BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan keputusan politik. Dimana terdapat interaksi
antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan
penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum karena disamping
perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dikatakan perilaku
politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.
1
Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi disisi lain dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti
organisasi kemasyarakatan, kelompok elit, gerakan nasional, atau suatu masyarakat politik. Pendekatan perilaku tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai
kerangka bagi kegiatan manusia. Jika penganut pendekatan perilaku mempelajari parlemen, maka yang dibahas antara lain perilaku anggota parlemen seperti pola
pemberian suaranya voting behavior terhadap rancangan undang-undang tertentu apakah pro atau anti, dan mengapa demikian, pidato-pidatonya, cara berinteraksi
dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya.
2
Dalam perilaku politik ketika ruang bertarung dibuka, maka bagaimana cara menarik perhatian dan mendapatkan suara pemilih menjadi suatu hal yang signifikan.
Karenanya mengenal perilaku dan sosio kultur pemilih adalah hal yang pasti dan harus dilakukan jika ingin memenangkan pertarungan. Perilaku politik dirumuskan
1
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 2.
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2008, hlm.75.
Universitas Sumatera Utara
sebagai kegiatan yang berkenan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan kekuasaan politik. Keikutsertaan seseorang dalam hal ini sebagai warga negara biasa
maupun sebagai pengambil keputusan.
3
Dilihat dari kegiatannya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif. Partisipasi politik aktif dapat
dilakukan melalui pengajuan alternatif mengenai kebijakan umum menyangkut kritik, membayar pajak, dan sebagainya. Partisipasi politik pasif ditunjukkan melalui
kegiatan yang mencerminkan ketaatan dan penerimaan atas hal-hal yang telah menjadi keputusan pemerintah. Partisipasi aktif lebih berorientasi pada segi masukan
dan keluaran dari suatu sistem politik. Sedangkan, orientasi partisipasi pasif hanya pada aspek keluaran dari sistem politik. Di samping itu, terdapat sejumlah warga
negara tidak menunjukkan partisipasinya baik aktif maupun pasif karena beranggapan bahwa sistem politik yang ada tidak memenuhi harapan mereka. Kelompok itu biasa
disebut sebagai golongan putih golput. Dalam struktur kehidupan bernegara, perempuan sebagai warga negara biasa
dalam hal ini ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Partisipasi perempuan sangatlah penting karena teori demokrasi menyebutkan
bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa masyarakat tersebut sangat mengetahui apa yang mereka kehendaki.
4
Berdasarkan fakta keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat
diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum Secara nasional
perempuan sebenarnya adalah bagian masyarakat yang lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki, namun perhatian dan pembicaraan tentang masalah-masalah
perempuan masih sedikit atau terbatas. Persoalan politik dipahami sangat sempit yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan kekuasaan publik, terutama
kekuasaan di tingkat elit dan cenderung mengesampingkan persoalan perempuan.
3
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Saran, 1992, hlm. 131.
4
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta : Gramedia, 1982, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam
organisasi-organisasi partai.
5
Berbeda dengan periode Orde Lama Era Soekarno, pada masa Orde Baru era Soeharto dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan
dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat. Akibatnya, sebagian perempuan yang
menempati posisi penting memiliki hubungan keluargakekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena
dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat orang, tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten,
propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonanpemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan
mengartikulasikan kepentingan konstituennya. Dalam konteks ketidakadilan gender, maka secara terstruktur, perempuan
akan selalu menjadi korban. Ideologi patriarkhi sangat melekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kata patriarkhi secara haraffiah berarti aturan rule bapak
atau “patriarkh” dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan jenis tertentu rumah tangga besar large household. Patriarkhi yang meliputi perempuan, laki-laki
muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga yang kesemuanya berada di bawah aturan laki-laki yang dominan ini. Patriarkhi adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai kelompok dominan yang mengendalikan kaum perempuan.
6
5
Pada akhirnya, sistem yang cenderung patriarkhi menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, dan juga mempengaruhi
pandangan negara dan masyarakat bahwa arena politik tidak sesuai dengan stereotipe perempuan yang halus, lemah lembut, penyabar, dan jauh dari kompetisi.
http:www.padang-today.comcomindex.php?articlej=1id=555, diakses pada hari Minggu tanggal 17 Juni 2012, pukul. 17:30 Wib.
6
Beilharz Peter, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pandangan Islam, perempuan ditempatkan sejajar dengan laki-laki. Dimana perempuan dan laki-laki memiliki nilai manusiawi dan nilai amal yang sama
dengan hak dan kewajiban yang seimbang sesuai fitrah dan kodratnya masing- masing. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keduanya bagai sayap
kanan dan sayap kiri yang bisa terbang bersama sesuai dengan fungsi dan posisi masing-masing dengan dibatasi oleh hukum dan ketentuan syariat Islam.
7
“Wahai manusia, Sungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Maha Penyayang.” Perempuan
Islam harus memiliki kesadaran dan pengertian politik agar aktif terlibat dalam kehidupan politik, salah satu caranya adalah dengan ikut berpartisipasi dalam
pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden. Allah Swt berfirman:
8
Dalam skripsi ini saya lebih memfokuskan penelitian terhadap perilaku pemilih perempuan terkhusus perempuan Islam karena menurut saya perempuan
Islam memiliki keunikan tersendiri dimana ajaran agama Islam pada dasarnya menempatkan posisi mereka dengan sangat baik yaitu mereka memiliki kesetaraan
dengan laki-laki. Namun disisi lain, sistem sosial yang cenderung patriarkhi mengikis kesempatan perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik. Dimana seringkali
pilihan perempuan dipengaruhi oleh suami maupun pihak keluarga. Dalam penelitian ini, peneliti memilih Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan
Timur Kota Medan karena sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan. Secara umum daftar pemilih yang terdaftar di Kecamatan Medan Timur Kota Medan
berjumlah 140.633 orang. Terdiri dari 70.512 laki-laki dan 70.121 perempuan.
9
7
St. Rogayah Buchorie, Wanita Islam: Sejarah Perjuangan dan Peranannya, Bandung: Baitul Hikmah, 2006, hlm. 4.
8
QS. Al-Hujarat [49]: 13.
9
Data diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum KPU Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
Kecamatan ini memiliki 11 Kelurahan, dimana salah satu kelurahan yang saya teliti adalah Kelurahan Perintis dengan jumlah penduduk di kelurahan tersebut 5.768 orang
yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.672 orang dan perempuan berjumlah 3.096 orang. Kelurahan Perintis memiliki 9 tempat pemungutan suara TPS. Karena
penelitian ini berfokus pada pemilih perempuan Islam maka berdasarkan data yang peneliti peroleh di Kelurahan Perintis terdapat 1.557 perempuan Islam yang terdaftar
dalam DPT Kota Medan. Dan angka inilah yang akan digunakan peneliti untuk mencari sampel dalam melengkapi penelitian ini.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana perilaku