Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos

(1)

Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos

TESIS

O L E H:

Zakaria Siregar

097024037

Program Pasca Sarjana Fisipol USU

Medan


(2)

Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan

Harian Sumut Pos

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Magister Studi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

O L E H

:

Zakaria Siregar

097024037

Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Medan

2012


(3)

Judul Tesis : Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos

Nama Mahasiswa : Zakaria Siregar Nomor Pokok : 097024037

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing:

(Drs Safrin M.Si) (Amir Purba MA.Ph.D

Anggota Ketua

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr.M Arif Nasution, MA) (Prof.Dr.Badaruddin M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 06 Juni 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Amir Purba MA. Ph.D Anggota : Drs Safrin MSi

Drs Humaizi, MA

Husni Thamrin S Sos, MSP Prof. Dr. M Arif Nasution, MA


(5)

PERNYATAAN

Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman

Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada

Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di

Harian Analisa dan Harian Sumut Pos

TESIS

Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis menjadi rujukan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 28 Mei 2012


(6)

ABSTRAK

Judul :

Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos

Kata Kunci :

Analisis Wacana Kritis, Pendekatan Perubahan Sosial, Norman Fairclough, Pilkadasung Medan, Interpretasi, Relasi, Identitas, Produksi Teks, Situasional, Institusional, Sosial, Sofyan Tan-Nelly Armayanti, Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin.

Teks berita pada dasarnya upaya merekonstruksi sebuah kejadian, peristiwa atau realitas untuk disajikan kepada khalayak. Namun, proses melakukan konstruksi ke dalam bentuk teks itu tidak terjadi dalam ruang yang hampa melainkan sarat akan berbagai kepentingan. Baik dari sisi kepentingan internal organisasi media maupun kepentingan institusi diluar media. Sehingga teks berita pada akhirnya merupakan hasil kompromi dari seluruh bagian dari organisasi media untuk disajikan kepada pembaca. Proses mengkonstruksi realitas yang sebenarnya untuk disampaikan kepada khalayak pembaca melalui proses yang rumit dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari personal wartawan, institusi media tempat wartawan bekerja hingga kondisi eksternal institusi media ikut memberikan peran bagaimana sebuah realitas disampaikan melalui teks.

Analisis terhadap isi media (content analysis) yang menggunakan metode analisis wacana kritis (critical discourse analysis) memungkinkan kita untuk melakukan analisis secara menyeluruh untuk memahami teks berita. Melalui penelitian ini, dengan menggunakan pendekatan Norman Fairclough, akan dapat ditelusuri wacana yang dikembangkan Harian Analisa dan Harian Sumut Pos dalam mengkonstruksi realitas kampanye pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti. Termasuk bagaimana kedua media massa itu memposisikan diri dalam pemberitaan tentang kampanye di putaran kedua Pilkadasung Medan tahun 2010. Melalui pendekatan Norman Fairclough atau yang


(7)

dikenal dengan pendekatan perubahan sosial (social change approach), teks berita dapat dianalisis melalui tiga tahapan, yakni tahap analisis level mikro (teks), tahap level meso yakni produksi teks (discourse practise) dan tahap makro (sociocultural practise). Dari masing-masing level, Fairclough juga menawarkan konsep analisis yang disesuaikan dengan jenjangnya. Untuk analisis teks, Fairclough menguraikan 3 (tiga) unsur yang menjadi metode analisis, yakni interpretasi, relasi dan identitas. Sedangkan untuk level meso atau produksi teks (discourse practise) adalah analisis untuk melihat bagaimana teks diproduksi dan teks dikonsumsi. Pada level makro, Fairclough menjelaskan 3 (tiga) level analisis yakni situasional, institusional dan sosial.

Dari 12 teks berita yang menjadi unit analisis penelitian, penulis menemukan berbagai macam wacana yang dikembangkan media terkait kedua pasangan calon. Keseluruhannya merupakan upaya dan ajakan masing-masing kandidat untuk mendapat simpati dan dipilih menjadi Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015. Ternyata, dari keseluruhan teks yang dianalisis masih terdapat teks-teks berita yang cenderung menghegemoni khalayak pembaca. Janji-janji kampanye yang dikonstruksi media melalui teks tak lebih dari ’cek kosong’ dan publik tidak mendapatkan ruang dalam wacana yang dihadirkan media. Selain itu, dalam kampanye putaran kedua Pilkadasung Medan 2010 Harian Analisa ternyata cendrung menonjolkan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti daripada pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin. Sementara itu, Harian Sumut Pos malah cenderung lebih menonjolkan pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin daripada pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti dalam mengkonstruksi realitas kampanye putaran kedua Pilkadasung Medan 2010.


(8)

ABSTRACT

The text news basically an attempt to reconstruct an incident, event or reality to be presented to the audience. However, the process of doing construction in the form of text that does not happen in a empty room, but full of a variety of interests. Both from internal interests of media organizations and the interests outside media institutions. So that the text of the news in the end a compromise from all parts of the media organization to be presented to the reader. Process of constructing true reality to pressented to the audience through a complex process and involves many stakeholder. Start from the personal journalists, media institutions where journalists work to the external conditions of media institutions help provide a reality of how the role is delivered through text.

Media content analysis using the method of critical discourse analysis allows us to do a thorough analysis to understand the text of the news. Through this research, using the approach Norman Fairclough, discourse will be explored and developed Harian Analisa and Harian Sumut Pos in constructing the reality of campaign mate Rahudman Harahap-Dzulmi Eldinand Sofyan Tan-Nelly Armayanti.. Including how the mass media to position themselves in the news about the campaign in the second round Pilkadasung Medan in 2010. With Norman Fairclough approach, known as social change approach, the text message can be analyzed through three steps, the micro level (text analysis), meso level (discourse practise) and macro level (sociocultural practise).From each level, Fairclough also offers adapted analysis of the concept of hierarchically. For text analysis, Fairclough describes the three elements of the method of analysis, the the interpretation, relations and identity. As for the meso level or the production of text (discourse practice) is an analysis to see how the text is produced and consumed text.

From the 12 news texts into units of reasearch analysis, the authors found a variety of media discourse that developed the two pairs of candidates. The whole is an attempt and solicitation of each candidate to get sympathy and was elected Mayor and Deputy Mayor of Medan period 2010-2015. Apparently, the entire text being analyzed there are texts which tend hegemony audience. Campaign promises that are constructed through text media is nothing more than a 'blank check' and the public did not get space in media discourse presented. In addition, in the second round of campaign 2010 Pilkadasung Medan Harian Analisa tends to highlight the couple were Sofyan Tan-Nelly Armayanti Rahudman pairings Dzulmi Harahap-Eldin. In the meantime, Harian Sumut Pos tend to highlight Rahudman Harahap partner than a partner-Eldin Dzulmi Sofyan Tan-Nelly Armayanti in constructing reality Pilkadasung field campaign 2010 second round.

Key Word :

Critical Discourse Analysis, Social Change Approach, Interpretation, Relation, Identity, Production of Text, Situational, Institutional, Social.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, rasa syukur yang tidak terhingga penulis ucapkan atas segala kemudahan dan nikmat yang telah diberikan ALLAH SWT sehingga penelitian ini bisa diselesaikan. Berkat rahmat dan petunjukNYA, proses studi yang dijalani penulis akhirnya dapat diselesaikan dengan penulisan tesis yang berjudul Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos.

Ucapan terimakasih penulis persembahkan buat lbunda tercinta (almarhumah) Zainab yang semasa hidupnya selalu memberikan tauladan untuk penulis, serta ayahanda Arsyad Siregar yang selalu memberikan dorongan moril dan materil. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan buat istri tercinta, Rida Hastuti dan anak-anakku Satria Zachri Utama Siregar, Rabbani Riza Annafi Siregar, Indira Razkia Ramadhani Siregar yang selalu menjadi spirit dan semangat buat penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Begitu juga dengan seluruh keluarga yang ada di Pangkalan Brandan, Petumbukan, Medan dan Padang yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menjalankan studi di Sekolah Pascasarjana USU. Termasuk juga, ucapan terimakasih kepada keluarga besar KPU Deliserdang, rekan-rekan staf pengajar Fisipol UISU dan rekan-rekan di Jalan Mahkamah dan rekan yang namanya tak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut memberikan dorongan semangat buat penulis.


(10)

Dalam penyelesaian tesis ini di Program Studi Pembangunan USU, penulis merasakan sangat banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Sebab itu, dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada; 1. Bapak Prof Dr M Arif Nasution MA selaku Ketua Program Studi Pembangunan

USU

2. Bapak Dr R Hamdani Harahap MSi selaku Sekretaria Program Studi

Pembangunan USU

3. Bapak Amir Purba MA PhD selaku Ketua Pembimbing dan Penguji 4. Bapak Drs Safrin MSi selaku Pembimbing dan Penguji

5. Bapak Drs Humaizi MA selaku Pembanding dan Penguji

6. Bapak Husni Thamrin S Sos MSP selaku Pembanding dan Penguji 7. Bapak Warjamil selaku Sekretaris Redaksi Harian Analisa

8. Ibu Dame Ambarita selaku Pemimpin Redaksi Harian Sumut Pos 9. Bapak/Ibu dosen serta staf di Program Studi Pembangunan USU 10.Rekan-rekan mahasiswa Studi Pembangunan USU

Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga, tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi rujukan untuk disempurnakan pada penelitian selanjutnya, amin

Medan, 28 Mei 2012 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Zakaria Siregar

Alamat : Blok I 04 Perumahan Alam Patumbak Permai, Jalan Pertahanan Patumbak Deliserdang

Tempat Lahir : Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat Tanggal Lahir : 23 Januari 1978

Jenis Kelamin : Laki-laki Nomor Handpone : 0813 616 090 45

Email

Pekerjaan : Anggota KPU Kabupaten Deliserdang Staf Pengajar Fisipol UISU Medan

Data Pendidikan Formal

- Sekolah Dasar Negeri (SDN) 050746 di Pangkalan Brandan, tamat tahun 1990

- Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yayasan Perguruan Al Azhar di Medan, tamat tahun 1993

- Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Sandhy Putra Telkom di Medan, tamat tahun 1996

- Diploma Tiga (D-III) Program Studi Usaha Wisata Jurusan Pariwisata Fakultas Sastra USU di Medan, tamat tahun 1999

- Strata satu (S-1) Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Isipol UMA di Medan, tamat tahun 2004

Pengalaman Organisasi

- Ketua Koperasi Siswa di SMIP Sandhy Putra Medan tahun 1995-1996

- Ketua Ikatan Mahasiswa Pariwisata USU tahun 1997-1998

- Wakil Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra USU tahun 1997-1998

- Sekretaris Umum HMI Komisariat Fakultas Sastra USU tahun 1997-1998

- Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Sastra USU tahun 1998-1999

- Wakil Ketua HMI Cabang Medan tahun 1999-2000


(12)

- Ketua Ikatan Alumni SMIP Sandhy Putra Medan 2009-2012

Pengalaman Pekerjaan

- Wartawan Harian Barisan Baru tahun 1999

- Wartawan Harian Radar Nauli Jawa Pos Grup tahun 2000

- Wartawan Harian Sumut Pos Jawa Pos Grup tahun 2000

- Redaktur Harian Sumut Pos Jawa Pos Grup tahun 2004

- Koordinator Liputan Harian Sumut Pos Jawa Pos Grup tahun 2006

- Redaktur Pelaksana Harian Sumut Pos Jawa Pos Grup tahun 2007

- Redaktur Pelaksana media online www.sumutcyber.com Jawa Pos Grup tahun 2008

- Anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Deliserdang periode 2008 – 2013 (sampai sekarang)


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT iii

KATA PENGANTAR v

RIWAYAT HIDUP vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latarbelakang Masalah 1

1.2. Perumusan Masalah 8

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9

1.3.1 Tujuan 9

1.3.2. Manfaat 10

\BAB II KERANGKA TEORI 11

2.1. Paradigma 11

2.2. Aliran Frankfurt dan Kelahiran Teori Kritis 20

2.3. Ideologi dan Hegemoni 24

2.4. Paradigma Kritis dalam Analisis Wacana Kritis 28


(14)

2.6. Media Massa dan Rekonstruksi Realitas Politik 36

2.6.1. Tingkat Individual 41

2.6.2. Tingkat Rutinitas 42

2.6.3. Tingkat Organisasi 42

2.6.4. Tingkat Ekstramedia 43

2.6.5. Tingkat Ideologi 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 47

3.1. Metode Penelitian 47

3.2. Unit Analisis 52

3.3. Metode Pengumpulan Data 53

3.4. Lokasi Penelitian 53

3.5. Metode Analisa Data 54

3.6. Kerangka Kerja Penelitian 55

BAB IV HASIL PEMBAHASAN 57

4.1. Profile Singkat Harian Analisa dan Harian Sumut Pos 58

4.1.1. Harian Analisa 58

4.1.2. Harian Sumut Pos 59

4.2. Analisis Teks Berita di Harian Analisa dan Sumut Pos 60 4.2.1. Analisis Level Teks Berita di Harian Analisa 60

4.2.1.1. Teks Berita 1 60

4.2.1.1.1. Unsur Representasi 61

4.2.1.1.2. Unsur Relasi 63

4.2.1.1.3. Unsur Identitas 64


(15)

4.2.1.2.1. Unsur Representasi 65

4.2.1.2.2. Unsur Relasi 67

4.2.1.2.3. Unsur Identitas 68

4.2.1.3. Teks Berita 3 68

4.2.1.3.1. Unsur Representasi 69

4.2.1.3.2. Unsur Relasi 71

4.2.1.3.3. Unsur Identitas 72

4.2.1.4. Teks Berita 4 72

4.2.1.4.1. Unsur Representasi 73

4.2.1.4.2. Unsur Relasi 75

4.2.1.4.3. Unsur Identitas 76

4.2.1.5. Teks Berita 5 76

4.2.1.5.1. Unsur Representasi 76

4.2.1.5.2. Unsur Relasi 78

4.2.1.5.3. Unsur Identitas 79

4.2.1.6. Teks Berita 6 79

4.2.1.6.1. Unsur Representasi 80

4.2.1.6.2. Unsur Relasi 83

4.2.1.6.3. Unsur Identitas 83

4.2.2. Analisis Level Teks Berita di Harian Sumut Pos 84

4.2.2.1. Teks Berita 1 84

4.2.2.1.1. Unsur Representasi 84

4.2.2.1.2. Unsur Relasi 88


(16)

4.2.2.2. Teks Berita 2 89

4.2.2.2.1. Unsur Representasi 90

4.2.2.2.2. Unsur Relasi 93

4.2.2.2.3. Unsur Identitas 94

4.2.2.3. Teks Berita 3 94

4.2.2.3.1. Unsur Representasi 95

4.2.2.3.2. Unsur Relasi 98

4.2.2.3.3. Unsur Identitas 98

4.2.2.4. Teks Berita 4 99

4.2.2.4.1. Unsur Representasi 99

4.2.2.4.2. Unsur Relasi 101

4.2.2.4.3. Unsur Identitas 102

4.2.2.5. Teks Berita 5 102

4.2.2.5.1. Unsur Representasi 103

4.2.2.5.2. Unsur Relasi 106

4.2.2.5.3. Unsur Identitas 107

4.2.2.6. Teks Berita 6 107

4.2.2.6.1. Unsur Representasi 107

4.2.2.6.2. Unsur Relasi 109

4.2.2.6.3. Unsur Identitas 110

4.3. Analisis Discourse Practise 110

4.4. Analisis Sociocultural Practise 115

4.4.1. Level Situasional 115


(17)

4.4.3. Level Sosial 121

4.5. Hasil Pembahasan 125

BAB V PENUTUP 128

5.1. Kesimpulan 128

5.2. Saran 129

Daftar Pustaka 131 Lampiran1, Panduan Wawancara


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Level Analisis Wacana Kritis 51

Tabel 3.2. Unsur Teks Menurut Fairclough 52


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Model Perkembangan Ilmu Pengetahuan 12

Gambar 2.2. Dimensi Wacana Norman Fairclough 35

Gambar 2.3. Hierarchy of Influence Soemaker & Reese 41


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1; Panduan Wawancara


(21)

ABSTRAK

Judul :

Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos

Kata Kunci :

Analisis Wacana Kritis, Pendekatan Perubahan Sosial, Norman Fairclough, Pilkadasung Medan, Interpretasi, Relasi, Identitas, Produksi Teks, Situasional, Institusional, Sosial, Sofyan Tan-Nelly Armayanti, Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin.

Teks berita pada dasarnya upaya merekonstruksi sebuah kejadian, peristiwa atau realitas untuk disajikan kepada khalayak. Namun, proses melakukan konstruksi ke dalam bentuk teks itu tidak terjadi dalam ruang yang hampa melainkan sarat akan berbagai kepentingan. Baik dari sisi kepentingan internal organisasi media maupun kepentingan institusi diluar media. Sehingga teks berita pada akhirnya merupakan hasil kompromi dari seluruh bagian dari organisasi media untuk disajikan kepada pembaca. Proses mengkonstruksi realitas yang sebenarnya untuk disampaikan kepada khalayak pembaca melalui proses yang rumit dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari personal wartawan, institusi media tempat wartawan bekerja hingga kondisi eksternal institusi media ikut memberikan peran bagaimana sebuah realitas disampaikan melalui teks.

Analisis terhadap isi media (content analysis) yang menggunakan metode analisis wacana kritis (critical discourse analysis) memungkinkan kita untuk melakukan analisis secara menyeluruh untuk memahami teks berita. Melalui penelitian ini, dengan menggunakan pendekatan Norman Fairclough, akan dapat ditelusuri wacana yang dikembangkan Harian Analisa dan Harian Sumut Pos dalam mengkonstruksi realitas kampanye pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti. Termasuk bagaimana kedua media massa itu memposisikan diri dalam pemberitaan tentang kampanye di putaran kedua Pilkadasung Medan tahun 2010. Melalui pendekatan Norman Fairclough atau yang


(22)

dikenal dengan pendekatan perubahan sosial (social change approach), teks berita dapat dianalisis melalui tiga tahapan, yakni tahap analisis level mikro (teks), tahap level meso yakni produksi teks (discourse practise) dan tahap makro (sociocultural practise). Dari masing-masing level, Fairclough juga menawarkan konsep analisis yang disesuaikan dengan jenjangnya. Untuk analisis teks, Fairclough menguraikan 3 (tiga) unsur yang menjadi metode analisis, yakni interpretasi, relasi dan identitas. Sedangkan untuk level meso atau produksi teks (discourse practise) adalah analisis untuk melihat bagaimana teks diproduksi dan teks dikonsumsi. Pada level makro, Fairclough menjelaskan 3 (tiga) level analisis yakni situasional, institusional dan sosial.

Dari 12 teks berita yang menjadi unit analisis penelitian, penulis menemukan berbagai macam wacana yang dikembangkan media terkait kedua pasangan calon. Keseluruhannya merupakan upaya dan ajakan masing-masing kandidat untuk mendapat simpati dan dipilih menjadi Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015. Ternyata, dari keseluruhan teks yang dianalisis masih terdapat teks-teks berita yang cenderung menghegemoni khalayak pembaca. Janji-janji kampanye yang dikonstruksi media melalui teks tak lebih dari ’cek kosong’ dan publik tidak mendapatkan ruang dalam wacana yang dihadirkan media. Selain itu, dalam kampanye putaran kedua Pilkadasung Medan 2010 Harian Analisa ternyata cendrung menonjolkan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti daripada pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin. Sementara itu, Harian Sumut Pos malah cenderung lebih menonjolkan pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin daripada pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti dalam mengkonstruksi realitas kampanye putaran kedua Pilkadasung Medan 2010.


(23)

ABSTRACT

The text news basically an attempt to reconstruct an incident, event or reality to be presented to the audience. However, the process of doing construction in the form of text that does not happen in a empty room, but full of a variety of interests. Both from internal interests of media organizations and the interests outside media institutions. So that the text of the news in the end a compromise from all parts of the media organization to be presented to the reader. Process of constructing true reality to pressented to the audience through a complex process and involves many stakeholder. Start from the personal journalists, media institutions where journalists work to the external conditions of media institutions help provide a reality of how the role is delivered through text.

Media content analysis using the method of critical discourse analysis allows us to do a thorough analysis to understand the text of the news. Through this research, using the approach Norman Fairclough, discourse will be explored and developed Harian Analisa and Harian Sumut Pos in constructing the reality of campaign mate Rahudman Harahap-Dzulmi Eldinand Sofyan Tan-Nelly Armayanti.. Including how the mass media to position themselves in the news about the campaign in the second round Pilkadasung Medan in 2010. With Norman Fairclough approach, known as social change approach, the text message can be analyzed through three steps, the micro level (text analysis), meso level (discourse practise) and macro level (sociocultural practise).From each level, Fairclough also offers adapted analysis of the concept of hierarchically. For text analysis, Fairclough describes the three elements of the method of analysis, the the interpretation, relations and identity. As for the meso level or the production of text (discourse practice) is an analysis to see how the text is produced and consumed text.

From the 12 news texts into units of reasearch analysis, the authors found a variety of media discourse that developed the two pairs of candidates. The whole is an attempt and solicitation of each candidate to get sympathy and was elected Mayor and Deputy Mayor of Medan period 2010-2015. Apparently, the entire text being analyzed there are texts which tend hegemony audience. Campaign promises that are constructed through text media is nothing more than a 'blank check' and the public did not get space in media discourse presented. In addition, in the second round of campaign 2010 Pilkadasung Medan Harian Analisa tends to highlight the couple were Sofyan Tan-Nelly Armayanti Rahudman pairings Dzulmi Harahap-Eldin. In the meantime, Harian Sumut Pos tend to highlight Rahudman Harahap partner than a partner-Eldin Dzulmi Sofyan Tan-Nelly Armayanti in constructing reality Pilkadasung field campaign 2010 second round.

Key Word :

Critical Discourse Analysis, Social Change Approach, Interpretation, Relation, Identity, Production of Text, Situational, Institutional, Social.


(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Reformasi tahun 1998 menghasilkan banyak perubahan mendasar dalam sistem politik di Indonesia, salah satunya pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (pilkada) langsung. Seperti yang tertuang dalam pasal 24 ayat (5) dan pasal 56 ayat 1 Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Adapun pilkadasung artinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah bersangkutan. Teknisnya, pemilih memberikan tanda pada tanda gambar, nomor atau nama pasangan calon yang terdapat dalam surat suara.

Selain itu, diakomodirnya calon perseorangan (independen) dalam Pilkada pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 dan ditindaklanjuti dengan terbitnya UU No 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah1

1

Dalam Pasal 59 ayat 1 disebutkan peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah; a) Pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, b) Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Lebih lengkapnya lihat UU no 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

. Perubahan dalam sistem pemilihan umum kepala daerah (pilkada) sudah pasti berdampak terhadap proses pelaksanaan pemilu. Dominasi elit partai politik yang sebelumnya sangat besar dalam menentukan siapa yang berhak menjadi bakal calon kepala daerah untuk diajukan ke KPU semakin terkikis. Setidaknya, setiap orang berhak mencalonkan diri tanpa harus melalui partai


(25)

politik sesuai dengan peraturan. Selain itu, masyarakat dapat memilih secara langsung siapa pasangan yang dianggapnya layak menjadi pemimpin.

Proses pilkadasung merupakan momen penting dan menarik untuk dicermati. Tahun 2010 merupakan pilkadasung kali kedua yang digelar di kota Medan yang berpenduduk 2.121.053 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan2

Salah satu hal yang menarik dalam Pilkada langsung kota Medan tahun 2010 adalah jumlah pasangan yang ikut berkompetisi yakni mencapai 10 pasangan calon. Meskipun awalnya diperkirakan bakal menambah semangat untuk mensukseskan pesta demokrasi di kota Medan untuk meningkatkan partisipasi pemilih, tetapi kenyataannya menunjukkan hal yang berbeda. Faktanya partisipasi pemilih dalam Pilkada langsung kota Medan putaran pertama yang digelar 12 Mei 2010 lalu paling rendah, yakni 35,69 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilihan Tetap (DPT) dibanding dengan 8 (delapan) Kabupaten/kota di Sumatera Utara yang melakukan pemungutan suara pada hari yang sama. Tingkat partisipasi pemilih di delapan Kabupaten/kota lainnya di atas 60 persen. Di Tebing Tinggi mencapai 67,79 persen, Pakpak Bharat 88,11 persen, Sibolga 68,30 persen, Tobasa . Hingar bingar pelaksanaan pilkadasung yang digelar menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat dan merupakan peristiwa yang melibatkan semua elemen masyarakat. Pemerintah sebagai fasilitator, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara, pasangan calon dan tim suksesnya lengkap dengan masing-masing organisasi pendukungnya dan masyarakat sebagai pemilih ikut terlibat.

2

Informasi data kependudukan kota Medan lebih lengkap lihat http://medankota.bps.go.id diakses 04 Oktober 2010


(26)

81,20 persen, Binjai 66 persen, Serdang Bedagai 67 persen, Asahan 66,81 persen dan Tapsel 78 persen3

Selain itu, munculnya calon Walikota dari etnis Tionghoa, yakni Sofyan Tan yang berpasangan Nelly Armayanti yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) tentu menjadi catatan sendiri terhadap pelaksanaan pilkadasung di kota Medan. Sebab, Sofyan Tan dianggap orang pertama dari etnis Tionghoa yang melibatkan diri dalam suksesi kepemimpinan di kota Medan. Fakta itu setidaknya dapat menepis anggapan bahwa masyarakat etnis Tionghoa selama ini enggan untuk terjun dalam dunia politik praktis. Etnis Tionghoa dianggap sebagai kelompok masyarakat yang lebih konsern dalam dunia usaha. Secara populasi jumlah etnis Tionghoa di Medan memang tidak begitu besar namun dari sisi sumber daya ekonomi sangat dominan. Pengamat Ekonomi, Jhon Tafbu Ritongan

MEc dalam tulisannya berjudul Cimed: Produk Sejarah dan Lingkungan

mengungkapkan berdasarkan catatan Biro Pusat Statistik, tahun 1973 jumlah etnis Tionghoa di Medan hampir 130 ribu jiwa dan meningkat menjadi 166 ribu pada 1983. Bahkan, data BPS tahun 2000 menunjukkan, jumlah etnis Tionghoa mencapai 203 ribu jiwa atau 10,65 persen total penduduk Medan

.

4

Pilkadasung kota Medan memang telah usai, hasil putaran pertama menyisakan dua pasangan yaitu pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti. Berdasarkan rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara yang digelar KPU Kota Medan 17 Mei 2010 lalu, pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin memperoleh 150.671 suara atau 21.20 persen dan pasangan Sofyan

Tan-.

3

Lihat http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=115495:pemilih-pilkada-medan-paling-rendah&catid=165:pilkada-medan&Itemid=94 diakses 4 Oktober 2010

4


(27)

Nelly Armayanti memperoleh 140. 676 suara atau 20.22 persen. Adapun perolehan suara ke-8 pasangan lainnya yakni Syahrial Anas-Yahya Sumardi 18.661 suara atau 2,75 persen, Sigit Pramono Asri-Nurlisa Ginting 97.295 suara atau 14.33 persen, Indra Sakti-Delyuzar 8.738 suara atau 1,2 persen, Bahdin Nur Tanjung-Kasim Siyo 35.586 suara atau 5,24 persen, Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung 28.726 suara atau 4,2 persen, M Arif-Supratikno WS memperoleh 28.982 suara atau 4,27 persen, Maulana Pohan-Ahmad Arif 76.351 suara atau 11,25 persen, Ajib Shah-Binsar Situmorang 93.118 suara atau 13,72 persen5. Pada putaran kedua Pilkadasung Medan tahun 2010 yang digelar 19 Juni 2010, pasangan Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin berhasil unggul dan menjadi calon terpilih sebagai Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 dengan perolehan 485.446 suara. Sedangkan pasangan, Sofyan Tan-Nelly Armayanti memperoleh 251.435 suara6

Sementara itu, pasangan calon independen meskipun telah mendapat ruang dalam pilkadasung Medan ternyata masih kalah bersaing dengan pasangan calon yang diusung partai politik. Bahkan di Sumatera Utara hanya pasangan O.K. Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar dari calon independen yang berhasil memenangkan Pilkadasung di Kabupaten Batubara pada 18 Oktober 2008 lalu. OK Arya yang dikenal sebagai tokoh pemekaran itu sukses menyisihkan tujuh lawannya yang diusung partai politik

.

7

Membicarakan proses pilkadasung kota Medan tahun 2010 akan melibatkan banyak faktor yang tak terpisahkan dari proses demokrasi dan politik. Salah satunya

.

5

Lihat diakses 04 Otkober 2010

6

Lihat

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=124487:rahudman-pimpin-kota-medan&catid=165:pilkada-medan&Itemid=94 diakses 04 Otkober 2010

7

lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/12/25/brk,20081225-152574,id.htm diakses 5 Januari 2010


(28)

keberadaan media massa, khususnya media massa cetak di kota Medan. Politik dan media dalam aktivitasnya sama-sama berhubungan dengan orang banyak. Politik dalam aktivitasnya pasti menyangkut dan membutuhkan masyarakat. Pada saat yang sama media menjadi jembatan yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada masyarakat. Idealnya media dan politik dapat berjalan berdampingan dan saling melengkapi seperti mata uang. Media mampu memediasi pesan-pesan dan kegiatan politik dan pada saat yang sama media juga mampu menjadi ruang publik bagi masyarakat untuk menyampaikan ide, gagasan, keluhan dan persoalan yang ada. Media dan politik merupakan satu kesatuan mata uang yang saling membutuhkan. Media menjadi alat yang efektif pagi pelaku-pelaku politik untuk menciptakan kesan dan membentuk opini di tengah-tengah masyarakat. Bagi media, peristiwa politik merupakan sumber berita yang layak dikonsumsi dan menarik perhatian khalayak karena menyangkut kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, media memiliki kemampuan super dahsyat (powerfull) dalam melakukan rekonstruksi realitas untuk membentuk dan menciptakan citra. Dalam proses rekonstruksi itu bahkan memungkinkan bagi media untuk bertindak mengurangi dan melebihkan sesuatu dari realitas aslinya. Kemampuan itulah menjadi motivasi bagi para politisi untuk memanfaatkan media dalam proses politik, seperti halnya dalam ajang Pilkadasung Medan tahun 2010.

Tahapan kampanye8

8

Kampanye yang dimaksud adalah tahapan kampanye yang merujuk peraturan Peraturan KPU. Ayat 1 menyatakan untuk dapat dikategorikan sebagai kegiatan kampanye, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a) dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye; b) terdapat unsur meyakinkan para pemilih dalam rangka memperoleh dukungan sebesar besarnya dalam bentuk penawaran visi, misi, dan program secara tertulis atau lisan; c) terdapat alat peraga atau atribut pasangan calon; dan d) dilakukan pada jadwal dan waktu kampanye. (2) Terhadap kegiatan

dalam Pilkadasung Medan 2010 merupakan moment penting bagi media massa dan masing-masing pasangan calon. Kampanye merupakan


(29)

waktu yang diberikan KPU sebagai penyelenggara kepada masing-masing pasangan calon untuk melakukan aktifitas politiknya untuk menarik simpati dan meningkatkan dukungan suara. Pada saat yang sama, KPU juga melegalkan masing-masing pasangan calon untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui media massa dalam bentuk advertorial dan iklan. Kepentingan ekonomi bagi media untuk meraup keuntungan pada momen kampanye memang sangat terasa. Masing-masing pasangan tentu berharap agar pesan-pesan politiknya sampai ke masyarakat. Dan media akan menyampaikan itu melalui berita, advertorial hingga iklan. Faktor politik dan ekonomi tersebut bakal memberikan implikasi bagaimana media menjalankan rutinitasnya dan menghasilkan produknya kepada khalayak. Dalam liputan peristiwa politik, khususnya kampanye, realitas politik yang disampaikan melalui berita diharapkan membentuk opini publik seperti yang diharapkan komunikator politik atau politisi untuk mempengaruhi khalayak. Disisi lain, tentunya unsur kapital atau modal akan menjadi pertimbangan bagi media massa yang kini telah menjadi industri. Pertimbangan keuntungan dengan mengutamakan kepuasan pelanggan atau mitra usaha (pemasangan iklan) akan mempengaruhi media dalam mengkonstruksikan peristiwa politik ke dalam bentuk berita9

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak memenuhi seluruh unsur tersebut secara kumulatif, kegiatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan kampanye. Lebih lengkap lihat Peraturan KPU No. 69 Tahun 2009, tentang teknis kampanye pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah teruang dalam Bab I, Ketentuan Umum, pasal 5 ayat 1 dan 2

. Pragmatisme ekonomi dan kepentingan membuat media menjadi sensasional dan manipulatif dalam merekonstruksi realitas yang ada ke dalam bentuk berita. Sebagai pilar keempat demokrasi, media massa selayaknya mengambil posisi dan peran untuk meningkatkan kualitas demokrasi dalam proses pemilu. Media memiliki kekuatan untuk menentukan mana yang layak dan menjadi

9

Lebih lengkap lihat uraian Ibnu Hamad dalam Konstruksi Realitas Politik dalam Media Mass; Sebuah studi Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-berita Politik, Granit, Jakarta, 2004 hal 2-4.


(30)

penting bagi publik. Melalui teks-teks berita sebagai rekonstruksi realitas dan peristiwa, media massa setidaknya dapat bersikap objektive dalam pemberitaan. Mengutip pendapat Everet E Denis, dalam praktiknya objektivitas dapat dicapai dengan tiga cara: pemisahan antara fakta dan opini, penyajian berita tanpa disertai dimensi emosional, bersikap jujur dan seimbang terhadap semua pihak10

Aktivitas peliputan berita-berita kampanye Pilkadasung Medan 2010 merupakan bagian dari proses rekonstruksi realitas politik ke dalam bentuk teks berita. Sebab itu, menurut penulis, melakukan penelitian mengenai berita-berita kampanye pada Pilkadasung Medan 2010 merupakan studi kajian yang sangat menarik untuk mengetahui bagaimana media massa merekonstruksi realitas kampanye Pilkadasung Medan 2010 dalam bentuk teks berita dan apa yang menjadi wacana pemberitaan yang disampaikan media kepada khalayaknya serta bagaimana media memposisikan diri dalam pemberitaan realitas kampanye. Persoalan yang diangkat menjadi masalah penelitian ini adalah berita-berita kampanye pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti. Penelitian ini merupakan kajian analisis isi berita (content analysis) kampanye pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada putaran kedua Pilkada Medan 2010 di harian Analisa dan harian Sumut Pos. Harian Analisa dan Harian Sumut Pos yang menjadi unit analisis penelitian ini, menurut hemat penulis merupakan media cetak yang cukup representatif di Sumatera Utara, khususnya kota Medan. Harian Analisa adalah media yang tergolong sudah eksis sejak tahun 1973 dan memiliki pangsa pasar tersendiri yakni kalangan pengusaha dan ekonomi. Begitu juga dengan Harian Sumut Pos terbit sejak 1 Oktober 2001 yang masih tergolong pemain baru dan sebelumnya adalah

.

10

Lebih lengkap lihat Agus Sudibyo dalam Politik Media dan Pertarungan Wacana Penerbit LkiS Yogyakarta, 2001 hal 47.


(31)

Harian Radar Medan dan Radar Nauli. Sama halnya dengan Harian Analisa, Harian Sumut Pos yang merupakan jaringan perusahaan Jawa Pos Media Grup juga berhasil eksis dan merebut pangsa pasar dari kalangan pengusaha dan politisi.

Kajian terhadap isi media dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA) multilevel metode untuk mengungkap sesuatu di balik berita (something behind text). Kajian melalui CDA merupakan salah satu metode yang kerap dilakukan dalam ilmu komunikasi, khususnya analisis isi teks media. Melalui penelitian ini, kajian yang dilakukan tidak hanya mencakup studi terhadap teks berita tetapi juga melakukan kajian mendalam bagaimana proses produksi teks yang dilakoni media dalam mengkonstruksi berita. Selain itu juga melakukan kajian tentang kondisi politik dan ekonomi di luar media yang juga turut memberikan andil bagaimana teks berita dihasilkan. Metode CDA diharapkan mampu mengungkap seperti apa teks disampaikan, bagaimana teks diproduksi dan apa pengaruh eksternal terhadap media dalam memberitakan suatu peristiwa adalah dengan melakukan kajian terhadap isi media.

1.2. Perumusan Masalah

Setelah melihat latarbelakang seperti disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pilkadasung sebagai salah satu proses demokrasi untuk dalam rangka menarik simpati dan mendapatkan dukungan dari masyarakat sebagai pemilih. Untuk mencapai tujuan itu, masing-masing pasangan yang ikut dalam pilkadasung Medan 2010 berlomba-lomba untuk mendekatkan diri dengan masyarakat sebagai pemilih. Proses mendekatkan diri itu dilakukan dengan berbagai cara untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat. Salahsatunya melalui tahapan kampanye dengan menggunakan media massa sebagai alat mediasi untuk menyampaikan pesan-pesan


(32)

politik dan berkomunikasi dengan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan penelitian guna mengetahui bagaimana pesan-pesan politik tersebut disampaikan kepada publik dalam bentuk teks-teks berita. Hal itu sejalan dengan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, yaitu;

Bagaimana wacana pemberitaan kampanye pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada putaran kedua Pilkada langsung Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos Medan.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah seperti yang disebutkan sebelumnya perlu diuraikan tujuan dari penelitian ini. Ada 3 (tiga) hal yang menjadi tujuan peneliti untuk melakukan penelitian ini, yaitu;

1. Untuk mengetahui bagaimana wacana kampanye pasangan Rahudman

Harahap-Dzulmi Eldin pada putaran kedua Pilkada langsung Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos.

2. Untuk mengetahui bagaimana wacana kampanye pasangan Sofyan Tan-Nelly pada putaran kedua Pilkada langsung Medan Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos.

3. Untuk mengetahui positioning Harian Analisa dan Harian Sumut Pos dalam mengkonstruksi realitas kampanye pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada putaran kedua Pilkada langsung Medan 2010.


(33)

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam tataran akademis sebagai konstribusi karya ilmiah bidang ilmu komunikasi, khususnya mengenai media massa. Selain itu, dalam tataran praktis, tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan media massa dan pemangku kepentingan politik.


(34)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1. Paradigma

Memahami paradigma adalah hal terpenting dalam melakukan sebuah penelitian. Paradigma menjadi langkah awal bagaimana peneliti melakukan kajian terhadap persoalan yang ditelitinya. Membahas mengenai paradigma tentunya tak lepas dari Thomas Kuhn sebagai tokoh yang paling berjasa dalam memperkenalkan istilah paradigma (paradigm) melalui karyanya The Structure of Scientific Revolution

pada tahun 1962. Meski seorang ahli ilmu alam, Kuhn berhasil menawarkan sebuah konsep yang disebut dengan paradigma sebagai pintu masuk bagi para sosiolog ketika itu untuk memahami disiplin ilmu mereka. Dalam konsep paradigma yang ditawarkannya, Kuhn menolak pendapat bahwa ilmu pengetahuan muncul secara kumulatif. Menurutnya ilmu pengetahuan muncul secara revolusi. Bagaimana ilmu pengetahuan muncul? Kuhn menggambarkan ilmu pengetahuan muncul dengan paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu11

11

Lebih lengkap lihat George Ritzer dalam Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 4

. Dalam konsep Kuhn, ketika ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma tertentu disebut dengan tahap

normal scient. Berikutnya ketika muncul persoalan dan paradigma yang sudah ada tak mampu menjawab persoalan yang timbul sehingga menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat, tahap inilah yang disebut Kuhn sebagai tahap anomalies. Selanjutnya yang terjadi adalah tahap crisis sebagai puncaknya karena paradigma yang sudah ada mulai diragukan validitasnya dan perdebatan serta perbedaan pendapat


(35)

yang terjadi semakin memuncak. Maka yang terjadi berikutnya disebut Kuhn tahap

revolusi yang menghasilkan paradigma yang baru. Itulah model perkembangan ilmu pengetahuan yang diutarakan Kuhn. (lihat gambar 2.1). Menurut Kuhn munculnya paradigma sebagai dasar sebuah ilmu pengetahuan dari proses revolusi. Kehadiran paradigma yang baru tentu akan lebih dominan, sebaliknya paradigma yang sebelumnya semakin tidak diminati dan ditinggalkan12.

Gambar 2.1. Model Perkembangan Ilmu Pengetahuan13

Paradigm I Normal Scient Anomalies Crisis Revolution Paradigm II

Konsep paradigma yang diperkenalkan Kuhn kemudian dipopulerkan Robert Friedrichs melalui bukunya Sociology of Sociology pada tahun 1970 dalam rangka mencari defenisi yang jelas mengenai paradigma. Sebab, Kuhn tidak menyebutkan secara spesifik tentang defenisi paradigma. Friedrichs lalu menyimpulkan bahwa paradigma adalah suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter). George Ritzer lalu memberikan defenisi yang lebih jelas dan rinci. Menurutnya paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan (dicipline). Paradigma

12

Dalam karyanya, Kuhn menyebutkan ada tipe paradigma, yakni; 1) Paradigma metafisik (metaphisical paradigm); 2) Paradigma yang bersifat sosiologis (sociological paradigm) dan; 3) Paradigma konstruk (construc paradigm). Ketiga paradigma itu diredusir oleh Masterman dari konsep yang disampaikan Kuhn. Paradigma metafisik merupakan konsensus terluas dalam sebuah disiplin ilmu yang membatasi bidang dari suatu ilmu sehingga membantu mengarahkan ilmuwan melakukan

penelitian. Paradigma sosiologi adalah hasil-hasil ilmu pengetahuan yang diterima secara umum (dalam konsep Kuhn disebut exemplar) termasuk kebiasaan-kebiasaan, keputusan-keputusan. Paradigma konstruk adalah konsep terkecil dari ketiga paradigma. Ibid hal 4-6

13


(36)

membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut14. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual15

Paradigma fakta sosial berasal karya penelitian Durkheim berjudul Suicide

pada tahun 1951 dan The Rule of Sociological Methode tahun 1964. Durkheim berharap agar sosiologi dapat berdiri sebagai satu disiplin ilmu dengan membangun konsep yang disebutnya dengan fakta sosial (social facts) yang menurutnya menjadi pokok kajian sosiologi. Kelahiran disiplin ilmu sosiologi sebagai induk dari ilmu komunikasi tidak terlepas dari Emile Durkheim sebagai orang pertama yang berusaha melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat positive Auguste Comte dan Herbert . Berdasarkan konsep dan pengertian paradigma yang dimaksudkan terdahulu, jelaslah bahwa paradigma menjadi sentral dan fondasi utama bagi ilmuwan dalam melakukan sebuah penelitian. Paradigma ibarat teropong yang dapat diartikan sebagai cara pandang melihat sebuah persoalan. Paradigma merupakan pandangan yang sangat mendasar dari suatu disiplin ilmu yang menjadi pokok penelitian. Dalam sosiologi, meskipun menempati posisi sentral, tetap saja dimungkinkan untuk menggunakan paradigma yang beragam. Hal itu wajar karena menyesuaikan dengan objek persoalannya. Sekarang ini, dalam sosiologi dikenal 3 (tiga) paradigma, yaitu; 1) Paradigma fakta sosial; 2) Paradigma defenisi sosial dan; 3) Paradigma prilaku sosial.

14

Ibid hal 6-7

15


(37)

Spencer16. Fakta sosial yang dimaksudkan Durkheim adalah barang sesuatu yang untuk memahaminya diperlukan suatu penelitian di dunia nyata seperti orang mencari suatu barang17. Bentuknya dapat berupa material yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi dan bentuk non material yang merupakan fenomena dalam kesadaran manusia seperti egoisme dan opini. Ada 4 (empat) varian teori yang tergabung ke dalam fakta sosial yakni; 1) Teori fungsionalisme structural; 2) Teori konflik; 3) Teori sistem, dan; 4) Teori sosiolog makro18

16

Auguste Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori aliran filsafat dan menciptakan istilah sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat secara ilmiah. Pandangan positivisme dalam ilmu pengetahuan yang dimaksudkannya harus memenuhi empat kriteria, yakni 1) Objektif; 2)

Fenomenalisme; 3) Reduksionisme dan; 4) Naturalisme. Lebih lengkap lihat Burhan Bungin dalam

Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Prenada Media Group, 2008, hal 10.

. Namun dari keempat teori yang dominan hanya teori fungsionalismestructural dan teori konflik. Pertama, Teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utama dari teori fungsionalisme struktural adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibrium). Teori ini berpendapat bahwa masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Tokoh teori ini, Robert K Merton berpendapat bahwa objek analisa sosiolog adalah fakta sosial seperti; peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya. Sebab itu, ia mengajukan konsep fungsi dan disfungsi (struktur sosial pranata sosial yang berdampak positif dan negatif), fungsi manifest (fungsi yang diharapkan), fungsi laten (fungsi yang tidak diharapkan). Namun, hal yang perlu dicatat bahwa masyarakat menurut teori ini

17

Untuk memisahkan sosiologi dan psikologi, Durkheim membedakan fakta sosial dengan fakta psikologi. Menurutnya, fakta psikologi adalah fenomena yang dibawa manusia sejak lahir (inherited) dan bukan merupakan hasil pergaulan hidup. George Ritzer op. cit hal 16.

18


(38)

senantiasa berada dalam perubahan secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan (equilibrium). Kedua, teori konflik yang menentang teori

fungsionalisme structuralis yang berpendapat bahwa masyarakat senantiasa dalam proses perubahan secara terus menerus, dimana setiap elemen yang ada memberikan konstribusi terhadap proses disintegrasi sosial. Ralp Dahrendorf yang merupakan tokoh teori konflik berpendapat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan dari golongan yang berkuasa. Konsep utama dari teori ini adalah wewenang dan posisi yang dianggap sebagai fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan wewenang dan posisi diantara individu dalam masyarakat itulah yang harusnya menjadi perhatian sosiolog dalam pandangan teori konflik. Menurut Dahrendorf, dalam kondisi ideal konsep-konsep lain seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten, kelompok kepentingan dan kelompok semu, posisi dan wewenang merupakan merupakan unsur dasar untuk menerangkan bentuk-bentuk konflik sosial. Namun dalam kondisi yang tidak ideal, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses terjadinya konflik sosial. Diantaranya, kondisi teknik dengan personal yang cukup, kondisi politik dengan suhu yang normal, kondisi sosial dengan adanya rantai komunikasi dan faktor lain yang menyangkut cara pembentukan kelompok semu. Aspek terakhir dari teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dengan perubahan sosial. Menurutnya, konflik akan memimpin kearah perubahan dan pembangunan.

Paradigma defenisi sosial yang menjadi acuan penelitian ini merupakan hasil karya Weber yang memperkenalkan analisanya tentang tindakan sosial (social action).


(39)

Berbeda dengan Durkheim, menurut Weber yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah tentang tindakan sosial antar hubungan sosial dan yang menjadi pokok persoalan dalam sosiologi adalah proses pendefenisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi dan interaksi sosial. Weber menyebutnya dengan tindakan yang penuh arti, maksudnya tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang aktivitasnya mempunyai makna dan arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebab itu, sosiologi didefenisikan sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Mengacu pada defenisi diatas, terdapat dua konsep dasar yakni konsep tindakan tindakan sosial dan konsep penafsiran dan pemahaman (untuk menjelaskan konsep yang pertama). Selanjutnya Weber juga menawarkan metode yang disebutnya verstehen atau interpretative understanding

untuk memahami tindakan sosial. Sedangkan untuk memahami motif tindakan seseorang, Weber menyarankan dua cara, yakni melalui kesungguhan dan mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor. Konsep kedua dari Weber adalah tentang antar hubungan sosial yang didefenisikannya sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang berbeda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk dalam paradigma defenisi sosial. adalah teori aksi (action theory), interaksionisme simbolik (simbolic interaksionism) dan fenomenologi (phenomenology). Teori aksi ini sebenarnya berperan penting dalam mengembangkan kedua teori berikutnya yakni interaksionisme simbolik dan fenomenologi. Beberapa asumsi fundamental dari teori aksi dikemukakan Hinkle yang merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson, yakni; 1) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi


(40)

eksternal dalam posisinya sebagai objek; 2) Sebagai subjek manusia bertindak atau berprilaku untuk mencapai tujuan tertentu; 3) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik dan prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut; 4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya; 5) Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya; 6) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat mengambil keputusan; 7) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subjektif seperti motede verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction, atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience). Talcott Parsons sebagai pengikut Weber mengembangkan teori aksi dengan melakukan penegasan terhadap perbedaan istilah action dengan behavior.

Menurutnya, behavior secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara prilaku (respons) dengan rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan istilah

action menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan individu. Teori interaksionisme simbolik pada dasarnya mengikuti pendekatan Weber dalam teori aksi yang berkembang pertama kali di Universitas Chicago sehingga sering disebut aliran Chicago. Tokoh utama teori interaksionisme simbolik adalah Jhon Dewey dan Charles Horton Cooley kemudian dikembangkan Mead. Mead berpendapat bahwa interaksionisme simbolik mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut si aktor. Mead memberikan perbedaan yang tegas dengan behavioralisme yang mempelajari tingkahlaku (behavior) manusia secara objektif dari luar. Herbert Blumer (1962),


(41)

seorang tokoh interaksionisme simbolik menjelaskan perbedaan antara teori ini dengan teori behaviorisme. Menurutnya, interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi manusia, kekhasan yang dimaksudkannya adalah manusia saling menterjemahkan dan saling mendefenisikan tindakannya. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi berdasarkan makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. Jadi dalam proses interaksi manusia bukan berarti dimana adanya stimulus secara otomatis menimbulkan tanggapan atau respon. Melainkan diantarai proses interpretasi yang merupakan proses berfikir dan menjadi kemampuan khas yang dimiliki manusia. Dalam teori interaksionisme simbolik, individual, interaksi dan interpretasi menjadi tiga terminologi yang penting dalam memahami kehidupan sosial. Sedangkan teori fenomenologi menyangkut pokok persoalan ilmu sosial itu sendiri yakni bagaimana kehidupan masyarakat dapat terbentuk. Salah satu tokoh teori ini, Alfred Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari subjektivitas yang disebutnya antarsubjektivitas dan intersubjektivitas. Konsep ini menunjuk kepada dimensi dari kesadaran umum kepada kesadaran khusus kelompok sosial yang saling berintegrasi. Selain itu konsep intersubjektivitas yang mengacu pada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling mengintegrasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh dengan cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individu. Schutz memusatkan perhatiannya pada struktur kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya saling bertindak atau interaksi dan saling memahami antar sesama manusia. Empat hal yang menjadi unsur pokok teori ini adalah; perhatian terhadap


(42)

aktor, memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting dan kepada sikap yang wajar (alamiah), memusatkan perhatian pada masalah mikro dan memperhatian pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan.

Paradigma prilaku sosial dikemukakan B.F. Skinner yang menterjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi melalui bukunya berjudul beyond freedom and dignity. Menurutnya, kedua paradigma yang disebutkan sebelumnya (fakta sosial dan defenisi sosial) mengandung persoalan yang masih teka-teki dan bersifat mistik. Skinner berpendapat objek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah prilaku manusia yang nampak serta kemungkinan pengulangannya. (behavior of man and contigencies of reinforcement). Dalam pandangan paradigma prilaku sosial yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku. Dua teori yang masuk dalam paradigma prilaku sosial adalah; teori behavioral sociology yang mengandung konsep dasar reinforcement yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Maksudnya, perulangan tingkah laku tak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya terhadap prilaku itu sendiri. Kedua adalah teori

exchange dengan tokoh utamanya George Homan yang mengemukakan pandangannya tentang emergence, psikologi dan metode penjelasan Durkheim sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial.

2.2. Aliran Frankfurt dan Kelahiran Teori Kritis

Dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi ada dua tradisi besar pemikiran yang menjadi cikal bakal kelahiran berbagai teori dalam ilmu sosiologi beserta


(43)

metodologinya. Pertama tradisi pemikiran Prancis dan Inggris yang lebih dikenal dengan positivisme atau sering disebut dengan empirisme, behaviroisme, naturalisme

dan sinisme. Kemunculan dan perkembangan tradisi pemikiran Prancis dan Inggris ini sangat dominan dengan pengaruh-pengaruh ilmu alam yang tergolong Aristotelian. Hal terpenting dalam tradisi pemikiran ini adalah pandangannya terhadap realitas sebagai materi. Yang disebut dengan jiwa (mind) tak ubahnya seperti kertas putih (tabula rasa) yang pada hakikat semacam film kamera pada diri manusia; ia sekedar

photocopy atau gambaran ‘hasil potret’ pengalaman indrawi manusia19

19

Lebih lengkap Lihat Burhan Bungin dalam Analisis Data Penelitian Kualitatif, 2003, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 4-12.

. Kedua adalah tradisi pemikiran Jerman yang lebih humanistik yakni memandang manusia sebagai manusia. Tradisi pemikiran ini lebih humanistik dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme (platonik). Oleh Kant dan Hegel, filsafat rasionalisme menjadi ilham bagi pemikiran keduanya yang melihat manusia bukanlah sebuah film kamera. Pemikiran Kant maupun Hegel pada akhirnya menjadi akar dan dasar pendekatan kualitatif dan menolak dengan tegas tradisi pemikiran Prancis dan Inggris yang melihat realitas sebagai sesuatu yang empiris dan menganggap jiwa manusia tak lebih dari film kamera. Penolakan itu bukan tidak beralasan, bagi Kant dan Hegel sejarah perjalanan umat manusia dipenuhi dengan ide-ide besar yang ternyata bukan berasal dari pengalaman nyata manusia itu sendiri. Contoh ide-ide besar itu adalah persoalan Tuhan, surga dan neraka yang sama sekali bukan berasal dari pengalaman empirik manusia. Tuhan, surga dan neraka sama sekali tidak pernah muncul dalam dunia empiris dan observasi siapapun. Tetapi diyakini dan memberikan dampak yang besar terhadap prilaku kehidupan manusia sehari-hari. Jadi keduanya berpendapat sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan tujuan dalam hidup (purpose creator),


(44)

perjalanan manusia adalah perjalanan sejarah ide dan kreasi bukan sekedar perubahan. Pada prinsipnya manusia adalah sumber dan penghasil ide-ide besar. Dunia ide, dunia makna itulah yang menjadi point penting pemikiran Kant dan Hegel untuk memahami manusia. Sebab menurut keduanya, realitas-realitas sosial yang muncul pada dasarnya bersumber dari ide dan makna yang tersembunyi dalam diri manusia bukan sesuatu yang hanya dapat dianggap bersifat empiris seperti dalam tradisi Prancis dan Inggris. Kant dan Hegel menyebut apa yang tampak dipermukaan sebagai wujud prilaku atau realitas sosial berasal dunia makna dan dunia ide atau fakta fenomenologis dan untuk mengetahui makna yang tersembunyi di dalamnya perlu dilakukan proses penghayatan atau interpretative understanding.

Teori kritis lahir dari pemikir-pemikir besar dari Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) Jerman yang saat itu sedang berlangsung propaganda Hitler. Media dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda. Media menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik dan mengobarkan semangat perang. Ternyata media bukanlah entitas yang netral tetapi bisa dikuasai kelompok dominan20

20

Uraian lengkap lihat Eriyanto dalam Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, 2001, LKiS, Yogyakarta hal 23.

. Aliran sekolah Frankfurt ini banyak memperhatikan aspek ekonomi dan politik dalam penyebaran pesan. Teori kritis ini lahir sebagai wujud keprihatinan terhadap akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Ciri khas dari teori kritis ini adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Sebab, kondisi masyarakat yang kelihatannya bagus, produktif sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak. Pemikiran aliran Frankfurt yang disebut ciri teori kritik mencoba


(45)

memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Istilah teori kritis dikenalkan Max Horkheimer pada tahun 30-an untuk memaknakan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan dan institusi politik borjuis. Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Sebab Horkheimer menyatakan bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains.

Pemikiran dari sekolah Frankfurt itu dikembangkan Stuart Hall melalui tulisannya berjudul The Rediscovery of Ideologi; The Return of The Repressed in Media Studies. Hall mengkritik penelitian studi tentang media yang tidak menempatkan ideologi sebagai bagian yang penting. Media dilihat sebagai kekuatan besar yang dapat memanipulasi kesadaran dan kenyataan. Karena itu, media dikuasai kelompok dominan dalam rangka melestarikan kelompok dominan sekaligus memarjinalkan kelompok masyarakat yang tidak dominan. Hall mengajukan gagasan arti pentingnya ideologi dalam studi media untuk membongkar kenyataan palsu yang diselewengkan dan dipalsukan oleh kelompok dominan. Namun media seharusnya bukan dilihat sebagai kekuatan yang jahat yang memang didesain untuk memburukkan kelompok lain. Media menjalankan peranannya seperti itu, melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses pendefenisian dan penandaan. Perhatian Hall terhadap media adalah bagaimana media menciptakan sebuah konsensus sebagai sesuatu yang baik. Dalam proses pembentukan


(46)

konsensus itu, ia mengemukakan teori mengenai normal dan penyimpangan. Menurutnya teori normal dan penyimpangan itu bukanlah sesuatu yang terjadi secara wajar dan alami seperti seperti pandangan kaum pluralis. Menurutnya, konsensus dihasilkan lewat pertarungan kekuasaan dan dibentuk melalui praktik sosial politik, disiplin legal, dan bagaimana kelas, kekuasaan dan otoritas ditempatkan. Dalam proses itu media memainkan peranan yang penting dan terlibat dalam usaha merekonstruksi yakni bagaimana mereproduksi, memapankan defenisi dari situasi yang mendukung dan melegitimasi struktur, mendukung suatu tindakan dan mendelegitimasi tindakan lain21. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa media tidak dapat dianggap secara sederhana merefleksikan konsensus yang ada, pandangan kritis berpendapat bahwa hasil konstruksi dan realitas hasil produksi media dipengaruhi kekuatan-kekuatan dan faktor dominan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Menurut Hall ketika media melakukan rekonstruksi terhadap realitas sosial ada dua hal yang harus diperhatikan yakni bahasa dan politik penandaan. Bahasa merupakan sistem penandaan dan media memiliki kemampuan bagaimana memberikan tanda terhadap sebuah realitas. Melalui penggunaan bahasa22

21

Ibid. hal 28

, media mampu melakukan praktik menonjolkan maupun memarjinalkan suatu realitas. Hall berpendapat praktik itu tidak bisa dilepaskan bagaimana wacana dominan membentuk dan membatasi pengertian yang ditandakan media melalui penggunaan bahasa. Makna muncul dari proses pertarungan masing-masing kelompok dengan klaim kebenarannya dan wacana

22

Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan difahami suatu komunitas. Dalam penggunaannya, makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dengan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata yang membangkitkan makna dalam fikiran orang.

Pembahasan mengenai bahasa. verbal maupun non verbal. Lebih lengkap lihat uraian Deddy Mulyana dalam Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, Cetakan Ketujuh, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal 237-380.


(47)

difahami sebagai arena pertarungan sosial. Hasilnya kelompok yang menang akan menjadi dominan dalam memberikan defenisi, pemahaman dan penafsiran dalam memaknakan suatu realitas. Media memegang peranan penting sebagai alat untuk menyampaikan kepada khalayak bagaimana suatu realitas difahami dan dimaknai. Sedangkan politik penandaan yakni bagaimana praktik sosial dalam membentuk, mengontrol dan menentukan makna. Menurut Hall media menandakan sebuah realitas realitas dengan pandangan tertentu tidak lepas dari unsur ideologi. Akibat dari ideologi dalam media itu membuat realitas hasil konstruksi yang diterima khalayak tampak natural, wajar dan nyata.

2.3. Ideologi dan Hegemoni

Salah satu sumbangan konsep tentang ideologi disampaikan Althusser atau dikenal juga dengan ideology strukturalis. Ideologi berdasarkan konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Althusser melihat bahwa ideologi adalah sebuah praktik daripada gagasan atau ide. Althusser mengatakan ada dua dimensi hakiki negara, yaitu; 1) Represif (represif state aparatus/RSA) dan; 2) Ideologi (ideological state aparatus/ISA). RSA masuk dengan jalan memaksa sedangkan ISA masuk dengan jalan mempengaruhi23

23

Eriyanto op.cit. hal 98

. Namun yang perlu difahami bahwa RSA dan ISA memiliki tujuan yang sama yaitu melanggengkan kekuasaan. RSA dilakukan dengan menggunakan kekerasan melalui penggunaan kekuatan militer dan polisi yang bersifat represif sedangkan ISA berperan menciptakan kondisi untuk melegitimasi sebuah ideologi dengan memanfaatkan sekolah, gereja, dan media agar dapat diterima masyarakat sebagai sesuatu yang benar, absah dan wajar. Dalam konteks ISA, media merupakan salah satu alat yang


(48)

efektif untuk digunakan bagaimana kekuasaan yang dominan mempengaruhi kelompok yang tidak dominan. Hal penting dari teori ideologi dari pemikiran Althusser adalah subjek dan ideologi. Althusser berpendapat bahwa ideologi adalah hasil rumusan individu-individu yang dalam pemberlakuannya tidak hanya menuntut individu yang bersangkutan melainkan juga membutuhkan subjek. Ideologi membutuhkan subjek dan juga menciptakan subjek, usaha inilah yang dinamakan interpelasi. Setelah subjek tercipta maka akan diarahkan untuk kepentingan penciptanya (individu atau kelompok yang menciptakan ideologi). Atau merujuk kepada kepada faham Marxis strukturalis yang dianut Althusser maka kehidupan manusia sebagai subjek sama artinya dengan subjek bagi struktur kelas yang dominan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa ideologi pada hakikatnya adalah alat untuk menciptakan manusia sesuai dengan dengan kepentingan negara yang identik dengan alat intervensi bagi perjuangan kelas.

Konsep interpelasi adalah konsep penting dalam dunia komunikasi. Semua tindakan komunikasi menurut Jhon Fiske pada dasarnya adalah menyapa seseorang, dan dalam penyapaan/penyebutan itu selalu terkandung usaha menempatkan seseorang dalam posisi dan hubungan sosial tertentu24

24

Ibid. hal 100.

. Hal yang sama juga terjadi dengan isi media yang berisi tentang interpelasi. Teks berita selalu menyapa seseorang ketika membaca teks berita tersebut. Sebab teks media bukan ditujukan untuk dirinya melainkan ditujukan untuk berkomunikasi dengan khalayaknya. Sebagaimana yang dikatakan Fiske, berita dan proses komunikasi secara keseluruhan pada dasarnya adalah praktik dan proses sosial dan hampir selalu ideologi; interpelasi adalah bagian penting dari praktik ideologi itu.


(49)

Hal yang menarik adalah bagaimana ideologi dapat diterima sebagai sesuatu yang seakan-akan benar adanya. Jika Althusser berbicara tentang ideologi dan bagaimana kelompok yang dominan mengontrol kelompok yang tidak dominan, maka ahli filsafat politik asal Itali yakni Antonio Gramsci membangun teori yang dikenal dengan hegemoni (hegemony). Menjelang kejatuhan orde baru, kata hegemoni sempat akrab dan menjadi cap bagi rezim orde baru yang berkuasa. Hegemoni diidentikkan dengan praktik pembodohan dan penindasan yang dilakukan penguasa kepada rakyat. Istilah hegemoni awalnya berasal dari bahasa Yunani yaitu hegeishtai artinya memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Antonio Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi tetapi juga melalui kekuatan (force) hegemoni25

25

Ibid. hal 103

. Mirip seperti konsep pemikiran Althusser (RSA dan ISA), jika yang pertama dengan cara memaksa maka hegemoni meliputi perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif (secara sukarela) dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Caranya dengan menguasai basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi atau penguasa (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Artinya, dengan menggunakan ideologi, masyarakat kelas dominan dapat merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah tanpa disadari sehingga rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Gramsci membangun suatu teori yang menekankan


(50)

bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kelompok yang dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan dan kekerasan yang disebut dengan hegemoni. Hegemoni dapat berjalan melalui dua saluran, yakni ideologi dan budaya. Dalam prosesnya, hegemoni terjadi tanpa adanya paksaan dan terlihat sebagai sesuatu yang wajar. Kekuatan hegemoni terletak bagaimana kelompok dominan mampu menciptakan dan menyebarkan cara pandang tertentu yang dominan terhadap kelompok yang didominasi. Selanjutnya, tanpa disadari dan seakan menjadi sebuah kebenaran, cara pandang itu dianut sehingga cara pandang lain menjadi salah. Dari sisi itulah media menjadi alat bagaimana cara pandang yang diciptakan kelompok dominan disebarluaskan sebagai nilai-nilai yang dianggap benar sehingga nilai-nilai diluar dari itu menjadi salah. Tujuannya tetap satu yakni melestarikan kekuasaan elit atau kelompok penguasa26. Dalam proses produksi berita, menurut Stuart Hall proses hegemoni itu sendiri bahkan menjadi rituil yang sering kali tidak disadari oleh wartawan27. Maksudnya, tanpa disadari kecendrungan wartawan atau media memberikan porsi yang lebih besar kepada kelompok penguasaha ketimbang buruh ketika ada peristiwa unjukrasa itu merupakan bentuk-bentuk hegemoni yang dilakukan media dalam memproduksi berita. Contoh lainnya adalah bagaimana Harian Kompas, Republik, Terbit dan Pos Kota yang dalam pemberitaan mengenai rencana referendum Aceh tahun 1999 lalu yang masih sangat elitis28

26

Pada era orde baru eksistensi media sangat dipengaruhi penguasa untuk tujuan menghegemoni dan mengapolitisasi warga. Media menjadi perpanjangan tangan penguasa, bahasa politik bermakna ganda untuk tujuan penghalusan maupun kepentingan memperdaya warga negara. Uraian lengkap lihat Siti Aminah dalam jurnal Politik Media, Demokrasi dan Media Politik, Dapat diakses

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/POLITIK%20MEDIA,%20%20DEMOKRASI.pdf

. Salah satu strategi kunci hegemoni

27

Eriyanto op. cit. 105

28

Hasil analisis isi terkait berita tentang rencana referendum Aceh, keempat media masih terjebak pada pola pemberitaan pers Orde Baru yang elitis-birokratis. Hal itu terlihat ketimpangan sumber berita dari masyarakat Aceh hanya 13 persen sedangkan unsur elit negara 51 persen. Agus Sudibyo op.cit hal 27-30.


(51)

adalah melalui nalar awam (common sense). Ketika kelompok dominan mampu menciptakan sebuah gagasan atau ide menjadi sebuah common sense yang tentunya diterima secara umum maka pada dasarnya hegemoni sudah terjadi. Proses penciptaan

common sense itulah yang selama ini berhubungan dengan praktik jurnalistik. Misalnya, bagaimana wartawan lebih senang memberitakan aksi buruh yang anarkis daripada aksi yang damai atas dasar kaidah jurnalistik yang disebut dengan nilai berita atau layak berita. Secara terus menerus dan tanpa disadari kondisi itu bakal menggiring anggapan khalayak bahwa demonstrasi identik dengan kekerasan, kerusuhan dan tindakan anarkis.

2.4. Paradigma Kritis dalam Analisis Wacana Kritis

Kata wacana merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yakni discourse. Discourse berasal dari Bahasa Latin yakni discursus terdiri atas dua kata dis dan

currere yang berarti lari kesana kemari29

29

Secara etimologi kata wacana berasal dari bahasa sanskerta yakni wac/wak/vak yang berarti berkata atau berucap. Sedangkan bentuk ana adalah sufiks (akhiran) yang berarti membendakan (nominalisasi). Jadi wacana diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Lebih lengkap lihat Mulyana dalam Kajian Wacana; Teori, Metode & Apikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005 hal 3-5

. Istilah wacana telah digunakan baik dalam arti terbatas maupun luas. Secara terbatas, wacana merujuk pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Lebih luas lagi, wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan. Di Indonesia, istilah wacana mulai akrab didengar pasca reformasi. Pemahaman terhadap wacana sering dikaitkan dengan diskursus tentang sesuatu hal. Wacana diletakkan pada posisi sesuatu yang layak untuk diperdebatkan dan dibahas. Namun, apa yang dimaksud wacana tergantung dari penggunaannya karena banyak disiplin ilmu yang


(52)

menggunakan istilah wacana. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat yang memiliki unsur-unsur30. Sebab itu pengertian terhadap analisis wacana juga berbeda dalam masing-masing studi dan disiplin ilmu. Wacana yang dimaksud adalah Discourse

(memakai huruf D besar) yang berarti merangkaikan unsur linguistik dengan unsur non lignuistik untuk memerankan kegiatan, pandangan dan identitas31. Analisis wacana (discourse analysis) diperkenalkan Harris melalui artikel ‘discourse analysis’ dalam jurnal language No. 28/1952 1-30. Dalam artikel itu, Harris membicarakan wacana iklan dengan menelaah hubungan antara kalimat-kalimat yang menyusunnya dan kaitannya antara teks dengan masyarakat dan budaya32

Salah satu ciri dan sifat analisis wacana adalah upaya mamahami makna tuturan dalam konteks, teks dan situasi. Analisis wacana kini menjadi salah satu alternatif dalam analisis isi. Analisis wacana kritis adalah analisis wacana yang berasal dari pandangan kritis. Unsur bahasa menjadi aspek penting dalam analisis wacana untuk menggambarkan sebuah objek yang mengandung nilai-nilai ideologi dan tujuan. Setidaknya ada tiga pandangan bahasa dalam analisis wacana yakni; 1) Padangan positivisme-empiris; 2) Pandangan konstruktivisme

.

33

30

Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur internal dan ekternal. Unsur internal terdiri dari; 1) kata dan kalimat, dan; 2)Teks dan Konteks, unsur eksternal terdiri dari; 1) Implikatur; 2)Presuposisi; 3)Referensi, 4) Inferensi dan; 5) Konteks. Ibid. hal 7-24

dan; 3) Pandangan kritis.

31

Berdasarkan pendapat Gee (1999) bahwa discourse (huruf d kecil) yang menjadi perhatian ahli bahasa tentang bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya. Sedangkan Discourse (huruf D besar) merangkai unsur linguistik dan non lingustik. Non linguistik diantaranya kepercayaan, perasaan, cara, interaksi, penilaian yang bermakna dan penuh arti dengan cara tertentu. Ibnu Hamad. op. cit. hal 34.

32

Lebih lengkap lihat P. Ari Subagyo dalam Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dengan Analisis Wacana Kritis, dapat diakses melalui http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/009-P.-Ari-Subagyo-Univ.-SaDhar-Pragmatik-Kritis-.-.-..pdf

33

Padangan positivisme-empiris yang melihat bahwa bahasa adalah media antara manusia dengan sesuatu di luar dirinya, Makanya, ciri pandangan positivisme-empiris selalu memisahkan antara pemikiran dan realitas. Kaitannya dengan analisis wacana adalah, tidak penting dan tidak perlu


(1)

Hamad, Ibnu. 2007. Media dan Demokrasi di Asia Tenggara: Kasus Indonesia.

Ikhsan, M. Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten/Kota Imran, Ali, Hasyim. Tinjauan Buku; Wacana dan Varian Episte,ologis dalam

Penemuan Kebenaran Ilmiah.

Marijan, Kacung. 2007. Pilkada Langsung; Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik dan Demokrasi Lokal.

Rusadi, Udi. 2006. Kebebasan Media Dalam Perspektif Hubungan Media dan Masyarakat.

Santoso, Anang. Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis.

Subagyo, Ari, P. Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dengan Analisis Wacana Kritis. http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/009-P.-Ari-Subagyo-Univ.-SaDhar-Pragmatik-Kritis-.-.-..pdf

Surya, Eka, Desayu. 2008. Penelitian Kualitatif ’Trend Baru’ di Bidang Ilmu Komunikasi

Widiastuti. Kekuatan Media Massa dan Pengaruhnya Terhadap Khalayak.


(2)

Daftar Pustaka

Amiruddin., Bisri.,Z.A., 2006, Pilkada Langsung Problem dan Prospek; Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada 2005, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yosyakarta

Althoff, Phillip dan Rush, Michael, 2007, Pengantar Sosiologi Politik, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Bungin, Burhan, 2007, Metodologi Penelitian Kualtatif, Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Bungin, Burhan, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Bungin, Burhan, 2008, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Informasi di Masyarakat, Cetakan Ketiga, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta

Eriyanto, 2001, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta Hamad, Ibnu, 2004, Konstruksi Realitas Politik dalam media massa, sebuah studi

Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-berita Politik, Granit, Jakarta Kincaid.,D.L., dan Schramm, Wilbur, 1987, Asas-asas Komunikasi Antar Manusia,

Cetakan Ketujuh, Lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan social (LP3ES) Jakarta bekerjasama dengan east-west communication institute (EWCI) Hawai

Latif, Yudi., dan Ibrahim, S.I., 1996, Bahasa dan Kekuasaan; Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Cetakan Pertama, Mizan, Bandung

Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2010, Handout Penulisan Proposal Tesis, Medan

Mulyana, 2005, Kajian Wacana; Teori, Metode & Apikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana, Tiara Wacana, Yogyakarta

Mulyana, Deddy., 2005, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, Cetakan Ketujuh, {T Remaja Rosdakarya, Bandung

Nimmo, Dan, 2005, Komunikasi Politik, Komunikator, pesan, dan media Cetakan Keenam, PT Remaja Rosdakarya Bandung


(3)

Peterson, Theodore and Jensen., J.W., Rivers., W.L., 2008, Media Massa dan Masyaakat Modern, Edisi Kedua, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta Prihatmoko., J.J., 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem dan

Problem Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar

Ritzer, George, 2002, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Cetakan Ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, Kumpulan Undang-undang Tentang Pemilihan Umum

Sobur, Alex, 2004, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisisi Wacana, Analisi Semiotik, dan Analisis Framing, Cetakan Ketiga, PT Remaja Rosdakarya Bandung

Sudibyo. Agus, 2001, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Penerbit LkiS Yogyakarta

Suwardi., Harsono, 1993, Peranan Pers dalam Politik di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Syafeii, Kencana, I., 2000, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta

Vivian. Jhon, 2008, Teori Komunikasi Massa, Edisi kedelapan, Kencana, Jakarta Wardhany., A.C., dan Morisson M.A., 2009, Teori Komunikasi, Cetakan Pertama,

Ghalia Indonesia, Bogor

INTERNET

Aminah, Siti. Politik Media, Demokrasi dan Media Politik.

Arifianto, S. Konstruksi Teori-teori dalam Perspektif Kajian Budaya dan Media.

Eko, Sutoro. 2004. Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi. http://ireyogya.org/sutoro/pilkada_secara_langsung.pdf

Fairclough, Norman. 2010. Dialektika Wacana. Ari Cahyo Nugroho.


(4)

Hamad, Ibnu. 2007. Media dan Demokrasi di Asia Tenggara: Kasus Indonesia.

Ikhsan, M. Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten/Kota Imran, Ali, Hasyim. Tinjauan Buku; Wacana dan Varian Episte,ologis dalam

Penemuan Kebenaran Ilmiah.

Marijan, Kacung. 2007. Pilkada Langsung; Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik dan Demokrasi Lokal.

Rusadi, Udi. 2006. Kebebasan Media Dalam Perspektif Hubungan Media dan Masyarakat.

Santoso, Anang. Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis.

Subagyo, Ari, P. Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dengan Analisis Wacana Kritis. http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/009-P.-Ari-Subagyo-Univ.-SaDhar-Pragmatik-Kritis-.-.-..pdf

Surya, Eka, Desayu. 2008. Penelitian Kualitatif ’Trend Baru’ di Bidang Ilmu Komunikasi

Widiastuti. Kekuatan Media Massa dan Pengaruhnya Terhadap Khalayak.


(5)

Panduan Wawancara Untuk Pengelola Media (Harian Analisa/Sumut Pos)

Judul Tesis: Analisis Wacana Kritis Berita Kampanye Pasangan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 di Harian Analisa dan Harian Sumut Pos

1. Sebagai lembaga yang senantiasa berhubungan dengan persoalan publik, apa yang menjadi ideologi media yang bapak Pimpim?

2. Terkait pangsa pasar/pembaca, sekarang ini pembaca yang menjadi pangsa Pasar berasal dari kalangan apa? (terkait latarbelakang ekonomi, sosial dan pendidikan)

3. Apakah media yang Bapak Pimpin selama ini independen dalam proses pemberitaan?

4. Bagaimana sistem/mekanisme kerja yang berlaku kepada wartawan dalam meliput berita (soal jumlah berita, jam rapat proyeksi, dll)

5. Mengenai proses editing berita (teks, judul dan isi berita), bagaimana mekanisme yang dilakukan?, bagian redaksi mana saja yang ikut dalam proses tersebut hingga dinyatakan layak cetak? Dan bagaimana pengambilan keputusan sebuah berita dinyatakan layak cetak? Dan bagaimana keterkaitan antara redaksi dan divisi lain (iklan dan pemasaran) dalam pengambilan keputusan terkait berita?

6. Bagaimana dengan latarbelakang dari reporter dan awak redaksi (…maksudnya tentang jenjang pendidikan, usia, orientasi politik dll)


(6)

8. Dalam Pilkada Medan 2010 lalu, apakah ada sikap atau arahan dari terkait pemberitaan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan.? (…maksudnya melakukan pemihakan terhadap salah satu kandidat atau memberikan perlakukan yang sama/netral terhadap masing-masing calon)

9. Apakah ada kebijakan tertentu/khusus terkait peliputan Pilkada Medan? (…misalnya batasan materi apa saja yang diliput, dll)

10. Kemudian, sebagai ajang demokrasi akbar di kota Medan yang bakal menentukan orang nomor satu di kota Medan, apakah ada semangat atau ide-ide yang dikembangkan atau semangat yang ingin digulirkan dalam berita? (…maksudnya tentang agenda-agenda ke depan yang harusnya menjadi perhatian kandidat Walikota dan Wakil Walikota)

11. Untuk pemberitaan Pilkada Medan, apakah pemberitaannya dilakukan oleh wartawan tertentu/khusus atau tidak (…maksudnya soal pembagian bidang dan wilayah liputan reporter)

12. Terkait dengan berita Pilkada Medan, bagaimana kecendrungan reporter memperoleh berita? (apakah melalui proses wawancara atau press release)