xviii
BAB II SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA
A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama NU adalah organisasi sosial keagamaan Jam’iyah Diniyah Islamiyah
yang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah Aswaja.
13
Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M, atau 16 Rajab 1334 H.
14
Nahdlatul Ulama yang berarti “kebangkitan para ulama” oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul
Wahab Hasbulllah, sebagai wadah mempersatukan diri dan langkah di dalam tugas memelihara, melestarikan, mengemban dan mengamalkan ajaran Islam ‘Ala
Ahlisunnah Wal jama’ah dan ‘Ala Ahadil Mazhabil Arba’ah dalam rangka
mewujudkan Islam sebagai rahmat alam semesta.
15
Di samping itu, Nahdlatul Ulama didirikan untuk mewakili kepentingan para kyai tradisionalis yang posisinya terancam dengan munculnya Islam reformis
Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang semakin meluas sehingga memarginalisasikan kyai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan
juru bicara komunitas Muslim. Nahdlatul Ulama juga bertujuan untuk vis-à-vis
13
Paham Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi digunakan oleh NU dalam hal aqidah. Badrun Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000, Cet. Ke-1, h. 2.
14
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992, Cet. Ke-1, h. 1.
15
Aceng Abdul Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama
, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007, Cet. Ke-2, h. 124.
xix pemerintahan Kolonial dan juga kaum pembaharu serta menghambat perkembangan
organisasi-organisasi yang telah ada. Pendapat ini dikemukakan beberapa penulis seperti Benda, Wetheim dan Geertz.
16
Pada tahun 1908 ketegangan timbul antara kalangan tradisional dan modernis sebagian karena perbedaan yang menajam antara taqlid dan ijtihad,
17
sebagian lagi karena perkembangan di Jazirah Arab yang waktu itu dikuasai Ibnu Saud 1880-
1953. Dia menaklukkan tanah suci dan segera meruntuhkan kuburan dan tanda-tanda kramat yang ada di sana. Kondisi ini berimbas ke tanah air dengan tersiar kabar
bahwa di Indonesia praktik bermazhab akan dilarang karena dianggap bid’ah. Untuk mempertahankan dari paham para pembaharu di negeri sendiri, golongan tradisional
Islam di Jawa sepakat mendirikan Nahdlatul Ulama. Hanya saja, kemenangan kalangan Wahabi di tanah Arab merupakan sebab langsung berdirinya NU.
18
Di sisi lain, berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dan perkembangan gagasan-gagasan yang muncul di kalangan ulama pada perempat
pertama abad 20. Kelahirannya diawali dengan Nahdlatul Tujjar 1918 yang muncul sebagai lambang ekonomi pedesaan, disusul dengan munculnya Tashwirul Afkar
1922 ─dikenal juga dengan sebutan “Nahdlatul Fikri kebangkitan pemikiran”─
sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan Nahdlatul Wathan 1924 merupakan
16
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru Yogyakarta: LKiS, 1997, Cet. Ke-1, h. 26.
17
Andre Feillard, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LK
iS, 1999, Cet. Ke-1, h. 6-7.
18
Delian Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Bandung: Mizan, 1999, Cet. ke-2, h. 15.
xx gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian, bangunan NU didukung
tiga pilar utama yang bertumpu pada kesadaran keagamaan paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
.
19
Sebelum berdirinya ketiga organisasi tersebut yang sering disebut cikal bakal berdirinya NU, sebenarnya K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah
pada waktu tinggal di Makkah pernah mendirikan semacam “paguyuban” yang anggotanya terdiri dari kaum Nahdliyin yang sedang juga bermukim di Makkah.
Tujuan paguyuban tersebut adalah tolong-menolong dan saling membantu dalam hal keuangan, ekonomi dan belajar. Dan jauh sebelum organisasi itu berdiri, telah
tersedia basis sosial dan basis masa berdirinya NU. Mereka terdiri dari masyarakat yang berpaham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang terkumpul di dalam pesantren,
kelompok pengajian, kelompok tahlilan, dan kelompok haul.
20
Pada bulan Januari 1926, sebelum kongres al-Islam di Bandung, ada suatu rapat antar organisasi pembaharu di Cianjur memutuskan untuk mengirim delegasi
yang terdiri dari dua orang ke Makkah. Satu bulan kemudian dalam kongres al-Islam usulan K.H. Wahab Hasbullah agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktek
keagamaan yang dibawa oleh delegasi Indonesia, tetapi usulan tersebut tidak disambut dengan baik oleh peserta kongres. Penolakan itu, dalam pandangan kaum
modernis memang masuk akal karena sebagian dari mereka menyambut baik
19
Muajmil Qomar, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, Bandung: Mizan, 2002, Cet. Ke-1, h. 31.
20
Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, h. 23.
xxi pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi. Hal ini telah
menyebabkan kaum tradisionalis semakin terpojok sehingga mereka memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, yakni membuat
sebuah komite yang dikenal dengan sebutan “Komite Hijaz” untuk mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Saud. Untuk mempermudah tugas ini, pada tanggal 31 Januari
1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis yang diberi nama “Nahdlatul Oelama NO”. Menurut Aula yang dikutip
Andrée Feillard, Muktamar pertama NU baru diadakan bulan Oktober 1926 dan pengiriman delegasi tradisionalis ke Makkah dilakukan dua tahun kemudian. Pada
Muktamar ke-3 tahun 1928, NU menetapkan Anggaran Dasar Statuen untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda, namun pengakuan akhirnya baru
diterima pada tanggal 6 Februari 1930. Anggaran Dasar ini tidak menyebut hubungan dengan Hijaz yang merupakan “janin” berdirinya NU. Ia menyebutkan dengan sangat
eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah
.
21
Pada awal pembentukan NU, Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Am, dan Ahmad Dahlan sebagai wakilnya sedangkan Wahab Hasbullah menduduki posisi
tertinggi ketiga sebagai Katib Syuriah. Demikianlah Wahab Hasbullah dan Hasyim Asy’ari tampil pada peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan
dalam keberhasilan membentuk NU. Wahab Hasbullah menawarkan konsep dan
21
Feillard, NU Vis-à-vis Negara; Pencarian, Isi, Bentuk dan Makna, h. 11-13.
xxii kemampuan berorganisasi sedangkan Hasyim Asy’ari memberikan legitimasi
keagamaan.
22
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Dalam perjalanan sejarahnya NU pernah bergabung dengan Ormas Islam lain
dan melebur ke dalam satu wadah partai politik Islam yaitu partai Masyumi Majelis Syura Muslimin Indonesia pada tahun 1947, yang kemudian disusul oleh NU lima
tahun kemudian 1952. Setelah keluar dari Masyumi, NU kemudian menyatakan diri sebagai partai
politik Nahdlatul Ulama. Dengan demikian telah berlangsung suatu perubahan yang drastis pada diri NU yaitu dari gerakan ide dan pemikiran atau sosial keagamaan
menjadi gerakan politik. Sejak saat itu politik bagi NU menjadi tumpuan segalanya. Sedangkan wilayah garapan sebelumnya seperti agama, pendidikan dan sosial
hanyalah disubordinatkan atau dicangkokkan kepada politik. Ini terlihat dari cara tempuhnya yang paling mudah yaitu merubah nama Jam’iyah NU menjadi partai
politik NU. Perubahan tersebut dilakukan mulai dari tingkat PBNU sampai ke tingkat ranting.
23
Gerakan politik tersebut memperoleh dukungan dari lingkungan eksternal NU, yaitu Presiden Soekarno dengan sistem politik yang dibangunnya, yang
menjadikan politik sebagai “Cultural Focus” atau panglimanya. Pada saat itulah NU
22
Greg Fealy dan Greg Barton ed, Tradisonalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara
, Yogyakarta: LkiS, 1996, Cet. Ke-1, h.10-11.
23
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. Ke-1, h. 119.
xxiii boleh dikatakan sukses dalam bidang politik, dimana kepemimpinan umat Islam di
Indonesia yang biasannya dipegang oleh Masyumi telah bergerak ke Nahdlatul Ulama. Tetapi dibalik kesuksesan tersebut sebenarnya berlangsung pula proses
perubahan yang menyangkut pada tiga hal yang prinsipil, yang dalam perkembangannya merugikan NU sendiri. Tiga hal tersebut adalah: Pertama,
kepemimpinan para ulama yang tercermin dalam lembaga Syuriah telah mengalami perubahan. Disadari atau tidak, kepemimpinan NU yang seharusnya berada di tangan
Syuriah telah diambil oleh Tanfidziyah yang terdiri dari para politisi. Kedua, sejalan
dengan hal yang pertama, maka pimpinan Syuriah telah disubordinasikan kepada kepentingan politik. Ketiga, terjadi perubahan pandangan terhadap organisasi yang
sejak awalnya dipandang sebagai segala-galanya, karena hanya organisasilah kepentingan seseorang atau kelompok akan tercapai. Secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa pada periode ini telah terjadi waktu yang tingkat kesuksesan politik paling optimal saat itu. Dan pada saat itu pula, telah terkandung benih-benih
kerusakan di tubuh organisasi NU sendiri.
24
Setelah melalui fase tersebut, termasuk di dalamnya adanya intervensi dari Orde Baru saat itu, Pemerintahan Soeharto menerbitkan kebijakan fusi partai sebagai
upaya menata kehidupan politik Ali Moertopo sebagai pimpinan yang merancang kekuatan menjadi tiga partai saja. NU Parmusi, PSSI dan Perti memfusikan dirinya
24
Lampiran Khittah NU, Dasar-dasar Paham Keagamaan NU, dalam Implementasi Nahdliyah Menuju Indonesia Mutamaddin
, yang diterbitkan oleh panitia muktamar NU ke XXX di Surabaya, Jakarta: Fatma Press, 1999, Cet. Ke-1, h. 4.
xxiv ke dalam satu partai yaitu PPP Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan PNI,
Partindo, IPKI, Partai Katholik dan Murba memfusikan ke dalam PDI Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 Februari 1973. Semua itu dilakukan atas
desakan pemerintah untuk melaksanakan program penyederhanaan partai politik. Selama 10 tahun di dalam PPP tidak banyak yang dilakukan oleh NU dan sering kali
dirugikan. Seperti kita ketahui NU adalah partai terbesar di dalam PPP. Menurut hasil pemilu 1971, NU mendapat 58 kursi, PSII 10 kursi, Perti 2 kursi dan Parmusi 24
kursi, sedangkan Golkar sendiri memperoleh 226 kursi. Maka muncullah kesadaran pada NU, untuk memfungsikan kembali organisasi ini seperti pada awalnya ia
didirikan. Dari sinilah tersusun Khittah 1926.
25
Munas yang digelar pada tahun 1983, mempertegas hubungan NU dan partai politik. NU telah bersiteguh untuk keluar dari partai politik PPP dan menjadi
organisasi sosial keagamaan. Hal penting yang dicatat dalam Munas ini adalah sebagai berikut:
“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama
bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan
dengan akhlaqul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat. Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang
menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab.”
26
25
Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, h. 103.
26
Ibid, h. 127-128.
xxv Dengan diterimanya rumusan fundamental dan ideal di atas, maka segera
diadakan Muktamar di Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8-12 Desember 1984 yang menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu:
27
1 Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.
2 Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supremasi
Syuriah dan Tanfidziyah dalam status hukum. 3
Penarikan diri dari ‘politik praktis’ dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik.
4 Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan
pada bidang-bidang non-politik. Dengan diputuskannya Khittah NU 1926, ini merupakan kilas balik NU
menjelaskan identitas dirinya kembali sebagai organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan yang tidak masuk dalam sekat politik praktis tertentu. Reposisi NU ini,
mejadikannya sebagai bagian dari kelompok gerakan yang berupaya melakukan pemberdayaan warganya baik dalam persoalan pendidikan, dakwah, penyadaran
politik, peningkatan ekonomi, pemikiran dan lainnya yang mengusung terjadinya masyarakat yang berdaya dalam berbagai aspek kehidupan.
Pada masa reformasi, para kyai, ulama dan tokoh-tokoh NU yang mengadakan pertemuan di Rembang di Pondok Pesantren pimpinan K.H. Chalil Bisri
sepakat untuk mendirikan sebuah partai untuk warga NU. Partai tersebut diberi nama
27
Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 245.
xxvi “Partai Kebangkitan Umat”. Dalam perkembangan selanjutnya partai tersebut yang
direstui oleh PBNU, diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa PKB. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur waktu itu sebagai ketua umum PBNU
memandang gagasan ini adalah sah-sah saja sebagaimana sahnya kelompok lain untuk mendirikan partai bagi kelompoknya, asal partai tersebut tidak
mengatasnamakan NU. Walaupun NU telah memutuskan untuk berkonsentrasi pada bidang garapan
sosial keagamaan sesuai dengan kembalinya ke Khittah 1926, namun godaan- godaan politik selalu datang menerpanya. Godaan dan politik ini datang dari dua
arah. Pertama, dari partai-partai politik yang mempunyai kepentingan terhadap NU dan massa NU yang besar untuk mendukung kepentingan partai politik tadi. Kedua,
dari tokoh-tokoh NU sendiri yang berkiprah di berbagai politik dengan cara menggiring NU dan massanya untuk mendukung kepentingan politik mereka. NU,
secara langsung maupun tidak langsung, akan selalu terkena dampak politik. Sebab, banyak tokoh NU yang secara aktif terjun sebagai politisi di berbagai partai politik.
28
B. Karakteristik Paham Keagamaan