menjalani pengobatan kanker, hal ini disebabkan karena problem-focused coping dianggap sebagai faktor pelindung yang mendorong pemulihan pada remaja yang
menderita penyakit kanker dan dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta meningkatkan resiliensi pada remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan
koping yang berfokus pada emosi emotion-focused coping jarang digunakan. Bersasarkan penelitian Li-Ching Ma et al, 2013, ditemukan bahwa pasien
yang sedang menjalani tindakan hemodialisis lebih banyak menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah problem-focused coping daripada
menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi emotion-focused coping. Juga dikatakan bahwa resiliensi individu yang baik akan mengurangi
tekanan-tekanan yang disebabkan oleh dampak-dampak negatif dari penyakit gagal ginjal kronis. Hal senada juga ditemukan oleh Yi, Smith, and Vitaliano
2005, pada atlet remaja putri yang sedang menjalani pertandingan, yang menemukan bahwa apabila atlet remaja putri menggunakan strategi koping
berfokus pada masalah problem focused coping akan menghasilkan resiliensi tinggi dibandingkan dengan penggunanaan strategi koping berfokus pada emosi.
2. 2. Kepustakaan 2.2.1. Koping
1. Pengertian Koping
Koping adalah usaha untuk menghindari atau menekan ancaman, ketidaknyamanan dan kehilangan atau usaha untuk mengurangi berbagai macam
penyebab stress atau dengan kata lain koping merujuk kepada tindakan langsung Compas et al.,2001 sedangkan menurut Lazarus dan Folkman 1984, koping
Universitas Sumatera Utara
didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang dinilai berat
dan melebihi sumber daya kekuatan seseorang. Keliat 1999 mendefinisikan koping adalah cara yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam, sedangkan menurut Rasmun 2004, koping
merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik.
2. Pembagian Strategi Koping
Lazarus dan Folkman 1984, membagi strategi koping menjadi dua yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Secara umum, Lazarus dan
Folkman 1984 menjelaskan bahwa Problem-focused coping mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu masalah,
mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif, dan menjalani
alternatif yang dipilih Lazarus Folkman, 1984. Jadi dalam problem-focused tidak hanya berencana sebanyak mungkin, tapi segera melakukan rencana terbaik
dari semua pilihan yang ada seperti mencari informasi mengenai suatu masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan
alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif dan menjalani alternatif yang dipilih.
Emotion-focused coping muncul pada keadaan mengancam, berbahaya, dan menantang serta kondisinya sudah tidak dapat diubah lagi sedangkan
Universitas Sumatera Utara
problem-focused muncul saat kondisinya masih ada kemungkinan berubah dan dapat diperbaiki. Emotion-focused coping menurut Lazarus dan Fokman 1984,
merupakan sekumpulan proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional dan mencakup strategi seperti menghindari,
meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, perbandingan positif, dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang menggunakan
emotion-focused biasanya mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal
yang terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya di mana kesemua proses tersebut memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka
sendiri Lazarus Folkman, 1984. Pada tahun 1989, Carver dkk menyusun sebuah instrument yang diberi
nama Brief COPE berdasarkan teori Lazarus dan Folkman 1984 tentang koping. Sebagaimana Lazarus dan Folkman, Carver 1989 mengatakan strategi koping
terdiri dari 2 dua yaitu strategi koping berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi.
Berikut ini penjelasan teori yang mendasari Brief COPE menurut Carver 1997:
I. Strategi Koping yang berfokus pada masalah Problem- focused coping
Ada 5 lima jenis koping yang termasuk ke dalam strategi problem-focused coping adalah :
1. Active Coping Penyelesaian masalah secara aktif
Disebut aktif karena ada penekanan pada tindakan aktif individu untuk mencoba mengatasi masalah maupun mengurangi dampak dari masalah
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Jenis Koping ini meliputi langkah awal pengambilan tindakan langsung, peningkatan usaha individu dan upaya untuk mencoba
melakukan koping dengan langkah yang bijaksana. 2.
Planning Perencanaan Melibatkan usaha memikirkan, menyusun rencana strategi tindakan dan
langkah yang akan diambil, serta kemungkinan berhasilnya usaha tersebut. Planning terjadi selama fase penelitian sekunder proses pengolahan di
otak tentang suatu potensi respon terhadap ancaman, sedangkan active coping terjadi pada fase melaksanakan koping.
3. Suppression of competiting activities Penekanan pada kegiatan lain
Mencakup usaha membatasi ruang gerak atau aktifitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah. Jadi individu mengesampingkan urusan
lain, berusaha menghindari hal lain yang dapat menyebabkan teralihnya perhatian individu dari masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan
agar perhatian individu sepenuhnya tercurah untuk mengatasi stres. 4.
Restraint coping Penundaan perilaku mengatasi stress Usaha mengatasi masalah dengan tidak melakukan tindakan apapun
menunggu sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak. Oleh karena itu membutuhkan kontrolkendali diri yang cukup baik.
5. Using instrumental support Menggunakan instrument sebagai dukungan
Merupakan usaha mencari dukungan sosial berupa nasehat, informasi atau bantuan yang diharapkan agar membantu individu memecahkan masalah
dan mengatasi stressor yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
II. Strategi Koping yang berfokus pada emosi Emotion- focused coping
Ada 10 sepuluh jenis koping yang termasuk ke dalam strategi emotion- focused coping adalah :
1. Using emotional support Menggunakan dukungan emosional
Mencari dukungan moral, simpati, atau pengertian yang bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan ketidaknyamanan emosional akibat
masalahnya. Kecenderungan mencari dukungan sosial emosi memiliki fungsi ganda, yaitu setelah individu merasa yakin berkat dukungan yang
diperoleh kemudian timbul tingkah laku Koping yang terpusat pada masalah. Defenisi ini hampir serupa dengan dukungan sosial pada
problem-focused koping namun bedanya kecenderungan mencari dukungan sosial emosional ini adalah hanya mencari dukungan emosional
untuk menenangkan dirinya atau mengeluarkan perasaan saja, sehingga penggunaan strategi ini dinilai terkadang tidak selalu adaptif.
2. Positive reframing Mengkaji ulang kejadian masa lalu ke arah positif
Carver, menggunakan istilah ini didasarkan pada teori Lazarus dan Folkman 1984 tentang konsep penilaian yang positif. Penilaian kembali
secara positif adalah strategi koping yang berfokus untuk mengelola perasaan tertekan dan bukan berurusan dengan stressor itu sendiri.
3. Acceptance Penerimaan
Individu menerima kenyataan akan situasi yang penuh stres, menerima bahwa kenyataan tersebut pasti terjadi. Penerimaan dapat memiliki dua
makna, yaitu sebagai sikap menerima tekanan sebagai suatu kenyataan dan
Universitas Sumatera Utara
sikap menerima karena belum adanya strategi menghadapi masalah secara aktif yang dapat dilakukan.
4. Humor Humor
Individu mencoba membuat lelucon mengenai masalah yang sedang dihadapi.
5. Religion Agama
Individu mencari pegangan pada agama saat ia mengalami stres, misalnya dengan lebih sering berdoa dan memperbanyak ibadah. Hal ini dapat
terjadi karena agama dapat berfungsi sebagai sumber dukungan emosional dan sarana untuk menafsirkan kembali masalah yang dihadapi secara
positif maupun lebih dewasa. 6.
Denial Penolakan Menolak untuk percaya bahwa suatu stressor itu ada, atau mencoba
bertindak seolah-olah stressor tersebut tidak nyata. Kadang-kadang penolakan menjadi pemicu masalah baru jika tekanan yang muncul
diabaikan karena dengan menyangkal suatu kenyataan dari masalah yang dihadapi seringkali mempersulit upaya menghadapi masalah yang
seharusnya lebih mudah untuk pemecahan masalah. 7.
Venting Pelampiasan emosi Kecenderungan melepaskan emosi yang dirasakan.
8. Substance Use Penggunaan zat atau alcoholobat-obatan
Individu menggunakan alkohol atau obat-obatan lainnya sebagai cara untuk melepaskan diri dari stressor
Universitas Sumatera Utara
9. Self-Distraction Pengendalian diri
Merupakan variasi dari tindakan pelarian, terjadi ketika kondisi pada saat itu menghambat munculnya tindakan pelarian. Strategi yang
menggambarkan pelarian secara mental ini adalah melakukan tindakan- tindakan alternatif untuk melupakan masalah seperti melamun, melarikan
diri dengan tidur dan menyibukkan diri dengan menonton televisi. 10.
Self Blame Lebih fokus pada apa saja yang dilakukan seseorang untuk menjauhkan
pikiran dari pemicu stres. 11.
Behavioral disengagement Pelepasan perilaku Mengurangi usaha seseorang untuk menghadapi stressor, menghentikan
usaha menghilangkan stressor yang mengganggu. Behavioral disengagement digambarkan melalui gejala perilaku yang disebut
“helplessness” ketidakberdayaan. Pada tahun 1997, Carver melakukan penelitian koping terhadap penyakit
kronik kanker payudara, HIV menggunakan instrument Brief COPE yang disusun sebelumnya, hasilnya
ada beberapa jenis koping yang dieliminasi, diubah serta ditambahkan kedalam jenis koping. Adapun jenis strategi koping yang
dieliminasi dari koping yang berfokus masalah problem-focused coping adalah restraint coping dan suppression of competing activities dengan alasan kedua
jenis koping ini sudah dimasukkan ke dalam jenis koping yaitu active coping, sedangkan jenis koping yang diubah supaya tidak menimbulkan ambiguitas dari
strategi koping berfokus emosi emotion-focused coping adalah positive
Universitas Sumatera Utara
reinterpretation and growth menjadi positive reframing, focus on and venting emotions menjadi venting, mental disengagement menjadi self distraction.
Selanjutnya terdapat satu jenis koping yang ditambahkan ke dalam komponen strategi koping yang berfokus emosi emotion-focused coping yaitu self blame.
Carver 1997 mengatakan bahwa instrumen Brief COPE yang telah direvisi dapat digunakan untuk semua situasi sesuai dengan kebutuhan dan
imaginasi gambaran dari peneliti. Oleh karena itu peneliti menggunakan instrument Brief COPE untuk menilai strategi koping yang digunakan oleh pasien
gagal ginjal kronik yang sedang menjalani tindakan cuci darah hemodialisa. Berdasarkan keterangan di atas, maka instrument Brief COPE yang akan
digunakan dalam penelitian ini yakni strategi koping berfokus masalah terdiri dari Active coping, Planning, Using Instrumental Support sedangkan yang termasuk
ke dalam strategi koping berfokus emosi terdiri dari Using Emotional Support, Positive reframing, Acceptance, Humor Religion Denial, Venting, Substance use,
Self Distraction, Self Blame, Behavioral disengagement.
2.2.2 Resiliensi 1. Defenisi Resiliensi
Setiap orang pernah tersandung dan jatuh dari waktu ke waktu, tetapi masing-masing dari kita memiliki kemampuan untuk bangkit dan segar kembali.
Kemampuan untuk bangkit dan segar kembali disebut dengan resiliensi. Sebagai suatu kontruk psikoanalitik, resiliensi didefinisikan oleh Block dan Block 1980,
dalam Wagnild Young, 1993 sebagai “ the dynamic capacity of an individual to modify hisher modal level of ego-control, in either direction, as a function of
Universitas Sumatera Utara
the demand characteristics of the environmental context”. Block menjelaskan konstruk ini dengan menyebutnya “egoresilience” yang terentang pada suatu
kontinum. Pada salah satu ujung kontinum terdapat karakteristik fleksibel, memiliki berbagai sumber daya dan strategi pemecahan masalah yang beragam
sedangkan pada ujung kontinum yang berlawanan terdapat karakteristik “ego- brittleness” atau kerapuhan yang menunjukkan kurangnya fleksibilitas dalam
menghadapi berbagai situasi yang sulit. Resiliensi mempunyai arti sebagai stamina emosional dan digunakan
untuk menjelaskan orang yang menunjukan keberanian dan kemampuan beradaptasi pada situasi hidup yang sulit Wagnild Young, 1990. Rutter 1987
dalam Wagnild Young, 1993 mendefinisikan resiliensi sebagai faktor penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik.
Druss dan Douglas 1988 dalam Wagnild Young, 1993 menjelaskan individu yang resilien adalah individu yang memiliki keberanian yang luar biasa
dan optimisme dalam menghadapi kematian, penyakit, dan cacat bawaan. Individu memiliki kepercayaan tidak dapat dikalahkan dan fokus pada aspek positif dari
kondisi mereka. Konsep resiliensi menurut Kadner 1989 dalam Wagnild Young, 1993 sebagai kemampuan individu untuk bangkit kembali dari kesulitan
psiko-sosial dan mendefenisikan resiliensi sebagai kekuatan ego efektivitas semua fungsi ego dalam meningkatkan adaptasi terhadap lingkungan, keintiman
sosial, dan sumberdaya. Dari beberapa pengertian resiliensi menurut beberapa ahli maka dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi atau bangkit
Universitas Sumatera Utara
kembali dari tantangan atau dengan kata lain resiliensi mengandung arti memiliki kekuatan batin, kemampuan, optimis, fleksibel dan kemampuan untuk mengatasi
kesulitan secara efektif. Konsep resiliensi digunakan untuk menggambarkan sikap dan perilaku manusia ketika ia berhadapan dengan kemalangan atau kesulitan
hidup baik kesulitan itu bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga maupun situasi dan konteks lingkungan hidup sekitarnya Sulistyaningsih, 2009.
2. Karakteristik Resiliensi
Wagnild dan Young 1993 menyebutkan ada lima karakteristik resiliensi: a.
Self-Reliance keyakinan pada diri sendiri, yakni keyakinan pada diri sendiri dengan memahami kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri.
Individu yang resilien sadar akan kekuatan yang ia miliki dan mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan
yang ia lakukan. Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan
kemampuan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan
berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya. b.
Existential aloneness Sifat unik, yaitu kesadaran bahwa setiap individu unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus
dihadapi sendiri. Individu yang resilien belajar untuk hidup dengan keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus menerus mengandalkan
orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga individu menjadi lebih menghargai kemampuan yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan
menerima diri sendiri apa adanya. c.
Meaningfulness tujuan hidup, merupakan kesadaran individu bahwa hidupnya memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan
tersebut. Wagnild 2010 menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat
karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Tujuan mendorong
individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tak terkecuali ketika ia mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang
menghadapi kesulitan tersebut. d.
Equaminity Ketenangan hati, yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya
semasa hidup yang dianggap merugikan. Namun demikian inidivu harus mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat
hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh
karena itu individu yang resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapi, melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak
terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat di dalamnya. e.
Perseverance Ketekunan, yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi suatu situasi sulit. Perseverance juga dapat berarti
Universitas Sumatera Utara
keinginan seseorang untuk terus berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan
pada diri individu ketika berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya.
2.2.3 Gagal Ginjal Kronis 1. Pengertian Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal menahun CRF = Chronic Renal Failure merupakan suatu kegagalan fungsi ginjal yang berlangsung perlahan-lahan, karena penyebabnya
yang berlangsung lama, sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit Junadi, 1989.
Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau azotemia Brunner Suddarth, 2000.
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup
lanjut Suyono, 2001.
2. Stadium Gagal Ginjal Kronis
Klasifikasi gagal ginjal kronis tidak selalu sama. Price Wilson 2005 membagi perjalan klinis umum gagal ginjal kronis menjadi tiga stadium. Stadium
pertama disebut penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum, kadar nitrogen dan urea darah BUN normal, serta gejalanya asimtomatik.
Universitas Sumatera Utara
Stadium kedua disebut juga insufisiensi ginjal, dimana terdapat lebih dari 75 jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak atau GFR 25 besarnya dari
normal. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal serta mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.
Stadium ketiga merupakan stadium akhir gagal ginjal kronis yang sering disebut gagal ginjal terminal atau uremia. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi
apabila sekitar 90 dari massa nefron telah rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Pada stadium ini pasien mulai merasakan gejala-gejala
yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pada gagal ginjal tahap akhir urin menjadi iso
osmotis, pasien biasanya menjadi oliguria dan terjadi sindrom uremia yang mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.
3. Penyebab Gagal Ginjal Kronis