Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat

xxxviii memfokuskan wacana tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali, Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, dan imam-imam lainnya yang memadukan antara syari’ah dan tasawuf. Ciri yang paling menonjol dari ajaran mereka adalah bahwa ajaran tasawuf harus dibangun di atas landasan syariat, tasawuf harus selalu menempel pada ketentuan syariat atau tasawuf merupakan tahap lanjut kehidupan orang-orang yang telah mantap syariatnya. Alasan perpaduan kedua unsur ini yang mendasari pilihan NU terhadap wacana tasawuf yang dikembangkan oleh imam-imam tersebut. Nahdlatul ulama dan warganya memang sangat perhatian concern terhadap tasawuf, baik secara kelembagaan maupun secara pengalaman. Hal itu dibuktikan dengan adanya badan otonom dalam NU yang bernama “Jami’iyah at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah”, juga dalam kehidupan sehari-hari seperti: Tahlilan, istighosah, wirid, tirakat dan lain-lain 45 Dengan perkataan lain, apa yang menjadi ruang lingkup dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut pada dasarnya merupakan antara nilai-nilai iman, Islam, dan ihsan. Iman menggambarkan suatu keyakinan, sedangkan Islam menggambarkan syari’ah atau fiqih, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam seseorang. 46

C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat

45 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, h. 200. 46 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 153. xxxix Nahdlatul Ulama adalah termasuk salah satu organisasi yang sepanjang perjalanan sejarahnya senantiasa mengalami perubahan orientasi. Ia lahir sebagai organisasi sosial keagamaan, namun kemudian berkembang dan menjadi lebih besar setelah terlibat aktif dalam politik praktis. Jika dicermati secara seksama, perubahan- perubahan yang dilakukan itu ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas” organisasi. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu dapat dilihat pada sejumlah kasus yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang berhubungan dengan masalah politik. Pada saat itu NU tampak sebagai organisasi yang akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada saat yang berlainan ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan. 47 Di masa awal berdirinya, NU menitikberatkan perjuangannya di bidang pendidikan, sosial dan perekonomian. Para ulama berbasis pesantren mulai berpikir mengupayakan terwujudnya sarana prasarana mendasar masyarakat agar dapat menjalankan aktivitas ritualnya dengan baik. Nahdlatul Ulama berupaya mendirikan lembaga-lembaga sosial sebagai solusi atas problem kemasyarakatan. Sedangkan di bidang pendidikan, Nahdlatul Ulama berupaya memperbanyak pendirian lembaga- lembaga pendidikan yang berbasis Islam. Pada praktiknya, NU mendorong terjadinya pembaruan pendidikan dan kerja-kerja karitatif. Sistem madrasahsekolah diperkenalkan dengan tetap melestarikan sistem pendidikan ala pesantren. Di bidang perekonomian, Nahdlatul Ulama berusaha melakukan modernisasi di bidang 47 Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 65. xl pertanian, perdagangan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mendirikan badan-badan usaha; misalnya koperasi. 48 NU menyadari sepenuhnya, baik sebagai jam’iyah maupun jama’ah, eksistensinya tidak bisa lepas dari masyarakat. Di samping mengadakan hubungan secara vertikal dengan para ulama maupun horizontal dengan masyarakat sekitar. NU memiliki sikap yang jelas dan tegas dalam berhubungan dengan masyarakat tersebut yang mendapat inspirasi dari dasar-dasar pendirian paham keagamaannya. Sikap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar . 1 Tawassuth dan i’tidal Tawassuth berarti sikap tengah atau moderat yang mencoba menengahi di antara dua kubu, pemikiran atau tindakan yang bertentangan secara ekstrem di dalam kehidupan sosial masyarakat. Sikap ini selalu menumbuhkan sikap lain yang berkaitan, yaitu sikap adil i’tidal dalam upaya mewujudkan keadilan, suatu bentuk tindakan yang dihasilkan dari berbagai pertimbangan. Oleh karena itu, NU tidak menggunakan patokan-patokan legal-formal semata dalam memberikan pemecahan terhadap suatu masalah, tetapi juga menggunakan pertimbangan-pertimbangan sosiologis, psikologis, dan sebagainya. Melalui sikap tawassuth dan i’tidal ini, NU beriktikad menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus serta selalu bersifat 48 Hilmi Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, Jakarta: Elsas 2004, Cet. Ke-1, h. 122. xli membangun dan serta menghindari segala pendekatan yang bersifat ekstrem tatharruf. NU dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran masyarakat yang heterogen latar belakangnya, baik sosial, politik, maupun budaya serta menjadi perekat untuk memperkukuh eksistensi masyarakat yang bersatu, rukun, damai yang ditopang oleh kesadaran bersama. 49 2 Tasamuh Toleran Sikap tasamuh ini berarti memberikan tempat dan kesempatan yang sama pada siapa pun tanpa memandang perbedaan latar belakang apapun. Dasar pertimbangannya murni karena integritas, kualitas dan kemampuan pribadi. Sikap tasamuh juga nampak dalam memandang perbedaan pendapat baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. NU menyadari benar bahwa orang lain tidak bisa dipaksa mengikuti pandangannya sehingga tidak perlu dihujat, dilecehkan dan dicaci maki, melainkan pandangan orang lain itu dihargai dan dihormati. 50 3 Tawazun Seimbang Sikap tawazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmah, khidmah kepada Allah Swt. habl min Allah, khidmah kepada sesama manusia habl min al- nas maupun dengan alam lingkungannya. Termasuk sikap ini adalah 49 Qomar, NU Liberal dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, h. 91. 50 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, Jakarta: PBNU, 2002, h. 18. xlii seimbang dalam menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Atas dasar sikap ini NU tidak membenarkan kehidupan yang berat sebelah, misalnya seseorang rajin beribadah tetapi tidak mau bekerja sehingga menyebabkan keluarganya terlantar. Jalinan berbagai hubungan ini diupayakan membentuk suatu pribadi yang memiliki ketaqwaan mendalam kepada Allah Swt., memiliki hubungan sosial yang harmonis dengan sesama manusia termasuk dengan non-Muslim sekalipun, dan memiliki kepedulian untuk menjaga kelestarian alam lingkungannya. 51 4 Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Nurcholish Madjid, ma’ruf sering diterjemahkan dengan arti kebaikan. Kalau kita dekati lagi dari segi bahasa itu satu akar dengan kata ‘arafa’-ya’rifu yang berarti tahu. Maka al-ma’ruf adalah yang diketahui dengan baik. Sedangkan munkar menurutnya adalah fasaad fil ardh, yaitu melakukan pengerusakan di bumi. 52 Jadi sikap amar ma’ruf nahi munkar adalah sikap yang mendorong amal perbuatan yang baik dan mencegah kemungkaran. Sikap ini sebagai realisasi dari keterlibatan NU untuk membangun masyarakat yang selalu memiliki kepekaan, keterlibatan dan tanggung jawab untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta mewujudkan upaya preventif dalam 51 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, h. 19. 52 Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Taqwa, Jakarta: Paramadina, 2005, h.134. xliii semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Amar ma’ruf nahi munkar lebih memiliki makna dan fungsi ruh keagamaan yang senantiasa memberikan motivasi, makna, arah dan kontrol agar manusia dan masyarakatnya senantiasa tetap terjaga kemartabatan dirinya. 53 Keempat kemasyarakatan NU ini selanjutnya diaktualisasikan ke dalam “lima jaminan dasar kehidupan” atau yang dikenal dalam ilmu fiqih sebagai al-Kuliyat al- Khamsah , dengan pemaknaan sebagai berikut: 1 Jaminan hak terhadap keyakinan keagamaan atau Hifzh al-Din, 2 Jaminan hak untuk hidup dan berkembang secara layak atau Hifzh an-Nafs, 3 Jaminan hak berekspresi dan berpendapat secara bebas atau Hifzh al-‘Aql, 4 Jaminan hak masa depan keturunan dan generasi yang baik serta berkalitas atau Hifzh an-Nasl , dan 5 Jaminan hak milik, harta benda, dan sejenisnya atau Hifzh al-Maal. 53 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, h. 19 xliv

BAB III WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH