk Lee et al . 2004. Reddy et al. 2010 menyatakan bahwa kontaminasi mikotoksin merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Praktek agronomi dan produksi saat ini tidak memungkinkan pencegahan total terhadap keberadaan kontaminasi mikotoksin selama penanaman, panen, penyimpanan, maupun selama proses produksi. Omaye 2004 menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dan kanker hati dimana laki-laki lebih berpeluang untuk terserang. Insiden kontaminasi aflatoksin sangat tinggi di India dan Afrika dimana masyarakat terpaksa mengkonsumsi biji-bijian berkapang untuk bertahan hidup. Sementara itu, dekontaminasi mikotoksin baik melalui penggunaan perlakuan panas maupun bahan kimia membutuhkan peralatan dan biaya yang tidak sedikit disertai kemungkinan penurunan nilai gizi dari produk yang terkontaminasi. Oleh karena itu, aplikasi Good Agricultural Practices GAP dan Good Manufacturing Practices GMP menjadi sangat penting dalam berbagai upaya pencegahan kontaminasi aflatoksin.

C. Kultivasi Kapang Pada Medium Cair