p = 0,890 dengan nilai α = 0,05, dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada
hubungan antara tingkat pendidikan dengan resiliensi responden. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ningsih 2012 yang
mengatakan tidak ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan pasien gagal ginjal kronik GGK dalam pembatasan cairan.
Hal ini juga didukung oleh penelitian Kammerer et al 2007 yang mengatakan pemahaman responden tentang instruksi pengobatan jauh lebih penting daripada
tingkat pendidikan responden.
5.5. Hubungan Status perkawinan Dengan Resiliensi Responden Gagal
Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa
Menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 84 responden
yang sudah menikah ditemukan resiliensi tinggi sebanyak 48 orang 57,1, resiliensi sedang sebanyak 10 orang 11,9 dan resiliensi rendah sebanyak 26
orang 31. Kemudian dari 8 responden yang belum menikah ditemukan resiliensi tinggi sebanyak 4 orang 50, resiliensi sedang sebanyak 1 orang
12,5 dan resiliensi rendah sebanyak 3 orang 37,5. Hasil analisa statistik tentang status perkawinan dengan tingkat resiliensi
responden gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa didapatkan nilai p
= 0,920 dengan nilai α = 0,05, dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada hubungan status perkawinan dengan tingkat resiliensi responden. Responden yang
Universitas Sumatera Utara
menikah maupun belum menikah sama-sama berkemungkinan memiliki tingkat resiliensi tinggi, sedang maupun rendah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Charuwanno, 2005 dalam Anna 2010 yang mengatakan bahwa status perkawinan tidak mempengaruhi
kemampuan responden dalam beradaptasi selama menjalani tindakan cuci darah.
5.6. Strategi Koping yang digunakan oleh responden Gagal Ginjal Kronik selama menjalani tindakan cuci darah hemodialisa
Berdasarkan hasil penelitian di ruang hemodialisa Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan didapatkan bahwa dari 92 orang responden yang menjalani tindakan
cuci darah hemodiliasis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, strategi koping berfokus masalah problem-focused coping tinggi sebanyak 76,1 dan
strategi koping berfokus emosi sebanyak 23,9. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa responden lebih banyak menggunakan strategi koping
berfokus pada masalah problem-focused coping saat menjalani tindakan cuci darah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Herwina 2000 di Bandung, dimana mekanisme koping yang digunakan oleh pasien hemodialisis di Rumah
Sakit Hasan Sadikin Bandung adalah strategi koping yang berfokus pada masalah Problem-focused coping. Nevid et al 2005 mengatakan strategi koping yang
berfokus pada masalah Problem-focused coping melibatkan strategi untuk menghadapi secara langsung sumber penyakit, seperti mencari informasi tentang
penyakit dengan mempelajari sendiri atau melalui konsultasi medis. Pencarian
Universitas Sumatera Utara
informasi membantu pasien untuk tetap bersikap optimis karena dengan pencarian informasi tersebut timbul harapan akan mendapatkan informasi yang bermanfaat.
5.7. Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa