Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik

xlviii langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting karena umat, bangsa dan kelompok-kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil sejarah untuk melangkah ke masa depan. 6. Cinta tanah air. Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air. 61 Jadi wawasan kebangsaan secara umum adalah tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan prilakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya 62 . Dalam negara Indonesia realitas konsep wawasan kebangsaan ini direalisasikan untuk meng-counter konsep-konsep primordial, sektarian dan paham-paham lain yang dapat merangsang timbulnya masalah-masalah SARA suku, agama, ras dan antar golongan yang dapat menimbulkan kerawanan terhadap persatuan bangsa.

B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik

Politik merupakan salah satu dimensi dari sekian banyak dimensi ajaran Islam. Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan dan sistem ibadah, tetapi juga sistem kemasyarakatan. Sebagai salah satu bagian dari aspek kemasyarakatan, politik yang diungkapkan dalam bentuk garis besar atau prinsip-prinsip umum saja, 61 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997, Cet. Ke-4, h. 334-335. 62 Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996. xlix menimbulkan perbedaan interpretasi yang mengakibatkan beragamnya pemikiran dan aksi politik. Hal ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang tak berkesudahan di kalangan para pemikir muslim. Menurut Mumtaz Ahmad, masalah-masalah yang mendapat sorotan tajam antara lain berkaitan dengan hakikat, karakteristik serta ruang lingkup suatu negara Islam dan sistem politik Islam yang khas. 63 Sementara menurut John L. Esposito, tidak adanya model yang konkrit tentang apa yang disebut sebagai “Negara Islam” menjurus pada kebingungan dan ketidak-sepakatan. Kebingungan tersebut menurut Esposito disebabkan oleh empat faktor: 1 Negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci; 2 Pelaksanaan Khilafah pada Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah hanya memberikan suatu kerangka mengenai lembaga-lembaga politik dan perpajakan; 3 Pembahasan mengenai rumusan ideal hukum Islam dan teori politik hanya menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian; dan 4 Hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subjek bagi keragaman interpretasi. 64 Walaupun demikian, upaya untuk mencari rumusan ideal tentang negara dalam Islam terus diupayakan oleh para pemikir Islam. Menurut Dien Syamsuddin, bahwa upaya pencarian konsep ini mengandung dua maksud, yaitu: pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara yang menekankan pada aspek teoritis dan 63 Mumtaz Ahmad, ed., Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-3, h. 15. 64 John L. Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, h. 308. l formal. Pandangan ini bermaksud untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana bentuk dari negara Islam. Menurut Dien, pendekatan ini berawal dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara yang menekankan pada aspek praksis dan subtansial. Pandangan ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana isi negara menurut Islam. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral. 65 Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bahtiar Effendy. Menurut Bahtiar, bahwa pandangan tentang bentuk negara dalam Islam mengerucut pada dua spektrum pemikiran. Pada spektrum pemikiran yang pertama, terdapat kalangan yang beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa nation state bertentangan dengan konsep ummah komunitas Islam yang tidak mengenal batasan-batasan politik dan kedaerahan, dan bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Sementara spektrum pemikiran yang kedua, beberapa kalangan intelektual muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan 65 M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2001, Cet. Ke-1, h. 12. li suatu pola baku tentang teori negara sistem politik Islam yang harus dijalankan oleh umat. 66 Dua hal pemikiran di atas selalu tarik-menarik. Di satu sisi sebuah tantangan realitas politik harus dijawab, sebaliknya di sisi lain sebuah tantangan idealitas agama yang harus dipahami juga sedang mencari jawaban. Subtansi pemikiran sebagai akibat perbedaan metodologi dan interpretasi di atas, menimbulkan polarisasi pemikiran politik Islam kontemporer. Menurut Munawir Sjadzali berpendapat, bahwa ada tiga pendapat mengenai hubungan antara Islam dan negara, yaitu: 67 1 Pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Pendapat ini merupakan pemikiran kelompok tradisionalis; 2 Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan kenegaraan, sedangkan aturan-aturan operasionalnya bisa merupakan hasil pemikiran umat Islam sendiri atau mengadopsi dari umat lain dalam hal ini Barat. Pendapat ini kemudian menjadi ciri khas kelompok modernis; 3 Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain, memisahkan persoalan- persoalan agama dan negara. Pendapat ini diikuti oleh kelompok sekularis. 66 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. Ke-1, h. 12. 67 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990, h. 1. lii Istilah “Fundamentalisme Islam” yang memandang bahwa Islam sebagai ajaran yang lengkap, mencakup bentuk dan sistem ketatanegaraan. 68 Kaum fundamentalis, menurut Montgomery Watt memandang bahwa “Islam bukanlah menjadi dirinya yang sebenarnya, kecuali di dalam suatu negara Islam, yakni negara yang diperintah oleh kaum muslimin yang menerapkan syari’ah sebagai hukum”. 69 Sementara “Modernisme Islam” lebih memusatkan perhatiannya kepada penafsiran kembali hukum Islam untuk mengakomodasi realitas modern tanpa mengorbankan nilai-nilai etik, spiritualitas, dan sosial Islam. Islam dan modernisme memang cenderung ke arah “sekularisme”, dimana gagasan sekular dan rasional ke dalam masyarakat Islam, menggantikan pandangan keagamaan pada umumnya sebagai akibat pengaruh Barat. Di samping itu, pengaruh umat Islam menurun, baik elit agama ulama maupun elit hukum fuqaha dalam proses politik. Sedangkan kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata di antara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Oleh karena itu, menempatkan agama di satu pihak dan politik di pihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan antara Islam dan politik. 70 68 Lebih lengkap bisa dilihat rumusan al-Maududi tentang “Teori Khilafah” dalam Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis terhadap Sistem Pemerintahan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1994, Cet. Ke-4, h. 19-21. 69 W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik Adnan Amal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, Cet. Ke-1, h. 184. 70 Michael C. Hudson, Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito, ed., Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik , alih bahasa: Zainuddin Rahman, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, Cet. Ke-1, h. 29-30. liii

C. Pengertian Khilafah Islamiyah