8. Percobaan dan permufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan tindak
pidana. 9.
Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dapat dijatuhi pidana penjara paling
lama 2 dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
D. Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009
Berikut beberapa perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :
88
Hal ini diatur pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran Undang-
Undang No. 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 1. Perluasan Jenis dan Golongan
Sebagaimana yang kita ketahui, pada Undang-Undang mengenai Narkoba sebelum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu
pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada Undang-Undang terdahulu, jenis golongan
untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang.
88
http:ferli1982.wordpress.com20110102kajian-umum-perbandingan-uu-no-22- tahun- 1997-dengan-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika diakses pada Senin, 5 Januari2015 Pukul 09.00
Wib
Universitas Sumatera Utara
jenis Narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika golongan I.
Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I.
Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam pasal 153
point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671 yang telah
dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang
mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dimana pada
Pasal 8 ayat 2 dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia
Universitas Sumatera Utara
laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I kepada hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada bagian
penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
89
89
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zatbahanbenda yang digunakan oleh
seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan. b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas
dipergunakan untuk mendeteksi suatu zatbahanbenda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan
2. Pengobatan dan Rehabilitasi Dalam hal pengobatan, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 secara tegas
menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis jenis Narkotika yang dapat dimiliki, disimpan atau dibawa hanyalah jenis narkotika Golongan II dan
Golongan III saja. Kemudian Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga menyatakan bahwa pihak yang wajib menjalankan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bukan
saja pecandu narkotika seperti pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 namun juga terhadap korban penyalahgunaan.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pada Pasal 55 ayat 2 dikatakan bahwa Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
3. Pencegahan dan Pemberantasan
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan
memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional .
Kemudian dalam undang-undang terbaru ini juga mengatur mengenai Badan Narkotika Nasional, dimana pada pasal 64 ayat 1 dikatakan bahwa Dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika
Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Tidak hanya itu, undang-undang ini juga mengatur mengenai kewenangan dan kedudukan BNN sampai dengan di tingkat
daerah, hal ini tidak tercantum pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997.
Universitas Sumatera Utara
4. Penyidikan
Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 peranan Badan Narkotika Nasional tidak diatur dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada Undang-Undang No.
35 Tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari BNN sebagai badan Nasional diatur sedemikian rupa terutama mengenai kewenangan penyidikan.
Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, penyidikan hanya dilakukan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan PPNS sesuai pasal 65,
sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada pasal 81 bahwa Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan
penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini, ditambah dengan PPNS tertentu.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih,
Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan wiretapping, teknik pembelian terselubung under cover buy, dan
teknik penyerahan yang diawasi controlled delevery, serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kemudian dalam hal lamanya waktu penangkapan, Undang-Undang. No 22
Tahun 1997 hanya memberikan waktu 24 jam dalam menangkap di ikuti perpanjangan selama 48 jam apabila dalam pemeriksaan waktu tersebut tidak
mencukupi Pasal 67. Pada Undang- Undang 35 Tahun 2009, penangkapan dapat
Universitas Sumatera Utara
dilakukan selama 3 x 24 jam kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi apabila pemeriksaan dirasa belum mencukupi.
Begitu pula dalam hal penyadapan, pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 waktu penyadapan hanya selama 30 hari pasal 66, namun pada Undang- Undang
terbaru penyadapan terkait peredaran narkotika ini diperpanjang menjadi 3 bulan 90 hari, hal ini diatur pada Pasal 77 ayat 1 yang menyatakan bahwa Penyadapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 tiga bulan terhitung sejak surat
penyadapan diterima penyidik.
5. Peran Serta Masyarakat
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika
termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pada Pasal 105 dinyatakan bahwa Masyarakat mempunyai hak dan tanggung
jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Berbeda dengan Undang-Undang
sebelumnya dimana peran masyarakat hanya sebatas pada kewajiban semata.
Universitas Sumatera Utara
Perluasan makna hak dan kewajiban disini memberikan pertanggung jawaban dua arah antara masyarakat dan penegak hukumBNN dalam upaya bersama memberantas
peredaran narkotika ini Selanjutnya adalah mengenai pemberian penghargaan terhadap upaya
pemberantasan narkotika ini, dimana pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Pasal 58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah
berjasa dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pemerintah juga memberikan penghargaan
kepada penegak hukum Pasal 109.
6. Ketentuan Pidana
Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang cukup prinsipal dan mendasar dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ke Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu jumlah pasal dalam ketentuan pidana ini hanya berjumlah 23 pasal Pasal 78 samapai dengan Pasal 100
dan berkembang menjadi 35 pasal pada undang-undang terbaru Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Secara umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini memiliki
ancaman hukuman pidana penjara yang lebih berat daripada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 demikian pula dengan ancaman hukuman denda yang diberikan juga
lebih berat. Beberapa pokok perubahan tersebut diantaranya adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Penggunaan sistem pidana minimal, pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada.
Hal ini terutama pada para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I. b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan narkotika
baik jenis Golongan I , II ,maupun III dibandingkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, misalnya untuk Golongan I baik itu menyimpan, membawa maupun
memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000
lima ratus juta rupiah menjadi minimal Rp 800.000.000 delapan ratus juta rupiah dan maksimal Rp.8.000.000.000 delapan milyar rupiah.
c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyakjumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I
yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon jenis tanaman atau barang bukti melebihi 5 gram untuk jenis bukan tanaman maka pelaku di pidana dengan
pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 13.
d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial Pasal 127 ayat
3 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 Undang-Undang
No.35 Tahun 2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan maka dapat dipidana dengan pidana kurungan 6 bulan atau
Universitas Sumatera Utara
denda 1 juta rupiah ayat 1, sedangkan untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah dilaporkan sebagaimana pasal 55 ayat 1 maka dia tidak dapat dipidana,
kemudian untuk pecandu narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana ayat 3.
f. Adanya ancaman hukuman bagi PPNS dan Penyidik PolriBNN yang tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 88 dan 89 PPNS
dan pasal 87,89,90,912,3,dan pasal 92 1,2,3,4.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA