Faktor Sarana dan Fasilitas Dalam Penegakan Hukum Faktor Masyarakat

Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 tujuh hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat. Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 satu kali dua puluh empat jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan dapat diperpanjang 1 satu kali untuk jangka waktu yang sama.

C. Faktor Sarana dan Fasilitas Dalam Penegakan Hukum

Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Optimalisasi tindakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih dilakukan dengan pengaturan mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan wiretapping, teknik pembelian terselubung under cover buy, dan teknik penyerahan yang diawasi controlled delevery, serta teknik penyidikan Universitas Sumatera Utara lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dilakukan untuk mencapai tujuan hukum. Darji Darmodiharjo dan Shidarta berkata, “setidaknya kita sadar bahwa hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan gerechtigheit disamping sebagai kepastian hukum rechtssicherheit dan kemanfaatan zweckmassigheit.” 177

D. Faktor Masyarakat

Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan atas tiga alasan. Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat instrumen efektif bagi penimbunan kekuasaan. 178 177 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia Cet, VI, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 154 178 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 61-62 Dari pandangan tersebut dapat diketahui Universitas Sumatera Utara bahwa pembangunan tata hukum khususnya di bidang narkotika ditujukan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang sejahtera dan sehat lahir serta batin. Masyarakat merupakan poin penting dari upaya penanggulangan dan pemberatasan tindak pidana narkotika. Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum masyarakat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat itu diutarakan oleh H. Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der Rechtssouveranitat”. Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. 179 Hal ini sesuai dengan pendapat Stammler yang menyatakan bahwa “law clearly is volition” sehingga penerapan hukum terindikasi dari kemauan masyarakat untuk melaksanakannya. 180 Dapat dikatakan budaya hukum akan mempengaruhi penolakan dan penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini penting diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan dari masyarakat, dapat berakibat tidak berwibawanya peraturan hukum tersebut. Dukungan ini hanya dapat diperoleh bila apa yang ditetapkan sebagai suatu peraturan oleh pihak yang berkompeten, selaras dengan keyakinan hukum masyarakat. 181 179 Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 84 180 Hari Chand, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, International Law Book Services, 1994, hlm. 49 181 H. Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta, Laksbang, 2010, hlm. 155-156 Manusia sebagai makhluk budaya selalu melakukan penilaian terhadap keadaan yang dialaminya. Menilai berarti memberi Universitas Sumatera Utara pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek berguna atau tidak. 182 Terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang tersebut, hukum harus tetap ditegakkan. Hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial social control, memaksa warga masyarakat untuk mematuhi perundang-undangan yang berlaku. 183 Hukum yang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan konteks sosialnya serta tidak ada komunikasi yang efektif tentang tuntutan dan pembaharuannya bagi warga negara tidak akan bekerja secara efektif. 184

E. Faktor Kebudayaan

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1 20 140

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA TANPA DILAKUKAN REHABILITASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009.

0 0 1

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 27

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 15

JURNAL ILMIAH TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA JENIS BARU YANG BELUM DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

0 0 16