Penuntutan Tindak Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalah Guna Narkotika Jenis Metilon

Maka berdasarkan semua uraian di atas dalam melakukan penemuan hukum terkait kekosongan hukum terhadap Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinon dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika haruslah sesuai metode penafsiran yang terbatas.

D. Penuntutan Tindak Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalah Guna Narkotika Jenis Metilon

Pada dasarnya penuntutan terhadap pelaku tindak pidana pidana dalam artian pemidanaan hanya dapat dilakukan apabila unsur objektif dan unsur subjektif telah terpenuhi. Unsur subjektif adalah dalam arti seluas-luasnya meliputi kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti bentuk, dan ketiadaan alasan penghapus pidana. Sedangkan unsur objektif berisi tentang perilaku yang umumnya dirumuskan dalam pasal-pasal ketentuan pidana. Tidak terpenuhinya salah satu unsur yang terdapat dalam rumusan pasal mengakibatkan seseorang tidak dapat dipidana dengan kata lain hukum pidana tidak dapat ditegakkan. Begitu juga dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Golongan I yang termuat dalam Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berkaitan dengan Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinon. Sebagaimana telah dibahas dalam uraian-uraian sebelumnya senyawa Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinon tidak terdaftar dalam daftar Narkotika Golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tidak terdaftarnya senyawa tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya 2 dua unsur dalam Universitas Sumatera Utara rumusan Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu “ tanpa hak atau melawan hukum” dan unsur “ Narkotika Golongan I“. Tidak terpenuhinya kedua tersebut menyebabkan kekosongan hukum terhadap Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinon. Melihat kekosongan hukum tersebut maka kita teringat pada sebuah pameo yaitu “ hukum itu tertinggal dari persitiwanya”. Ungkapan itu sebenarnya tidak terlalu tepat, mengingat hukum bukanlah orang melainkan sebuah sistem yang terdiri dari sub-subsitem. 148 Hukum sebagai sebuah sistem terdiri dari sub-subsistem sebagai berikut: 149 a. Asas-asas hukum filsafah hukum; b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari: c. Sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum; d. pranata-pranata hukum; e. lembaga-lembaga hukum termasuk; f. sarana dan prasarana hukum; g. budaya hukum; Sub-sistem tersebut dapat lebih dikerucutkan dan disederhanakan menjadi: a Substansi peraturan hukum berisi tentang: asasfilsafat hukum, norma hukum; 148 Eddy O.S.Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana Jakarta: Erlangga, 2009 hlm 1 149 http:mkn-unsri.blogspot.com201003hukum-sebagai-sistem.html, diakses hari Jumat tanggal 18 Desember 2014 pukul 11.30 wib. Universitas Sumatera Utara b Penegak hukum baik secara lembaga maupun secara individu berupa sumber daya manusia yang professional. Bertanggungjawab dan sadar hukum; c Sarana dan prasarana hukum; d Budaya Hukum yang juga berkaitan erat dengan pranata hukum. Sub-sub sistem tersebut kemudian saling berinteraksi dan saling mendukung satu sama lain dan apabila terjadi suatu kekurangan dalam satu subsistem maka subsistem lain akan menutupinya. Kekosongan hukum terhadap Metilon ini merupakan suatu kekurangan pada substansi dan oleh karena itu sub-subsistem lain yaitu penegak hukum dan budaya hukum masyarakat harus menutupinya. Budaya hukum masyarakat pasti akan menuntut perlindungan dari dampak mematikan metilon melalui penegakan hukum pidana terhadap metilon. Oleh karena itu para penegak harus melakukan penemuan hukum melalui interpretasi untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pemenuhan terhadap unsur “ tanpa hak atau melawan hukum “ menuntut penafsiran doktriner dan penafsiran sistematik yang didasarkan terhadap yurisprudensi sebagai sumber hukum yang merupakan syarat penemuan hukum. 150 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak memberikan penafsiran autentik terhadap “ tanpa hak atau melawan hukum”. Dalam hal ini penulis mengarahkan penafsiran ke arah melawan hukum. Terkait fungsi dan sumbernya unsur melawan Rumusan unsur tersebut bersifat alternatif yang artinya apabila salah satu sudah terpenuhi maka unsur tersebut telah terpenuhi. 150 Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit, hlm.57, Universitas Sumatera Utara hukum dalam doktrin hukum pidana digolongkan menjadi 2 dua yaitu: perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan melawan hukum materiil. Penafsiran dalam hal ini ditujukan terhadap melawan hukum materiil. Melawan hukum materiil berarti melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis tetapi, juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. 151 Menurut VOS 1950;133 bahwa sifat melawan hkum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum positip tertulis sedangkan melawan hukum yang materiil adalah perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum atau norma hukum tidak tertulis. 152 Menurut Hazewinkel Suringa 1953;128 apabila sifat melawan hukum itu dicantunkam dalam rumusan delik, maka ini disebut unsur positip dari sifat tersebut dan jika sifat melawan hukum itu tidak dicantumkan disebut fungsi negative. Hal mana membawa akibat dalam prosesuil dimana yang pertama harus dibuktikan oleh JaksaPenuntut Umum, dan yang terakhir diserahkan kepada terdakwa untuk membuktikan sebaliknya. 153 Hukum adalah segala aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, oleh karena itu melawan hukum mencakup juga dengan melawan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut maka harus dibedakan perbuatan 151 Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hlm.119 152 Martiman Prodjohamidjojo, Memahani Dasar-Dasar Hukum Pidana 2, Jakrta, Pradnya Paramita, 1997, hlm 23 153 S Siswanto, Op. Cit, hlm. 208. Universitas Sumatera Utara melawan hukum dengan perbuatan melawan Undang-Undang. Melawan Hukum materiil memuat 2 dua pandangan yaitu: 154 a. Sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut perbuatannya, hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu; b. Sifat melawan hukum materiil dalam dilihat dari sumbernya, Hal ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutuan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan social masyarakat. Dalam dunia praktik, pendapat tentang melawan hukum lebih condong ke arah melawan hukum materiil dibandingkan dengan melawan hukum formil. Hoge Raad dalam arrestnya 06-01-1905 yang menyatakan bahwa melawan hukum adalah suatu sikap yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak orang lain. 155 Putusan lain juga terdapat dalam HR tanggal 31-01-1919 yang menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan sikap hati-hati sepantasnya di dalam masyarakat atas diri orang lain. 156 154 Ibid hlm.120 155 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.17 156 Ibid Universitas Sumatera Utara Berikutnya, jika dilakukan dengan metode penafsiran sistematis, ditemukan padanan melawan hukum dalam hukum pidana wederechtekelijkheid dengan melawan hukum dalam perdata onrechtmatigedaad yang menurut arrest Hoge raad tanggal 31 Desember 2013 mengandung pengertian: 157 a. Merusak hak subjektif seseorang menurut undang-undang b. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban pelaku menurut undangundang. c. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan d. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat Maka berdasarkan semua uraian di atas unsur “ tanpa hak atau melawan hukum” berkaitan dengan metilon dapat dipenuhi dengan ditafsirkan secara doktriner dan sistematis berdasarkan yurisprudensi ke arah perbuatan melawan hukum dalam artinya yang positif dengan alasan : a. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban pelaku yaitu menjaga kesehatan dirinya dan masyarakat pada umumnya. Dengan menyalahgunakan metilon berarti dia tidak menjalankan kewajibannya mencegah rusaknya generasi penerus bangsa akibat dampak mengerikan dari metilon. b. Melanggar atau membahayakan ketertiban atau kepentingan umum yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. c. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. 157 Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hlm.114 Universitas Sumatera Utara Selain unsur “tanpa hak atau melawan hukum”, unsur lain yang tidak terpenuhi terkait metilon adalah unsur “ Narkotika Golongan I “. Sebenarnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan penafsiran autentik secara limitatif mengenai Narkotika Golongan I ini yaitu zatsenyawa ataupun obat yang terdaftar dalam Lampiran I mulai dari nomor 1 sampai dengan nomor 65 Undang-Undang tersebut. Namun metilon tidaklah sama sekali tidak terdaftar dalam lampiran tersebut. Katinona yang merupakan senyawa induk dari metilon masuk dalam daftar nomor 35 lampiran tersebut. Jika dilihat dari dampaknya yang lebih kuat dari katinona, mustahil rasanya para pembentuk undang- undang tidak memasukkan metilon ke dalam lampiran tersebut. Pastilah saat Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibentuk, metilon belum ditemukan atau belum diketahui atau belum masuk ke Indonesia. Oleh karena itu terhadap unsur Narkotika Golongan I terkait Metilon boleh dilakukan penafsiran. Hal ini sesuai dengan pendapat Pompe : Penerapan analogi hanya diizinkan apabila ditemukan adanya kesenjangan yang tidak dipikirkan hal-hal yang dilupakan atau tidak dapat dipikirkan hal-hal baru oleh pembuat undang-undang dan karena itu undang-undang tidak merumuskan lebih luas sehingga meliputi hal-hal itu dalam teksnya. Maka berdasarkan pendapat pompe tersebut, untuk menutupi kesenjangan yang tak dipikirkan mengenai salah satu senyawa kimia turunan katinona yaitu metilon dapat dilakukan penafsiran. Metode penafsiran untuk menutupi kesenjangan tersebut dapat dilakukan secara ekstensif dan teleologis berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui metode penafsiran ekstensif dapat Universitas Sumatera Utara dinyatakan bahwa pada saat Undang-Undang dibuat belum terpikirkanbelum diketahui adanya senyawa turunan katinona yaitu metilon yang memiliki dampak seperti narkotika Golongan I pada umumnya yaitu yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan dengan potensi yang sangat tinggi serta tidak dapat digunakan dalam terapi. Melihat perkembangan dunia pengetahuan dan teknologi, adalah suatu hal yang mustahil dapat mencantumkan semua senyawa turunan Narkotika yang berbahaya ke dalam satu undang-undang. Oleh karena itu narkotika golongan I dalam hal ini katinona dapat diperluas diekstensif-kan termasuk juga senyawa turunannya yang memiliki dampak narkotika pada umumnya. Berikutnya dengan melakukan penafsiran secara teleologis dari Rumusan Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal tersebut inti tujuanya adalah melindungi diri si pelaku maupun dari dampak narkotika golongan I yaitu penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan potensi yang sangat tinggi serta tidak dapat digunakan dalam terapi. Oleh karena metilon sebagai turunan dari katinona memiliki dampak umum tersebut apabila disalahgunakan, katinona dapat ditafsirkan secara teleologis menjadi termasuk juga senyawa turunannya yang dapat mengancammengganggu tujuan Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu melindungi tubuh si pelaku dari dampak penyalahgunaan narkotika golongan I Universitas Sumatera Utara pada umumnya. Perlu digarisbawahi ditafsirkan secara ekstensif maupun teleologis adalah katinona yang terdaftar dalam urutan ke-35 Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan bukanlah unsur “ narkotika golongan I “ secara meluas. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa penafsiran haruslah dibatasi. Berdasarkan uraian di atas maka Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika jenis Metilon dapat dilakukan Penuntutan. Hal ini diperkuat dengan adanya vonis Pengadilan Negeri Mataram pada 27 Desember 2013 dengan putusan nomor 387PID.SUS2013PN.MTR Tahun 2013 yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara terhadap seorang bandar narkotika bernama I WAYAN PURWA alias PURWA 43, atas kepemilikan 388 tablet metilon dan 70 gram sabu. Vonis tersebut sama persis dengan tuntutan jaksa yang menuntut I WAYAN PURWA alias PURWA selama 13 tiga belas tahun penjara. 158 Mufti Djusnir, saksi ahli dalam persidangan kasus pelanggaran narkoba di Pengadilan Negeri PN Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyatakan seorang pemakai narkotika jenis methylone bisa menjadi sosok yang kanibal. Kasus ini sudah terjadi di California, Amerika Serikat, di mana pemakai methylone menjadi paranoid dan berubah kanibal, hingga tega memakan beberapa bagian tubuh seorang tunawisma, katanya, di depan persidangan di PN Mataram, Senin. Persidangan terdakwa I Wayan Purwa 48, warga Jalan Gora Gang Delima, Sindu, Cakranegara Utara, Kota Mataram siang itu, mendapat perhatian serius dari para pengunjung 158 http:sinarharapan.conewsread30928bandar-metilon-divonis-13-tahun, diakses pada hari Jumat tanggal 18 desember 2014 pukul 11.50 wib Universitas Sumatera Utara terkait keterangan saksi ahli. Di hadapan majelis hakim diketuai H Budi Susilo SH MH, saksi Mufti menjelaskan, methylone merupakan turunan dari cathinone. Pada pemakaian awal, methylone akan merangsang syaraf pemakai, sehingga akan merasakan efek euforia, senang, energik, bahagia dan berhalusinasi. 159 a Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: Namun demikian, demi meminimalisir polemik dan pro-kontra terhadap metilon maupun narkotika jenis baru lainnya sebaiknya Menteri Kesehatan segera menerbitkan peraturan terkait dengan perubahan atas Golongan Narkotika. Hal ini disesuaikan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan : 1 Narkotika Golongan I; 2 Narkotika Golongan II; dan 3 Narkotika Golongan III. b Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini. c Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Menteri Penggunaan penafsiran ekstensif sebenarnya sudah sejak lama dikenal di dalam proses peradilan pidana. Kasus Lindenbaum v. Cohen tahun 1919 merupakan 159 http:www.jambura-online.comkategorikumkrimsaksi-ahli--pemakaian-methylone-- bisa-menjadi-kanibal.html.VJO4TAABc diakses pada hari Jumat tanggal 18 desember 2014 pukul 12.00 wib Universitas Sumatera Utara kasus klasik tentang putusan Hoge Raad di Nederland yang mengembangkan pengertian perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad menjadi perbuatan yang bukan hanya melanggar undang-undang tetapi mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kewajiban onwetmatige daad yang ketika itu membahas tentang satu kasus hukum tentang apakah yang dimaksud dengan hukum dan kesusilaan yang baik goede zeden terkait pula dalam hal ini kasus pidana. 160 Pada tahun 1921 Hoge Raad melalui putusannya tanggal 23 Mei 1921, “electrische arrest” telah memperluas pengertian ‘barang’ tidak semata-mata barang berwujud saja akan tetapi mencakup pula barang yang tidak berwujud. Selain itu penafsiran ekstensif juga telah digunakan Hoge Raad dalam menafsirkan Pasal 408 KUHP dengan arrest-nya tanggal 21 November 1892, W. 6282, di mana Hoge Raad telah memasukkan “bangunan telepon” ke dalam pengertian “bangunan telegrap” dengan alasan bahwa telepon itu sebenarnya merupakan suatu “klank-telegraaf” suatu telegraf yang berbunyi. 161 Penggunaan penafsiran ekstensif terhadap makna ‘barang’ seperti kasus pencurian anjing yang terjadi di Perladangan Mbergo Desa Jandi Meriah Kecamatan Tiganderket Kabupaten Karo pada hari Minggu tanggal 11 Mei 2014 sekira pukul 03.00 yang dilakukan oleh Jeremia Sitepu dan Hartono Tarigan, dimana Jaksa Penuntunt Umum mendakwakan terhadap terdakwa Jeremia Sitepu dengan 160 Basuki Rekso Wibowo, , “Penemuan, Penafsiran dan Penciptaan Hukum oleh Hakim berkaitan dengan Jurisprudensi sebagai Pedoman Penerapan Hukum bagi Pengadilan”, Yuridika, 1996 hlm.13 161 P.A.F Lamintang,. Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, Cet. III, Bandung ; Citra Aditya Bakti, 1997, hlm 46 Universitas Sumatera Utara melanggar pasal 363 ayat 1 ke-4 Jo Pasal 65 KUHPidana, dalam perkara tersebut hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe memutus terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan beberapa kali dengan putusan nomor: 139Pid.B2014PN.Kbj tanggal 17 September 2014. Jelas sekali di dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum telah melakukan suatu interpretasi secara ekstensif terhadap makna ‘barang’ sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP. R. Sugandi menjelaskan yang dimaksud dengan barang adalah semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya termasuk pula binatang dan benda yang tak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta kawat serta gas yang disalurkan melalui pipa. 162 . Penggunaan penafsiran ekstensif ini merupakan kegiatan yang bersifat progresif-antisipatif terhadap makna ‘barang’ itu sendiri. 163 162 Sugandi, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan penjelasannya,Surabaya, Usaha Nasional, 1980, hlm 376. 163 P.A.F Lamintang, Op.Cit, hlm 14 Universitas Sumatera Utara

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN TERHADAP PENUNTUTAN TINDAK

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1 20 140

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA TANPA DILAKUKAN REHABILITASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009.

0 0 1

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 27

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 15

JURNAL ILMIAH TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA JENIS BARU YANG BELUM DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

0 0 16