Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial

agung sekaligus berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. 4 Berdasarkan perubahan tersebut, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 5 Kekuasaan kehakiman bukanlah suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek seperti pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim merupakan persoalan di dalam kekuasaan kehakiman yang apabila tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh besar terhadap kinerja kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. 6 Persoalan menjadi semakin rumit ketika menyangkut perekrutan Hakim Agung. Hal ini dikarenakan Hakim Agung adalah jabatan yang sangat strategis sehingga selalu mengundang intervensi pemegang kekuasaan politik DPR dan Presiden dalam rangka menempatkan orang orangnya untuk dapat memperjuangkan kepentingan kepentingannya di kemudian hari. 4 Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Paragraf 6 menyebutkan “Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.” 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum. Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dalam undang-undang ini adalah dilakukan oleh sebuah Mahkama Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Ma hkamah Konstitusi”. 6 Ahsin Thohari, “Komisi Yudisal Reformasi Peradilan”, Jakarta: Elsam, 2004, h.157 Sebenarnya gagasan tentang perlunya suatu lembaga khusus untuk menjalankan fungsi fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan Rancangan Undang- Undang tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim MPPH. Majelis ini berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman. Namun dalam perjalanannya, ide tersebut tidak berhasil dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sejalan dengan hal tersebut, A. Ahsin Thohari menyimpulkan bahwa alasan alasan utama yang menyebabkan munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial, antara lain: 1. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja 2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antar kekuasaan Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman. 3. Kekuasaan kehakiman dianggap tindak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan persoalan teknis menghukum 4. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar- benar independen 5. Pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga lembaga politik. 7 Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan judicial corruption merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan publik yang hilang publicdistrust terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya praktik mafia peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga pengawasan yang dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim. 8 Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrolpun dirasa masih lemah. Ada faktor faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan rakyat itu sendiri. Ditengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang seolah olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa kecuali sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjungnya. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap norma norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia untuk patuh terhadap hukum. 9 7 Ahsin Thohari, “Komisi Yudisal Reformasi Peradilan”, Jakarta: Elsam, 2004, h. 217-218 8 Busyro Muqoddas, Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah disampaikan dalam seminar Nasional di Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 29 Juli 2006 9 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 h. 56 Pentingnya akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga mendorong lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya pada sub sistem kekuasaan kehakiman. 10 Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak efektifnya pengawasan internal fungsional yang ada di badan-badan peradilan. Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1 kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, 2 proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, 3 belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya ketiadaan akses, 4 semangat membela sesama korps esprit de corps yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan 5 tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak lanjuti hasil pengawasan. 11 Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial independent and impartial judiciary diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, 10 Bambang Widjoyanto, “Komisi Yudisial: Checks and Balances Dan Urgensi Kewenangan Pengawasan ”, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006, h. 111 11 Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas tanggal 2 Maret 2005, h.5 baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri yaitu Komisi Yudisial yang berkaitan dengan fungsi pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman. Selain itu, Menurut Jimly Asshiddiqie 12 maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga di luar Struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam poses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua itu dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi International Commission of Jurist menggaris bawahi bahwa; “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasa mengubah UUD Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial. 13 12 Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu 1, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 h. 57 13 Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, “Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden Secara Langsung ”, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, h. 24

B. Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu State Auxiliary Organs

Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu di Indonesia yang dirumuskan Dalam Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 ditentukan: “Calon hakim Agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim A gung oleh Presiden.” Pasal 24B UUD 1945 menentukan pula bahwa: 1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. 3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 34 menentukan: 1. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan Undang Undang. 2. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim diatur dalam Undang Undang. 3. Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim Agung dan Hakim pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang Undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat dua tugas Komisi Yudisial yaitu, tugas pertama berkenaan dengan rekruitmen Hakim Agung, dan tugas kedua berkenaan dengan pembinaan hakim dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Ketentuan Pasal 24B UUD 1945 menyatakan ba hwa Komisi Yudisial “bersifat mandiri”. Ketentuan ini kemudian dipertegas pada Pasal 2 Undang Undang Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri independence. Secara eti mologis istilah “mandiri” berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung kepada orang lain. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga pengertian independensi, yaitu: 14 1. Structural Independence yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain. 2. Functional Independence yaitu dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya. 3. Financial Independece yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi. 14 Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, Cet, Kesatu 1 , Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007, h, 79