sangat sulit diukur, tidak jelasnya indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya merupakan sesuatu hal yang sangat sulit diukur. Disamping itu secara
materi diungkapkan bahwa variabel-variabel sosiologis seperti kelompok primer dan sekunder memberikan pengaruh pada perilaku pemilih dan pilihan politik. Tidaklah
variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih dan pilihan politik jika ada proses sosialisasi. Oleh sebab itu pada pendekatan ini, sosialisasilah yang
menentukan perilaku memilih dan orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang bukan karakter sosiologis.
30
Dalam pendekatan ini, sikaplah yang paling menentukan dan hal itu berawal dari informasi-informasi yang diterima seseorang. Menurut Asfar, sikap tidaklah
terjadi secara begitu saja melainkan melalui proses yang panjang, yang dimulai dari kanak-kanak saat seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orangtua
atau kerabat dekat.
31
Seperti yang telah diungkapkan oleh Nursal dan Asfar sebelumnya, bahwa proses sosialisasi yang panjang akan membuat seseorang untuk membentuk ikatan
yang kuat dengan kelompok sosial ataupun organisasi kemasyarakatan. Sehingga hal ini menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan politiknya
kelak. Pemilih perempuan yang berada dalam suatu kelompok sosial tertentu akan menerima proses internalisasi berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam kelompok sosial
tersebut. Perilakunya secara umum akan berkaitan dengan nilai dan kebiasaan yang secara psikologi sangat mempengaruhi perempuan.
4. Pendekatan Rasional
Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada
pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan
30
Ibid, hlm. 141.
31
Adman Nursal, Op. Cit, hlm. 60.
Universitas Sumatera Utara
yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan
label partainya. Meski demikian, katertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional.
32
Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi
program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup.
F.2.1. Konfigurasi Pemilih
Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih.
33
1. Pemilih Rasional
Pemilih rasional adalah pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau flatform
partai bisa dianalisis dalam dua hal: 1 kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya
melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. 2
kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra image yang berkembang di masyarakat.
Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang penting bagi
32
Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan Ham. Volume 4 No 1. Jakarta 2004, hlm. 38-39.
33
Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 134-138.
Universitas Sumatera Utara
pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun calon yang diusungnya.
2. Pemilih Kritis