Latar Belakang Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Selaku Ketua Program Studi Ilmu

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, walaupun Komisi Yudisial tidak memiliki kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat 3 berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden ”. Selanjutnya, Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menegakkan konstitusi dalam mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang a Menguji undang-undang terhadap UUD; b Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar; c Memutus pembubaran partai politik; d Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan pendapat bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan dimasukkannya Hakim Konstitusi dalam pengawasan Komisi Yudisal menurut Undang-Undang Komisi Yudisial mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. 2 Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk memutuskan dengan putusan yang final dan mengikat dalam hal terjadinya sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. 2 Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dimasukkannya hakim konstitusi dalam Undang- Undang Komisi Yudisial yang dibahas pada tahun 2004 mencerminkan motif di kalangan Pembentuk undang-undang untuk menitipkan kepentingan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Konstitusi yang dianggap terlalu berkuasa, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan beberapa pengujian undang-undang, seperti pengujian atas ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pengujian atas Undang- Undang tentang Ketenagalistrikan yang dibatalkan seluruhnya, pengujian atas Undang- Undang eks Perpu Pemberlakuan Undang-Undang tentang Anti Terorisme, ketentuan Undang- Undang tentang Pemilu yang membatasi hak warga negara eks anggota PKI untuk ikut serta dalam Pemilu, dan lainsebagainya. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum tata Negara Indonesia Pasca Amandemen, h. 578-579 Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden diatur dalam UUD 1945 secara tegas menyatakan kedudukan Presiden adalah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara executive power. 3 Meskipun demikian, menurut Ismail Sunny Presiden Republik Indonesia tidak menjadi kepala eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif seperti halnya di Amerika Serikat. 4 Ada dua alasan yang mendukung pendapat Ismail Sunny tersebut, yaitu: pertama, dalam melaksanakan kekuasaan itu telah ditentukan dalam undang-undang dasar. Dan kedua, dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah dalam konteks politik melaksanakan tugas-tugas permerintahan. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmailiy Ibrahim, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 tersebut memberi wewenang yang luas dan tidak terperinci kepada Presiden namun tidak berarti presiden dapat berbuat sekehendak hatinya karena dibatasi oleh UUD 1945. 5 Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang bevoegheid mengandung pengertian 3 Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar. ” 4 Ismail Sunny, “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif”, Jakarta: Aksara Baru, 1986, h. 42 5 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim , “Pengantar Hukum Tata Negara”, Jakarta: Sinar Bhakti, 1983, h. 198 tugas plichten dan hak rechten. Menurut Bagir Manan, 6 wewenang mengandung makna kekuasaan macht yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat organ .Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan “Komisi Yudisial mempunyai wewenang ” : a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan Persetujuan b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim.” c. Menetapkan kode etik dan pedoman perilaku hakim bersama sama dengan mahkamah agung d. Menjaga dan menegakan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim Semua aparat penegak hukum berkewajiban mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni keadilan, kemanfaatan menurut tujuan, dan kepastian hukum. Diantara para penegak hukum yang lainnya posisi Hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak, bahkan ada yang menggambarkan Hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan. 6 Bagir Man an, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta, 2001, h. 69-70. Konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ternyata bukan hanya kali ini dan hanya dalam masalah ini saja. Sejak akhir tahun 2005 sampai paling tidak pertengahan tahun 2006, khususnya masyarakat hukum, menyaksikan adegan konflik antara Makamah Agung dan Komisi Yudisial. Konflik yang oleh masyarakat disayangkan ini sebenarnya bermula dari langkah-langkah Komisi Yudisial ketika hendak menejermahkan dan melaksanakan amanat konstitusi atas pembentukannya yang kemudian membentur Mahkamah Agung yang struktur dan karakternya sudah begitu kuat dan berpola. Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang baru kemudian mendapat sorotan baik yang bersifat positif maupun negatif. 7 Terjadinya perseteruan antara kedua lembaga tersebut adalah diajukannya permohonan atau gugatan judicial review atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 31 Hakim Agung sebagai pribadi pribadi. Mereka pada pokoknya meminta Mahkamah Agung membatalkan sebagian isi Undang Undnag tersebut karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945 yakni bagian yang menentukan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengawasi Hakim Agung. Para pemohon mendalilkan bahwa Komisi Yudisial hanya berwenang mengawasi hakim dan pengertian hakim di sana tidak mencakup Hakim Agung. Hal ini mengherankan karena baik ditinjau dari latar belakang maupun dari sikap Mahkamah Agung sendiri 7 Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” Jakarta: Rajawali Press, 2011, h.110 sebelum lahirnya Undang Undang tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengawasi Hakim termasuk Hakim Agung. 8 Hubungan kedua institusi ini tidak seperti yang diharapkan, yakni bekerja sama sebagai mitra partnership. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015 juga merupakan bentuk konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, putusan ini banyak menimbulkan perdebatan, lenyapnya kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim menimbulkan banyak opini tentang pelemahan lembaga tersebut, karena bukan hanya kali ini saja kewenangan Komisi Yudisial dikurangi dalam menjalankan tugasnya, tugas Komis Yudisial yang menyangkut pengawasan terhadap perilaku hakim menjadi terpangkas dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006. Namun di sisi lain, banyak juga opini yang menyatakan mendukung putusan ini karena berkaitan dengan kemandirian badan peradilan yang tercipta pada awal reformasi yang dicampuri oleh suatu lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. 8 Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” h.111 Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba membahas masalah ini dalam skripsi dengan judul “ Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung” Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang itulah penulis mengidintifikasi masalah yang ada dalam Komisi Yudisial, dianataranya sebagai berikut : 1. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung ? 2. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi ? 3. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden ? 4. Apa Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial ? 5. Apa yang menyebabkan terjadi konflik antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial dengan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015 ? 6. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015 dalam judicial review Undang Undang yang diuji oleh Mahkamah Agung terkait dengan IKAHI ? 7. Faktor Apa yang memengaruhi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015 dalam seleksi pengangkatan hakim ?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis merasa sangat perlu untuk membatasi agar pokok permasalahan dalam kajian penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penelitian ini penulis memfokuskan dan membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup pembahasan skripsi ini hanya berkisar pada Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015 2. Rumusan Masalah Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan proses seleksi pengangkatan hakim merupakan kewenangan yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang lembaga legislatif melalui tiga undang-undang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Di dalam hukum konstitusi kita pembentuk Undang-Undang boleh menentukan isi undang-undang yang dianggap penting dan baik apapun isinya, sepanjang tidak melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan dalam proses seleksi pengangkatan Hakim Agung berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Amanden Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial, Undang Undang 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan UmumPeradilan Negeri, Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan sebagai bentuk upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim dengan melakukan perbaikan pada integritas Hakim dan segenap komponen peradilan yang mendukung sistem kerja Hakim, dalam taraf tertentu diyakini akan mampu menghasilkan sebuah kultur penegakan hukum yang bersih, jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, tegas dan bewibawa melalui proses seleksi pengangkatan Hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial. Proses seleksi pengangkatan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung pada pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara sesungguhnya menciptakan kepastian hukum. Melihat bahwa proses seleksi pengangkatan Hakim Agung tidak diatur dalam UUD 1945 dan rekrutmen hakim yang dilakukan Komisi Yudisial bersama-sama Mahkamah Agung merupakan sebagai salah satu tujuan pembentukan sistem rekrutmen Hakim yang ideal, dimana proses seleksi pengangkatan Hakim akan lebih transparan dan memberikan ruang pada masyarakat untuk ikut serta mengikuti proses