Pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap pembuatan kitosan nanopartikel dengan menggunakan Ultrasonic Bath

(1)

PENGARUH VISKOSITAS KITOSAN DARI BERBAGAI BERAT

MOLEKUL TERHADAP PEMBUATAN KITOSAN

NANOPARTIKEL DENGAN MENGGUNAKAN

ULTRASONIC BATH

TESIS

Oleh

ZUHAIRIAH NST 117006017/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGARUH VISKOSITAS KITOSAN DARI BERBAGAI BERAT

MOLEKUL TERHADAP PEMBUATAN KITOSAN

NANOPARTIKEL DENGAN MENGGUNAKAN

ULTRASONIC BATH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZUHAIRIAH NST 117006017/ KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Judul Tesis : PENGARUH VISKOSITAS KITOSAN DARI BERBAGAI BERAT MOLEKUL TERHADAP PEMBUATAN

KITOSAN NANOPARTIKEL DENGAN MENGGUNAKAN ULTRASONIC BATH

Nama Mahasiswa : Zuhairiah NST Nomor Pokok : 117006017 Program Studi : Kimia

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil)

Ketua Anggota

(Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc)

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil Anggota : 1. Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc

2. Dr. Hamonangan Nainggolan, MSc 3. Prof. Dr. Harlem Marpaung

4. Dr. Darwin Yunus Nasution, MS 5. Prof. Dr. Yunazar Manjang


(5)

PENGARUH VISKOSITAS KITOSAN DARI BERBAGAI BERAT MOLEKUL TERHADAP PEMBUATAN KITOSAN

NANOPARTIKEL DENGAN MENGGUNAKAN ULTRASONIC BATH

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kerjasama di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2013 Penulis


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai Sivitas Akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zuhairiah Nasution

Nomor Pokok : 117006017

Program Studi : Magister Ilmu Kimia Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusif Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

PENGARUH VISKOSITAS KITOSAN DARI BERBAGAI BERAT MOLEKUL TERHADAP PEMBUATAN KITOSAN NANOPARTIKEL DENGAN

MENGGUNAKAN ULTRASONIC BATH

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 27 April 2013

Zuhairiah Nasution NIM. 117006017


(7)

PENGARUH VISKOSITAS KITOSAN DARI BERBAGAI BERAT MOLEKUL TERHADAP PEMBUATAN KITOSAN

NANOPARTIKEL DENGAN MENGGUNAKAN ULTRASONIC BATH

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap pembuatan kitosan nanopartikel dengan menggunakan ultrasonic bath. Kitosan merupakan salah satu polisakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Dewasa ini aplikasi kitosan telah sangat banyak dan meluas. Perkembangan penelitian kitosan juga telah sangat berkembang salah satunya dengan memodifikasi kitosan menjadi berukuran nano. Banyak cara untuk memodifikasi kitosan menjadi kitosan nanopartikel. Dalam penelitian ini, pengubahan kitosan menjadi kitosan nanopartikel dengan menggunakan instrument ultrasonic bath dengan menggunakan Na-TPP 1% sebagai pengikat silang dan asam oleat sebagai surfaktan dengan memvariasikan berat molekul kitosan, konsentrasi larutan kitosan dan lama penyimpanan larutan kitosan. Data menunjukkan viskositas larutan kitosan menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan kitosan. Larutan kitosan dengan konsentrasi sama, penurunan viskositasnya lebih nyata terlihat pada kitosan berat molekul tinggi dibandingkan kitosan berat molekul sedang. Penurunan viskositas ini terjadi karena kitosan mengalami hidrolisis ketika bereaksi dengan larutan asam. Hasil foto SEM menunjukkan, larutan kitosan 1% dari kitosan berat molekul tinggi dengan penyimpanan 1 hari menghasilkan homogenitas partikel yang paling baik. Karena pada penyimpanan 1 hari kitosan belum mengalami hidrolisis dalam larutan asam. Spectrum FTIR menunjukkan terdapatnya semua gugus fungsi yang khas pada kitosan.


(8)

THE EFFECT OF CHITOSAN VISCOSITY FROM VARIOUS MOLECULAR WEIGHT TO THE MAKING OF NANO PARTICLE CHITOSAN BY USING

ULTRASONIC BATH

ABSTRACT

The effect of chitosan viscosity from various molecular weight to the making of nano particle chitosan by using ultrasonic bath has been studied. Chitosan is one of the natural polysaccharide obtained from the deacetylation of chitin. Today the applications of chitosan have been very numerous and widespread. The development of chitosan research has also highly developed, one of them by modifying chitosan into the nano-sized one. Many ways to modify chitosan into nanoparticles chitosan. In this study, the conversion of chitosan into nanoparticles chitosan by using ultrasonic bath instrument and 1% STPP as crosslinking agent and oleic acid as a surfactant by varying the molecular weight of chitosan, chitosan concentration and the storage time of chitosan solution. Data shows that chitosan solution viscosity decreases along with the storage time of chitosan. Chitosan solution with the same concentration, its viscosity deflation looks more apparently on the chitosan of high weight molecule compared to the chitosan of medium weight molecule. Viscosity decreases because chitosan hydrolyse when it reacts with the acid solution. SEM photos result indicates, 1% chitosan solution of high weight molecular chitosan with 1 day of storage produces the best particles homogenity because it doesn’t have hydrolyis in acidic solutions on the first day of storage. FTIR spectrum shows that it has all of the typical functional groups on chitosan.


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya, serta tidak lupa Shalawat dan Salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Adapun judul tesis ini ‘Pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap pembuatan kitosan nanopartikel dengan menggunakan Ultrasonic Bath’. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister of Sains di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan sembah sujud kepada ayahanda Syahril Nasution dan ibunda Roswita yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada : Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMTH, M.Sc, CTM, SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan Program Magister, Dekan FMIPA Dr. Sutarman, M.Sc., ketua Program Studi Kimia, Bapak Prof. Dr. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan sekretaris program studi kimia Bapak Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dan dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil, selaku Dosen Pembimbing Utama dan Bapak Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu menyediakan waktu dan penuh perhatian dalam memberikan bimbingan, saran dan motivasi sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan.


(10)

2. Bapak Prof. Dr. Harlem Marpaung, Bapak Dr. Darwin Yunus, M.S, beserta Bapak Prof. Dr. Yunazar Manjang selaku dosen pembanding yang telah banyak memberikan masukan dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Kimia yang telah memberikan ilmu dan motivasi bagi penulis.

4. Kak Leli di Sekolah Pascasarjana Ilmu Kimia dan Bang Aman di Laboratorium Penelitian yang telah banyak membantu dan memberikan arahan.

5. Teman-teman mahasiswa Sekolah Pascasarjana Kimia USU angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis.

6. Seluruh keluarga dan sahabat-sahabat yang telah banyak mendoakan dan memberi semangat kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan bagi penelitian dan kemajuan ilmu.

Medan, 27 April 2013


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Zuhairiah NST

2. Tempat/tanggal lahir : Medan/ 14 Juli 1988

3. Agama : Islam

4. Status : Belum Menikah

5. Alamat : Jl. Damai Lingk. VII Kel. Perdamaian Kec. Stabat

6. Pendidikan :

SD Negeri 054904 Stabat 1994 - 2000

SMP Negeri 1 Stabat 2000 - 2003

SMA Negeri 1 Stabat 2003 – 2006

Universitas Negeri Medan 2006 – 2010 Sekolah Pascasarjana Kimia USU 2011 – 2013 7. Riwayat Pekerjaan :

Staff Pengajar di SMK Swasta Persiapan Binjai 2010 – 2011 Staff Pengajar di SMA-SMK Swasta Yapim Taruna Stabat 2011 – sekarang Staff Pengajar di SMK Kesehatan Swasta Napsiah Stabat 2012 – sekarang


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 2

1.3. Pembatasan Masalah 2

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5. Masalah Penelitian 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1. Kitosan 4

2.2. Viskositas 12

2.3. Berat Molekul Kitosan 12

2.4. Nanopartikel 14

2.5. Kitosan Nanopartikel 18

2.6. Tripolipospat 20

2.7. Surfaktan 20

2.8. Ultrasonic 21

2.9. Metode Freeze Drying 23

2.10. Spektrofotometer Fourier Transform Inframerah (FTIR) 24 2.11. Scanning Electron Microscopy (SEM) 27


(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN 31

3.1. Lokasi Penelitian 31

3.2. Alat dan Bahan 31

3.3. Prosedur Penelitian 32

3.4. Bagan Penelitian 33

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 36

4.1. Uji Viskositas Larutan Kitosan 36

4.2. Karakterisasi dengan SEM 40

4.3. Hasil Uji FTIR 46

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 51

5.1. Kesimpulan 51

5.2. Saran 51


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Struktur Kitosan 4

Gambar 2.2. Struktur Kitin 4

Gambar 2.3. Kitosan Nanopartikel dengan Gelasi Ionik 19

Gambar 2.4. Skema SEM 29

Gambar 4.1. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 0,2% 37 Gambar 4.2. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 0,4% 37 Gambar 4.3. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 0,6% 38 Gambar 4.4. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 0,8% 38 Gambar 4.5. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 1% 39 Gambar 4.6. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul sedang pada penyimpanan 1 hari 41 Gambar 4.7. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul tinggi pada penyimpanan 1 hari 41 Gambar 4.8. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul sedang pada penyimpanan 2 hari 42 Gambar 4.9. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul tinggi pada penyimpanan 2 hari 42 Gambar 4.10. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul sedang pada penyimpanan 3 hari 43

Gambar 4.11. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul tinggi pada penyimpanan 3 hari 43 Gambar 4.12. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul sedang pada penyimpanan 4 hari 44 Gambar 4.13. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul tinggi pada penyimpanan 4 hari 44 Gambar 4.14. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat

molekul sedang pada penyimpanan 5 hari 45 Gambar 4.15. SEM kitosan nanopartikel dari larutan kitosan dengan berat


(15)

Gambar 4.16. Spektrum FTIR kitosan standard 46 Gambar 4.17. Spektrum FTIR dari larutan kitosan BM tinggi dengan waktu

penyimpanan 1 hari 47

Gambar 4.18. Spektrum FTIR dari larutan kitosan BM tinggi dengan waktu

penyimpanan 2 hari 48

Gambar 4.19. Spektrum FTIR dari larutan kitosan BM tinggi dengan waktu

penyimpanan 3 hari 48

Gambar 4.20. Spektrum FTIR dari larutan kitosan BM tinggi dengan waktu

penyimpanan 4 hari 49

Gambar 4.21. Spektrum FTIR dari larutan kitosan BM tinggi dengan waktu


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Serapan FTIR Karakteristik untuk Kitin dan Kitosan 6

Tabel 2.2. Spesifikasi Kitosan Niaga 8

Tabel 2.3. Kelarutan Kitosan dalam Berbagai Asam 9 Tabel 2.4. Sifat-sifat dan Pemanfaatan Kitosan 11


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 Data Hasil Pengujian Viskositas Larutan Kitosan 56 Lampiran 2 Spektrum FTIR Kitosan Penyimpanan 1 Hari 57 Lampiran 3 Spektrum FTIR Kitosan Penyimpanan 2 Hari 58 Lampiran 4 Spektrum FTIR Kitosan Penyimpanan 3 Hari 59 Lampiran 5 Spektrum FTIR Kitosan Penyimpanan 4 Hari 60 Lampiran 6 Spektrum FTIR Kitosan Penyimpanan 5 Hari 61


(18)

PENGARUH VISKOSITAS KITOSAN DARI BERBAGAI BERAT MOLEKUL TERHADAP PEMBUATAN KITOSAN

NANOPARTIKEL DENGAN MENGGUNAKAN ULTRASONIC BATH

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap pembuatan kitosan nanopartikel dengan menggunakan ultrasonic bath. Kitosan merupakan salah satu polisakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Dewasa ini aplikasi kitosan telah sangat banyak dan meluas. Perkembangan penelitian kitosan juga telah sangat berkembang salah satunya dengan memodifikasi kitosan menjadi berukuran nano. Banyak cara untuk memodifikasi kitosan menjadi kitosan nanopartikel. Dalam penelitian ini, pengubahan kitosan menjadi kitosan nanopartikel dengan menggunakan instrument ultrasonic bath dengan menggunakan Na-TPP 1% sebagai pengikat silang dan asam oleat sebagai surfaktan dengan memvariasikan berat molekul kitosan, konsentrasi larutan kitosan dan lama penyimpanan larutan kitosan. Data menunjukkan viskositas larutan kitosan menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan kitosan. Larutan kitosan dengan konsentrasi sama, penurunan viskositasnya lebih nyata terlihat pada kitosan berat molekul tinggi dibandingkan kitosan berat molekul sedang. Penurunan viskositas ini terjadi karena kitosan mengalami hidrolisis ketika bereaksi dengan larutan asam. Hasil foto SEM menunjukkan, larutan kitosan 1% dari kitosan berat molekul tinggi dengan penyimpanan 1 hari menghasilkan homogenitas partikel yang paling baik. Karena pada penyimpanan 1 hari kitosan belum mengalami hidrolisis dalam larutan asam. Spectrum FTIR menunjukkan terdapatnya semua gugus fungsi yang khas pada kitosan.


(19)

THE EFFECT OF CHITOSAN VISCOSITY FROM VARIOUS MOLECULAR WEIGHT TO THE MAKING OF NANO PARTICLE CHITOSAN BY USING

ULTRASONIC BATH

ABSTRACT

The effect of chitosan viscosity from various molecular weight to the making of nano particle chitosan by using ultrasonic bath has been studied. Chitosan is one of the natural polysaccharide obtained from the deacetylation of chitin. Today the applications of chitosan have been very numerous and widespread. The development of chitosan research has also highly developed, one of them by modifying chitosan into the nano-sized one. Many ways to modify chitosan into nanoparticles chitosan. In this study, the conversion of chitosan into nanoparticles chitosan by using ultrasonic bath instrument and 1% STPP as crosslinking agent and oleic acid as a surfactant by varying the molecular weight of chitosan, chitosan concentration and the storage time of chitosan solution. Data shows that chitosan solution viscosity decreases along with the storage time of chitosan. Chitosan solution with the same concentration, its viscosity deflation looks more apparently on the chitosan of high weight molecule compared to the chitosan of medium weight molecule. Viscosity decreases because chitosan hydrolyse when it reacts with the acid solution. SEM photos result indicates, 1% chitosan solution of high weight molecular chitosan with 1 day of storage produces the best particles homogenity because it doesn’t have hydrolyis in acidic solutions on the first day of storage. FTIR spectrum shows that it has all of the typical functional groups on chitosan.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kitosan adalah turunan utama kitin, yang disediakan dengan proses deasetilasi kitin. Kitosan pertama kali ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859. Kitosan adalah biopolimer glokosamin linier yang terbentuk dari unit ulang 2-amino-2deoksi-D-glukosa atau disebut (1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa dan ini merupakan nama resmi kitosan yang mempunyai berat molekul rata-rata 120.000 (Muzzarelli, 1977). Namun kitosan dirujuk dari hasil proses deasetilasi kitin dengan derajat polimerisasi yang berbeda-beda

(Agusnar, 2006). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik, pada pH

sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5, juga larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Perlu kita ketahui, bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya (Sugita,2009).

Derajat deasetilasi kitosan dapat diukur dengan berbagai metode dan yang paling lazim digunakan adalah metode garis dasar spektroskopi IR transformasi Fourier (FTIR) yang pertama kali diajukan oleh Moore dan Robert pada tahun 1977. Teknik ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu relatif cepat, contoh tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian tinggi dengan teknik titrimetri dan metode spektroskopi lainnya (Sugita,2009).

Nanoteknologi menjadi salah satu bidang ilmu Fisika, Kimia, Biologi, dan Rekayasa yang penting dan menarik beberapa tahun terakhir ini. Sesuai dengan perkembangan nano teknologi ini, para ahli mengubah partikel kitosan menjadi ukuran nano. Pembuatan kitosan menjadi berukuran nano bertujuan untuk mengefektifkan daya serap (absorbsi) kitosan dengan cara memperluas permukaan kitosan tersebut. Pembuatan Kitosan Nanopartikel didapati beberapa metode, diantaranya menggunakan instrument Ultrasonik bath (Szeto,2007). Pengaruh kondisi


(21)

ultrasonik pada penguraian kitosan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, termasuk parameternya adalah konsentrasi kitosan, suhu reaksi, jenis pelarut yang digunakan dan waktu ultrasonik serta penyimpanan dalam larutan asam, sifat polidispersi terhadap kitosan. Hasilnya menunjukkan bahwa kitosan mengalami kelarutan yang cepat dalam larutan yang encer dari pada dalam larutan yang pekat dan lebih cepat dalam larutan yang bersuhu rendah dari pada dalam larutan yang bersuhu tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Liu, 2005 menunjukkan bahwa penggunaan ultrasonic dapat menurunkan berat molekul kitosan terutama untuk kitosan dengan berat molekul dan derajat deasetilasi yang lebih tinggi.

Dewi, 2010 telah melakukan penelitian mengenai pengaruh waktu penggunaan ultrasonic bath terhadap sifat kitosan nanopartikel, dan hasilnya menunjukkan bahwa nilai derajat deasetilasi akan meningkat dengan meningkatnya waktu penggunaan ultrasonic bath.

Penelitian yang dilakukan Naibaho, 2009 menunjukkan bahwa penyimpanan larutan kitosan dapat mempercepat waktu alir larutan kitosan tersebut, yang tentunya juga mempengaruhi viskositas larutan kitosan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk memodifikasi kitosan menjadi kitosan nanopartikel kemudian meneliti perubahan sifat-sifat karakteristik dari kitosan nanopartikel dengan menggunakan variasi berat molekul kitosan dan variasi lama penyimpanan larutan kitosan.

1.2 Permasalahan

Bagaimanakah pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap karakterisasi kitosan nanopartikel yang dihasilkan.

1.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini hanya dibatasi pada lama penyimpanan larutan kitosan (1, 2, 3, 4 dan 5 hari) terhadap viskositas kitosan dari berbagai berat molekul dan pembuatan


(22)

kitosan nanopartikel dengan menggunakan Ultrasonic bath kemudian dianalisa karakteristiknya dengan menggunakan instrumen FTIR dan SEM.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap karakterisasi kitosan nanopartikel.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting tentang pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap karakteristik kitosan nanopartikel yang dihasilkan.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitosan

2.1.1 Struktur Kitosan

Kitosan adalah polisakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Jika sebagian besar gugus asetil pada kitin disubstitusikan oleh atom hidrogen menjadi gugus amino dengan penambahan larutan basa kuat berkonsentrasi tinggi, hasilnya dinamakan kitosan atau kitin terdeasetilasi (Bastaman, 1989).

Kitosan sebagai poli (β-(1,4)-2-amino-2-Deoksi-D-Glukopiranosa). Kitosan bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang terdeasetilasi sebagian dengan derajat polimerisasi yang berbeda. Kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin dengan derajat deasetilasi antara 80-90% (Uragami, 2006).

Gambar 2.1 Struktur Kitosan


(24)

Kitin dalam kulit udang sebesar 15-20% dan dapat diisolasi melalui proses deproteinasi yang diikuti dengan demineralisasi. Kitin juga dapat diubah menjadi kitosan setelah lebih dari 70% gugus asetil (CH3

Berbagai metode digunakan untuk menyediakan kitosan dengan derajat deasetilasi tertentu, diantaranya Horowitz, Wolfrom, Broussignae dan Fujita (Muzzarelli, 1977). Hidrolisis gugus asetil pada kitin dapat dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH kuat, diikuti pencucian, pengubahan pH dan proses pengeringan. Pada tahap ini kitosan masih berbentuk kepingan kasar dan dapat dihaluskan mengikuti ukuran tertentu (Agusnar, 2006).

CO-)-nya dihilangkan. Kitosan lebih banyak digunakan daripada kitin, karena ternyata penghilangan gugus asetil kitin dapat meningkatkan kelarutannya sehingga kitosan lebih mudah larut.

Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa misalnya NaOH, dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-93%. Namun proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak , sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen. Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai kitosan, sehingga menghasilkan kitosan dengan karakteristik yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya (Sugita.2009).

