Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Kepada Dewan Perwakilan Rakyat

obyektivitas, dan sebagainya. 2 Sistem rekruitmen tersebut tidak dapat terlepas dari siapa yang memiliki kewenangan untuk menyeleksi, mengangkat dan bagaimana proses seleksi tersebut berlangsung. Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat berperan penting dalam terciptanya rekruitmen Hakim Agung yang kredibel. Sistem rekruitmen Hakim Agung memberi pengaruh langsung terhadap kualitas dan tingkah laku Hakim Agung. Apabila sistem rekruitmen hakim agung tidak didasarkan pada norma-norma profesionalitas maupun integritas yang bersangkutan, maka pada akhirnya akan mengakibatkan penyimpangan dalam proses peradilan. Hal ini akan bermuara pada lahirnya putusan hakim yang tidak memenuhi kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kondisi seperti ini tentu akan berakibat ketidak percayaan masyarakat kepada institusi peradilan. Rekruitmen Hakim Agung harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Misalnya, ketika seseorang yang ingin menjadi Hakim Agung harus mengeluarkan biaya yang besar, maka besar kemungkinan selama memangku jabatannya, Hakim Agung tersebut berupaya mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sekaligus untuk mencari kekayaan dan memakmurkan diri. Selain itu, sistem rekruitmen Hakim Agung yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui proses fit and proper test harus bersih dari kepentingan politik yang mempengaruhinya. 3 2 Mahkamah Agung RI, 2003, h. 29 3 Lawren T.P. Siburian, Jurnal Era Hukum Ilmiah Ilmu Hukum, Edisi No. 3Th.14Mei2007, h. 521-522 Apabila kondisi yang demikian tidak tercipta maka prinsip kemandirian hakim dalam negara hukum Indonesia mustahil untuk terwujud. Sebagaimana di kemukakan Pengangkatan Hakim Panel, bahwa independensi kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara salah satunya dapat dilihat dari pola rekruitmen Hakim Agung yang tidak bersifat politis. Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945, mekanisme usulan, pencalonan dan seleksi Hakim Agung semata-mata berada di tangan Presiden selaku kepala negara. Melihat kenyataan demikian, Jimly Asshiddiqie 4 berpendapat bahwa pencalonan keanggotaan Hakim Agung jangan diserahkan secara eksklusif kepada satu lembaga karena dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman. Pada era reformasi terjadi perombakan besar besaran terhadap tataran kekuasaan pemerintahan. Hal ini disebabkan perubahan Undang Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali yang mengakibatkan perubahan tatanan pemerintahan berserta lembaga lembaga negara tak terkecuali kekuasaan kehakiman khususnya menyangkut tata cara rekruitmen atau pencalonan Hakim Agung. Konstruksi hukum pasca perubahan Undang Undang Dasar 1945 menentukan bahwa mekanisme pengusulan calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat merupakan wewenang yang dimiliki dan dilakukan oleh Komisi Yudisial. 4 Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu 1, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 h. 84 Landasan konstitusionalnya merujuk kepada Pasal 24A ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi. “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Landasan pokok selanjutnya, diatur pada Pasal 8 ayat 1, 2, dan 3 Undang- Undang Mahkamah Agung. Ayat 1 berbunyi: “ Hakim Agung diangkat oleh Presiden dari calon nama yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.” Selanjutnya ayat 2 berbunyi: “Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Kemudian ayat 3 berbunyi: “Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan paling lama 14 empat belas hari sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebagai landasan hukum pelaksanaan pencalonan Hakim Agung diatur pada BAB III Pasal 13 sampai dengan Pasal 20 Undang Undang Komisi Yudisial. Undang undang ini mengatur tata cara pelaksanaan pencalonan Hakim Agung yang digariskan dalam Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 8 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Mahkamah Agung. Bertitik tolak dari ketentuan perundang-undangan yang dikemukakan di atas, proses pengangkatan Hakim Agung melibatkan lembaga Komisi Yudisal, DPR, dan Presiden. Sehubungan dengan itu, penulis mencoba membahas lebih lanjut sejauh mana porsi dan batas wewenang masing-masing lembaga tersebut dalam proses pengangkatan Hakim Agung. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial melaksanakan kewenangannya melakukan pencalonan Hakim Agung yang diperintahkan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945. Perintah dan kewenangan mengusulkan pngangkatan hakim agung ditegaskan kembali oleh Pasal 3 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial yang berbunyi: “Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan R akyat”. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, pengusulan calon Hakim Agung sepenuhnya diberikan kepada Komisi Yudisial. Tugas yang harus dilaksankan Komisi Yudisial dalam rangka pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, diatur dalam Pasal 14, 15 , 16, 17, 18, 19, dan 20 Undang-Undang Komisi Yudisal. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat 1 huruf a dan Pasal 15 Undang- Undang Komisi Yudisial, dalam rangka pencalonan Hakim Agung maka Komisi Yudisial terlebih dahulu melakukan pendaftaran calon Hakim Agung. Menurut Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa dalam hal terjadi peristiwa berakhir masa jabatan seorang atau beberapa Hakim Agung, maka Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, hal itu harus disampaikan Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan tersebut. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat 1 huruf a jo. Pasal 14 ayat 2 yang menyatakan befungsinya kewenangan Komisi Yudisial melakukan pendaftaran calon Hakim Agung setelah adanya pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya Hakim Agung yang akan berakhir masa jabatannya, Pemberitahuan Mahkamah Agung tersebut harus dilakuakan paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan tersebut. Hal ini berarti bahwa selama belum ada pemberihtaun dari Mahkamah Agung tentang lowongan jabatan Hakim Agung yang timbul sebagai akibat dari adanya masa jabatan Hakim Agung yang akan berakhir, Komisi Yudisial tidak dapat mengajukan pengangkatan caon Hakim Agung. Berdasarkan Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Komisi Yudisial, digariskan tindak lanjut yang harus dilakukan Komisi Yudisial setelah mendapat pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya lowongan Hakim Agung, yaitu a paling lambat dalam jangka waktu lima belas hari sejak menerima pemberitahun dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial mengeluarkan pengumuman pendaftaran calon Hakim Agung dan b pengumuman tersebut dilakukan selama lima belas hari berturut-turut. Menurut penjelasan Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Komisi Yudisial disebutkan bahwa yang dimaksud dengan berturut-turut dalam ketentuan ini adalah pengumuman yang dilakukan secara terus-menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan dapat pula diumumkan dalam media massa paling sedikit dua kali. Selanjutnya, Pasal 15 ayat 2 mengatur siapa atau pihak mana saja yang dapat atau berhak mengajukan calon hakim agung, antara lain: a. Mahkamah Agung, b. Pemerintah, c. Masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, sepanjang mengenai Mahkamah Agung tidak ada masalah. Akan tetapi, mengenai Pemerintah terkandung pengertian yang kabur vague atau mendua ambiguity. Apakah yang dimaksudkan pasal ini adalah Presiden atau menteri tertentu. Berpedoman pada ketentuan Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, yang melaksanakan kekuasaan pemerintah adalah Presiden. Dalam melaksanakan pemerintahan menurut ketentuan Pasal 17 ayat 1 UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Bertitik tolak pada ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Presiden maupun menteri berwenang mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. Dalam hal menteri yang dianggap memiliki kewenangan untuk itu adalah menteri yang berkaitan dengan dengan masalah penegakan hukum yaitu Menteri Hukum dan HAM. Berkenaan dengan pengertian masyarakat, dapat juga menimbulkan persoalan. Hal ini disebabkan rumusan Pasal 15 ayat 2 hanya me nyebutkan kata “masyarakat” tanpa disertai penjelasan yang lengkap tentang apakah yang dimaksud dengan masyarakat itu. Apakah pengertian masyarakat adalah masyarakat dalam arti individu atau perseorangan. Atau, apakah harus berbentuk kelompok Namun apabila mengacu kepada maksud dari rumusan pasal tersebut, kata “masyarakat” mencakup pengertian anggota masyarakat secara individual maupun sebagai kelompok. Dengan demikian, orang perorangan dapat mencalonkan dirinya sendiri kepada Komisi Yudisial. Jangka waktu pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung, pemerintah maupun masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 15 ayat 3 Undang Undang Komisi Yudisial dilakukan dalam jangka waktu lima belas hari sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung dikeluarkan Komisi Yudisial. Apabila lewat dari jangka waktu yang tersebut, pengajuan tersebut tidak dapat diterima. Pengajuan Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai hakim agung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 5 Syarat formil dan materil diatur dalam Pasal 7 Undang- undang Mahkamah Agung yang meliputi Hakim Agung karir dan Hakim Agung non karir. Pada ayat 1 menentukan syarat seorang hakim agung karir, antara lain: a. Warga Negara Indonesia, b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, c. Berijazah Sarjana Hukum yang mempunyai keahlian dibidang hukum, d. Berusia sekurang kurangnya lima puluh tahun, e. Sehat jasmani dan rohani; f. Berpengalaman sekurang kurangnya dua puluh tahun menjadi hakim termasuk sekurang-sekurangnya tiga tahun menjadi hakim tinggi. Terhadap persyaratan di atas, menurut M. Yahya Harahap. Pembatasan usia calon Hakim Agung yakni berusia sekurang kurangnya lima puluh tahun dianggap kurang realistis dan kurang objektif. 6 Menurutnya, pada konsep semula dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial adalah 45 tahun. Usulan tersebut didasarkan pada pertimbangan dan pengalaman bahwa pada umur 45 tahun, seorang Hakim sudah matang apabila dia cakap serta telah menduduki jenjang karier mulai dari Hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Idealnya, perekrutan Hakim Agung didasarkan kepada gabungan antara faktor kecakapan dengan kemampuan, bukannya mengutamakan faktor senioritas. 5 Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 6 M. Yahya Harahap, “Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata ”, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 28 Selanjutnya pada Pasal 7 ayat 2 mengatur syarat bagi Hakim Agung non karier, antara lain: a. Memenuhi syarat yang disebut pada Pasal 7 ayat 1 huruf a Warga Negara Indonesia, huruf b bertaqwa kepada Tuhan Yang MAha Esa, huruf c berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun, dan huruf d sehat jasmani dan rohani. b. Berpengalaman dalam profesi hukum danatau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 tahun; c. Berijazah magister dalam bidang ilmu hukum dengan dasar Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum. 7 d. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Mengenai syarat administratif diatur pada Pasal 16 ayat 2 Undang- Undang Komisi Yudisial yang menegaskan pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memenuhi persyaratan administratif dengan jalan menyerahkan sekurang-kurangnya: a. Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan, b. Ijazah asli atau yang dilegalisasi, c. Surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumash sakit pemerintah, d. Daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon, e. Nomor Pokok Wajib Pajak. 7 Berdasarkan penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf c, yang dimaksud dengan “sarjana lain” dalam ketentuan ini adalah Sarjana Syariah dan Sarjana Kepolisian Setelah jangka waktu pengajuan Hakim Agung yang digariskan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Komisi Yudisial berakhir yakni lima belas hari dari tanggal pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung, maka menurut Pasal 14 ayat 1 huruf b Undang-Undang Komisi Yudisial, tugas selanjutnya adalah melakukan proses seleksi dengan proses berikut: a. Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenui syarat. 8 b. Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat tehadap calon Hakim Agung. c. Menyelenggarakan seleksi kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung secara terbuka. 9 d. Mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah yang dipertanggung jawabkan kepada dan di hadapan Komisi Yudisial. Apabila tahapan seleksi di atas telah selesai dilaksanakan, maka tugas selanjunya menurut kententuan Pasal 18 ayat 5 Jo. Pasal 14 ayat 1 huruf c Undang-Undang Komisi Yudisial adalah menetapkan calon Hakim Agung yang dilakukan Komisi Yudisial paling lambat lima belas hari terhitung sejak seleksi kualitas dan kepribadian selesai atau berakhir. Menurut ketentuan Pasal Pasal 18 ayat 5, untuk setiap satu calon Hakim Agung Komisi Yudisial menetapkan tiga orang calon Hakim Agung. Hal ini bertujuan untuk memperoleh calon Hakim Agung yang ideal. Namun, apabila jumlah tersebut tidak terpenuhi, apakah jangka waktu pencalonan diperpanjang sampai jumlah tersebut terpenuhi Atau, apakah pencalonan dihentikan karena tidak memenuhi jumlah tersebut sampai jangka waktu yang ditentukan berakhir. 8 Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 9 Pasal 17 ayat 3 Jo. Pasal 17 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Apabila bertitik tolak dari pendekatan efisiensi dan urgensi yang dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Komisi Yudisial, maka dari segi efisiensi, proses seleksi kualitas dan kepribadian dan penetapan calon Hakim Agung harus terus dilanjutkan meskipun yang mendaftar tidak memenuhi jumlah yang ditentukan oleh Pasal 18 ayat 5 Undang-Undang Komisi Yudisial. Begitu pula dari segi urgensitas,memperpanjang pendaftaran yang digariskan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Komisi Yudisial atau mengulang pendaftaran baru berdasarkan Pasal 15 ayat 1 Undang Undang Komisi Yudisial akan mengganggu dan memperlambat pengisian jabatan Hakim Agung yang lowong dan hal ini akan mengganggu pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 5 Undang Undang Komisi Yudisial, bahwa dalam jangka waktu lima belas hari, Komisi Yudisial harus sudah menetapkan calon Hakim Agung dan mengusulkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tembusan usulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan kepada Presiden. Tahapan ini merupakan tugas terakhir Komisi Yudisial dalam proses pencalonan Hakim Agung. Tugas selanjutnya proses pencalonan Hakim Agung beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang Undang Komisi Yudisial yang menggariskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat harus menetapkan calon Hakim Agung paling lambat dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya usulan calon Hakim Agung dari Komisi Yudisial. Yang dimaksud dengan jangka waktu tiga puluh hari dalam ketentuan tersebut adalah hari persidangan tidak termasuk masa reses. Masih dalam jangka waktu tiga puluh hari tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan calon Hakim Agung yang ditetapkan tersebut kepada Presiden. Pasal 19 ayat 1 Undang Undang Komisi Yudisial tidak menentukan berapakah calon Hakim Agung yang dapat diajukan kepada Presiden. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa Komisi Yudisial menetapkan tiga orang calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat berwenang atau dapat mengurangi jumlah tersebut, Sebagai contoh, Komisi Yudisial mengusulkan tiga orang calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial untuk mengisi satu jabatan Hakim Agung yang lowong. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengurangi menjadi dua atau satu calon saja. Atau, tetap mengajukan ketiga calon tersebut kepada Presiden. Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 19 ayat 1 Undang Undang Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja mengajukan satu calon saja kepada Presiden. Namun hal ini dianggap sebagai tindakan yang bersifat fait accompli, yakni proses pencalonan Hakim Agung telah selesai atau tuntas dimana Presiden hanya tinggal menetapkan pengangkatan Hakim Agung saja. Terlepas dari tindakan tersebut bersifat fait accompli, tindakan Dewan Perwakilan Rakyat yang demikian tidak bertentangan dengan ketentua Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Komisi Yudisial. Proses selanjutnya diatur dalam Pasal 19 ayat 2 yang berbunyi: “Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 empat belas hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat ”. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 24A ayat 3 UUD 1945. Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan, dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Begitu pula Pasal 8 ayat 1 Undang Undang Mahkamah Agung menegaskan Hakim Agung diangkat oleh Presiden dari nama nama yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan Demikian gambaran pelaksanaan rekruitmen Hakim Agung yang melibatkan beberapa lembaga negara. Pendaftaran pencalonan melibatkan Komisi Yudisial pemerintah dan Mahkamah Agung. Selanjutnya melibatkan Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dari keseluruhan tahapan tersebut, diharapkan akan dapat dihasilkan Hakim Agung yang memiliki kualitas dan kepribadian yang ideal serta memiliki integritas dan profesionalisme yang solid.

B. Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim

Selain mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Pasal 24B UUD 1945 juga menggari skan bahwa Komisi Yudisial “memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Secara esensial, kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim merujuk kepada kode etik code of ethics dan pedoman perilaku Hakim code of conduct yang menjadi panduan keutamaan bagi para Hakim baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan. 10 10 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA104ASKXII 2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, h.57 Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kode etik code of ethics dan pedoman perilaku Hakim code of conduct ditegakkan, Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24B ayat 1 UUD 1945, bahwa Komisi Yudisial diberikan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial sebagai bentuk pengawasan terhadap hakim. Ketentuan tentang pengawasan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang Undang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial “Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan Peradilan di semua lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Namun, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006 tentang Uji Materil Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan rumusan Pasal 1 angka 5 tersebut. Dalam pertimbangnnya tentang hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah termasuk dalam kategori sebagai hakim yang merupakan objek pengawasan Komisi Yudisial. Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengawasan Komisi