Latar Belakang Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keamanan pangan merupakan salah satu isu kesehatan masyarakat yang semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang aman. Hak untuk mendapatkan pangan yang aman merupakan salah satu hak asasi manusia. Meskipun demikian, sampai dengan saat ini masalah keamanan pangan masih belum bisa teratasi dengan baik. Salah satu penyebab pangan menjadi tidak aman ialah adanya kontaminasi mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang. Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan dapat dilihat dengan diterapkannya standar mutu produk internasional ISO 9000, standar mutu lingkungan ISO 14000, dan ekolabel sebagai instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar Kasno, 2004. Beberapa kapang jenis tertentu mampu menghasilkan suatu senyawa organik beracun yang disebut mikotoksin Syarief et al. 2003. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu, dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Verma 2004 menyatakan bahwa kuantitas aflatoksin yang lebih tinggi umum dijumpai pada komoditas yang berasal dari negara subtropis dan tropis dimana kondisi lingkungannya lebih cocok untuk pertumbuhan kapang dan produksi mikotoksin. Pada tahun 1980-an dilaporkan adanya keracunan aflatoksin di Ujung Pandang Makassar akibat satu keluarga mengkonsumsi kue khas daerah yang dinyatakan telah terkontaminasi aflatoksin sehingga menyebabkan tewasnya seluruh anggota keluarga tersebut. Kasus ini menimbulkan polemik pro dan kontra menyangkut efek kematian yang mendadak akut dari mikotoksin yang belum pernah terdokumentasi Syarief et al. 2003. Aflatoksin banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan di Indonesia yang berasal dari produk pertanian. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan berpotensi menyebabkan tertimbunnya residu dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Diaz et al. 2006; Van Eijkeren et al. 2006. Di Indonesia setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200.000 penderita kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin Pitt et al . 1997. Potensi bahaya aflatoksin dalam pangan dan pakan mendorong munculnya berbagai regulasi terkait dengan aflatoksin. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 penduduk dunia Egmond et al. 2005. Penentuan konsentrasi aflatoksin dalam suatu komoditas pertanian, baik pakan maupun pangan, membutuhkan suatu metode analisis tertentu. Gilbert et al. 2005 menyatakan bahwa analisis aflatoksin pertama kali dilakukan lebih dari 30 tahun yang lalu menggunakan thin layer chromatography TLC. Kemajuan teknologi analisis saat ini telah mengarah pada penggunaan instrumen high performance liquid chromatography HPLC. Meskipun demikian, pada dasarnya metode analisis aflatoksin membutuhkan penggunaan standar acuan. Sementara itu, standar aflatoksin sangat sulit untuk diperoleh di Indonesia karena mikotoksin ini dikategorikan 2 sebagai senyawa bioterorisme yang menyebabkan peredaran maupun perdagangannya sangat diawasi dengan ketat oleh pihak-pihak terkait. Kapang Aspergillus sp., seperti A. flavus penghasil aflatoksin dapat tumbuh dengan baik pada iklim tropis Indonesia yang memiliki kelembaban, suhu, serta curah hujan tinggi. Hal tersebut menjadikan aflatoksin sebagai mikotoksin terpenting di Indonesia dari sekian banyak jenis mikotoksin lainnya. Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin yang sangat besar bagi produk- produk pertanian Indonesia membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana yang mencakup manajemen pengelolaan komoditas pangan baik pra-panen dan pasca panen. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk meminimalisasi kontaminasi aflatoksin terutama pada komoditas pertanian untuk memperkecil hambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri melalui manajemen yang baik. Manajemen yang baik mencakup penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat. Hal tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan tersedianya standar acuan aflatoksin yang bisa diperoleh dengan cepat, terjangkau, dan berkesinambungan. Potensi isolat lokal dari kapang Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin sangat tinggi, sehingga memungkinkan pemanfaatannya untuk memproduksi aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan. Kesulitan untuk memperoleh standar komersial memberikan peluang untuk menggali potensi isolat Aspergillus flavus. lokal sebagai penghasil aflatoksin untuk dijadikan standar. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan untuk berbagai laboratorium termasuk identifikasi dan kuantifikasi cemaran aflatoksin.

B. Tujuan Penelitian