Proses deasetilasi kitin menggunakan larutan NaOH pekat bertujuan untuk mengubah gugus asetil dari kitin menjadi gugus amina pada kitosan. Perubahan ini dapat dideteksi dengan melihat perubahan spektrum IR kitin dengan hasil deasetilasinya pada panjang gelombang tertentu yang karakteristik. Gugus fungsi yang karakteristik dari spektra FTIR kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Gyliene et al. 2003).


(25)

Tabel 2.1 Serapan FTIR Karakteristik untuk Kitin dan Kitosan

Jenis Vibrasi Bilangan Gelombang (cm

-1)

Kitin Kitosan

OH streching NH (-NH2 NH (-NHCOCH

) streching 3 CH (CH

) streching 3

CH (-CH

) streching 2

CH (-CH

-) streching asym 2

C=O (-NHCOCH

-) streching sym 3

NH (-NHCOCH

-) streching 3

CN (-NHCOCH

-) bending 3

NH (R-NH

-) streching 2

CN streching

) bending CH (-CH2

CH (-CH

-) bending asym 2

C-O (-C-O-C-) streching asym -) bending sym C-O (-C-O-C-) streching sym

3500 - 3265, 3100 2961 (lemah) 2928 2871 1655 1560 1310 - 1426 1378 1077 1024 3450, 3340 3400 - - 2926 2864 1650 (lemah) - - 1596 1200-1020 1418 1377 1082 1033

Perbedaan perlakuan kimia dalam pembuatan kitin dan kitosan menghasilkan perbedaan pada karakteristik kitosan. Untuk menghasilkan kitosan dengan viskositas dan derajat deasetilasi tinggi pada suhu rendah, prosesnya harus dimulai dengan dekalsifikasi dan membutuhkan deasetilasi berulang (Lertsutthiwong. 2002)

Variasi waktu dan lama perendaman alkali terhadap kitin dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang berbeda-beda. Proses yang dipilih akan tergantung pada tujuan aplikasi kitosan. Masing-masing bentuk aplikasi membutuhkan kitosan dengan karakteristik yang berbeda-beda (Emmawati, et al. 2007).


(26)

Penentuan Derajat Deasetilasi dengan menggunakan spektroskopi FTIR dilakukan dengan cara sebagai berikut: kitosan dibuat menjadi pellet dengan KBr hingga membentuk suatu lapisan tipis transparan. Selanjutnya, serapan diukur dengan FTIR. Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih (Sugita.2009).

Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa = 6,5) hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Sifat yang basa ini menjadikan kitosan :

a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.

b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran.

c. Dapat digunakan sebagai pengkelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan system produksi terhadap efek dekstruksi dari ion

Kitosan juga dapat dibuat menjadi membrane film dengan cara, kitosan dilarutkan dalam asam asetat dan seterusnya dituangkan diatas plat kaca, pelarut asam tersebut dibiarkan menguap pada udara terbuka sehingga film terbentuk dan dengan mudah dapat diambil dari permukaan kaca ( Agusnar.2006).


(27)

Tabel 2.2 Spesifikasi Kitosan Niaga

Parameter Ciri

Ukuran Partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (%) ≤ 10,0

Kadar abu (%) ≤ 2,0

Warna larutan Tidak berwarna

N-deasetilasi (%) ≥ 70,0

Kelas Viskositas (cps) : - Rendah

- Medium

- Tinggi pelarut organic - Sangat tinggi

< 200 200-799 800-2000 > 2000 (Sugita, 2009)

2.1.2 Sifat-sifat Fisika dan Kimia Kitosan

Pada umumnya polisakarida alami seperti selulosa, dekstrin, pektin, alginat, agar-agar, karagenan bersifat netral atau sedikit asam, sedangkan kitin dan kitosan bersifat basa (Kumar, 2000).

Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan

rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -10 (pada konsentrasi asam asetat 2%. Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organic pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 juga tidak larut dalam pelarut alcohol, air dan aseton. Dalam asam mineral pekat seerti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Perlu untuk kita ketahui, bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya. Sifat


(28)

fisika dan kimia kitosan tersebut telah dijadikan bagian dalam penentuan spesifikasi kitosan niaga.

