Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu State Auxiliary Organs

Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat dua tugas Komisi Yudisial yaitu, tugas pertama berkenaan dengan rekruitmen Hakim Agung, dan tugas kedua berkenaan dengan pembinaan hakim dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Ketentuan Pasal 24B UUD 1945 menyatakan ba hwa Komisi Yudisial “bersifat mandiri”. Ketentuan ini kemudian dipertegas pada Pasal 2 Undang Undang Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri independence. Secara eti mologis istilah “mandiri” berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung kepada orang lain. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga pengertian independensi, yaitu: 14 1. Structural Independence yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain. 2. Functional Independence yaitu dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya. 3. Financial Independece yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi. 14 Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, Cet, Kesatu 1 , Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007, h, 79 Secara struktural, dapat dikatakan bahwa kedudukan Komisi Yudisial sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang auxiliary terhadap kekuasaan kehakiman. Meskipun secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi kehakiman. Komisi Yudisal bukanlah lembaga penegak norma hukum code of law, melainkan lembaga penegak norma etik code of ethics. Komisi Yudisial hanya berkaitan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional. Keberadaannyapun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman dan lingkungan Mahkamah Agung, artinya sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk lebih menjamin efektifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar menjadi eksternal auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasnya. Menimbang pula bahwa Komisi Yudisial merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A, Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24A ayat 3 dan Pasal 24B, dan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisial berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Bahwa Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Demi Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan council, komisi commission, komite committee, badan board, atau otorita authority. 15 Lahirnya lembaga lembaga negara baru tersebut, dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas termasuk ke dalam salah satu dari tiga organ negara menurut trias politica. Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama. Lembaga Negara baru tersebut disebut dengan state auxiliary organ, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat penunjang. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan istilah yang paling umum digunakan, meskipun ada pula yang berpendapat bahwa istilah lain 15 Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu 1, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 h. 7-8 seperti “lembaga negara penunjang”, “komisi negara independen” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya Prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Menurut Ni’matul Huda Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:. 1. Prinsip Konstitusionalisme, Konstitusionalisma adalah gagasan yang menghendaki agar Kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak hak dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga. 2. Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antar cabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. 3. Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antar lembaga yang ada sehingga menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan. 16

C. Teori Pemisahan Kekuasaan

Teori Pemisahan Kekuasaan pertama kali dikemukakan oleh John Locke 1960 yang kemudian dikembangkan oleh Baron de Montesquieu 1689- 1755 yang lebih dikenal dengan istilah trias politica. Teori ini dilandasi oleh pemikiran untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan secara absolut di tangan satu orang. Sebab hal tersebut sangat berpeluang bagi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan misuse power. Jika kekuasaan yudikatif diletakkan pada penguasa, maka proses peradilan berpotensi besar untuk dijadikan alat untuk mempertahankan kepentingan penguasa. Selanjutnya, jika kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif diletakkan pada penguasa maka akan lahir penguasa tirani. 17 Adapun Ajaran Motesquieu yang lebih dikenal dengan sebutan Trias Politica, yang menghendaki pembagian kekuasaan negara dalam tiga bidang pokok yang 16 Ni’matul Huda, “Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi”, Yogya karta: UII Press, 2007, h. 202 17 Sumali, “Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang Perpu”, Malang: UMM Press,2003, h. 9 masing masing berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan lainnya. Satu kekuasaan mempunyai satu fungsi saja yaitu : 18 1. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang Undang 2. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang Undang Pemerintahan 3. Kekuasan yudikatif, menjalankan fungsi peradilan Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini maka tidak ada campur tangan antara organ organ negara terhadap operasional kekuasaan masing masing. Dengan sistem yang demikian di dalam ajaran Trias Politica terhadap suasana checks and balance, di mana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang ditentukan. Dengan demikian terdapat hubungan kekuasaan antara lembaga- lembaga negara tersebut. 19 Menurut C.S.T Kansil, bahwa negara dapat pula diartikan sebagai suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia-manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. Pemerintah ini sebagai alat untuk bertindak demi kepentingan rakyat untuk mencapai tujuan organisasi negara, antara lain kesejahteraan, pertahanan, keamanan, tata tertib, keadilan, kesehatan dan lain-lain. Untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya guna mencapai tujuan tersebut, pemerintah mempunyai wewenang, wewenang mana dibagikan lagi 18 Kotan Y. Stefanus, “Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan, Dimensi Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945”,Yogyakarta: Atmajaya 1998, h. 29 19 Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1994, h.7