Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik

lxxv dari nilai luhur kebudayaan Indonesia. Termasuk kebudayaan Islam yang dianut dan dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. 110

F. Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia NKRI Sejak NU lahir sudah menyadari dan siap eksis di tengah-tengah kemajemukan bangsa, bahkan banyak sekali ikut memberi andil dalam memecahkan masalah bangsa di situasi yang kritis, antara lain: 111 1. Pada bulan Oktober 1945, menghadapi tentara sekutu yang masuk ke wilayah Republik Indonesia, NU melalui rois akbarnya KH. Hasyim Asyari mengeluarkan Fatwa Jihad, yang isinya menyerukan seluruh kaum lelaki muslim yang mampu untuk terjun ke medan perang suci jihad fi sabilillah sebagai suatu kewajiban setiap orang Islam fardlu ain. Fatwa ini mengobarkan semangat pasukan Republik Indonesia dalam pertempuran besar pertamanya di Surabaya melawan sekutu pada November 1945. fatwa tersebut tidak lepas dari pandangan agama, khusunya pandangan fiqih, yang mengatakan bahwa Suatu kewajiban yang tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan suatu tindakan, maka tindakan tersebut hukumnya menjadi wajib. Hal itu dilakukan demi mempertahankan negara dari ancaman musuh yang merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, mereka melakukan jihad untuk tujuan tersebut hukumnya wajib. 110 Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, h. 151. 111 Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, h. 347-349. lxxvi 2. Ketentuan NU menolak adanya Darul Islam DI yang didirikan oleh Kartosuwirjo di Jawa Barat, atau Negara Islam Indonesia NII di Sulawesi Selatan oleh Kahar Mudzakar, atau yang lain-lain seperti Perjuangan Rakyat Semesta Permesta di Sulawesi, Republik Maluku Selatan RMS dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PRRI di Sumatera Barat. Apapun dasar ideologinya, karena semua aksi tersebut merupakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dengan menggunakan senjata, yang dalam fiqihnya mereka disebut sebagai bughat pemberontak terhadap pemerintah yang sah. Ulama-ulama NU membolehkan pemerintah Republik Indonesia menindak mereka. Sikap demikian juga diberlakukan terhadap pemberontak-pemberontak yang lain seperti G-30-S PKI. Ulama-ulama Ahlussunnah sejak dulu memang menolak pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang sah, meskipun memperbolehkan perbedaan pendapat dalam berpolitik dan membolehkan melakukan kritik kepada penguasa, sehingga tradisi Ahlussunnah cenderung berorientasi pada stabilitas adanya ketentraman. 3. Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi dengan melalui Munas Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo Jawa Timur pada tahun 1983 kemudian dikuatkan oleh Muktamar NU ke-27 di tempat yang sama pada tahun 1984. Sikap demikian berangkat dari pandangan kemaslahatan nasional dan menyelamatkan keutuhan bangsa dengan pendekatan fiqih Pada tanggal 17 Desember 1959 diselenggarakan Resepsi Muktamar ke-32 NU di Gedung Pertemuan Umum Jakarta yang dibuka oleh Bung Karno Presiden RI lxxvii Pertama. Presiden menyampaikan amanat bahwa NKRI adalah wadah bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada hakikatnya negara-negara merdeka adalah wadah. Wadah ini adalah wadah kita semua, meskipun rakyat Indonesia itu terdiri dari pelbagai suku, berpuluh-puluh suku, juga rakyat Indonesia terdiri golongan-golongan agama, yang golongan terbesar adalah menganut agama Islam, maka Republik Indonesia atau wadah ini adalah milik seluruh rakyat Indoneisa. Wadah untuk di dalamnya berduduk, berisikan segala suku Indonesia, segala umat agama Indonesia, dan segala golongan Indonesia. Wadah ini milik kita semuanya dan kita pelihara bersama-sama yang berdiri di atas prinsip musyawarah dan demokratis. 112 Kemudian di tengah-tengah arus gelombang gencarnya pernyataan NU untuk menerima asas Pancasila, KH. Ahmad Siddiq selaku Rois ‘Am pada waktu itu, mengeluarkan fatwa politik pada tahun 1984 yang isinya semakin memantapkan kebulatan niat NU untuk menerima asas tunggal itu. Dalam pandangan Kiai Ahmad Siddiq, lima butir nilai luhur Pancasila merupakan konsensus maksimal yang merupakan kalimatin sawâin bainanâ wa bainakum 113 bagi bangsa dan negara Indonesia di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala kemajemukannya. Selain itu, Kiai Siddiq memandang Pancasila secara subtansial 112 Iman Toto K. Rahardjo Suko Sudarso, Bung Karno, Islam, Pancasila NKRI, Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006, h. 461. 113 Suatu kalimat ketetapan yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu QS. Ali Imran ayat 64. lxxviii mampu menyatukan seluruh segmen masyarakat Indonesia yang bercorak pluralistik baik dalam muatan agama, budaya, adat istiadat dan latar belakang sosial. 114 Kebangsaan wathaniyah NU dibuktikan dari kepedulian dan komitmennya dalam memperkokoh imajinasi umat Islam Nusantara tentang bangsa yang merdeka. Komitmen ini ditunjukkan sejak Muktamar Banjarmasin tahun 1936, Resolusi Jihad tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyul amri adharuri bi as-syaukah , hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat Islam tahun 1984 di Muktamar Situbondo. Bagi NU, bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dibina. Mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah perjanjian luhur Pancasila dan UUD 1945 sama halnya mencampakkan pesan-pesan yang telah diwariskan Nabi saw. Karena itu, semua upaya eksklusivitas agama yang telah diproyeksikan untuk memudarkan perjajian luhur bangsa tersebut sebenarnya bukan tindakan yang diridlai-Nya dan kontra-agama. Aktivitas semacam itu tidak lebih upaya mendagangkan agama untuk kepentingan sesaat yang hanya menguntungkan dirinya serta status quo. 115 Musyawarah Nasional Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Konbes Nahdlatul Ulama di Asrama Pondok Haji Sokolilo Surabaya bulan Juli, telah meneguhkan kembali komitmen NU sebagai organisasi sosial keagamaan jam’iyyah 114 Ismail, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 98. 115 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur: 1999, Cet. Ke-1, h. 194. lxxix dinniyah wa ijtima’iyyah pada Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang berlandaskan Pancasila, seperti yang disampaikan oleh Rois ‘Am PBNU Sahal Mahfudz dalam pidato iftitah di Pembukaan Munas dan Konbes NU tersebut. Dalam pidato tersebut ditegaskan “Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila merupakan bentuk final bagi Bangsa Indonesia”. Komitmen ini dilakukan NU sejak lama, sebelum bangsa ini merdeka. 116

G. Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah