5.1.2 Peraturan dalam pengelolaan hutan dan lahan
Terdapat beberapa aturan adat berupa pikukuh dan buyut dalam kehidupan masyarakat Baduy Lampiran 1
.
Salah satu pikukuh yang sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat Baduy dalam melestarikan hutan adalah sasaka eta tangkal
alam. Pikikuh tersebut menegaskan bahwa hutan merupakan pusaka yang harus dijaga kelestariannya. Oleh karena itu dari awal keberadaannya hingga sekarang
hutan yang berada di wilayah Baduy masih terjaga dengan baik. Hal ini didukung dengan kondisi alamnya yang tidak pernah mengalami banjir atau longsor,
ketersediaan air bersih melimpah, kesuburan tanah terjaga, dan keanekaragaman hayati yang tinggi Jaro Dainah sebagai pemimpin jaro pamarentahan 1
September 2010, komunikasi pribadi. Peraturan lain yang berkaitan dengan pikukuh tersebut adalah filosofi hidup
masyarakat Baduy gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak, buyut ulah dirobah, ngadek sacekna nilas sapasna gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak
boleh dirusak, larangan tidak boleh dirubah, jika melakukan sesuatu harus secukupnya tidak boleh berlebihan. Masyarakat menyadari jika gunung rusak
maka ketersediaan air akan berkurang, dapat menyebabkan banjir, udara tidak sejuk, dan kondisi lingkungan tidak nyaman. Jika lembah dikeruk pasirnya maka
akan menyebabkan longsor. Jika peraturan dirubah maka kehidupan tidak akan teratur. Jika mengambil sesuatu secara berlebihan maka akan menyebabkan
kerusakan. Berbagai aturan tersebut tercermin dalam pembagian wilayah Baduy yang dibagi berdasarkan peruntukkannya.
Secara garis besar, peruntukkan wilayah Baduy dibagi menjadi hutan lindung, ladang, dan pemukiman. Hutan lindung merupakan leuweung titipan
yang harus dijaga agar tidak mengalami kerusakan, tidak boleh dimanfaatkan secara berlebihan oleh masyarakat Baduy, dan tidak dapat dimasuki secara bebas
oleh masyarakat luar Baduy. Wilayah hutan lindung terbentang dari Gunung Kendeng sampai Gunung Paniga. Selain hutan lindung yang berada pada wilayah
tersebut, terdapat pula hutan lindung berupa dudungusan mata air, jurang, sempadan sungai, atau hutan disekitar pemukiman. Ladang merupakan tempat
masyarakat Baduy untuk ngahuma. Ladang umumnya berada di antara pemukiman dan hutan lindung. Lahan yang akan digunakan untuk berladang
disebut huma, lahan bekas ladang yang berumur satu atau dua tahun disebut jami, dan lahan bekas ladang yang berumur lebih dari dua tahun disebut reuma.
Pemukiman sebagai tempat tinggal masyarakat Baduy berada di lahan yang datar dan dekat dengan sumber air Gambar 5.
Sumber: Marlina 2009
Gambar 5 Sketsa kondisi pemukiman masyarakat Baduy. Kegiatan pemanfaatan merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat Baduy. Terdapat beberapa ketentuan dalam kegiatan pemanfaatan, salah satu ketentuan yang berlaku adalah pemanfaatan untuk bagian
batang. Sebagai contoh, penebangan pohon dari hutan lindung untuk kebutuhan pribadi dapat dilakukan, khususnya untuk membangun rumah dan leuit tempat
menyimpan padi. Namun, masyarakat terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari kokolotan dan harus memenuhi berbagai persyaratan. Persyaratan yang harus
dipenuhi diantaranya adalah membawa sirih Piper betle, gambir Uncaria gambir, panglai Zingiber cassumunar, pinang Areca catechu, dan menyan.
Syarat ini diserahkan untuk kebutuhan ritual adat antara kokolotan dengan dangiang. Jika dangiang tidak memberikan izin maka masyarakat harus mencari
spesies tumbuhan lain. Izin tersebut sangat sulit untuk didapatkan karena banyak syarat yang harus dipenuhi dan prosesnya sangat lama. Hal ini menyebabkan
masyarakat lebih memilih untuk membeli kayu dari luar Baduy atau dengan sengaja membudidayakan pohon di reuma untuk memenuhi kebutuhannya.
Karakteristik masyarakat Baduy sebagai peladang berimplikasi pada besarnya penggunaan lahan untuk berladang. Lahan yang diperbolehkan untuk
digunakan adalah lahan yang berada di luar hutan lindung atau pemukiman.
Syarat penggunaan lahan adalah adanya izin dari puun dan kokolotan. Bagi masyarakat Baduy Dalam, izin dapat diajukan kepada jaro tangtu. Selanjutnya
jaro tangtu akan melaporkan kepada baresan 9, setelah itu baresan 9 akan melaporkan kepada puun dan kokolotan. Terdapat perbedaan bagi masyarakat
Baduy Luar, yaitu adanya keharusan untuk mengajukan izin kepada jaro 7 terlebih dahulu. Jaro 7 akan melanjutkan izin tersebut sampai kepada puun dan
kokolotan. Setelah mendapatkan izin maka lahan dapat digunakan. Hal yang harus diperhatikan oleh pengguna lahan adalah batas lahan yang digunakannya. Luas
penggunaan lahan tidak boleh melebihi luas lahan yang diizinkan untuk digarap. Terutama jika lahan yang digunakan berbatasan dengan leuweung kolot atau
dudungusan maka penggunaan lahan tidak boleh menyebabkan kerusakan pada wilayah yang dilindungi. Jika pengguna lahan melakukan pelanggaran, maka akan
terkena sanksi adat. Pemilikan lahan di wilayah Baduy Dalam dilakukan secara bersama-sama
komunal. Lahan yang akan digunakan harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan penduduk sebelumnya yang telah menggunakan lahan tersebut. Pemilikan
lahan dapat dilakukan secara bergilir sesuai kesepakatan hasil musyawarah antara pengguna sebelumnya dengan pengguna baru yang ingin menggunakan lahan
tersebut. Selain itu, keberadaan spesies tumbuhan yang ada di lahan tersebut perlu menjadi perhatian. Masyarakat Baduy Dalam umumnya menjadikan pohon
sebagai batas lahan garapannya. Pohon yang umumnya digunakan adalah kadu Durio zibethinus. Meskipun pemilikan lahan telah bergilir kepada orang lain,
spesies tumbuhan yang berada di lahan tersebut tetap milik orang yang pertama kali menanamnya atau memeliharanya. Selama pohon tersebut masih
menghasilkan buah maka pihak yang pertama kali menanamnya atau memeliharanya hingga keturunannya berhak untuk memanfaatkan hasil dari
pohon tersebut, sedangkan pengguna yang baru tidak diperbolehkan memanfaatkannya.
Bagi masyarakat yang berada di Baduy Luar, pemilikan lahan dapat dilakukan secara pribadi. Lahan tersebut merupakan warisan dari nenek
moyangnya yang dibagikan dengan menggunakan sistem waris. Hal ini menyebabkan luas lahan yang diwariskan untuk setiap generasi akan terus
berkurang karena jumlah penduduk terus meningkat. Akibatnya tidak semua orang di Baduy Luar memiliki lahan garapan di dalam wilayah Baduy. Oleh
karena itu, sebagian masyarakat Baduy Luar harus membeli lahan di luar Baduy untuk berladang atau mereka bekerja kepada masyarakat di luar Baduy untuk
membantu menggarap lahan dengan sistem bagi hasil.
5.1.3 Tingkat keanekaragaman tumbuhan di beberapa tipologi habitat