BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA
UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA .
A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Tahun 1976 merupakan titik penting dalam sejarah pengaturan hukum terhadap narkotika di Indonesia. Karena pada tahun ini Indonesia mulai memiliki
undang-undang, yang merupakan pembaharuan hukum tentang narkotika yang telah diproses dan diolah sesuai dengan tuntutan dan kondisi masa kini mengenai
pengaturan penggunaan narkotika dan ketentuan-ketentuan pertanggungjawaban dan penetapan pidana bagi siapa saja yang menyalahgunakan narkotika. Dengan kata lain
tahun 1976 merupakan tahun penting bagi hukum narkotika Indonesia dengan fakta kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang
narkotika yang mulai berlaku sejak tanggal 26 Juli 1976 Pada undang-undang narkotika ini terkandung warna hukum pidana sebagai
alat untuk prevensi umum dalam rangka penanggulangan narkotika di Indonesia. Hai ini logis mengingat bahwa perjalanan dan perjuangan untuk mendapatkan undang-
undang narkotika nasional ini dipengaruhi kuat oleh gangguan dan ancaman penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang semakin merajalela dengan sasaran
korban para remaja, sehingga penyalahgunaan narkotika ditempatkan sebagai masalah nasional yang perlu mendapatkan penanganan yang serius. Mengapa
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ini penting artinya bagi penanggulangan
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan narkotika di Indonesia, terutama apabila dikaji dari segi hukum dan perundangan, memerlukan jawab yang bersifat pemaparan undang-undang yang
berlaku sebelum dan ketentuan yang berpengaruh dalam mempersiapkan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976. Di samping itu penting pula untuk diungkapkan
faktor-faktor non hukum yang mendorong ditertibkannya undang-undang narkotika.
64
Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk
menyempurnakan peraturanregulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927
dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu
pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama.
Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan
yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan manusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial,
budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan
penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan
64
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung, Alumni hlm 10
Universitas Sumatera Utara
akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merupakan pengganti dari peraturan tentang narkotika zaman Belanda yaitu Verdovende
Midellen Ordonantie Stbl 1927 Nomor: 28 jo No.53. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dibentuknya undang-undang ini adalah sehubungan dengan
perkembangan lalu-lintas dan alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran dan pemasukan narkotika ke Indonesia.
65
Perkembangan di bidang farmasi yang sangat pesat juga membuat Verdovende Midellen Ordonantie tidak efektif lagi dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.
a. Yang dimaksud dengan narkotika menurut angka 1 Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976 yang jenis-jenisnya disebut pada angka 2 sampai dengan 13 mengandung unsur-unsur :
b. Garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;
c. Bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebut yang
dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai Narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat
menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti Morfina dan Kokaina;
65
Hari Sasangka, Narkotika dan psikotropika dalam Hukum Pidana untuk mahasiswa dan praktii serta penyuluh masalah narkoba Bandung : Mandar Maju, 2003 hlm.165
Campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan-bahan
Universitas Sumatera Utara
tersebut diatas. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 secara
umum dapat digambarkan sebagai berikut
66
a Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci.
:
b Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut
c Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya
d Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman,
peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunanaan narkotika.
e Acara pidananya bersifat khusus.
f Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan
narkotika. g
Mengatur kerjasama internasional di bidang penanggulangan narkotika. h
Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP. i
Ancaman Pidana lebih berat
A.1. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
Kebijakan Kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu aturan perundang-
66
Ibid hal.164
Universitas Sumatera Utara
undangan.
67
Teguh Prasetyo menyatakan bahwa dalam hal kebijakan kriminalisasi menggunakan saran penal hukum pidana menyangkut 2 dua pokok pemikiran
yaitu masalah penentuan: Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mengatur
berbagai jenis tindak pidana yang merupakan kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika telah mengatur beberapa jenis narkotika baru yang sebelumnya belum diatur dalam Verdovende
Midellen Ordonantie. Pengaturan narkotika jenis baru tersebut tentu berdampak pada variasi formula tindak pidana di dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 1976.
Perkembangan teknologi serta transportasi yang merupakan latar belakang dari pembentukan undang-undang ini tentu berdampak banyak terhadap formula
kriminalisasi di dalamnya.
68
1 Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan;
2 Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar
Kebijakan kriminalisasi terkait tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut :
1 Perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam
persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1;
67
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung : Nusa Media, 2011 hlm.133
68
Ibid, hal.134
Universitas Sumatera Utara
2 Perbuatan secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,
mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 2 ;
3 Perbuatan secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk
persediaan atau menguasai narkotika Pasal 23 ayat 3 dan Pasal 36 ayat 3 ; 4
Perbuatan secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika. Pasal 23 ayat 4 dan Pasal 36 ayat 4 ;
5 Perbuatan secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 36 ayat 5 ;
6 Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau
memberikan narkotika untuk digunakan orang lain Pasal 23 ayat 6 dan Pasal 36 ayat 6 ;
7 Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri Pasal
23 ayat 7 dan Pasal 36 ayat 7 ; 8
Kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat 1 diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya;
9 Perbuatan Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak
pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 1 sampai dengan ayat 7 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976;
10 Perbuatan Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk
pengobatan Pasal 24 dan Pasal 40 ;
Universitas Sumatera Utara
11 Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter,
lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976 Pasal 42 ; 12
Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat
laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 Pasal 42; 13
Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Pasal
43 ; 14
Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan narkotika Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 .
15 Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada pihak yang
berwajib Pasal 48 . 16
Semua tindak pidana dalam Undang-Undang ini dikualifikasikan sebagai kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan identitas pelapor
dianggap sebagai delik pelanggaran Pasal 50 . Secara keseluruhan dalam kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana
dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika sudah cukup baik. Kelemahan utama dalam hal kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang ini
adalah mengenai terlalu sempit dan sederhananya pengertian narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang ini kurang efektif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi yang menghasilkan berbagai narkotika jenis baru. Celah ini sangat rentan untuk
disalahgunakan para pelaku kejahatan untuk memasarkan secara bebas berbagai jenis narkotika yang belum diatur dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika. Undang-Undang seharusnya memberikan pengertian yang tidak terlalu kaku terhadap Narkotika agar lebih efektif terhadap kemunculan berbagai jenis
narkotika jenis baru dengan tetap memperhatikan faktor : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Kesederhanaan perumusan defenisi narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 juga berakibat kurang proporsionalnya sanksi pidana dengan dampak
ataupun manfaat suatu jenis narkotika. Penggolongan narkotika ke dalam berbagai golongan yang didasarkan pada manfaat dan dampak yang ditimbulkan sangat efektif
dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Kelemahan lain dalam kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1976 adalah lemahnya pengaturan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan transnasional yang terorganisir serta pencucian uang hasil tindak
pidana narkotika. Undang-Undang ini terkesan cenderung mengatur mengenai pengawasan terhadap peredaran narkotika di dalam negeri dan kurang antisipatif
terhadap perdagangan narkotika yang bersifat transnasional serta terorganisir. Latar belakang perkembangan teknologi dan sarana transportasi yang menjadi salah satu
pertimbangan dibentuknya undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
Universitas Sumatera Utara
seharusnya menjadi dasar yang cukup untuk mengkriminalisasikan berbagai tindak pidana terkait perdagangan narkotika yang bersifat transnasional dan terorganisir.
A.2. Kebijakan Hukum Pidana Terkait Sanksi, Pemidanaan, Dan Pemberatan Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang
Narkotika.
Secara defenitif, Hukum Pidana dapat dibagi ke dalam Ius Poenale dan Ius puniendi. Ius Puniendi merupakan segi subjektif yang berarti hak untuk menjatuhkan
pidana.
69
Sedangkan Ius Poenale secara sederhana di defenisikan oleh oleh Zainal Abidin Farid sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan
perintah atau keharusan yang terhadap larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana sanksi hukum bagi mereka yang
mewujudkannya.
70
Defenisi tersebut menyatakan bahwa ada keharusan dengan mengancamkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga dapat dikatakan
bahwa sanksi pidana merupakan unsur yang sangat esensialnya dalam hukum pidana. Betapa pentingnya sanksi pidana juga dapat dilihat dari pendapat Herbet L.Packer
berikut mengenai sanksi pidana:
71
a. Sanksi Pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun
di masa yang akan datang tanpa pidana;
69
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.5
70
Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007 hlm.1
71
Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2004 hlm.9
Universitas Sumatera Utara
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita
miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;
c. Sanksi Pidana suatu kertika merupakan “ penjamin utama atau terbaik “ dan
suatu ketika merupakan “ pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secarasembarangan dan secara paksa.
Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia KUHP yaitu:
72
72
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm 17
a. Pidana Pokok yaitu: 1. pidana mati;
2. pidana penjara; 3. pidana kurungan;
4. pidana denda; 5. pidana tutupan.
b. pencabutan hak-hak tertentu; 1. perampasan barang-barang tertentu;
2. pengumuman putusan hakim. Meskipun demikian, dalam kajian hukum pidana tidak hanya dikenal berupa
sanksi pidana straf tetapi juga sanksi tindakan maatregel. Untuk memberdakan antara sanksi pidana dengan maatregel dapat dipakai pendapat Roeslah Saleh berikut
sebagai pedoman:
Universitas Sumatera Utara
Dalam banyak hal batas antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan dengan pasti, karena pidana sendiri pun dalam banyak hal juga
mengandung pikiran-pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada kesukaran, karena apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP
adalah pidana, sedangkan yang lain daripada itu adalah tindakan maatregel, misalnya: pendidikan paksa, seperti terjadi pada anak-anak yang diserahkan
kepada pemerintah untuk dididik di dalam lembaga pendidikan paksa, ditempatkannya seseorang di dalam rumah sakit jiwa dengan perintah karena
orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena ada pertumbuhan yang cacat pada jiwanya atau gangguan penyakit.
73
1. Jenis Pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan, denda,
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur
mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi tersebut bertujuan untuk memaksimalkan peranan Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika. Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika adalah sebagai berikut :
2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara
penjara selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- Iima puluh juta rupiah diancamkan terhadap tindak pidana
membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika, mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar
73
Mohammad Eka Putra, dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010, hlm. 9
Universitas Sumatera Utara
narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 4 dan 5 sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 satu tahun kurungan diancamkan terhadap tindak pidana
saksi yang membuka identitas pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976.
3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika merumuskan dua 2 jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif.
4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika pelaku yang
melanggar pasal 36 ayat 7 dan sanksi tindakan berupa pengusiran dan larangan memasuki wilayah negara Indonesia bagi warga negara asing yang
pernah melakukan tindak pidana narkotika. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika telah menggunakan double track system
yang mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan. 5.
Percobaan poging melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini merupakan kekhususan dari
aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 13 terhadap percobaan poging .
6. Ancaman Sanksi Pidana diperberat 13 dengan batasan maksimum 20 dua puluh
tahun bagi pelaku yang membujuk anak dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat 1 sampai dengan ayat 7 .
7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 13 tanpa batasan maksimum serta
untuk pidana denda dikalikan 2 dua bagi pelaku yang melakukan pengulangan
Universitas Sumatera Utara
recidive terhadap tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat 1 sampai dengan ayat 7 .
8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik,
rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan, Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana diatur dalam Pasal 35
ayat 1 butir 1 sampai dengan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
B. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika