PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA

IV. PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA

Perkebunan sebagai bagian atau subsektor dari pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Usaha perkebunan di Indonesia sangat berkaitan langsung dengan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam aspek ekonomi, usaha perkebunan telah memberikan peranan dalam penerimaan devisa negara, sumber ekonomi wilayah serta sumber pendapatan masyarakat. Dalam aspek sosial, telah mampu menyerap tenaga kerja yang besar baik sebagai petani maupun sebagai tenaga kerja. Sedangkan dalam aspek ekologi dengan sifat tanaman yang bersifat pohon, usaha perkebunan mendukung pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup seperti sumberdaya air, penyedia oksigen dan mengurangi degradasi lahan. Komoditi perkebunan merupakan salah satu komoditi di luar minyak dan gas alam yang mempunyai potensi dan prospek baik di pasar dunia. Salah satu komoditi perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah tebu. Perkebunan tebu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tebu berpengairan dan tebu tanpa pengairan atau tebu tegalan. Tebu berpengairan terutama diusahakan orang di lahan sawah yang berpengairan teknis atau semi teknis. Tebu tegalan diusahakan di lahan-lahan kering tanpa pengairan tadah hujan. Tanaman tebu merupakan bahan baku utama bagi industri gula, sehingga perkembangan industri tersebut sangat erat kaitannya dengan kualitas tanaman tebu. Industri gula di Indonesia telah lahir dan berkembang sebagai bagian dari sejarah kolonialisme, dengan berbagai kekuatan perlawanan yang ditimbulkannya dalam satu jalinan proses kelahiran dan pertumbuhan bangsa Indonesia. Selama bertahun-tahun sebelum perang dunia II, industri gula merupakan salah satu industri terpenting di Indonesia. Pada tahun 1928 menghasilkan tiga perempat dari ekspor Jawa keseluruhan dan industri itu telah menyumbang seperempat dari seluruh penerimaan pemerintah Hindia-Belanda. Pada masa itu terdapat 178 pabrik gula yang mengusahakan perkebunan-perkebunan di Jawa dengan luas areal tebu yang dipanen kira-kira 200.000 hektar dan menghasilkan hampir 3 juta ton gula dimana hampir separuhnya di ekspor. Ketika itu Jawa merupakan eksportir kedua terbesar di dunia yang hanya kalah oleh Cuba Mubyarto, 1984. Berbagai masalah dialami oleh industri gula di Indonesia. Disamping terbatasnya areal lahan, tersedianya irigasi, melimpahnya tenaga kerja telah melahirkan sistem industri gula yang unik. Karakteristik lain yang melekat pada produksi gula di Indonesia adalah umur tanaman yang relatif panjang, sehingga produksi relatif kurang cepat tanggap terhadap harga.selain itu, karena gula tidak dapat langsung dikonsumsi petani, maka hampir 100 persen gula pasir yang diproduksi masuk ke pasaran BPPP, 2005. Selain masalah keterbatasan areal, irigasi dan tenaga kerja, produktivitas tebu juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri gula. Faktor yang memengaruhi rendahnya produktivitas tebu antara lain adalah perubahan lahan, banyaknya penggunaan teknik keprasan, mutu bibit, teknis dan budidaya, pengaruh iklim serta tebu tidak dipanen pada saat umur optimal. Perubahan lahan yang dimaksud adalah perubahan dari lahan sawah menjadi tegalan. Semakin banyak tebu dikepras, semakin sedikit tebu yang dihasilkan per satu hektar lahan. Teknis dan budidaya tebu yang berpengaruh adalah kesesuaian porsi pemupukan dan kecukupan air. Iklim berpengaruh pada fase pertumbuhan tebu dan pemanenan yang tidak sesuai umur optimal akan menghasilkan kadar gula yang rendah. Sampai dengan tahun 2008, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas dari kebijakan input dan produksi, distribusi serta harga. Diantara berbagai kebijakan produksi dan input, kebijakan yang paling melandasi perubahan dalam industri gula dalam negeri adalah kebijakan TRI Tebu Rakyat Intensifikasi yang tertuang dalam Inpres No. 91975 yang disahkan pada tanggal 22 April 1975 yang bertujuan meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani tebu. Kebijakan tersebut bermaksud menjadikan petani sebagai manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD serta menciptakan hubungan kerjasama antara petani tebu dengan pabrik gula Hapsari, 2008. Selain kebijakan mengenai input dan produksi gula, pemerintah juga menetapkan kebijakan dalam rangka memperbaiki tataniaga impor gula. Kebijakan tersebut tertuang dalam Kepmenperindag No. 643MPPKep92002 yang ditetapkan pada tanggal 23 September 2002 mengenai pembatasan pelaku impor gula hanya pada importir gula produsen dan importir gula terdaftar dengan tujuan melindungi produsen dalam negeri dan meningkatkan pendapatan petani. Kebijakan tersebut kemudian disempurnakan dengan Kepmenperindag No. 527MPPKep92004 mengenai pengawasan terhadap gula impor ilegal, pembatasan importir gula, ketentuan jenis gula dan peruntukannya berdasarkan batasan icumsa ukuran kristal gula. Keputusan menteri tersebut juga mewajibkan importir terdaftar menyangga harga pada tingkat tertentu untuk melindungi harga gula domestik dipasaran. Selama ini gula rafinasi bukannya tidak boleh dijual bebas, namun pemasarannya masih diatur oleh Surat keputusan SK Menperindag, karena peruntukan gula olahan itu untuk industri makanan dan minuman, penjualannya dibatasi dengan kemasan 50 kilogram. Pemerintah menjamin tidak adanya kebocoran gula rafinasi ke pasaran melalui SK Mendag No.3572008 tentang penarikan gula rafinasi di pasar tradisional, pasar modern maupun minimarket. Hal tersebut dilakukan guna melindungi produsen gula putih dan harga gula di pasaran. Pada tahun 2008, Kementerian Perindustrian mengeluarkan kebijakan berupa peraturan yang membantu menopang program revitalisasi industri gula dalam rangka mewujudkan swasembada gula nasional. Kebijakan Nomor 91M- INDPER112008 yang disahkan pada tanggal 21 Nopember 2008 tersebut berisi tentang keringanan pembiayaan restrukturisasi mesin pada pabrik gula. Keringanan tersebut diberikan dengan mengarahkan penggunaan atau penggantian mesin dengan memanfaatkan mesin hasil buatan dalam negeri. Sehingga selain dapat menopang langkah revitalisasi pabrik gula, dapat pula membantu mendorong pertumbuhan industri permesinan dalam negeri.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN