Siklus Hidup dan Morfologi Nyamuk Culex quinquefasciatus

8 segmen posterior. Pada bagian apeks abdomen juga terdapat paddle yang berwarna translusen dan kuat dengan 2 setae rambut kaku pada bagian akhir posteriornya. 16 Gambar 5. Pupa nyamuk Culex quinquefasciatus 19 d. Nyamuk Dewasa Nyamuk dewasa Culex sp berukuran panjang sekitar 3.96 hingga 4.25 mm. Pada nyamuk dewasa, tubuhnya terdiri dari tiga segmen yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Pada bagian kepala terdapat sepasang antena yang berguna sebagai sensor informasi bagi seekor nyamuk. Selain antena, pada bagian kepala juga terdapat mulut yang berkembang sempurna pada nyamuk dewasa betina. Mulut tersebut yang dinamakan probosis digunakan untuk menghisap darah dari manusia. Pada nyamuk Culex sp. probosis dan antena memiliki panjang yang tidak sama atau panjang antenna lebih pendek daripada probosis. Sedangkan pada bagian perut atau abdomen bertanggung jawab terhadap pencernaan dan perkembangan telur nyamuk. 13,15 Lama kehidupan nyamuk jantan lebih pendek dari nyamuk betina, yaitu kurang dari 1 minggu. Untuk energi, nyamuk dewasa memakan nectar tumbuhan. Selain memakan nectar, nyamuk betina juga menghisap darah hewan berdarah panas, seperti burung dan mamalia untuk perkembangan telur. 13,15 9 Gambar 6. Nyamuk betina dewasa Culex quinquefasciatus 20 Gambar 7. Nyamuk jantan dewasa Culex quinquefasciatus 21 2.1.3 Jenis, Kandungan dan Cara Kerja Insektisida yang digunakan sebagai Pemberantasan Vektor Nyamuk di Indonesia Insektisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan dan membunuh serangga. Dalam fungsinya untuk mengendalikan dan membunuh serangga sebagai vektor, insektisida bekerja terhadap tubuh serangga melalui 2 cara yaitu mode of action dan mode of entry. Mode of action adalah cara insektisida memberikan pengaruh melalui titik tangkap target size di dalam 10 tubuh serangga. Titik tangkap dalam tubuh serangga dapat berupa enzim atau protein, sedangkan mode of entry adalah cara insektisida masuk kedalam tubuh serangga. Secara umum terdapat 5 cara kerja insektisida di dalam tubuh serangga yaitu : 10 1. Mempengaruhi sistem saraf 2. Menghambat produksi energi 3. Mempengaruhi sistem endokrin 4. Menghambat produksi kutikula 5. Menghambat keseimbangan air Secara umum terdapat 2 kelompok besar insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor, yaitu Insektisida kimiawi dan Insektisida biologis. a. Insektisida Kimiawi 1. Organofosfat Insektisida jenis organofosfat bekerja di dalam tubuh serangga dengan mengganggu kerja sistem saraf. Gangguan yang ditimbulkan dikarenakan adanya inhibisi enzim asetilkolinesterase AchE yang penting dalam penghantaran impuls saraf. Penghambatan enzim ini akan mengakibatkan akumulasi asetilkolin didalam sistem saraf sehingga mengakibatkan konvulsi, paralisis, hingga kematian pada organism yang terkena paparan insektisida golongan organofosfat. 22 Insektisida golongan organofosfat ini biasa digunakan sebagai space spraying, IRS, maupun larvasida. Contoh insektisida organofosfat adalah malation, fenitrotion, temefos, metal-pirimifos, dan lain – lain. 10 Menurut Loretta 1992, penggunaan malathion yang merupakan salah satu contoh golongan oerganofosfat mengakibatkan banyak kerugian baik bagi manusia, mamalia, unggas, dan lingkungan. Bagi manusia jika terjadi toksisitas akut akan mengakibatkan berupa sakit kepala, mual, muntah, pandangan buram, konstriksi pupil, depresi nafas hingga koma. Pada paparan jangka lama, organofosfat dapat mengakibatkan defek kelahiran, masalah 11 reproduksi dan defek genetic bagi manusia. Bagi mamalia lingkungan, malathion memiliki potensi tinggi untuk mengkontaminasi tanah dan air. 22 2. Karbamat Insektisida jenis karbamat bekerja pada serangga dengan cara menghambat sistem saraf yaitu enzim esterase. Penghambatan ini berlangsung secara reversible. Artinya penghambatan enzim tersebut tidak akan berlangsung lama dan pada suatu waktu enzim kolinesterase akan kembali diproduksi. Karena sifatnya yang reversible maka jenis karbamat terbilang lebih aman dibandingkan jenis organofosfat. Contoh insektisida jenis karbamat adalah bendiocarb, propoksur, dan lain – lain. 10 3. Piretrin Piretrin merupakan insektisida alami yang dibuat dari sintesis bunga kering Chrysanthemum cinerariaefolium dan atau Chrysanthemum cineum. Sebagai insektisida alami, piretrin memiliki sifat – sifat sebagai berikut 23 : a. Titik didih tinggi b. Sensitif terhadap oksidasi c. Tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama d. Tidak tahan terhadap cahaya langsung e. Waktu paruh 5 jam dibawah sinar matahari langsung Dikarenakan sifatnya diatas maka pada tahun 1924, Staudinger dan Ruzicka mengembangkan sintesis piretrin dan menghasilkan 6 konstituen piretrin yaitu piretrin I dan II, cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II. Keenam hasil tersebut dinamakan berdasarkan kandungan chrysanthemic dan asam piretrik di dalamnya. Dari keenam hasil tersebut yang digunakan sebagai insektisida adalah Piretrin I dan II. Keduanya digunakaan karena Piretrin I eg. permetrin memiliki efek lethal yang tinggi sedangkan Piretrin II eg. deltametrin memiliki efek knockdown yang tinggi. 23 4. Piretroid Sintetik 12 Piretroid merupakan insektisida sintetik dari piretrin yang memiliki cara kerja sama. Piretroid sintetik ini dikembangkan untuk meningkatkan spesifitas dan aktifitas dari piretrin dengan tetap menjaga efek knockdown yang tinggi dan efek toksik yang rendah terhadap vertebra. Tingkat aktifitas dari piretroid ini ditentukan dari penetrasi, metabolisme, dan sensitifitas target. 23 Berdasarkan struktur dan toksikositasnya, piretroid digolongkan menjadi tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan golongan piretroid yang tidak memiliki gugus α-cyano dan tipe II yang memiliki gugus α-cyano. 23 Secara umumcara kerja piretroid adalah dengan mengganggu sistem saraf serangga. Tipe I piretroid bekerja dengan cara induksi berulang pada akson sehingga serangga menjadi restlessness, un-coordination, dan hiperaktifitas yang diikuti dengan prostration dan paralisis. Sedangkan tipe II piretroid bekerja dengan cara depolarisasi terus menerus pada akson saraf yang bersifat irreversible. Depolarisasi terus menerus pada akson ini mengakibatkan serangga menjadi konvulsi pada serangga. Efek yang ditimbulkan oleh tipe I berlangsung 10-100 milisecond, sedangkan tipe II berefek selama beberapa detik. 24 Terdapat beberapa cara masuk dan pengaruh piretroid dalam tubuh organisme, yaitu 23 ; 1. Penetrasi melalui epidermis Cara ini memungkinkan piretroid untuk penetrasi secara cepat kedalam tubuh organisme melalui folikel yang terdapat pada epidermis kulit. 2. Central Nervous System CNS Piretroid mempengaruhi CNS organisme dapat melalui difusi piretroid dalam sel epidermis yang didistribusikan ke CNS atau secara langsung melalui kontak dengan organ sensori pada sistem saraf tepi. 3. Penetrasi melalui udara Hanya sedikit molekul yang masuk ke dalam tubuh organisme dengan cara penetrasi melalui udara ini. 4. Penetrasi melalui jalur hemolimf Penggunaan jenis piretroid banyak untuk pengendalian vektor serangga dewasa space spraying dan IRS, kelambu celup atau Insecticide Treated 13 Net ITN, Long Lasting Insecticidal Net LLIN, dan sebagai formulasi berbagai insektisida rumah tangga. Contoh insektisida jenis peritroid antara lain metoflutrin, transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin, permetrin, sipermetrin, deltametrin, etofenproks, dan lain-lain. 10 5. Insect Growth Regulator IGR Insect Growth Regulator bekerja mengganggu proses dan pertumbuhan serangga. IGR terbagi dalam 2 kelas, yaitu : 10  Juvenoid Lebih dikenal sebagai Juvenille Hormone Analog JHA. Pemberian juvenoid pada serangga akan berakibat pada perpanjangan stadium larva dan kegagalan pembentukan pupa, sehingga stadium dewasa pun tidak terbentuk. Contoh JHA adalah fenoksikrab, metopren, piriproksifen, dan lain – lain. 10  Chitin Synthesis Inhibitor CSI CSI bekerja mengganggu proses ganti kulit pada serangga dengan menghambat pembentukan kitin. Proses penggantian kulit diperlukan oleh serangga untuk berubah dari satu stadium ke stadium lain. Contoh insektisida CSI adalah diflubensuron, heksaflumuron, dan lain – lain. 10 b. Insektisida Biologis Insektisida biologis yang banyak digunakan untuk pengendalian vektor adalah mikroba. Mikroba yang banyak digunakan untuk insektisida antara lain Bacillus thuringinensis var israelensis Bti, Bacillus sphaericus BS, abamektin, spinosad, dan lain – lain. 10 14 2.1.4 Aplikasi penggunaan Cypermetrin pada kelambu celup dalam pengendalian vektor nyamuk di Indonesia Penggunaan kelambu celup insektisida sebagai salah satu cara pengendalian vektor telah disarankan oleh WHO sejak tahun 2007. Oleh WHO, kelambu celup insektisida dibagi menjadi 2 jenis, yaitu 10 : 1. Long Lasting Insecticidal Nets LLINs LLINs merupakan kelambu insektisida yang efektif untuk penggunaan jangka lama sekitar 3-5 tahun tanpa pencelupan ulang. Dalam proses pencelupannya, terdapat 3 proses yang dilakukan, yaitu : - Pencampuran pada serat benang fiber - Pelapisan pada serat benang - Pencelupan insektisida tahan lama pada kelambu yang sudah jadi Bahan yang dapat digunakan untuk LLINs antara lain katun, nilon, polyester dan polyethylene. 2. Impregnated Bed Nets IBN atau Insecticide Treated Nets ITN IBN atau ITN adalah kelambu biasa tidak berinsektisida yang dicelup dengan insektisida tertentu. Kelambu ini dapat bertahan kurang lebih selama 6-12 bulan dengan pencucian kelambu setiap 6 bulan. Agar tetap efektif , harus dilakukan pencelupan ulang dengan insektisida setiap 6- 12 bulan sekali bergantung dengan insektisida ynag digunakan. Jenis bahan yang digunakan untuk kelambu celup ulang adalah katun, nilon, polyester, dan polyethylene. Pencelupan kelambu biasanya menggunakan insektisida golongan Piretroid Sintetik yang konsentrasinya telah direkomendasikan oleh WHO dan terdaftar di KOMPES Komisi Pestisida berdasarkan tabel 2.1. 15 Tabel 2.1 Konsentrasi pemakaian insektisida piretroid sintetik di Indonesia 25 Insektisida Konsentrasi per m2 Alpha-cypermethrine 10 SC 20 – 40 mg Cyfluthrin 5 EW 50 mg Deltamethrin 1 SCWT 25 15 – 25 mg Etofenprox 10 EW 200 mg Lamdacyhalothrin 2,5 CS 10 – 20 mg Permethrin 10 EC 200-500 mg Insektisida yang digunakan dapat juga berupa insektisida siap pakai dengan konsentrasi yang telah direkomendasikan oleh WHO dan terdaftar di KOMPES Komisi Pestisida yang terlihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Konsentrasi pemakaian insektisida golongan piretroid sintetik siap pakai di Indonesia 25 Insektisida Konsentrasi per kelambu Alpha-cypermethrine 10 SC 6 ml Cyfluthrin 5 EW 15 ml Deltamethrin 1 SC 40 ml Deltamethrin WT 1 tablet Etofenprox 10 EW 30 ml Lamda-cyhalothrin 2,5 CS 10 ml Permethrin 10 EC 75 ml

2.1.5 Cypermethrin

Cypermethrin merupakan salah satu insektisida yang tergolong kedalam gologan Piretroid. Cypermethrin pertama kali disintesis pada tahun 1974. Secara kimiawi, Cypermethrin memiliki rumus molekul C 22 H 19 Cl 2 NO 3 . Cypermethrin memiliki kandungan kimia seperti piretrin yang diekstrak dari tanaman 16 Chrysanthemum. Akan tetapi golongan piretroid didesain agar lebih lama efektif dibandingkan dengan golongan Pyrethrin. 26 Dalam fungsinya sebagai insektisida, cypermethrin bekerja mempengaruh secara langsung sistem saraf pusat dari serangga yang mendekat. Pada paparan jangka lama, Cypermethrin akan menghasilkan impuls berulang pada susunan saraf. Pengulangan impuls ini akan mengakibatkan kanal Na terbuka lebih lama dari normal. 27-28 Selain mempengaruhi pembukaan kanal Na, Cypermethrin juga menghambat kerja ATPase. Pada serangga, ATPase merupakan enzim yang menghasilkan energy bagi kelangsungan hidup. Sehinga penghambatan enzim ini akan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan keseimbangan ion. 28 Di Indonesia, Cypermethrin digunakan secara luas untuk pengendalian serangga seperti nyamuk, lalat dan kecoa. Penggunaan Cypermethrin pada kelambu celup juga digunakan untuk mencegah malaria. 10

2.1.6 Efek kelumpuhan Knock down effect pada serangga

Knock down effect merupakan salah satu ciri khas dari insektisida piretroid sintetik. Pada serangga, efek ini berlangsung secara langsung saat seekor serangga terpapar insektisida piretroid sintetik. Ketika seekor serangga terpapar oleh piretroid, mereka akan pingsan tetapi tidak mati. Untuk serangga yang masih rentan terhadap piretroid maka akan mati secara permanen. Serangga yang sudah resisten terhadap piretroid akanpulih kembalidan kembali terbang setelah Gambar 8. Struktur kimia Cypermethrin 29 17 beberapa saat. Waktu yang dibutuhkan untuk akan semakin meningkat seiring dengan status resistensi suatu serangga. 30 Serangga yang telah resisten terhadap suatu insektisida akan dapat dan terbang kembali dikarenakan setelah piretroid masuk kedalam tubuh maka tubuh akan melakukan proses metabolisme untuk detoksifikasi piretroid. Proses detoksifikasi inilah yang akan membuat kadar piretroid lama – kelamaan akan berkurang di dalam tubuh serangga sehingga serangga dapat pulih dan terbang kembali. 30

2.1.7 Mekanisme Resistensi Insektisida piretroid sintetik pada nyamuk Culex quinquefasciatus

Piretroid merupakan insektisida yang telah digunakan secara luas untuk pengendalian vektor baik secara indoor maupun outdoor. Piretroid juga merupakan satu – satunya senyawa kimia yang direkomendasikan untuk mosquito nets oleh WHO. Penggunaan yang secara luas dan dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan beberapa perubahan karena terjadinya resistensi piretroid pada nyamuk. 23 Resistensi merupakan kemampuan vektor dalam bertahan hidup pada suatu konsentrasi insektisida yang dalam keadaan normal dapat mematikan vektor. 10 Resistensi terhadap piretroid yang terjadi pada serangga dapat terlihat dari adanya penurunan sensitifitas kanal sodium karena adanya perubahan struktur, penurunan sensitifitas terhdap piretroid melalui perubahan pada kinetika kanal sodium, penurunan jumlah kanal yang dapat mengikat piretroid, dan perubahan membran lipid disekitar saraf. 23 Secara umum mekanisme resistensi piretroid pada nyamuk dapat dibagi menjadi dua mekanisme, yaitu metabolic detoxification dan pengikatan protein target pada channel sodium. 31  Detoksikasi metabolik Metabolic detoxification Mekanisme resitensi insektisida yang paling sering terjadi pada nyamuk adalah dengan peningkatan metabolic detoxification. Hal yang berperan pada 18 detoksikasi metabolik tersebut antara lain metabolime Cytochrome P450, Gluthation transferase GSTs, dan esterase atau karboksilesterase. 31 Metabolisme Cytochrome P450 memiliki peran yang paling besar pada proses resistensi insektisida pada nyamuk. Peran Cytocrhome P450 adalah untuk detoksifikasi, aktivasi xenobiotics dan untuk metabolisme senyawa endogen. 31 Glutathione transferase GSTs merupakan protein larut dimer yang berperan dalam metabolisme, detoksifikasi, dan eksresi dari senyawa endogen dan eksogen 31 Esterase atau karboksilase merupakan kumpulan enzim heterogen yang terdapat pada sebagian besar organisme. Enzim ini berperan dalam proteolisis, fungsi sistem saraf, metabolism hormon, dan metabolisme insektisidasequistrasi. 31 Pada nyamuk yang masih rentan terhadap insektisida metabolisme enzim dan protein tersebut akan menurun seiring dengan naiknya senyawa piperonyl butoxide PBO, S,S,S,-tributylphosphorotrithioate DEF, dan diethyl maleate DEM yang merupakan inhibitor dari Cytochrome P450 monooksigenase, hidrolase, dan glutathione S-transferase GST. Namun pada nyamuk yang telah mengalami resistensi terhadap insektisida terjadi penurunan dari PBO, DEF, dan DEM sehingga terjadi proses inhibisi pada proses detoksifikasi. 31  Pengikatan protein target pada kanal sodium Piretroid merupakan insektisida dengan sifat neurotoksin yang bekerja dengan mengikat protein pada voltage – gated sodium channel VGSC. VGSC ini memiliki peran dalam depolarisasi potensial aksi pada membran neuron dan proses eksitasi elektrik dari sel. Oleh sebab itu, jika terjadi pengikatan protein pada VGSC akan menginhibisi repolariasi. Inhibisi repolarisasi ini akan menyebabkan depolarisasi terus menerus pada sistem saraf sehingga menyebabkan hipereksitasi pada serangga. 31-33

2.1.8 Uji resistensi Insektisida pada nyamuk

Secara umum terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui status resistensi nyamuk terhadap insektisida. Uji resistensi nyamuk terhadap