Narkotika Jenis Katinon dalam Perspektif Asas Legalitas

Examiner dia meninggal akibat overdosis metilon. 112

C. Narkotika Jenis Katinon dalam Perspektif Asas Legalitas

Tidak tercantumnya Metilon dalam daftar Golongan Narkotika dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu ironi mengingat ekstasi yang tingkat bahayanya masih di bawah metilon termasuk dalam daftar Golongan I Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di beberapa Negara, metilon telah dinyatakan illegal yaitu: Finlandia, Swedia, Denmark, Jerman, Belanda, dan Israel. Asas legalitas telah diatur dalam Wetboek van Strafrecht WvS. Asas legalitas ini pada dasarnya menghendaki: i perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan; ii peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 KUHP, yakni: Tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Arti penting asas legalitas, dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. 113 112 1Ibid Pada saat itu kejahatan yang disebut criminal ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah Universitas Sumatera Utara crimina stellionatus perbuatan durjanajahat. 114 Asas legalitas merupakan sumber utama berlakunya Hukum Pidana menurut waktu, yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia. 115 Pasal 1 ayat 1 KUHP memuat sebagai berikut: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. 116 Asas ini umumnya dikenal dalam Bahasa Latin yang berbunyi: “nullum delictum nulla poena sine previa legi poenalli“. Menurut Moeljatno asas tersebut mengandung pengertian: 117 a. b. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. c. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi kiyas. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut non retro-akif 114 S, Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika UU Nomor 35 Tahun 2009, Jakarta, Rineka Cipta, 2012, hlm 187 115 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994 hlm.68 116 Sugandhi R, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981 hlm.1 117 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.40 Mengenai pengertian yang pertama yaitu Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, memang terlihat jelas di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, bahwa untuk menyatakan suatu perbuatan itu dilarang dan diancam pidana, harus lebih dahulu ada aturan Undang-Undangaturan hukum tertulis, yang menyatakan Universitas Sumatera Utara demikian. 118 Mengenai pengertian yang kedua yaitu Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi kiyas sebenarnya terjadi perbedaan pandangan para ahli hukum pidana. Analogi adalah macam penafsiran terhadap suatu rumusan norma atau bagianunsur suatu norma tertentu dalam undang-undang dengan cara memperluas berlakunya suatu norma dengan mengabstraksikan ratio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada suatu kejadian konkrit tertentu yang sesungguhnya tidak termasuk dalam isi dan pengertian norma itu, dan dengan cara yang demikian maka kejadian konkrit tadi menjadi masuk ke dalam isi dan pengertian norma tersebut. 119 Analogi berbeda dengan penafsiran ekstensif. Perbedaan ini terletak pada titik tolak kedua metode tersebut. Analogi bertitik tolak pada suatu kejadiankasus tertentu yang dijelaskan sehingga disamakan dengan suatu ketentuan undang-undang sedangkan penafsiran ekstensif bertitik tolak pada undang-undang setelah undang- undang dijelaskan kemudian diaplikasikan kepada suatu perkara yang menuntut perluasan pemahaman. Pada akhirnya analogi tidak menjalankan undang-undang sedangkan penafsiran ekstensif menjalankan undang-undang dengan diperluas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pemisahan yang dilakukan oleh Andi Hamzah dengan didasari pendapat Utrecht berikut 120 a 118 Mohammad Eka putra, Op.Cit, hal 31 119 Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Harta Benda, Malang: Bayumedia, 2004 hlm.110 120 Andi Hamzah, Op.Cit, hal.51 Intepretasi = menjalankan Undang-undang setelah undang-undang tersebut Universitas Sumatera Utara dijelaskan. b Analogi = menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undang. Intepretasi = menjalankan kaidah yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak tegas. Analogi = menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut. Namun selanjutnya Utrecht menyatakan bahwa tidak mungkin menarik garis pemisah yang jelas antara penafsiran ekstensif dengan analogi. 121 Mengenai analogi, para pakar hukum pidana terbagi ke dalam 3 tiga golongan yaitu: golongan yang dengan tegas menolak analogi van Bemmelen, van Hattum, Moeljatno , golongan yang tidak secara tegas menerima atau menolak analogi Hazewinkel Suringa, Vos , golongan yang menerima penerapan analogi Pompe, Jonkers, Roling . 121 Ibid Terlepas dari ketiga golongan tersebut, Pengadilan pada zaman Belanda sebenarnya beberapa kali menganut analogi dalam putusannya. Salah satu yang paling terkenal adalah Putusan Pengadilan Leeuwarden 10 Desember 1919 N.J.1920,blz, dimana seseorang yang datang dan tetap berdiri di dekat sapi yang telah melepaskan diri di pasar hewan dan selanjutnya penjual sapi tersebut dipandang sebagai mengambil. Pengadilan begitu jujur untuk mempertimbangkan dalam putusan ini bahwa pencurian mungkin terjadi meskipun secara harafiah tidak terjadi perbuatan mengambil, dan pengadilan menambahkan bahwa pengadilan bersedia menyebut Universitas Sumatera Utara sesuatu mengambil, padahal bukan mengambil, melainkan mendatangi dan berdiri di depan sapi. 122 Pengertian yang ketiga mengenai aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut non retro-akif secara sederhana dapat dipahami bahwa asas legalitas mengharuskan seseorang dituntut dengan peraturan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Asas legalitas sebenarnya memiliki konsekuensi lain jika dalam rumusan delik terdapat Frase “ melawan hukum”.Asas legalitas yang menjunjung tinggi kepastian hukum pastilah menuntut “melawan hukum” yang dimaksud adalah melawan hukum formil dan bukan melawan hukum materiil. Meskipun demikian, dalam praktik pengadilan,pendapat tentang melawan hukum lebih condong ke arah melawan hukum materiil. 123 Uraian di atas telah memberikan gambaran konkrit bahwa dianutnya asas legalitas sangat berpengaruh terhadap pemenuhan suatu unsur rumusan delik terutama terhadap delik yang memiliki unsur “ melawan hukum” dalam rumusannya. 122 Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm.82 123 Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Harta Benda, Malang: Bayumedia, 2004 hlm.17 Pengaruh adanya asas legalitas terhadap pemenuhan unsur pasal Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 127 ayat 1 huruf a berbunyi: “Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun” Universitas Sumatera Utara Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perkembangan teknologi telah memunculkan narkotika jenis baru yaitu Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinon yang merupakan senyawa turunan dari Katinona yang terdaftar dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dimana metilon belum ada terdaftar didalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sehingga terjadi kekosongan hukum dalam tindak pidana penyalahguna narkotika jenis metilon. Het recht is er, doch het moet worden gevonden merupakan suatu kontradiksi terhadap kekosongan hukum. Demikianlah ungkapan Paul Scholten yang pada intinya menyatakan bahwa hukum itu ada, tetapi masih harus terus ditemukan. Adalah sesuatu yang khayal apabila orang beranggapan bahwa undang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas. 124 Sudikno Mertukusumo memberikan defenisi bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa konkret. Dalam penemuan hukum ditemukan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan lewat berbagai metode. 125 124 Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit, hlm.55 125 Ibid hlm, .56 Beliau juga mengutip pendapat Eikema Holmes yang menyatakan bahwa penemuan hukum merupakan proses konkretisasi atau indiviualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret tertentu. Penemuan hukum diarahkan Universitas Sumatera Utara pada pemberian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hukum yang ditimbulkan oleh kejadian-kejadian konkret. Terdapat 2 dua unsur penting dalam penemuan hukum, yaitu sumber hukum dan fakta. 126 Sumber hukum yang terutama merupakan undang-undang, namun tidak semua hukum ditemukan dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, penemuan hukum harus menggali keseluruhan sumber hukum yaitu: Undang- Undang, doktrin, yurisprudensi, perjanjian, kebiasaan. Unsur penemuan hukum yang kedua ialah fakta. Fakta ditemukan dari peristiwa konkret yang akan ditemukan hukumnya. Sebelum hukum diterapkan pada peristiwa konkret, terlebih dulu kita harus menetapkan apa yang sesungguhnya menjadi situasi faktual sebagai penemuan kebenaran, kemudian situasi faktual itu dapat dipandang sebagai relevan secara yuridis, seleksi dan kualifikasi atas fakta-fakta. 127 Penemuan hukum lazim dilakukan dengan metode : analogi, penafsiran interpretasi maupun penghalusan hukum. Mengenai analogi telah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Maka sekarang yang akan dibahas adalah mengenai penafsiran dan penghalusan hukum. Penafsiran menjadi hal yang krusial mengingat kebutuhan hukum dan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pentingnya penafsiran ini digambarkan dalam sebuah adagium yang menyatakan “every legal norm needs interpretation” yang artinya setiap norma hukum memerlukan interpretasi. Bahkan lebih jauh Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa 126 Ibid 127 Ibid, hlm. .57 Universitas Sumatera Utara hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena hukum memerlukan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. 128 a. Penafsiran autentik adalah penafsiran resmi yang terdapat dalam berbagai Undang- Undang. Pembentuk Undang-Undang telah memasukkan banyak keterangan resmi mengenai beberapa istilah atau kata dalam perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam praktik Hukum Pidana terdapat jenis-jenis metode Penafsiran yang lazim digunakan adalah sebagai berikut: 129 Penafsiran autentik dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam Pasal 1 mengenai ketentuan umum. Contoh dalam Pasal 1 angka 15 Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penafsiran ini tidak dilakukan oleh Hakim tetapi dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang. Ada pakar yang berpendapat bahwa dengan penafsiran autentik atas suatu kata, sebenarnya Undang-Undang sendiri telah secara tersamar menganut analogi. 130 b. Penafsiran Gramatikal yaitu penafsiran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang Misalnya Pasal 100 KUHP menyatakan yang dimaksud kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka pintu. Jadi, ada pencuri membuka pintu dengan obeng, maka berdasarkan penafsiran autentik ini, obeng termasuk kunci palsu. 128 Ibid 129 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.4 130 Andi Hamzah, Op.Cit, hal.76 Universitas Sumatera Utara sebenarnya dari suatu rumusan norma atau bagianunsurnya, dengan cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehari-hari. 131 Bahwa walaupun berlebihan, khusus dan terutama dalam perkara ini, tentang istilah barang, dalam bahasa daerah Terdakwa dan saksi Tapanuli, dikenal istilah “bonda” yang tidak lain daripada barang, yang diartikan kemaluan, sehingga apabila saksi menyerahkan kehoratannya kepada Terdakwa samalah dengan menyerahkan bendabarang. Contoh penafsiran kata “ benda” dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 144PidPdtMdn dalam penipuan termasuk juga “alat kelamin wanita”. Dengan pertimbangan sebagai berikut 132 c. Penafsiran interpretasi sistematis atau logis yakni penafsiran ketentuan perundang- undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang- undang lain dari keseluruhan sistem hukum. 133 d. Penafsiran Teleologis atau sosiologis yaitu penafsiran Undang-Undang sesuai dengan tujuan pembentuk Undang-Undang dalam membentuk norma tersebut. Penafsiran ini lebih menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan daripada bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut. 134 e. Penafsiran historis yaitu penafsiran dari suatu norma atau bagian normaunsur norma dalam suatu peraturan perundang-undangan, yang didasarkan pada sejarah ketika perundang-undangan tersebut disusun, dibicarakan di tingkat-tingkat badan Oleh karena itu interpretasi ini juga harus memperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual. 131 Adami Chazawi, Op.Ci,t hlm.9 132 Ibid 133 Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit, hlm.67 134 Ibid Universitas Sumatera Utara pembentuk peraturan perundang-undangan. 135 Jadi, dapat dilihat pada notulen, rapat-rapat komisi di DPR ataupun pendapat atau jawaban pemerintah atas pembahasan RUU. 136 Penafsiran historis ini juga meliputi penafsiran sajarah hukum. Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau. 137 f. Penafsiran Ekstensif yaitu penafsiran luas dan hampir mirip dengan analogi. Contoh dari penggunaan penafsiran ini adalah perluasan makna kata “ tak berdaya” dalam Pasal 286 KUHP dalam sebuah putusan Hoge Raad. Makna kata “tak berdaya” dalam keadaan ini ialah tak berdaya secara psikis, dan bukan lagi tak berdaya secara fisik yang diartikan sama dengan idiot. g. Penafsiran Antisipasi yaitu penafsiran yang didasarkan pada undang-undang baru yang bahkan belum berlaku. 138 h. Penafsiran Perbandingan Hukum yaitu penafsiran yang didasarkan pada perbandingan hukum yang berlaku di pelbagai negara. 139 i. Penafsiran a contrario yaitu penafsiran yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur 135 Adami Chazawi, Op.Ci, hlm..7 136 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.82 137 Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm.67 138 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.83 139 Ibid, hlm.84 Universitas Sumatera Utara dalam Undang-Undang. 140 j. Penafsiran doktriner yaitu penafsiran yang didasarkan pada doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum pidana. Penafsiran ini merupakan kebalikan dari cara kerja penafsiran ekstensif. Setelah mengetahui metode-metode penafsiran tersebut maka dapat dikatakan betapa luasnya penafsiran yang lazim dipraktekkan dalam hukum pidana. Memandang hal tersebut, penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan metilon 3,4 metilondioksi metkatinona bukanlah sebuah keniscayaan. Hal ini terbilang cukup berbahaya karena mengancam kepastian hukum yang dijunjung tinggi asas legalitas. Sebagaimana penerapan asas legalitas yang perlu dibatasi karena adanya penafsiran, maka demikian juga penafsiran harus dibatasi oleh adanya asas legalitas. Untuk mencari pembatasan penafsiran tersebut agaknya dapat diambil dari pendapat Bambang Poernomo tentang sifat ajaran yang terdapat dalam asas legalitas yaitu: 141 a. Asas legalitas dalam hukum pidana yang bertitik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan kesamaan hukum. b. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. 140 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm 70 141 Ibidt, hlm 18 Universitas Sumatera Utara c. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat tidak hanya pada perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga pada ancaman pidananya, agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. d. Asas legalitas dalam hukum pidana bertitik berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas ini bukan hanya didasarkan pada kejahatan yang ditetap oleh Undang-Undang tetapi juga didasarkan pada ketentuan hukum yang berdasarkan ukurannya dapat membahayakan masyarakat. Pembatasan lain mengenai penafsiran ini terdapat dalam prinsip-prinsip umum dalam penafsiran yaitu: a. Asas proporsionalitas dan Asas subsidairitas, Asas proporsionalitas adalah keseimbangan antara cara dan tujuan dari suatu undang-undang. 142 b. Prinsip relevansi yaitu keberlakuan hukum pidana hanya mempersoalkan penyimpangan perilaku sosial yang patut mendapat reaksi atau koreksi dari sudut pandang hukum pidana. Asas ini berpijak pada fungsi hukum pidana yang dinyatakan oleh vos yaitu untuk melawan kelakuan-kelakuan tidak normal. Sementara asas subsidairitas berarti jika dalam memecahkan suatu masalah hukum ditemukan beberapa alternatif maka yang dipilih adalah yang paling sedikit menimbulkan kerugian. 143 c. Asas kepatutan yang menyatakan bahwa kepatutanlah yang mengukur logika yuridis. Dengan melepaskan diri dari logikalah, kita dapat mendayagunakan secara 142 Ibid, hlm. 58 143 Ibid Universitas Sumatera Utara penuh ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang sangat formil mekanistis untuk kepentingan manusia dalam masyarakat serta penataan lalu lintas pergaulan. 144 d. Asas in dubio pro rero yaitu apabila terdapat keragu-raguan, kita harus memilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan terdakwa. 145 e. Asas exception formal regulam yang menyatakan apabila terdapat penyimpangan terhadap peraturan umum, maka penyimpangan tersebut harus diartikan secara sempit. Pompe memiliki pendapat yang bertentangan dengan asas tersebut dengan menyatakan bahwa apabila suatu perkara sudah diselidiki, masih tidak pasti, terdakwa harus dinyatakan bersalah. f. Prinsip titulus lex dan rubika est lex . titulus lex berarti “judul perundang- undanganlah yang menentukan” sedangkan rubika est lex berarti “ rubrik atau bagian perundang-undanganlah yang menentukan” 146 g. Asas materiil yang menyangkut aturan-aturan tidak tertulis yang sangat dekat dengan sifat melawan hukum materiil. Contohnya kejahatan aborsi hanya berlaku pada janin yang masih hidup atau bernyawa hal ini karena kejahatan tersebut tergabung dalam Bab Kejahatan terhadap nyawa. 147 144 Ibid 145 Ibid hlm.59 146 Ibid, hlm.60 147 Ibid, hlm.61 Universitas Sumatera Utara Maka berdasarkan semua uraian di atas dalam melakukan penemuan hukum terkait kekosongan hukum terhadap Metilon 3,4 Metilendioksi Metkatinon dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika haruslah sesuai metode penafsiran yang terbatas.

D. Penuntutan Tindak Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalah Guna Narkotika Jenis Metilon

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1 20 140

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA TANPA DILAKUKAN REHABILITASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009.

0 0 1

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 27

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 15

JURNAL ILMIAH TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA JENIS BARU YANG BELUM DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

0 0 16