lxv Proses pergantian kekhalifahan pada Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda
dengan Umaiyah. Kekhalifahan ini kemudian berakhir ketika pasukan Hulagu Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan membunuh khalifah terakhir, yakni al-
Mu’tashim.
96
Setelah itu, jabatan khalifah dipegang oleh keturunan Mamluk Abbasiyah di Kairo. Sementara itu, pusat kekuasan baru timbul di Istambul pada 699
H1299 M yang dipimpin oleh Utsman I yang kemudian terkenal dengan sebutan Dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah sampai dengan tahun 1342 H1924 M
dengan khalifah terakhir Abdul Hamid II. Kekhalifahan yang muncul pada akhir abad ke-14 tersebut, secara formal dihapuskan oleh Republik Turki pada tahun 1924 M
oleh Mustafa Kemal Pasha. Keruntuhan kekhalifahan terakhir karena akibat perseteruan antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi
Turki.
E. Khilafah dalam Wacana Politik Islam Kontemporer
Sejak berakhirnya lembaga khilafah di Turki pada 3 Maret 1924, timbul perdebatan mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah dalam wacana politik Islam.
Menurut Dawam Raharjo ada tiga teori utama dalam pembentukan khilafah: 1 Pembentukan khilafah wajib hukumnya, berdasarkan syari’ah atau berdasarkan
wahyu. Para ahli fiqh Sunni, antara lain teolog Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa khalifah ini wajib hukumnya karena wahyu dan ijma’ para sahabat; 2
96
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007, Cet. Ke-5, h. 259.
lxvi Mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardlu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan
ijma atau konsensus. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Mawardi. Sementara al- Ghazali menyatakan bahwa khilafah merupakan wajib syar’i berdasarkan ijma; dan
3 Kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib tetapi berdasarkan pertimbangan akal.
97
Tiga teori di atas pada akhirnya bisa dikerucutkan pada dua persepsi: 1 Bahwa praktek tersebut merupakan contoh baku dalam Islam tentang sistem
ketanegaraan dan pemerintahan; 2 Praktek tersebut hanya berupa tradisi bangsa Arab yang tidak ada hubungannya dengan perintah agama yang tidak wajib diikuti
untuk konteks modern. Dua persepsi di atas kemudian terus memunculkan perdebatan dalam wacana
politik Islam. Menurut Abdul Wahab Effendi, menyatakan perdebatan seputar konsep negara Islam sebagai “paradoks khaldunian”. Yakni ketegangan antara idealitas dan
realitas dalam kehidupan Islam, dan berusaha memecahkan isu tersebut dengan mengadopsi realisme yang menjadi ciri pemikiran modern. Dia menundukkan yang
ideal kepada realitas yang benar kepada yang kemungkinan, dengan menyatakan bahwa impian umat Islam untuk memiliki khalifah yang adil dan tidak mungkin
dicapai di dunia yang tidak sempurna ini.
98
97
Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial berdasarkan konsep-konsep kunci., h. 362.
98
Abdul Wahab Effendi, Masyarakat Tak Beragama: Kritik atas Teori Politik Islam, Jakarta: Lkis, 2000, Cet. Ke-1, h. 4.
lxvii Daulah Islam dengan sistem Khalifah, menurut Yusuf Qardhawi
menggunakan politik daulah internasional. Menurut Qardhawi daulah tersebut tidaklah berdiri berdasarkan batasan-batasan tanah dan letak geografis melainkan
berisi pemikiran dan akidah. Khilafah Islam menurut Qardhawi berfungsi sebagai penerap hukum Islam terhadap umat yang berlandaskan tiga prinsip; 1 Kesatuan
wilayah Islam. Dalam artian, sekalipun negara dan daerahnya berbeda, tetapi pada prinsipnya merupakan satu wilayah untuk satu umat; 2 Kesatuan rujukan syariat
yang tertinggi, yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah; dan 3 Kesatuan kepemimpinan yang tersentral, dan tercermin di dalam diri pemimpin tertinggi atau
khalifah yang memimpin daulah orang-orang mukmin dengan ajaran Islam.
99
Sedang pendapat lain menyatakan bahwa khilafah tidak ada kaitannya dengan agama. Menurut Said Aqil Siradj, bahwa nation Madinah yang berada di bawah
payung Piagam Madinah, ternyata sama sekali tidak mencantumkan kata al-Qur’an, Hadits serta Islam. Karenanya, Islam bukanlah nation atau institusi. Eksistensinya
lebih menjadi pondasi moralitas umat manusia yang mengontrol terhadap sesama lini kehidupan. Dengan cara demikian, titik tekan misi “rahmatan lil ‘alamin” dapat
direalisasikan dengan tepat”.
100
Pendapat yang hampir sama juga disampaikan Ali Abdur Raziq. Menurut Raziq “Pemerintahan Rasaulullah itu merupakan tugas yang terpisah dari tugas
99
Yusuf Qardhawi, Fiqh Dawlah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, alih bahasa: Kathur Suhudi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, Cet. Ke-3, h. 45-46.
100
Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur: 1999, Cet. Ke-1, h. 210.
lxviii dakwah Islamnya dan juga berada di luar batas kerisalahan”.
101
Bagi Raziq, posisi Rasulullah sama halnya dengan nabi-nabi yang telah mendahuluinya. Beliau
bukanlah raja, pendiri suatu negara, maupun penganjur berdirinya suatu pemerintahan politik sebagaimana yang selama ini dipersepsikan.
102
Pendapat Raziq ini kemudian sampai pada kesimpulan bahwa “lembaga kekhalifahan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan ajaran agama. Demikian pula halnya dengan masalah pemerintahan dan fungsi-fungsi kenegaraan. Semua itu adalah masalah-masalah yang
berkenaan dengan politik, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama.
103
Di tengah ketidakkondusifan situasi dan kondisi negara pada masa pasca jatuhnya rezim Orde Baru, serta carut-marutnya kehidupan ekonomi, sosial, politik
dan budaya pada saat itu telah memberikan ruang terbuka bagi setiap individu, masyarakat, juga kelompok untuk mengisi, mengganti dan membentuk sebuah
tatanan baru bagi masyarakat Indonesia, termasuk munculnya wacana penegakkan syariat Islam. Momentum inilah yang menjadikan Hizbut Tahrir yang awalnya
sebagai sebuah kelompok-kelompok kecil berubah menjadi sebuah organisasi gerakan Islam yang berskala nasional dan internasional, untuk mengambil peran
dalam mengisi tatanan baru yaitu menawarkan solusi penegakkan syari’at Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun sebaliknya, organisasi ini perlu
101
Ali Abdur Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, alih bahasa: Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985, Cet. Ke-1, h. 85.
102
Ibid, h. 99.
103
Ibid, h. 163.
lxix mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak termasuk pemerintah, sebab Hizbut
Tahrir sebagai bagian dari gerakan Islam yang mempunyai ide dan pemikiran tentang mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Islam dalam pandangan Hizbut Tahrir adalah
sebuah sistem paripurna dan menyeluruh comprehenship bagi seluruh kehidupan manusia. Karena itulah, kaum muslimin diwajibkan untuk memberlakukannya secara
total dalam sebuah negara yang memiliki bentuk tertentu dan khas yang terlukis dalam sebuah sistem khilafah.
104
Dari uraian di atas, menunjukkan keragaman pemikiran tentang bentuk dan sistem pemerintahan dalam Islam terutama masalah khilafah. Para pemikir Muslim
berbeda pendapat mengenai doktrin al-Qur’an yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan. Begitu pula dengan fakta sejarah kekhalifahan yang pernah
berlangsung sejak generasi awal Islam sampai pada keruntuhannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sulit rasanya untuk membakukan sistem politik
Islam, karena perbedaan persepsi tersebut.
104
Mengenal Hizbut Tahrir; Partai Politik Islam IdeologisAnonim, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002, Cet. Ke-3, h. 2.
lxx
BAB IV PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN