Pandangan NU terhadap Azas Pancasila

lxx

BAB IV PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN

KHILAFAH ISLAMIYAH

E. Pandangan NU terhadap Azas Pancasila

Paham nasionalisme modern sekarang mengacu pada pengertian nation atau bangsa seperti, termasuk Indonesia yang dalam kebangsaannya terdiri dari beberapa suku, asal ras, bahasa daerah, budaya dan tradisi lokal, tetapi mereka menyatukan diri sebagai “Bangsa Indonesia” yang satu kesatuan Tunggal Eka di atas berbagai macam perbedaan-perbedaan Bhineka. 105 Walisongo telah mengajarkan sebuah tradisi keagamaan yang transformatif. Proses Islamisasi yang dilakukan Walisongo bukan hanya mengajak kepada masyarakat untuk masuk Islam. Akan tetapi, juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi dan juga berakar pada tradisi masyarakat setempat. Tradisi keagamaan itulah yang kini dikenal dengan sebutan “Ahlussunnah wal Jama’ah” atau Aswaja dengan kekuatan basisnya pada ulama dan pesantren. Ulama sebagai pilar keagamaan Aswaja memegang peran penting dalam menguatkan ikatan kolektifitas bangsa. Sementara pesantren dikenal sebagai pendidikan rakyat. 105 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005, Cet. Ke-3, h. 339. lxxi Tradisi inilah muncul sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tahun 1926 dengan nama Nahdlatul Ulama NU. NU dikenal sebagai organisasi ke- Islam-an yang bercorak kebangsaan. Sikap kebangsaan NU bukan hanya dari segi toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan identitas kebangsaan setelah merdeka dari kolonialisme Belanda. NU lahir karena didorong semangat kebangsaan yang tinggi. Yakni didorong oleh kepeduliannya untuk mempertahankan Islam yang ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan, yang merupakan warisan turun-menurun dalam tradisi Nusantara. 106 Sikap-sikap demikian menjadikan NU sering menerima tuduhan sebagai oportunistik, yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan pemerintah pada saat itu. Sikap NU yang demikian itu, sering kali dijadikan sasaran kesalahan bagi tidak konsistennya perjuangan Islam di Indonesia. Bagi NU tuduhan demikian tentu dinilai tidak tepat, karena NU tidak berpedoman strategi perjuangan politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahannya di mata hukum fiqih. Dalam aturan fiqih Sunni antara lain dikatakan bahwa apabila kekuasaan Kepala Negara Presiden diakui sahnya, maka ia harus dipatuhi dan ditaati, selama tidak memerintahkan hal-hal yang jelas bersifat maksiat atau durhaka kepada Allah. 107 106 Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal , Jakarta: Erlangga, 2006, h. 385. 107 Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, h. 350. lxxii Ke-Islam-an bangsa Indonesia tidaklah harus dihadapkan dengan ide bahwa negara kita berdasarkan Pancasila. Sebab, Pancasila adalah adalah ideologi bersama common platform, sebagaimana menjadi pandangan dasar tokoh-tokoh Islam seperti Teuku Muhammad Hasan, Ahmad Wahid Hasyim, ki Bagus Hadikusumo dan lain- lain merupakan prinsip-prinsip yang menjadi titik pertemuan dan persamaan antara warga negara muslim Indonesia dengan warga negara non-muslim untuk mendukung Republik Indonesia. Masalah Pancasila sebagai asas tunggal merupakan ujian nyata terhadap hubungan NU dengan pemerintah. Sebelum Munas, belum ada organisasi besar yang menerima asas tunggal. Dalam responnya terhadap gagasan penerapan asas tunggal ini, NU justru memperlihatkan sikap sangat akomodotif dan kooperatif dengan mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya. Pernyataan ini dikeluarkannya setelah musyawarah nasional di pesantren Salafiyah Syafi’iyah pimpinan KH. As’ad Syamsul Arifin di Sukorejo, Situbondo, Jawa timur, dari tanggal 13-16 Desember 1983, dengan memfokuskan perhatian di antaranya gagasan asas tunggal yang dilontarkan pemerintah pada waktu itu. Persoalan penerimaan asas tunggal Pancasila pada mulanya tidak ada persoalan. Kiai Asad Syamsul Arifin telah mempertegas penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas. Perbincangan mulai ramai ketika Kiai Siddiq yang membawakan makalah langsung memperoleh serangan. Dari jumlah 36 peserta sub-komisi khittah tentang Asas Pancasila hanya terdapat dua peserta yang lxxiii mendukung, sementara 34 peserta lainnya mengacungkan tangan dan memberi tanggapan. Alasan yang mereka kemukakan bukan semata-mata tepat waktunya atau tidak. Mereka menginginkan agar ADART tidak diubah. Sebab mengubah apa yang telah diciptakan oleh ulama terdahulu dikhawatirkan terjadi kehancuran golongan Ahlussunnah wal Jama’ah . Ada pula yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal karena Pancasila bersifat nasionalis sedangkan Islam tidak demikian, karena itu asas Islam tidak bisa diganti oleh asas Pancasila. 108 Selain mendiskusikan tentang rencana kebijakan asas tunggal yang hendak diberlakukan oleh pemerintah, pertemuan ulama NU di Situbondo ini berhasil mengeluarkan deklarasi tentang hubungan Islam dengan Pancasila sebagai berikut: 109 5. Pancasila, sebagai dasar dan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah bukan agama; ia tidak dapat menggantikan agama dan juga tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; 6. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, menjiwai sila-sila yang lain dan mencerminkan jiwa tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam; 7. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam merupakan akidah dan syari’ah yang meliputi aspek hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia; 108 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992, Cet. Ke-1, h. 144-146. 109 Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat keagamaan, 2002, h. 96-97. lxxiv 8. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syari’at agamanya; 9. Sebagai konsekuensi logis dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan juga mengamankan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. Deklarasi di atas inilah yang dipergunakan oleh elite politik dan ulama NU sebagai dasar justifikasi doktrinal teologis keagamaannya dalam menerima asas tunggal. Realitas historis ini terletak pada kenyataan bahwa salah seorang tokoh perumus Pancasila adalah KH. Ahmad Wahid Hasyim seorang figur penting NU. Atas dasar argumen-argumen sebagaimana tersebut di atas, NU melihat Pancasila bisa diterima Umat Islam sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena ia tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Penerimaan NU terhadap Pancasila bukan semata-mata karena situasi, penerimaan itu benar-benar dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan dan pemahaman NU terhadap sejarah. Dalam pemahaman keagamaan NU terhadap suatu nilai di dalam masyarakat, sepanjang nilai tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Maka, nilai tersebut mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan Islam. Dalam pandangan NU, Islam itu bersifat menyempurnakan sehingga bila ada sesuatu yang baik di dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Islam maka ia termasuk kategori Islami. Apalagi sila pertama dari Pancasila, yang menjiwai sila-sila lainnya dipandang mengandung nilai-nilai kehidupan. Di pihak lain, Pancasila yang digali dan dipilih merupakan kristalisasi lxxv dari nilai luhur kebudayaan Indonesia. Termasuk kebudayaan Islam yang dianut dan dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. 110

F. Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik