liii
C. Pengertian Khilafah Islamiyah
Sebelum menguraikan definisi tentang khilafah, penulis merasa perlu untuk memetakan beberapa kandungan al-Qur’an yang berkaitan dengan khilafah terlebih
dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dasar-dasar normatif-teologisnya. Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga derivasi yang digunakan untuk kata
khalifah. 1.
Dalam bentuk tunggal: Khalifah ☺
⌧
⌧ ⌧
☺ ☺
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi. mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?
Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Q.S. Al-Baqarah: 30. ⌧
⌧ ⌧
☺
Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah penguasa di muka bumi, Maka berilah Keputusan perkara di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
liv Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Q.S. Shaad: 26
2. Dalam bentuk jamak: Khulafa’
⌧
Artinya: “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti- pengganti yang berkuasa sesudah kaum Aad dan memberikan
tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah- tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk
dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”
Q.S. Shaad: 74 ☺
⌧ ⌧
⌧
Artinya: “Atau siapakah yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan, apabila ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu manusia sebagai khulafa’ di bumi…”
Q.S. An-Naml: 62 3.
Dalam bentuk Jamak Kasrat
71
: khalaif
71
Bentuk ini digunakan untuk konotasi kuantitatif tak terbatas, Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an
, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. Ke-2, h. 111.
lv ⌧
☺ Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti mereka di
muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.”
Q.S. Yunus: 14 ☺
⌧ ⌧
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi
barang siapa yang kafir, maka akibat kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang yang kafir itu tidak lain
hanyalah akan menambah kemakmuran pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka.”
Q.S. Fathir: 39
⌧ ⌧
⌧ ⌧
Artinya: “Lalu mereka mendustakan Nuh, maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan
mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang- orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.”
Q.S. Yunus: 73 Dari ayat di atas, kata khalifah
ﺔ ﺧ
dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 dan Q.S. Shad [38]: 26 dihubungkan dengan Nabi Adam dan Nabi Daud yang diciptakan dan
diutus Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Khusus yang berkaitan dengan Nabi Daud, Dien Syamsuddin menyatakan bahwa konsep khalifatullah membawa
lvi implikasi makna yang bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap manusia.
72
Sedang khulafa’ dalam Q.S. al-‘Araf [7]: 69 dan 74, dan Q.S. an-Naml [27]: 62, dipergunakan dalam konteks pembicaraan orang-orang kafir. Sementara khalaif
ﺧ ﺋ
dalam Q.S. Yunus [10]: 14 dan 73; Q.S. al-An’am [6]: 165; Q.S. Fathir [35]: 39, menurut Abdul Muin Salim, dipergunakan dengan merujuk kepada umat manusia
pada umumnya dan orang-orang beriman pada khususnya.
73
Khalifah
ﺔ ﺧ
atau khalaif
ﺋ ﺧ
memiliki pengertian yang berbeda,
74
terdapat tiga pengertian: 1 pengganti, 2 pemimpin, dan 3 penguasa. Kata khalifah
—yang berakar kata khalafa— mengandung kata dasar lain: menggantikan, mengikuti, datang kemudian. Menurut Dien Syamsuddin, khalifah
ﺔ ﺧ
dalam al- Qur’an menunjukkan arti “pengganti” atau “wakil”, seperti dalam ungkapan
khalifatullah fi al-ardl wakil Tuhan di bumi.
75
Baik dalam arti “pengganti”, “wakil Tuhan”, dan “penguasa”, kata khalifah
ﺔ ﺧ
melahirkan beberapa kecenderungan penafsiran. Di satu pihak ada yang menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian khalifah
ﺔ ﺧ
tertuju kepada manusia secara keseluruhan tanpa ada kaitannya dengan politik. Sementara di pihak
lain, pengertian itu terkait erat dengan kekuasaan politik yang terwujud dalam bentuk
72
Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.,h. 80.
73
Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an.,h. 110.
74
Bentuk jamak lainnya adalah khawalif “wakil-wakil”. M. Said Syaikh, Kamus Filsafat Islam
, Jakarta: Rajawali Press, 1991, Cet. Ke-1, h. 67.
75
M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 78.
lvii lembaga kekuasaan negara. Berikut ini beberapa kecenderungan penafsiran dan
argumentasinya masing-masing: Menurut Dawam Raharjo, khalifah
ﺔ ﺧ
yakni kepala negara dalam pemerintahan Islam, memang merupakan istilah al-Qur’an. Tetapi dalam al-Qur’an
kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karena itu, ayat-ayat yang mengandung pengertian kata khalifah
ﺔ ﺧ
tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah
ﺔ ﺧ
atau kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan suatu konsep tentang manusia, yaitu
sebagai khalifah
ﺔ ﺧ
. Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini pada intinya adalah
tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.
76
Al-Qur’an Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 menyebut perihal Nabi Adam AS. sebagai perwujudan dari fitrah atau sifat primordial dan sebagai khilafah Allah di
muka bumi. Dengan demikian, manusia pada dasarnya berposisi sebagai khilafah Allah Swt. Hal yang sama juga terjadi pada Nabi Muhammad Saw. Di satu sisi
Muhammad Saw adalah khalifah penerus fungsi kekhalifahan yang pertama kali diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Adam AS. Di kemudian hari, beberapa
sahabat juga mengklaim gelar ini setelah Muhammad Saw. wafat. Bahkan lebih jauh
76
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,
Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. Ke-1, h. 363-364.
lviii para sahabat mengaku sebagai wakil pengganti dan menjalankan fungsi sebagai
pimpinan spiritual dan sekaligus sebagai penguasa temporal sebuah pemerintahan Islam.
77
Senada dengan pendapat Dawam, Nurcholis Madjid juga mengemukakan pendapat yang sama. Dengan ide “sekularisasi” -nya, ia berpendapat bahwa peran
kekhalifahan manusia, dimana ia sebagai pengganti Tuhan di bumi, mengandung arti bahwa segala urusan bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Pemberian beban
kekhalifahan kepada manusia ini didasari dengan pertimbangan bahwa manusia memiliki daya intelektualitas, akal dan pikiran. Dengan daya rasio itulah, manusia
mengembangkan diri di dunia ini. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan sekularisasi adalah memecahkan dan memahami masalah duniawi ini, dengan
mengerahkan kecerdasan atau rasio.
78
Adapun khalifah yang sering digunakan dalam suatu konteks lembaga kepemimpinan berarti: 1 penggantian terhadap Rasulullah saw. dalam upaya
menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan-urusan dunia; 2 suatu lembaga kekuasaan yang menjalankan tugas Rasulullah saw. untuk memelihara,
77
Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. Ke-1, h. 208- 209.
78
Nurcholis Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998, Cet. Ke-11, h.228-229.
lix mengurus, mengembangkan dan menjaga agama serta mengatur urusan duniawi
umat; 3 kepemimpinan atau pemerintahan.
79
Berkaitan dengan pengertian bahwa khalifah adalah suatu lembaga kekuasaan yang menjalankan tugas Rasulullah saw., Abul ‘Ala al-Maududi menyatakan doktrin
tentang khalifah yang disebut dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa segala sesuatu di atas bumi ini, hanyalah karunia Allah Swt.
80
Menurut Maududi, bentuk pemerintahan yang benar adalah adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan
Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepda keduanya dan meyakini bahwa
khilafahnya itu mewakili sang-hakim yang sebenarnya, yaitu Allah Swt.
81
Sementara Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa khalifah berarti “memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik untuk soal-soal
keakhiratan maupun soal-soal keduniawian. Sebab dalam pandangan pembuat undang-undang, semua soal keduniaan, harus dihukumi dari segi kepentingan hidup
akhirat.
82
Peranan manusia dalam berinteraksi menerapkan metodologi khilafah.
79
M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995, Cet. Ke-2, h. 60.
80
Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam,
Bandung: Mizan, 1994, Cet. Ke-4, h. 64..
81
Ibid, h. 63.
82
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, Cet. Ke-2, h. 234.
lx Menurut Abdul Majid an-Najar, mengacu pada wahyu ilahi dan akal kemanusiaan,
yaitu nash petunjuk-petunjuk wahyu dan ‘aqli peranan akal.
83
Beberapa pandangan di atas menunjukkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa konsep khilafah dalam al-Qur’an tidak ada hubungannya dengan khilafah
dalam arti lembaga kekuasaan politik. Sementara di sisi lain, berpendapat sebaliknya, bahwa peran kekhalifahan manusia dalam mengatur segala urusan —agama dan
dunia akan tercapai jika ditegakkan dengan kekhalifahan yang bersandar pada wahyu Ilahi.
D. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah