BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Hubungan Umur Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa
Menurut Ajzen, 2005 dalam Nursalam 2013, umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Hasil penelitian menunjukkan
responden yang menjalani tindakan cuci darah hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sebanyak 56 responden berada pada
kelompok umur 41-60 tahun dimana ditemukan resiliensi tinggi sebanyak 31 orang 55,4, resiliensi sedang sebanyak 8 orang 14,3 dan resiliensi rendah
sebanyak 17 orang 30,4. Pada kelompok umur 21-40 tahun berjumlah 19 orang ditemukan resiliensi tinggi sebanyak 11 orang 57,9, resiliensi sedang
sebanyak 2 orang 10,5 dan resiliensi rendah sebanyak 6 orang 31,6. Pada kelompok umur
≥ 60 tahun berjumlah 17 orang ditemukan resiliensi tinggi sebanyak 10 orang 58,8, resiliensi sedang sebanyak 1 orang 5,9 dan
resiliensi rendah sebanyak 6 orang 35,3. Hasil analisis statistik tentang umur terhadap tingkat resiliensi responden
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa didapatkan nilai p = 0,918 dengan nilai α = 0,05, dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada hubungan
umur dengan tingkat resiliensi responden. Responden yang berada pada kelompok umur 41-60 tahun, kelompok umur 21-40 tahun maupun kelompok umur
≥ 60 tahun sama-sama berkemungkinan memiliki tingkat resiliensi tinggi, sedang
maupun rendah.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ningsih 2012 tentang “Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik dalam Pembatasan Cairan pada
Terapi Hemodialisa” dimana faktor umur bukan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pada pasien hemodialisa. Hal ini juga didukung
oleh penelitian Hernitati 2010 di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, bahwa usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepatuhan dalam
mengurangi asupan pasien gagal ginjal kronik GGK.
5.2. Hubungan Jenis kelamin Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa
Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu
yaitu laki-laki dan perempuan Nursalam, 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60 responden berjenis kelamin laki-laki ditemukan resiliensi tinggi
sebanyak 36 orang 60, resiliensi sedang sebanyak 6 orang 10 dan resiliensi rendah sebanyak 18 orang 30. Kemudian dari 32 responden berjenis kelamin
perempuan ditemukan resiliensi tinggi sebanyak 16 orang 50, resiliensi sedang sebanyak 5 orang 15,6 dan resiliensi rendah sebanyak 11 orang 34,4.
Hasil analisis statistik tentang jenis kelamin dengan tingkat resiliensi responden gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa didapatkan nilai
p = 0,592 dengan nilai α = 0,05, dari hasil tersebut dapat disimpulkan tidak ada
hubungan jenis kelamin dengan tingkat resiliensi responden. Responden yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan berkemungkinan memiliki tingkat
resiliensi tinggi, sedang maupun rendah.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nourma 2014 yang mengatakan tidak ada perbedaan resiliensi diantara responden stroke ringan laki-
laki dan perempuan. Tidak adanya perbedaan resiliensi pada pasien laki-laki dan perempuan juga ditemukan pada pasien yang menjalani tindakan hemodialisa.
Hal ini dapat diketahui dari penelitian Kammerer et al 2007 yang mengatakan tidak ada pengaruh jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan responden gagal
ginjal kronik GGK menjalani terapi hemodialisa karena banyaknya faktor-faktor internal responden yang lain yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan seperti
pengetahuan, perilaku, motivasi, kepercayaan, persepsi dan harapan.
5.3. Hubungan Pekerjaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa