Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kode etik code of ethics dan pedoman perilaku Hakim code of conduct ditegakkan, Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24B ayat 1 UUD 1945, bahwa Komisi Yudisial diberikan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial sebagai bentuk pengawasan terhadap hakim. Ketentuan tentang pengawasan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang Undang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial “Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan Peradilan di semua lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Namun, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006 tentang Uji Materil Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan rumusan Pasal 1 angka 5 tersebut. Dalam pertimbangnnya tentang hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah termasuk dalam kategori sebagai hakim yang merupakan objek pengawasan Komisi Yudisial. Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengawasan Komisi Yudisial sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial adalah: 1. Dari sistematika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial Sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945. 2. Dalam ketentuan Undang Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang Undang Kekuasaan Kehakiman yang dibentuk sebelum pembentukan Undang Undang Komisi Yudisial. Dalam Undang Undang Mahkamah Konstitusi, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi ditentukan adanya lembaga majelis kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak menentukan bahwa hakim konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi Yudisial. 3. Berbeda halnya dengan hakim biasa, hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah Hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 lima tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan hakim konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. 4. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran Komisi Yudisial sama sekali. 5. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga lain. 11 Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kewenangan pengawasan Komisi Yudisial bukan untuk mengawasi lembaga peradilan, melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim sebagai individu. Selain itu, hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bukanlah untuk menerapkan prinsip checks and balances karena hubungan semacam ini hanya terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara separation 11 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006, h. 173-176 of power. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial merupakan lembaga yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini kekuasaan kehakiman yudikatif. Namun, Komisi Yudisial bukanlah pelaksana dari kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial berperan dalam pengusulan calon Hakim Agung, sedangkan fungsi pengawasan penuh tetap dipegang oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim ini, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus bekerja sama erat dalam hubungan kemitraan. Dalam model pengawasan pelaksanaan tugas para hakim, dilakukan melalui dua jenis pengawasan, yaitu: pertama, pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara internal Mahkamah Agung dapat membentuk Badan Pengawas di tingkat pusat pada lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Pengawas di tingkat daerah pada masing-masing Peradilan Tingkat Banding, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibawa pimpinan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung. Kedua, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh komisi independen dalam hal ini dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam menjalankan fungsi pengawasan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mengawasi perilaku Hakim dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat. Subyek terlapor adalah Hakim. Untuk memperoleh kepastian benar tidaknya laporan, Komisi Yudisial meminta keterangan dari terlapor melalui surat panggilan. Hasil keterangan dibuat berita acara yang ditandatangani oleh terlapor dan anggota Komisi Yudisial. Selanjutnya dilakukan analisis dan pembahasan dalam rapat pleno. Agenda rapat pleno untuk menentukan benar tidaknya laporan masyarakat dan apakah Hakim melanggar prinsip penting yang melekat pada jabatan dan tugas Hakim, yaitu: kode etik dan pedoman perilaku Hakim code of conduct, prinsip imparsialitas dan profesionalitas hakim. Dari mekanisme ini, tahapan pemeriksaan terhadap hakim adalah penting dan menentukan, apakah laporan masyarakat benar atau salah. Apabila terbukti ada unsur pelanggaran atas prinsip-prinsip di atas, Komisi Yudisial mengajukan rekomendasi sanksi terhadap Hakim terlapor. Rekomendasi diajukan kepada ketua Mahkamah Agung dengan tembusan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. 12 Perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim, Komisi Yudisial wajib menaati norma, hukum dan ketentuan peraturan perundang- undangan, serta menjaga kerahasian keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota Komisi Yudisial. 13 12 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 13 Pasal 22 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Dalam hal pemanggilan dan meminta keterangan Hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku Hakim, harus didasarkan pada kode etik dan pedoman perilaku Hakim code of conduct yang telah ditetapkan Kode etik dan pedoman perilaku Hakim code of conduct yang konkret ini menjadi sebuah standar atau tolak ukur dalam melaksanakan pengawasannya. Keseluruhan tindakan pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berujung pada pemberian rekomendasi kepada organisasi profesi yaitu Mahkamah Agung. Berkaitan dengan pasal pasal penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Dalam menjalankan peranannya untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim, Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung untuk memberikan penghargaan kepada Hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku Hakim. Undang Undang Komisi Yudisial tidak secara eksplisit memberikan kriteria perilaku Hakim yang bagaimanakah yang dianggap layak untuk diusulkan memperoleh penghargaan. Akan tetapi kriteria penilaian prestasi Hakim tidak lepas dari pedoman perilaku Hakim code of conduct, yaitu: berprilaku adil, berprlaku jujur, berprilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati dan bersikap profesional. C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial Untuk menjelaskan tugas dan kewenangannya. Komisi Yudisial bekerja berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bahkan dengan pemerintahan ataupun dengan lembaga perwakilan rakyat. 14 Karena jika komisi Yudisial mengambil jarak dengan pemerintah atau parlemen, Komisi Yudisial tidak akan menjadi alat politik para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, pemerintah ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengawasi dan mengintervensi kekuasaan kehakiman. Keindependenan Komisi Yudisial bukan berarti menghilangkan sifat tanggung jawab terhadap Undang Undang. Namun sebaliknya, Komisi Yudisial bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang. Ketentuan Bab III Pasal 13 huruf a Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, lembaga ini memiliki kewenangan antara lain, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Kemudian dalam melaksanakan tugasnya sebgaimana tercantum dalam pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Selanjutnya pasal 21 disebutkan, bahwa Komisi Yudisial untuk melaksanakan kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul 14 A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, Bekasi: Gramata Publishing, 2016, h.135 penjatuhan sanksi terhadap Hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. 15 Untuk melaksanakan wewenang sebagaimana termaktub dalam pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal tersebut diajukan kepada pimpinan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak setuju dengan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, yaitu pengawasan terhadap hakim dibawah lingkungan mahkamah agung dan Mahkamah konstitusi Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kemudian Undang Undang Komisi Yudisial di Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Inskonstitusionalitas yang tertuang dalam pasal 20, 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, dan pasal 25 Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengenai paying hukum wewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Ada dua dalam Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Komisi Yudisial yang dinyatakan bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengawasan, yaitu pertama hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etikanya harus diawasi oleh Komisi Yudisial. Kedua, Komisi Yudisial tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan. 16 15 A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, h.136 16 A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, h.137 Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung c. Menetapkan calon Hakim Agung d. Mengajukan calon hakim agung ke DPR Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lama 6 enam bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut. Dalam jangka waktu paling lama 15 lima belas hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran calon Hakim Agung selama 15 lima hari berturut turut. 17 Mahkamah Agung, Pemerintah dan Masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. Dalam jangka waktu paling lama 15 lima belas hari sejak berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 lima belas hari. DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak diterima calon. Keputusan Presiden mengenai pengangkatan 17 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil “ Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cet. Pertama Edisi Revisi 2 Jakarta: Rineka Cipta, 2008, h.195 Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 empat belas hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR 18 18 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil “ Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cet. Pertama Edisi Revisi 2, h.196 61 BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43PUU-XIII2015

A. Duduk Perkara

Pada tanggal 23 Maret 2015 memberi kuasa kepada: Dr. H M Fauzan, SH, MH. Lilik Mulyadi, SH, MH. Teguh Satya Bhakti, SH, MH dalam hal ini mereka bertindak sebagai pengurus pusat IKAHI dan atas nama pemberi kuasa beralamat di Mahkamah Agung Jalan Merdeka Utara Nomor 9-13 Jakarta Pusat. 1 Permohonan yang diterima kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 2015 dengan registrasi perkara Nomor 43PUU- XII2015 Permohonan tersebut telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 29 April 2015 . 2 Pemohon memohonkan kepada Mahkamah konstitusi untuk melakukan pengujian pasal 13A ayat 2, Ayat 3 dan 14A ayat 2 Ayat 3 undang undang tentang Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara. Yang berbunyi selengkapnya pada pasal 14A ayat 2 dan ayat 3 Undang undang nomor 49 tahun 2009 Ketentuan Ayat 2 berbumyi “Proses Seleksi Pengangkatan Hakim Pengadilan Negeri dilakukan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, dan Ayat 3nya berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. sedangkan pasal 13A ayat 2, ayat 3 undang undang nomor 50 tahun 2009 ketentuan ayat 2 berbunyi “ Proses selesksi pengangkatan Hakim Agama dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. dan Ayat 3 nya berbunyi 1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015, h.2 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015, h.3 “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ” dan Pasal 14A ayat 2, ayat 3 undang nomor 51 tahun 2009 ketentuan ayat 2 berbunyi “Proses pengangkatan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan bersama oleh Mahkamah A gung dan Komisi Yudisial” dan ayat 3 berbunyi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi yang diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” . Bahwa dengan ketentuan ketentuan tersebut diatas 3 telah mengurangi hak konstitusional para pemohon khususnya dalam mengusulkan promosimutasi hakim yang baik dan berprestasi, Menjaga dan mempertahankan prinsip peradilan yang bebas dan mandiri, Membina dan meningkatkan kemampuan hakim untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan untuk kepentingan seluruh warga negara pencari keadilan Justitiabelen.

B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

1. Kewenangan Mahkamah

Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para Hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi Hakim Agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah keluhuran martabat, serta perilaku seluruh Hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. 3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43PUU-XIII2015, h.10