Karakteristik Paham Keagamaan SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA

xxvi “Partai Kebangkitan Umat”. Dalam perkembangan selanjutnya partai tersebut yang direstui oleh PBNU, diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa PKB. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur waktu itu sebagai ketua umum PBNU memandang gagasan ini adalah sah-sah saja sebagaimana sahnya kelompok lain untuk mendirikan partai bagi kelompoknya, asal partai tersebut tidak mengatasnamakan NU. Walaupun NU telah memutuskan untuk berkonsentrasi pada bidang garapan sosial keagamaan sesuai dengan kembalinya ke Khittah 1926, namun godaan- godaan politik selalu datang menerpanya. Godaan dan politik ini datang dari dua arah. Pertama, dari partai-partai politik yang mempunyai kepentingan terhadap NU dan massa NU yang besar untuk mendukung kepentingan partai politik tadi. Kedua, dari tokoh-tokoh NU sendiri yang berkiprah di berbagai politik dengan cara menggiring NU dan massanya untuk mendukung kepentingan politik mereka. NU, secara langsung maupun tidak langsung, akan selalu terkena dampak politik. Sebab, banyak tokoh NU yang secara aktif terjun sebagai politisi di berbagai partai politik. 28

B. Karakteristik Paham Keagamaan

Kata ahlu al-sunnah wa al-jama’ah terdiri dari tiga suku kata, yaitu ahl yang berarti kelompok atau golongan; sunnah yang berarti sunnah Nabi atau hadits; dan 28 Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta: Departemen Agama RI, 2004, Cet. Ke-1, h. 54. xxvii jama’ah yang berarti mayoritas. 29 Jadi, secara harfiah Ahlussunnah wal Jama’ah berarti penganut Sunnah Nabi Muhammad dan jama’ah sahabat-sahabatnya. Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jamaah ini sudah banyak dipakai sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal Jamaah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syiah, Khawarij, Murjiah dan Mutazilah. Istilah Aswaja Ahlussunnah wal Jama’ah bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda. Yang pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan Counter- discours terhadap membiaknya paham Muktazilah di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yaitu Abu Hasan al- Asy’ari di Basrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Dari kedua pemikir- tokoh ini, secara bersama-sama bersatu membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh dan pengikutnya. Bahkan, hal ini menjadi mainstream arus utama pemikiran keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan, atau yang sering dinisbatkan dengan sebutan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang kemudian populer disebut Aswaja. Kedua, istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, 29 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam Jakarta: Kencana, 2003, Cet. Ke-I, h. 17. xxviii terutama didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, at- Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah. 30 Sejak awal berdirinya NU menegaskan diri sebagai jam’iyyah yang merupakan penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersumber pada: Al-Qur’an, as- Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash dengan masalah yang telah ada ketentuan hukumnya dalam nash karena adanya persamaan motif hukum antara kedua masalah. 31 Seperti pada umumnya, NU memahami hakekat Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits berikut: ﺋاﺮ إ نإ ث ﺛ ﻰ ا قﺮ و ًﺔ و ﺛ ﻰ ﻗﺮ اﻮ ﺎﻗ ًةﺪ او ًﺔ إ رﺎ ا ﻬ آ ًﺔ و : ؟ﷲا لﻮ ر ﺎ ه و لﺎﻗ : ﺎ ﺻاو ﺎ ا ﺎ . يﺬ ﺮ ا اور Artinya: “Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah firqah dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang beri’tiqad sebagai peganganku i’tiqadku dan pegangan-pegangan sahabatku”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 32 30 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 61-62. 31 Marijan, Quo Vadis NU, h. 21. 32 Imam Tirmizi, Shahih at-Tirmizi, Kairo: Maktabah al-Mashriyyah, 1931, Jil.VII, Juz 13, h. 109. xxix ﻰ ًةﺪ اﻮ ًًﺔﻗﺮ و ث ﺛ ﻰ ﻰ ا قﺮ ﺪ ﺪ ىﺬ او ﻗ رﺎ ا ﻰ نﻮ و نﺎ ﺛو ﺔ ﺠ ا : لﺎﻗ ؟ﷲا لﻮ ر ﺎ ه : ﺔ ا ها ﺔ ﺎ ﺠ او . ﻰ اﺮ ﻄ ا اور Artinya: Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka. Bertanya para sahabat: “Siapakah firqah yang tidak masuk neraka itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah Wal- Jama’ah”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani 33 Dalam kajian Ilmu kalam, masalah firqah pengelompokan yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dalam masalah akidah atau ushuluddin, bukan dalam masalah fiqhiyah furuiyah maupun masalah-masalah ijtimaiyah. Meskipun demikian ada implikasinya keterkaitannya dengan masalah-masalah di luar akidah. Sebagai contoh, Syiah yang meyakini supremasi kepemimpinan pada keturunan Nabi Muhammad saw. menganggap bahwa para imam mereka itu mashum tidak bisa salah, ini jelas dapat berpengaruh pada ijtimaiyah, utamanya masalah politik dan pemerintahan. Juga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sanadnya bersumber dari ahlul bait lingkungan internal keluarga Nabi saw., padahal sebagian hadits justru dari sumber-sumber di luar ahlul bait. Akibatnya akan banyak berpengaruh dalam pandangan fiqihnya. Tapi sering kali di lingkungan Nahdliyin, terdapat pernyataan-pernyataan yang menggunakan masalah khilafiyah fiqhiyah perbedaan masalah fiqih sebagai seseorang itu Ahlussunnah atau bukan. Misalnya, orang yang membaca qunut pada shalat Subuh itu Ahlussunnah, dan kalau tidak itu 33 Syaharstani, al-Milal wa an-Nihal, Kairo: Maktabah al-Halabi, 1968, Juz I, h. 11. xxx bukan Ahlussunnah. Atau mengatakan: Orang yang tarawihnya 20 rekaat itu ahlusunnah, sedangkan yang tarawihnya 8 rekaat itu bukan. Pernyataan seperti itu, jelas tidak valid tidak tepat dan di luar konteks ahlusunnah, karena hal tersebut masuk dalam kajian Madzâhib Fiqhiyah, bukan masalah ushuluddin. 34 Dalam memahami dan menafsirkan Islam, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan menggunakan cara bermazhab. Hal ini ditegaskan dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang 1979 sebagai berikut: Nahdlatul Ulama bertujuan a. Menegakkan syari’at Islam menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, ialah ahli mazhaibil arba’ah Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali; b. Mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah Wal- Jama’ah dalam masyarakat. 35 Anggaran Dasar NU sebagai berikut, “Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniah Islamiyah menurut paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: 1 Bidang Akidah Kalam Kata akidah merupakan masdar infinitif dari kata kerja ‘aqada yang berarti “ikatan”. Dalam Islam akidah dimaknakan sebagai keyakinan-keyakinan dasar Islam yang harus diyakini oleh setiap muslim. Secara umum keyakinan- keyakinan itu terbagi kepada tiga kelompok, yaitu: 34 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005, Cet. Ke-3, h. 8. 35 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama , h. 7. xxxi a. Pengenalan terhadap sumber keyakinan ma’rifat al-mabda’, yaitu keberadaan Tuhan. b. Pengenalan terhadap hal-hal yang dijanjikan akan keberadaannya ma’rifat al-ma’ad yaitu keberadaan hari kiamat, surga, neraka, shirat, mizan , takdir dan lain-lain. c. Pengenalan terhadap penyampai ajaran-ajaran agama ma’rifat al- wasithah , yaitu keberadaan Nabi dan Rasul, kitab suci, malaikat. Ketiga bidang ini harus diyakini keberadaannya, kemudian dinyatakan dalam bentuk ungkapan dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, akidah atau keimanan sangat menentukan posisi seorang muslim. Akidahlah yang membedakan seorang muslim dan kafir, seorang yang mengesakan Tuhan muwahhid dan menyekutukan Tuhan musyrik. 36 Dalam bidang akidah kalam, NU mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Mereka dikenal sebagai pelopor Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Al-Asy’ari adalah pengikut Mazhab Syafi’i, sedangkan Al-Maturidi sebagai pengikut Mazhab Hanafi. 37 Dalam pemikiran kalamnya Asy’ari mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli taqdim al-naql ‘ala al-‘aql, sedangkan Maturidi sebaliknya, mendahulukan dalil aqli daripada naqli taqdim al-‘aql ‘ala al-naql. Paham Ahlussunnah wal Jama’ah menempatkan nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai 36 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam Jakarta: Kencana, 2003, Cet. Ke-I, h. 37. 37 Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2003, Cet. Ke-25, h. 3. xxxii otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang kemudian dijadikan sebagai alat bantu untuk memahami nash tersebut. 38 2 Bidang Syariah atau Fiqih Syariah atau fiqih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan dengan kegiatan ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam berhadapan dengan Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam. Adapun muamalah merupakan bentuk kegiatan ibadah penghambaan kepada Allah atau pengamalan ajaran agama yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia sesamanya secara horizontal habl min an-nas. Di bidang syariah atau fiqih, warga Nahdlatul Ulama berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya saja untuk memahami dua sumber utama Islam tersebut, menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak semua orang akan dapat menerjermahkan dan memahami secara langsung. Sebagaimana diketahui, kebanyakan nash al-Quran maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip- prinsip ashl; ushul masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode 38 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 150-151. xxxiii pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi cabang-cabangnya far; furu. Di kalangan ulama-ulama Nahdliyin untuk melakukan penetapan suatu hukum diperlukan istinbat bukan menggunakan istilah ijtihad yang tidak semua orang mampu melakuknnya, karena dalam prakteknya para ulama telah melakukan aktifitas ijtihad secara kolektif dalam menetapkan pilihan hukum dari pendapat para ulama mazhab yang mereka jadikan pedoman walaupun dalam kajian fiqih dan ushul fiqih kedua istilah antara ijtihad dan istinbat tersebut tidak banyak berbeda. Itulah sebabnya mengapa kaum Ahlussunnah wal Jamaah, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agamanya menjadi penting. Mazhab yang digunakan NU adalah mazhab empat, yaitu mazhab fiqih terbesar yang dirintis oleh imam mazhab, yakni para mujtahid mutsaqil yang masing- masing mempunyai konsep metodologi nadhrah manhajiah sendiri, melahirkan fatwa-fatwa masalah fiqih yang relatif lengkap, dan kesemuanya ditulis secara sistematis menjadi karya tulis yang dapat dipelajari dan dikaji oleh para pengikutnya dan orang lain yang berminat. Para imam Mazhab Empat tersebut adalah: 39 pertama, Imam Abu Hanifah Numan bin Tsabit, lahir pada tahun 80 H. dan wafat tahun 150 H. di Bagdad. Imam Abu Hanifah berdarah Persia, digelari al-Imam al-Adhom, menjadi tokoh panutan di Irak, penganut aliran ahli rayu dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara metodologimanhaj istinbatnya yang terkenal adalah al-Istihân. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama 39 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, h. 121-123. xxxiv mazhab Hanafi, ditulis dua orang murid utamanya, yaitu Imam Abu Yusuf bin Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Kedua, Imam Malik bin Anas, lahir pada tahun 93 H. dan wafat tahun 179 H. di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai Imam Ahl al-Madinah. Imam Malik seorang ahli hadits yang sangat terkenal, sehingga kitab monumentalnya yang dinamai al-Muwatha dinilai sebagai hadits hukum yang paling sahih, sebelum adanya Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Imam Malik mempunyai konsep manhaj istinbat yang berpengaruh sampai sekarang, yaitu: al-Maslahah al-Mursalah . Ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafii, lahir pada tahun 150 H. di Ghozza dan wafat pada tahun 204 H. di Mesir. Imam Syafii mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara ahl al-hadits dan ahl al-rayu, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan di Bagdad. Metodologi istinbatnya ditulis menjadi buku pertama dalam ushul fiqih, yakni al-Risalah. Pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa fiqih Imam Syafii ada dua macam: a al-Qaul al-Qadîm yang disampaikan selama berada di Bagdad dan b al-Qaul al-Jadîd yang disampaikan setelah berada di Mesir, pendapat ini terhimpun dalam kitab al- Um . Dan keempat, Imam Ahmad bin Hanbal, lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H di Bagdad. Imam Ahmad terkenal sebagai tokoh ahl al-hadits. Beliau adalah seorang murid Imam Syafii selama di Bagdad dan sangat xxxv menghormati kepada Imam Syafii. Beliau mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hukum-hukum Islam, yakni Musnad ibn Hanbal. Fiqih menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat NU, baik kerangka teoritisnya ushul al-fiqh maupun kaidah-kaidah fiqih qawaid al- fiqhiyyah . Segala perilaku sehari-hari, selalu dilihat berdasarkan kacamata fiqih. Perhatian yang begitu besar terhadap fiqih sesungguhnya merupakan wujud dari adanya sikap hati-hati yang sangat kuat di kalangan warga NU. 40 Tidak aneh apabila para pendiri NU mengambil sikap bijksana atas dasar moderatnya tawasuth, yakni memadukan antara visi ahlu hadits dan visi ahlu rayu dengan memilih Mazhab Empat sebagai rujukan pemahaman dan pengalaman hukum fiqihnya. Dengan demikian ditegaskan sebagai Qanun Asasi Peraturan Dasar dalam NU sampai sekarang. Hanya saja dalam praktek dan realitas yang berlaku dalam komunitas Nahdliyin, mulai dari ulama-ulama pesantren sampai ulama-ulama struktural NU Syuriyah sampai dengan kaum awam warga Nahdliyin, 99 mengikuti mazhab Syafii, atau lebih tegasnya sebagai pengikut Fuqahau al-Syafiiyah Ulama-ulama fiqih mazhab Syafii terutama dalam masalah ibadahubudiyah. 3 Bidang Tasawuf Secara bahasa para ulama berselisih pendapat tentang asal pengambilan kata tasawuf, apakah kata itu diambil dari kata ash-shafa’ jernih, ash-shuf kain 40 Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 53-54. xxxvi wol, ash-shuffah penghuni emper masjid, ash-shaf barisan, atau yang lain. Syaikh Abdul Qadir Jailani berpendapat bahwa kata tasawuf diambil dari kata ash-shafa’ ar-ruhi kejernihan jiwa beralasan bahwa, kata ash-shufiyah mengandung makna yang mendalam dan prinsip-prinsip yang tinggi. Abdul Qadir Jailani mendefinisikan seorang sufi sebagai orang yang jernih batinnya dan secara lahir mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sedangkan al-Junaid bin Muhammad mengartikan tasawuf dengan dzikir bersama-sama, cinta dengan mendengar, dan mengerjakan dengan mengikuti. 41 Ibrahim Basyuni dalam kajian kritisnya setelah menelaah sekitar 40 macam definisi yang ditemukan antara tahun 200-334 H, dan dirumuskan dalam kalimat: “Tasawuf adalah kesadaran fitrah manusia tayaqqudh fithriy yang mengarahkan jiwa tulus dan bersih untuk terus berupaya mencapai kenikmatan rasa berhubungan dekat dengan Yang Maha Wujud al-Wujud al-Muthlaq. Rumusan tersebut mempunyai arti sebagai berikut: a. Fitrah manusia merasakan dan menyadari bahwa apa yang terlihat dan terdapat disekitarnya belumlah merupakan keseluruhan wujud. Dibelakang itu masih ada wujud yang lain yang tidak terlihat oleh indera ghoib, bahkan ada terdapat kekuatan wujud Maha Besar Tuhan dimana jiwa manusia merindukan untuk dapat menemukan-Nya, untuk mendekat dan 41 Said bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailan. Penerjemah Munirul Abidin, Jakarta: Darul Falah, 2003, Cet. Ke-3, h. 401. xxxvii berkomunikasi dengan-Nya. Kesadaran ini disebut sebagai “Fase al-Bidayah” tahap kesadaran awal. b. Kesadaran diatas mendorong jiwa manusia melakukan pembersihan diri dari selera nafsu, dari godaan kenikmatan duniawi, dan konsentrasi untuk selalu ingat dzikir dan berkomunikasi munajah dengan Tuhan tahapan ini disebut “Fase al-Mujahadah”. Rangkaian perjuangan dan latihan rohani spiritual exercise yang umumnya para sufi memulai urutan dari: taubat 42 , zuhud, 43 wara’ , 44 sampai kema’rifah. Capaian dan prestasi dari mujahadah ini akan menentukan pada strata maqammaqamat dimana seorang sufi berada, dan pada masing-masing strata akan memberikan kondisi rohani halahwal yang dirasakan oleh sufi yang bersangkutan. Tasawuf selalu berkaitan dengan disiplin moral, ketekunan beribadah, ketahanan mental dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan spiritual mujahadah, dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai kepada Allah yang benar al-wujud al-haq. Untuk mencapai nilai-nilai ihsan, maka tasawuf menjadi bagian penting dalam pengalaman agama menurut Ahlussunnah wal Jama’ah. NU, dalam hal ini mengambil jalan untuk 42 Taubat adalah kemauan mengambil langkah nyata dalam perbuatan langkah nyata, dalam perbuatan dan prilaku, dengan meninggalkan semua perbuatan penyimpanganpelanggaran yang pernah dilakukan. 43 Zuhud adalah mendekatkan diri pada Tuhan dan membuang segala kenikmatan duniawi karena kenikmatan duniawi dipandang lebih kecil dibandingkan kenikmatan akhirat. 44 Wara’ adalah mejauhkan diri dari segala perbuatan yang berbau subhat yang tidak jelas hukumnya halal atau haram. xxxviii memfokuskan wacana tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali, Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, dan imam-imam lainnya yang memadukan antara syari’ah dan tasawuf. Ciri yang paling menonjol dari ajaran mereka adalah bahwa ajaran tasawuf harus dibangun di atas landasan syariat, tasawuf harus selalu menempel pada ketentuan syariat atau tasawuf merupakan tahap lanjut kehidupan orang-orang yang telah mantap syariatnya. Alasan perpaduan kedua unsur ini yang mendasari pilihan NU terhadap wacana tasawuf yang dikembangkan oleh imam-imam tersebut. Nahdlatul ulama dan warganya memang sangat perhatian concern terhadap tasawuf, baik secara kelembagaan maupun secara pengalaman. Hal itu dibuktikan dengan adanya badan otonom dalam NU yang bernama “Jami’iyah at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah”, juga dalam kehidupan sehari-hari seperti: Tahlilan, istighosah, wirid, tirakat dan lain-lain 45 Dengan perkataan lain, apa yang menjadi ruang lingkup dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut pada dasarnya merupakan antara nilai-nilai iman, Islam, dan ihsan. Iman menggambarkan suatu keyakinan, sedangkan Islam menggambarkan syari’ah atau fiqih, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam seseorang. 46

C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat