Kecamatan ini memiliki 11 Kelurahan, dimana salah satu kelurahan yang saya teliti adalah Kelurahan Perintis dengan jumlah penduduk di kelurahan tersebut 5.768 orang
yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.672 orang dan perempuan berjumlah 3.096 orang. Kelurahan Perintis memiliki 9 tempat pemungutan suara TPS. Karena
penelitian ini berfokus pada pemilih perempuan Islam maka berdasarkan data yang peneliti peroleh di Kelurahan Perintis terdapat 1.557 perempuan Islam yang terdaftar
dalam DPT Kota Medan. Dan angka inilah yang akan digunakan peneliti untuk mencari sampel dalam melengkapi penelitian ini.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perilaku
perempuan islam pemilih di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur dalam menetapkan pilihannya terhadap pasangan calon Rahudman Harahap-Dzulmi
Eldin pada Pemilukada Kota Medan 2010 ?”
C. Pembatasan Masalah
Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah tehadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan
yang diinginkan, dan agar penelitian ini mencapai tujuan dan tidak mempengaruhi kefokusan peneliti dalam melakukan penelitian dilapangan. Pada penelitian ini
penulis hanya membahas masalah : 1.
Bagaimana fenomena perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua tahun 2010 ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan perempuan Islam, di
Kelurahan Perintis Kecamatan Medan Timur pada Pemilukada Putaran II Kota Medan 2010 ?
Universitas Sumatera Utara
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana perilaku perempuan Islam pemilih di Kelurahan
Perintis dalam Pemilihan Walikota Medan putaran kedua 2010. 2.
Untuk mengetahui serta menganalisis apakah faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perempuan Islam dalam memberikan suaranya pada
calon Walikota Kota Medan pada Pemilihan Kepala Daerah putaran kedua di Kelurahan Perintis Kota Medan 2010.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi pribadi, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan berpikir,
menulis, dan menganalisa fenomena politik yang terjadi di masyarakat. 2.
Bagi lembaga, penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah di Departemen Ilmu Politik, khususnya mengenai perilaku
pemilih. 3.
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik dan menjadi sarana pembelajaran dalam memberikan pilihan pada
pemilukada.
F. Kerangka Teori F.1. Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku sesungguhnya telah berkembang sejak awal di Negara adikuasa seperti Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Adapun hal yang
menyebabkan pendekatan perilaku ini muncul karena pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak relaistis dan sangat-sangat
berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa ilmu politik jika tidak berkembang dengan pesat akan ketinggalan dengan ilmu-ilmu lainnya,
karena itu pendekatan perilaku perlu diperdalam sebagai suatu hal yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menjawab keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik dalam menerangkan fenomena ilmu politik.
10
Secara teori pendekatan perilaku ini dipelopori oleh begitu banyak para ahli politik dari negara Barat seperti David Easton, Heinz Eulou, Gabriel Almond, Robert
Dahl, dan David Apter. Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan teori-teori dari 3 tiga ahli seperti David Easteon, Heinz Eulou dan Gabriel Almond
karena ketiga ahli ini dirasa peneliti sudah cukup untuk memenuhi argumentasi dalam penelitiannya.
Dalam sejarahnya David Easton merupakan pemikir politik yang tidak terpisahkan dari teorinya tentang pendekatan perilaku. Dapat dikatakan bahwa
pemikir seperti David Easton mengemukakan bahwa pendekatan perilaku adalah dalam sistem politik terdapat input masukkan yang berasal dari permintaan
demand dan dorongan support yang dipengaruhi oleh lingkungan environment sehingga sistem politik tersebut menghasilkan sebuah keputusan decision dan aksi-
aksi actions tetapi tetap ada pengaruh lingkungan didalamnya, sehingga secara nyata dikatakan bahwa dalam pendeketan perilaku sistem politi terbentuk tanpa harus
ada lembaga formal didalamnya tetapi yang terpenting ialah bagaimana membangun dan membuata keputusan yang dapat menjadi suatu titik tolak dalam mempelajari
pola perilaku.
11
Menurut Heinz Eulou pendekatan Perilaku Politik merupakan ilmu modern yang sesungguhnya bukan hanya memenuhi kebutuhan dengan tindakan manusia
tetapi juga dengan proses-prosesnya seperti proses kognitif, efektif dan evealuasi. Perilaku dalam bidang politik merujuk bukan hanya untuk aksi politik langsung atau
tidak langsung yang hanya diamati, tetapi juga kepada mereka komponen persepsi, motivasi dan sikap perilaku yang membuat untuk identifikasi politik manusia,
permintaan dan sistem nya manfaat politik dan manfaat sistem politiknya serta nilai dan tujuan.
10
Miriam, Budiardjo, Jakarta. Loc. Cit hlm. 74.
11
Ibid. hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
Heinz Eulou juga mengemukakam empat karakteristik pendekatan perilaku seperti yang diberikan di bawah ini:
1. Berkonsentrasi pada analisis teoritis dan empiris dari perilaku
orang dan kelompok sosial tentang asal-usul serta, fungsi institusi pemerintah dan politik seperti tradisional
2. Mengintegrasikan teori dan penelitian dalam kaitannya dengan
sosiologi-psikologi sosial dan antropologi budaya 3.
Menekankan ketergantungan dari teori dan penelitian. Pertanyaan teoritis harus dipelajari dari sudut pandang pengalaman dan
penelitian empiris harus diterapkan pada pertanyaan teoritis. 4.
Mencoba untuk mengembangkan metodologi penelitian empiris dan diberlakukannya metodologi ini untuk masalah politik yang
muncul dari perilaku individu.
12
Begitupun menurut Gabriel Almond bahwa secara teori pendekatan perilaku
merupakan pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan engara sebagai suatu sisem politik yang menjadi subsistem dari suatu sistem
sosial dalam suatu sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sistem itu. Sistem
mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gabriel Almond
mengungkapkan bahwa seuma sistem mempunyai struktur institusi atau lembaga, dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Funtsi ini
bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungs lainnya, dan Gabriel mengatakan bahwa pandangan ini disebut sebagai structural-functional.
13
Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak
12
R.C.Agarwal, Political Theory Principles of Political Science, 2002, Rajendar Ravindra Printers Pvt : India. hlm. 37.
13
Miriam, Budiarjo, Op.Cit, hlm. 76.
Universitas Sumatera Utara
banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk mempelajari perilaku behavior manusia karena merupakan
gejala yang benar-benar dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan
yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik.
Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi
kegiatan manusia. Jika penganut Pendekatan Perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya
voting behavior terhadap rancangan undang-undang tertentu apakah pro atau anti, dan mengapa demikian, pidato-pidatonya, giat tidaknya memprakarsai rancangan
undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.
Para ahli pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan menusia, melainkan juga orientasi terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi,
evaluasi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Berdasarkan anggapan bahwa perilaku politik hanya salah satu dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini cenderung
untuk bersifat interdisipliner. Ia tidak saja mempelajari faktor pribadi, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti sosiologis, psikologis, rasional.
Para penganut pendekatan ini tidak hanya mempelajari institusi-institusi, tetapi juga manusia di dalamnya, seperti perilaku presiden dan anggota parlemen,
bagaimana mereka menjalankan tugas, dan bagaimana mereka memandang perilaku mereka sendiri. Dalam rangka itu pula muncul penelitian mengenai rekrutmen politik,
kepemimpinan, masalah keterwakilan, sosialisasi politik, struktur kekuasaan dalam suatu komunitas, kebudayaan politik, konsensus dan konflik, komposisi sosial dan
elite politik. Salah satu ciri khas pendekatan perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem
Universitas Sumatera Utara
politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem, bagian- bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama
untuk menunjang terselenggaranya sistem itu.
14
F.1.1. Perilaku Politik
Menurut Jack C. Plato dkk:
15
“Perilaku politik adalah tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal
pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan dan juga tindakan-tindakan yang nampak pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kampanye dan demokrasi”.
Yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Ramlan Surbakti mengemukakan
bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek
perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumenekonomi,
perilaku keagamaan dan lain sebagainya
16
Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan
sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek
atau situasi politik dengan cara tertentu Sedangkan sikap politik yang dikemukan oleh Fadillah Putra adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang
telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses
.
14
Miriam Budirardjo, Op.Cit, hlm. 74-76.
15
Jack C. Plato dkk, dalam Moh. Ridwan,1997 skripsi Maria Bellina Silitonga,2011,USU, Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali Ke Khittah1992,
16
Ramlan Surbakti, Memamahi Ilmu Politik, 2001. Grasindo : Jakarta, hlm. 187.
Universitas Sumatera Utara
dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis.
17
Secara bebas perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkritnya telah
saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Sebagaimana dijelaskan bahwa lingkup budaya politik meliputi pola orientasi individu yang diperoleh dari
pengetahuan yang luas dan sempitnya orientasinya dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, keterlekatan maupun penolakan, serta orientasinya yang bersifat menilai
terhadap obyek dan peristiwa politik. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu
atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak- stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak
pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
18
Jika dikaitkan dengan Pemilu, warga negara biasa memiliki andil dalam proses pembuatan keputusan yang berpengaruh terhadap masa depan negaranya dan
warga negara lainnya. Perilaku politik dalam pemilu selanjutnya disebut perilaku memilih. Karena warga negara biasa memiliki hak untuk memilih dan hak untuk tidak
menjatuhkan pilihan politiknya. Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik dapat dipilih tiga
kemungkinan unit analisis, yakni individu aktor politik, agregasi politik, dan tipologi kepribadian politik.
19
Warga negara biasa, aktifis politik elit politik, dan aktor politik itu sendiri merupakan model perilaku dengan unit analisis individu aktor politik.
Agregasi adalah individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan dan lembaga-lembaga pemerintahan dan tipologi kepribadian politik adalah tipe-tipe
kepribadian pemimpin politik yang bersifat otoriter dan demokrasi.
17
www.Wikipedia.or.id. Diakses pada hari Kamis tanggal 08 November 2012. Pukul, 14.30 Wib.
18
Arifin Rahman , Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hlm. 50.
19
Ibid, hlm, 132.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik yakni : Pertama, Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem
ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Kedua, Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan
membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan. Dari sini aktor mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma
masyarakat, termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara dan pengalaman- pengalaman hidup pada umumnya.
Ketiga, Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Dalam hal ini terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri,
eksternalisasi dan pertahanan diri. Basis pertama merupakan sikap yang menjadi fungsi kepentingan. Artinya, penilaian seseorang terhadap suatu obyek ditentukan
oleh minat dan kebutuhan atas obyek tertentu. Basis kedua merupakan sikap yang menjadi fungsi penyesuaian diri. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek dipengaruhi
oleh keinginan untuk sesuai dan selaras dengan obyek tersebut. Basis yang ketiga merupakan sikap yang menjadi fungsi eksternalisasi diri dan pertahanan diri. Artinya,
penilaian seseorang terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang berwujud mekanisme pertahanan
diri dan eksternalisasi diri, seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan identifikasi dengan aggressor.
Keempat, Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan sesuatu
kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruangan, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya. Faktor sosial politik tak
langsung mempengaruhi lingkungan sosial politik langsung yang berupa sosialisasi, internalisasi dan politisasi. Selain itu, mempengaruhi lingkungan sosial politik
langsung berupa situasi. Perilaku seorang aktor akan dipengaruhi secara langsung oleh salah satu dari kedua faktor yang mencakup struktur kepribadian atau sikapnya
Universitas Sumatera Utara
terhadap objek kegiatan itu, dan situasi ketika kegiatan itu hendak dilakukan. Hubungan kedua aktor ini terhadap perilaku akan bersifat zero sum, apabila faktor
sikap yang menonjol maka faktor situasi kurang mengedepan, sebaliknya sikap kurang menonjol.
20
Berbicara tentang perilaku politik, satu hal yang perlu dibahas adalah apa yang disebut dengan sikap politik. Walaupun antara sikap dan perilaku terdapat
kaitan yang sangat erat, keduanya perlu dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek
tersebut.
21
Berangkat dari pemahaman sifat seperti yang telah diuraikan diatas, sikap politik dapat dinyatakan sebagai kesiapan untuk beraksi terhadap objek tertentu yang
bersifat politik. Dengan munculnya sikap tertentu, akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan
pemerintah misalnya menaikkan pajak pendapatan, merupakan suatu sikap politik. Dengan adanya ketidaksetujuan tersebut, perilaku yang diperkirakan akan muncul
adalah peninjauan pernyataan keberatan, protes, atau unjuk rasa. Walaupun dalam kenyataan, bisa saja perilaku semacam itu muncul, akan tetapi sekurang-kurangnya
ada kecenderungan menuju kearah tersebut dan merupakan suatu alasan yang tepat dalam faktor-faktor dalam menggunakan hak pilih dalam suatu pemilihan faktor-
faktor diatas akan menjadi alasan yang tepat jika seseorang akan melakukan suatu perbuatan yang memang harus diletarbelakangi oleh sesuatu yang membuat seseorang
dalam berprilaku. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru
merupakan kecenderungan. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud.
Bentuk keikutsertaan merupakan proses yang melibatkan seluruh warga negara baik laki-laki maupun perempuan termasuk melibatkan pihak-pihak dari
20
Arifin Rahman, Op. Cit, hlm. 124-125.
21
Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan Serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Media Sarana, 1992, hal. 131.
Universitas Sumatera Utara
kelompok sosial manapun. Dalam kelompok-kelompok sosial tersebut terdapat seperangkat norma dan nilai yang berlaku dan tersosialisasikan melalui proses yang
panjang. Hal inilah yang nantinya berpengaruh terhadap preferansi dan perilaku politik.
F.2 Perilaku Pemilih
Dalam mengetahui tingkah laku pemilih harus dilakukan beberapa pendekatan terkait dengan perilaku politik seseorang dalam menggunakan hak pilihnya karena
pendekatan tersebut akan menentukan bagaimana seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang
perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan. Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam
membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari
tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Dalam kegiatannya Affan Gafar yang merupakan penganut pendekatan ini mengungkapkan bahwa masyarakat terstruktur
oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas status sosial, pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap
mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu
produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan
22
Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam pemugutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih pada
kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih Voting Behavior. Menurut Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses dimana seorang anggota
masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-anggota kelompok itu dalam
22
Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. 1996, Grafindo : Jakarta, hlm. 67-68.
Universitas Sumatera Utara
pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan.
23
Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu
wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari
dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.
Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka
ikut berpartisipasi politik.
24
Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbangan- pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan
pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan
pendekatan Psikologis.
25
Selain itu terdapat pendekatan rational choice yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang dilihat oleh individu tersebut.
26
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Colombia. Cikal bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerika
Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa. Menurut mazhab ini, pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan
usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan
23
Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R.A Salignan dan Alvin Johnson, Encyclopedia of Social Science. Vol. 15. New York The Macmillan Co 1934, hlm. 287.
24
Jack C. plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa Politik, Jakarta. C.V. Rajawali Press, 1985, hlm. 280.
25
Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992, hlm. 4-9.
26
Ramlan Surbakti, Op. Cit, hlm. 187.
Universitas Sumatera Utara
dalam kegiatan formal dan informal lainnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pilihan-pilihan politik.
27
Interaksi yang terjadi di dalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan sebagainya akan menjadi pengetahuan yang akan
membangun preferensi dan perilaku memilih seseorang sehingga kemudian akan mempengaruhi pilihan politiknya.
Bonne dan Ranney membagi tipe utama pengelompokkan sosial seperti berikut:
28
1. Kelompok Kategorial yang terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau
beberapa karakter khas, tapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Pengelompokan
kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, dan perbedaan pendidikan.
2. Kelompok Sekunder yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang
sama yang menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya dan bahkan sebagian membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya.
Kelompok skunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok sekunder dapat diklasifikasikan seperti :
pekerjaan, status sosial, ekonomi, dan kelas sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang meliputi ras, agama, dan daerah asal.
3. Kelompok Primer yang terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur
melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang.
Yang termasuk kelompok primer adalah pasangan suami-istri, orang tua dan anak-anak, dan kelompok bermain.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini juga disebut sebagai mazhab Michigan dan pelopor utama mazhab ini adalah August Cambell. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas
ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis.
29
27
Adman Nursal, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2004, hlm. 55.
Pendekatan sosiologis dianggap
28
Ibid, hlm. 56.
29
Moh. Asfar, Pemilu dan Perilaku Pemilih, Surabaya : Pustaka Eureka 1995, hlm. 141.
Universitas Sumatera Utara
sangat sulit diukur, tidak jelasnya indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya merupakan sesuatu hal yang sangat sulit diukur. Disamping itu secara
materi diungkapkan bahwa variabel-variabel sosiologis seperti kelompok primer dan sekunder memberikan pengaruh pada perilaku pemilih dan pilihan politik. Tidaklah
variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih dan pilihan politik jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu pada pendekatan ini, sosialisasilah yang
menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang bukan karakter sosiologis.
30
Dalam pendekatan ini, sikaplah yang paling menentukan dan hal itu berawal dari informasi-informasi yang diterima seseorang. Menurut Asfar, sikap tidaklah
terjadi secara begitu saja melainkan melalui proses yang panjang, yang dimulai dari kanak-kanak saat seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orangtua
atau kerabat dekat.
31
Seperti yang telah diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa proses sosialisasi yang panjang akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan
yang kuat dengan kelompok sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal ini menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya
kelak. Pemilih perempuan yang berada dalam suatu kelompok sosial tertentu akan menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam kelompok sosial
tersebut. Perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan kebiasaan yang secara psikologi sangat mempengaruhi perempuan.
4. Pendekatan Rasional
Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada
pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan
30
Ibid, hlm. 141.
31
Adman Nursal, Op. Cit, hlm. 60.
Universitas Sumatera Utara
yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan
label partainya. Meski demikian, katertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional.
32
Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi
program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup.
F.2.1. Konfigurasi Pemilih
Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih.
33
1. Pemilih Rasional
Pemilih rasional adalah pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau flatform
partai bisa dianalisis dalam dua hal: 1 kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya
melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. 2
kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra image yang berkembang di masyarakat.
Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang penting bagi
32
Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan Ham. Volume 4 No 1. Jakarta 2004, hlm. 38-39.
33
Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 134-138.
Universitas Sumatera Utara
pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun calon yang diusungnya.
2. Pemilih Kritis
Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu: Pertama, Jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada
partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih
tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partaikontestan baru kemudian mencoba untuk memahami nilai-nilai yang melatarbelakangi pembuatan
sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.
3. Pemilih Tradisional
Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang
penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk
memilih suatu partai politik maupun seorang kontestan. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah
partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang
nilai serta paham yang dianut. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas yang sangat tinggi.
Universitas Sumatera Utara
4. Pemilih Skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai politik atau seorang kontestan. Pemilih ini juga tidak menjadikan
sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang memenangkan pemilu,
hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat, maupun negara.
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian
memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah
kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu,
pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konsituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok
masyarakat yang memang non-partisan dimana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada
suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.
34
Selain penjelasan diatas Firmanzah juga membagi 3 kelompok yang dianggap sebagai faktor-faktor determinan pemilih yang menggunakan hak pilih dalam
menentukan pasangan calon yaitu : 1.
Kondisi awal yang meliputi : keadaan sosial budaya pemilih, nilai tradisional pemilih, level pendidikan, serta ekonomi pemilih. . Seperti
pada awal yang merupakan tolak ukur pemilih menggunakan hak pilihnya yaitu dimulai dari kondisi awal, dalam hal ini yang akan berkaitan dengan
kondisi sosial budaya yaitu bagaimana pemilih tersebut dilihat dari
34
Firmanzah, Op. Cit, 2007, hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
kondisi sekitar lingkungannya seperti tingkat pendidikan, kondisi lingkungan sekitar, dan nilai-nilai dalam budaya pemilih dalam
menjatuhkan pilihannya terhadap kandidat yang mencalonkan ataupun yang dicalonkan. Ekonomi juga dilihat sebagai kondisi awal pemilih
dalam menentukan pilihannya karena faktor ekonomi juga merupakan salah satu alasan apa yang melaterbelakangi seorang pemilih menjatuhkan
pilihannya kepada calon tersebut. Dalam terjun kelapangan peneliti harus melihat beberapa kondisi awal yang terkait dengan kuisioner yang akan
dibagikan. 2.
Massa yang meliputi : data, informasi dan berita dari media masa, ulasan ahli, permasalahan kini, serta perkembangan media dan trend situasi.
Setelah pada kondisi awal lalu peneliti menggunakan indikator media massa dalam mengumpulkan data untuk dimasukkan kedalam kuisioner,
tidak dapat ditepiskan bahwa media massa juga mengambil alih dalam memobilisasi suara pemilih, yang meliputi data, ataupun informasi yang
diperoleh pemilih seputar pemilihan kepala daerah dilingkungannya, begitupun media juga terlibat dalam mobilisasi pemilih karena media juga
mengulas pendapat para ahli dalam mengemukakan pendapatnya terkait dengan kondisi politik saat ini, bukan hanya itu saja media massa juga
merupakan indikator dalam melihat situasi dan permasalahan yang ada di masyarakat yang di angkat kekondisi publik sehingga masyarakat juga
dapat dipengaruhi oleh pemberitaan oleh media massa baik media cetak, elektronik ataupun media sosial lainnya.
3. Serta bagian terakhir yaitu partai politikkontestan yang meliputi
performance record dan reputasi, marketing politik, serta program kerja dari kandidat yang mengikuti pemilihan calon kepala daerah. Dalam
melihat kondisi untuk menentukan determinasi pemilih partai politik yang
Universitas Sumatera Utara
mengusung calon juga tidak dapat terpisahkan dalam menentukan pilihan pemilih, hal tersebut terlihat dari kondisi kontestan dalam mencalonkan
diri yaitu penampilannya, trek record reputasi serta pengalamannya dibidang politik, bagaimana proses marketing politik dalam hal ini untuk
dapat memperoleh suara dan mobilisasi diperlukan merketing politik, yaitu manajemen untuk dapat memperoleh suara dari pemilih sebanyak-
banyaknya serta program kerja yang dapat diterima oleh semua masyarakat tidak yang berlebihan dan yang dapat terjadi secara nyata
tanpa harus ada yang berlebihan dalam penyusunan program kerja. Hal tersebut dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya
terlihat dari iklan, baliho, ataupun spanduk yang dipasang dimana saja sehingga masyarakat lebih mengenal calon yang ingin dipilih dalam
pemilihan kepala daerah. Ketika pemilih menilai partai atau seorang kontestan dari kaca mata policy
problem-solving maka yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atau solusi suatu permasalahan yang
ada. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ideologi suatu partai atau seorang kontestan akan lebih menekankan pada aspek-aspek subjektifitas seperti
kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, maka pemilih akan cenderung
memberikan suaranya ke partai dan kontestan tersebut.
Penjelasan bagian faktor-faktor determinan tersebut tergambar dalam bagan dibawah ini :
35
35
Firmansyah, Menyoal Rasionalitas Pemilih : Antara Orientasi Ideologi dan Policy Problem-Solving dalam Usahawan No.7 tahun XXXIV Juli 2005.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1 Faktor Determinan Pemilih
Kondisi awal 1.
Sosial budaya pemilih
2. Nilai tradisional
Pemilih 3.
Level pendidikan 4.
Ekonomi pemilih 5.
Dll Media masa
1. Data, informasi dan
berita media masa 2.
Ulasan ahli 3.
Permasalahan terkini
4. Perkembangan dan
trend situasi Partai politikkontestan
1. Performance
record dan reputasi
2. Marketing
politik 3.
Program kerja
F.2.2. Pola Pengelompokan Pemilih
Meskipun tampak relatif, pola pengelompokkan pemilih mencerminkan kecenderungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokkan atau
segmentasi itu dapat didasarkan pada :
36
36
Agung Wibawanto,dkk. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta : Pembaruan 2005, hlm. 24-26.
Pemilih
Ideologi Policy-problem-solving
Partai politikkontestan
Universitas Sumatera Utara
1. Lingkup agama keluarga
Diantara beberapa jenis pengelompokan sosial lainnya, lingkup agama merupakan salah satu faktor pembentukan perilaku memilih. Setiap orang
yang mengaku beragama akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok agamanya dan pilihan politiknya biasanya disejalankan
dengan agama yang dianutnya. Misalnya pemilih yang beragama Islam akan memiliki kecenderungan memilih kontestan beragama Islam juga.
2. Lingkup gender
Lingkup gender mengidentifikasikan bahwa perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki turut mempengaruhi perbedaan perilaku
politik yang dilakukan.
3. Lingkup kelas sosial
Individu yang berasal dari kelas sosial yang berbeda biasanya memiliki perilaku yang berbeda, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan
pendidikan.
4. Lingkup geografi
Lingkup geografi berkaitan dengan pengelompokan pemilih berdasarkan aspek geografi atau lingkungan.
5. Lingkup usia
Lingkup usia pada dasarnya mampu mengelompokkan individu. Dimana usia seringkali mempengaruhi pilihan atau tindakan yang diambil oleh
seseorang dalam menjatuhkan pilihannya terhadap calon-calon kandidat yang ikut dalam pemilihan. Ruang lingkup usia yang berdasarkan pada
individu juga dapat menjadi faktor penentu dalam rasionalisasi pemilih.
Universitas Sumatera Utara
6. Lingkup demografi
Lingkup demografi mengelompokkan masyarakat terkait dinamika kependudukan meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk.
7. Lingkup psikografis
Lingkup psikografis dapat diartikan sebagai segmentasi pemilih berdasarkan gaya hidup yaitu bagaimana pola hidup seseorang yang
diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.
8. Lingkup perilaku
Lingkup perilaku adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri sebagai respon terhadap sesuatu yang terjadi. Perilaku seseorang dapat
mempengaruhi perilaku individu lainnya.
F.3. Pengertian Perempuan
Para femenisme berpendapat bahwa ‘Wanita’ dalam kosakata jawa berarti “Wani ditoto=berani ditata oleh laki-laki. Sedangkan berkaitan dengan istilah
perempuan, dalam prasasti Gundasulli ditemukan bahwa Ia berasal dari serapan kata ‘Parpuanta’ yang artinta ‘dipertuan atau dihormati’ empu = gelar kehormatan yang
berarti tuan. Oleh karena itu, kaum feminis tidak mau menggunakan istilah wanita, tetapi lebih memilih istilah perempuan. Mereka memilih persepsi bahwa kata wanita
mengandung makna yang bias patriarhki. Mereka juga berpendapat bahwa pola hidup perempuan lebih sempurna dari pada laki-laki, karena menurut pandang mereka:
“perempuan = laki-laki + kemampuan melahirkan dan menyusui”, artinya: perempuan sebenarnya sama dengan laki-laki, tetapi perempuan diberikan potensi
untuk mengandung, dan menyusui anak, potensi ini tidak dimiliki oleh laki-laki.
37
37
Arief B. Iskandar, Revisi Politik Perempuan, Bogor: Penerbit, Adea Pustaka, 2003, hlm. 121.
Universitas Sumatera Utara
Perempuan adalah manusia, bahkan manusia yang agung. Ia adalah pendidik masyarakat, yang dari pengasuhan perempuan lahirlah laki-laki. Mula-mula lahirlah
laki-laki dan perempuan yang sehat dari pengasuhan perempuan. Perempuan adalah pendidik laki-laki. Oleh karena itu, kebahagiaan dan kesengsaraan suatu negeri
tergantung pada perempuan. Karena pendidikan yang benar akan mampu mencetak manusia, dengan pendidikannya yang sehat maka ia akan memakmurkan negeri.
Pengasuhan perempuan merupakan jalan seluruh kebahagiaan, dan perempuan harus menjadi jalan pertama seluruh kebahagiaan.
Perempuan adalah refleksi dari terwujudnya harapan menusia, dan ia adalah pendidik kaum Hawa dan kaum Adam yang mulia. Dari pengasuhan perempuan, laki-
laki mampu mencapai ketinggian spiritual. Perempuan adalah buaian pendidikan perempuan dan laki-laki yang agung.
38
Di bawah pendidikan perempuan dan di bawah dekapannya, lahirlah laki-laki yang pemberani. Sesungguhnya Al-Qur’an Al-Karim mendidik manusia, dan
perempuan juga mendidik manusia. Tugas perempuan adalah mendidik manusia. Seandainya bangsa dihilangkan dari perempuan yang memiliki kemampuan mendidik
manusia, niscaya bangsa itu akan kalah dan menuju kehancuran serta kehinaan.
F.4. Perempuan Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam sebagaimana halnya yang pernah di sabdahkan oleh Rasullullah Saw bahwa ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah secara etimologis, kata-
kata muslim itu mencakup laki-laki dan perempuan. Islam mempersiapkan agar
perempuan dapat berperan dalam segala bidang.
Kaum perempuan Islam digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam Al-Qur’an, figur ideal seseorang Muslimah
disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik al-istiqlal al-siyasa, Allah Swt berfirman:
38
Husein Alkaff, Loc.Cit, hlm. 81.
Universitas Sumatera Utara
“Wahai Nabi Apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai’at janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan
sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-
adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
39
Seperti figur Ratu Bulgis yang memimpin kerajaan superpower ‘arsyun ‘azhim Allah Swt berfirman:
“Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.”
40
Memiliki kemandirian ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi Allah Swt berfirman: “Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan
apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang sombong.”
41
Seperti figur-figur perempuan mengelola perternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan, Allah Swt berfirman:
“Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum ternaknya, dan dia menjumpai
di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan sedang menghambat ternaknya. Dia Musa berkata, “Apakah maksudmu dengan berbuat begitu?”
Kedua perempuan itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum ternak kami, sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang
ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.”
42
Bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya
sekalipun berhadapan dengan suami. Allah Swt berfirman: “Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri
Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surge dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannta,
dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”
43
39
QS. Al-Mumtahanah [60]: 12
40
QS. Al-Naml [27]: 23
41
QS. Al- Nahl [16]: 23
42
QS. Al-Qasas, [28]: 23
43
QS. Al-Tahrim, [66]: 11
Universitas Sumatera Utara
Atau menentang pendapat orang banyak public opinion bagi perempuan belum menikah. Allah Swt berfirman:
“Dan Maryam putrid Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh ciptaan Kami ; dan dia
membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia termasuk orang-orang yang taat.”
44
Al-Qur’an mengizinkan kaum perempuan melakukan gerakan “oposisi” terhadap segala bentuk sistem yang bersifat tirani demi tegaknya kebenaran. Allah
Swt berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan
zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
45
Perempuan dalam pandangan Islam sejajar dengan laki-laki. Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai rahmatan lil’alami agama yang menebarkan rahmat
bagi alam semesta. Salah satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan
seorang manusia disisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas taqwanya, tanpa membedakan ras, etnik dan jenis kelamin.
Sebelum Islam datang, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan,
ia dianggap tidak memiliki dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia yang merdeka. Bahkan menyuarakan keyakinan,
berhak mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan mereka dianggap sebagai warga masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang
tiada tara di masanya, saat saudara-saudara perempuan mereka di belahan bumi Barat terpuruk dalam kegelapan dan kehancuran yang mendalam, dimana setiap umat harus
44
QS. Al- Tahrim, [66]: 12
45
QS At-Taubah, [9]: 71
Universitas Sumatera Utara
dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah ia perbuat dalam kehidupan dan manfaat bagi orang sekitar dalam berbagai segi kehidupan.
F.5. Peranan Perempuan Dalam Politik
Berkaitan dalam hal berpolitik terdapat dua aliran yang berbeda mengenai posisi perempuan sebagai pemimpin dalam pandangan Islam. Pertama, aliran yang
mengklim bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Kedua, aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak politik perempuan, sama
seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan termasuk menjadi
pemimipin negara. Ada 3 alasan yang sering dikemukakan oleh aliran pertama yaitu:
46
1. Tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah rumah. Pandangan ini
diperkuat hadis yang menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan empat rumah bagi seorang perempuan: rahim ibunya, rumah orang tuanya yang menjadi
tempat tinggalnya sampai dia menikah, rumah suaminya yang tidak boleh dia tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan, dan yang terakhir adalah kuburnya.
Dengan demikian, ruang publik adalah ruang yang sejak awal “ditetapkan” sebagai wilayah asing bagi perempuan. Allah Swt berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah
salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
47
46
http:www.analisadaily.comindex.phparticlej=1?id=555 diakses pada hari Minggu tanggal 04 November 2012, pukul 13.20 Wib.
47
QS. Al-Ahzab [33]: 33
Universitas Sumatera Utara
2. Para ulama, seperti Ibnu Abbas, menegaskan bahwa masalah kepemimpinan
diambil dari ayat tersebut. Secara khusus masalah ini dirujukkan pada kalimat al- rijal qawwamuna ‘ala al-nisa’ laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan. Berdasarkan ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan. Rasyid Ridlah malah menganalogikan
kekuasaan tersebut seperti kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Allah Swt berfirman:
“Laki-laki suami itu pelindung bagi perempuan istri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain perempuan,
dan mereka laki-laki telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat kepada Allah
dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur pisah ranjang, dan kalau perlu pukullah mereka. Tetapi jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
48
3. Abu Bakrah yang mengatakan bahwa: La yaflaha qaum wallau amrahum
imra’at Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.
49
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang disebutkan itu, bagi aliran pertama merupakan justifikasi bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum laki-laki dan perempuan harus
mengakui kepemimpinan laki-laki. Implikasi dari pemahaman dari itu adalah perempuan tidak memiliki hak-hak politik seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
Memang ada satu hadist yang menyebutkan bahwa jangan sekali-kali perempuan menjadi imam sholat untuk laki-laki. Akan tetapi, sejumlah pakar
melakukan tahrij terhadap hadist tersebut dan memperoleh kesimpulan bahwa status
48
QS. An-Nisa [4]: 34
49
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang amat popular dalam Kongres Umat Islam Indonesia yang dijadikan dalil pamungkas dalam menangkis pendapat yang memperbolehkan
perempuan menjadi presiden.
Universitas Sumatera Utara
hadist itu adalah daif karena dalam rentetan perawinya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Adawi yang diduga oleh waqi’ telah melakukan pemalsuan hadist.
Itulah sebabnya, mengapa ulama, seperti Abu Tsaur dan al-Thabari, menganggap syah imam perempuan dalam sholat. Keabsahan tersebut didasarkan pada sebuah
hadist syahih riwayat Abu Daud tentang Ummu Waraqa yang meminta oleh Nabi Saw menjadi imam di rumahnya dengan muazin laki-laki dewasa.
Kuatnya kultural masyarakat mengenai perempuan, sangat berkaitan dengan wajah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Ruang
jalan dan peranan perempuan senantiasa terbatas akibat benturan norma agama. Dan ini paling tidak memunculkan pemahaman dan sikap bahwa perempuan memang
tidak penting untuk terjun kedalam aspek yang bertentangan dengan yang ditetapkan oleh agama.
Sedangkan pandangan aliran kedua, melihat bahwa kewajiban berpolitik sebenarnya merupakan sebagian dari dakwah Islam. Islam mewajibkan seluruh kaum
Muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk berdakwah mengajak kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Amar maaruf nahi mungkar ini bermaksud
menyeru untuk bertakwa kepada Allah Swt dengan menerapkan seluruh hukum syariat-Nya. Allah Swt berfirman :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
50
Perlu kita ketahui, ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan negara Islam dan hukum-hukum yang diturunkan di Madinah bukan hanya mengatur
bagaimana cara beribadah kepada Allah Swt dalam hal sholat, zakat dsb, tetapi juga yang mengatur dalam sistem kehidupan. Pada saat itu, hukum-hukum yang mengatur
masyarakat seperti politik luar negeri, uqubat, sistem sosial pergaulan, sistem ekonomi, pemerintahan dan pendidikan telah diturunkan. Oleh karena itu, agar kaum
50
QS. Ali-Imran [3]: 104
Universitas Sumatera Utara
Muslimin dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar mereka harus memiliki kesadaran berpolitik. Maka, baik laki-laki maupun
perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Dalam hal ini, menurut pendapat Alkaf Hussein bahwa Allah telah menetapkan rambu-rambu bagi perempuan dalam beraktivitas politik. Islam telah
memberikan batasan dengan jelas dan tuntas mengenai aktivitas politik perempuan. Diantaranya :
51
1. Hak dan kewajiban Baiat. Ummu Athiyah berkata: ”Kami berbaiat kepada
Rasulullah Saw lalu beliau membacakan kepada kami agara jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk
niyahah meratapi mayat. Karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya dari berjabat tangan, lalu ia berkata,”Seseorang telah
membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.”Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” HR.
Bukhari. 2.
Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Perlu dijelaskan, bahwa Majelis Umat adalah suatu badan negara Islam yang terdiri atas wakil-
wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran
bagaimana kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi, mengoreksi dan menasehati penguasa apabila cara yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa
yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
51
Alkaff, Husein, Kedudukan Wanita dalam pandangan Imam Khomeini, Jakarta: Penerbit PT. Lentera Basritama. 2004. hlm. 34-35.
Universitas Sumatera Utara
3. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa. Nasihat tersebut bisa
langsung disampaikan kepada penguasa atau melalui majelis umat atau melalui partai.
4. Kewajiban menjadi anggota partai politik. Keberadaan partai politik
merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah Swt, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 104 yang artinya: ”Hendaklah wajib
ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan Islam; memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.
52
Kesetaraan equality dalam perspektif Islam kondisi yang dialami para wanita di Barat sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh para Muslimah di dunia Islam.
Dalam dunia Islam, para perempuan diperlakukan dan dilayani sebagai manusia, yaitu mereka perempuan dan lelaki adalah makhluk Allah Swt. Selain itu, dalam
dunia umum, perempuan diberi kesempatan dan peluang untuk menimba ilmu dan berpolitik. Hal ini dapat kita lihat pada masa Rasulullah Saw dan Umar bin Al-
Khatab Radiallahu Anhu, yang mana Nabi Saw mengajarkan Al-Quran kepada kaum perempuan dan juga menerima baiat dari dua orang perempuan pada masa Baiat Al-
Aqabah II. Selain itu, pada masa Umar bin Al-Khattab Radiallahu Anhu ada seorang perempuan yang menegur Umar karena ingin menetapkan jumlah mahar perkawinan.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Partai politik ada untuk menjaga agar semua
hukum-hukum Allah tetap diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam kehidupannya sepanjang masa. Keberadaannya wajib bagi kaum muslimin,
baik di dunia ini diterapkan sistem Islam atau tidak. Jika sistem Islam telah tegak, menjadi bagian dari parpol Islam adalah fardu kifayah, sedangkan jika
belum ada, maka hukumnya menjadi wajib bagi seluruh kaum muslimin- termasuk para muslimah untuk menegakkan Syariat Islam bersama sebuah
partai.
52
QS. Ali-Imran ayat. 104
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi dari semua kesetaraan yang ada, kesamaan yang paling mendesak yang perlu kita sadari adalah adanya persamaan hak dan kewajiban untuk bertakwa
kepada Allah Swt, Allah Swt berfirman : ”Wahai orang-orang yang beriman Bertakwalah kamu kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.”
53
Allah Swt tidak membedakan kemuliaan seseorang berdasarkan jenis kelaminnya tetapi menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur atau ‘standard’
kemuliaan seseorang. Jadi, inilah persamaan yang semestinya para permpuan perjuangkan. Persamaan untuk menerapkan syariat Islam, untuk menjadi manusia
yang bertakwa, serta manusia yang mulia di dunia dan akhirat. Justru, seandainya wujud perbedaan peranan dan cara mengatur urusan perempuan dalam Islam, itu
bukanlah suatu masalah karena yang menentukannya adalah Sang Pencipta lelaki dan perempuan yaitu Allah Swt. Jadi, apa pun peranan yang Allah Swt berikan, pasti akan
mendapatkan pahala di sisi-Nya.
54
F.6. Defenisi Konsep
Defenisi konsep adalah kata-kata yang merupakan unsur-unsur umum abstrak yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda. Definisi konsep dalam penelitian ini
adalah: 1.
Perilaku Pemilih Perilaku pemilih adalah tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada
kegiatan pemilu. 2.
Perempuan Islam Perempuan Islam adalah seorang individu berjenis kelamin perempuan dan
memeluk agama Islam yang dapat ditandai melalui Kartu Tanda Penduduk KTP.
53
QS. Ali-Imran :102
54
Alkaff, Husein, Op.Cit, hlm. 42
Universitas Sumatera Utara
F.7. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan diukur secara empiris. Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini
ialah: 1.
Perilaku Pemilih a.
Pendekatan sosiologis Pendekatan sosiologis memiliki indikator seperti pendidikan, agama,
dan pekerjaan.
b. Pendekatan psikologis
Pendekatan psikologis memiliki indikator seperti kedekatan emosional dengan kandidat dan keterlibatan dengan partai pendukung kandidat.
c. Pendekatan rasional
Pendekatan rasional memiliki indikator seperti kepercayaan terhadap visi dan misi yang ditawarkan kandidat, adanya unsur materijabatan
yang diperoleh jika memilih kandidat, dan rekam jejak dari kandidat.
2. Perempuan Islam
Indikator perempuan Islam adalah: a.
Berjenis kelamin perempuan.
b. Memeluk agama Islam ditandai melalui Kartu Tanda Penduduk
KTP.
Universitas Sumatera Utara
G. Metodologi Penelitian G.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian korelasional, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antar variabel, dan
dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan rumus statistik.
55
G.2. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan informasi yang mencakup masalah maka saya melakukan studi lapangan pada lokasi penelitian di Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur
Kota Medan.
G.3. Populasi dan Sampel G.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri- cirinya dapat diduga dan paling sedikit mempunyai sifat yang sama. Populasi
penelitian ini adalah seluruh Perempuan Islam yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap DPT di Kelurahan Perintis Kecamatan Medan Timur pada Pemilihan
Walikota Medan 2010 di Kota Medan sebanyak 1.557 orang.
G.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang nantinya akan digunakan sebagai responden penelitian. Dalam menentukan jumlah sampel dapat digunakan rumus
Taro Yamane.
56
dengan presisi 10, yakni:
55
Suharsimi Arikunto. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta 2005, hlm. 326.
56
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta : Prenada Media, 2005, hlm. 105.
Universitas Sumatera Utara
Di mana : n
: Jumlah sampel N
: Jumlah populasi d
: Presisi 10 dengan derajat kepercayaan 90
Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah sampel dari penelitian ini dengan total perempuan Islamnya adalah :
n = 93,96 responden 94 orang responden
Berdasarkan pendapat diatas, maka besar sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 94 responden.
G.4 Teknik Penarikan Sampling Penelitian ini dalam melakukan penarikan sampel menggunakan teknik
Purposive Sampling artinya sampel yang akan dijadikan responden telah terlebih dahulu ditentukan karena sampel harus perempuan dan beragama Islam.
Universitas Sumatera Utara
G.5 Data dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini saya menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu
ada dua jenis data yang saya peroleh untuk dapat menyempurnakan argumentasi serta teori dalam penelitian ini.
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari penelitian ke lapangan untuk mengumpulkan data melalui:
a. Penyebaran kuisioner, yaitu alat mengumpulkan data dengan
menyebarkan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh responden. Kuesioner yang digunakan adalah kuisioner
tertutup sehingga responden hanya memberi jawaban sesuai pilihan jawaban yang disediakan.
b. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara memberikan pertanyaan
langsung kepada responden guna memperoleh keterangan dalam menyimpulkan data yang terkumpul.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan metode penelitian keperpustakaan Library research methods yaitu dengan membuka, mencatat, mengutip data dari
buku-buku, majalah, surat kabar, dan literatur yang berhubungan dengan judul skripsi.
G.6 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, sehingga nantinya peneliti dapat mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh
dari penelitian. Data yang dikumpulkan dari hasil kuisioner dan wawancara yang
Universitas Sumatera Utara
kemudian ditabulasikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisa maka akan ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
H. Sistematika Penulisan