Tabel 2.3 Kelarutan Kitosan dalam Berbagai Asam

Konsentrasi Asam Organik Konsentrasi Asam Organik (%)

10 50 >50

Asam asetat + ± -

Asam adipat - - -

Asam sitrat + - -

Asam format + + +

Asam laktat + - -

Asam maleat + - -

Asam malonat + - -

Asam Oksalat + - -

Asam propionate + - -

Asam piruvat + + -

Asam suksinat + - -

Asam tartrat + - -

Ket : + larut - tidak larut ± larut sebagian (Sugita, 2009)

Kitosan dapat membentuk gel dalam N-metilmorpholin N-Oksida yang dapat digunakan dalam formulasi pelepasan obat terkendali. Kandungan nitrogen dalam kitin berkisar 5-8% tergantung pada tingkat deasetilasi sedangkan nitrogen pada kitosan kebanyakan dalam bentuk gugus amino. Maka kitosan bereaksi melalui gugus amino dalam pembentukan N-asilasi dan reaksi basa schiff, merupakan reaksi yang penting (Kumar, 2000).


(29)

Sifat fisik yang khas dari kitosan yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran dan serat yang sangat berperan dalam aplikasinya (Kaban, 2009).

2.1.3 Kegunaan Kitosan

Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Biopolimer tersebut berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, penambahan dalam obat pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif pada kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, penstabil liposome, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, dan antiinfeksi (Sugita.2009).

Kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi, lebih dari 85 %, dan berat molekul rendah dibutuhkan sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan, antitumor dan immunoenhancing. Untuk aplikasi sebagai membran dan pengemas dibutuhkan kitosan dengan derajat deasetilasi sekitar 70 % dan berat molekul tinggi (Emmawati, et al. 2007).

Kitosan sebagai adsorben sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat. Besarnya afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada proses isolasi. Perbedaan bentuk kitosan akan berpengaruh pada luas permukaannya. Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar, dan proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik. Dalam penggunaannya kitosan tidak beracun dan mampu menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kitosan juga dapat digunakan dalam penjernihan atau pengolahan air minum. Pemakaian kitosan pada pengolahan air minum lebih baik dari pada memakai alum atau tawas dan Poli Aluminium Klorida (PAC), karena tawas dan PAC dapat mengakibatkan efek racun bagi kesehatan manusia (Roberts.1991).


(30)

Tabel 2.4. Sifat-sifat dan Pemanfaatan Kitosan

Sifat-sifat Pemanfaatan

Kationik :

Polielektrolit linier bermuatan tinggi Mengkelat ion logam beracun

Pemurnian air Flokulan yang baik Kimiawi :

Berat Molekul tinggi Gugus amino dan hidroksil

Viskositas tinggi, film Modifikasi kimia Biologis :

Biokompatibel, biodegradable Non-toksis, film pengemas

Bioaktivitas

Antimikroba, antitumor

Farmasi : Biokompatible, biodegradable Penyembuh luka, pelepasan obat, kulit sintesis, kontak lensa

Umum-kosmetik :

Pelembab, pakan, penyalut, pelindung

Produk perawatan kulit, perawatan/pemeliharaan rambut

Makanan dan Pertanian: Pengikat ion (asam empedu atau asam lemak)

Penurun kolesterol, antikanker, serat pangan, anti luka

Fungistatik Bakteriologis: Penjerat dan Adsorben

Meningkatkan produksi, bahan penjerat

(Taranathan and Kittur, 2003).


(31)

2.2 Viskositas

Viskositas menyatakan ukuran kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Viskositas cairan akan menimbulkan gesekan antara bagian-bagian atau lapisan-lapisan cairan yang bergerak satu terhadap yang lain. Hambatan atau gesekan yang terjadi ditimbulkan oleh gaya kohesi dalam zat cair.

Setiap fluida mempunyai viskositas yang berbeda-beda yang harganya bergantung pada jenis cairan dan suhu. Pada kebanyakan cairan, viskositasnya turun dengan naiknya suhu. Menurut ’teori lubang’ terdapat kekosongan dalam cairan dan molekul bergerak secara kontinyu ke dalam kekosongan ini, sehingga kekosongan akan bergerak keliling. Proses ini menyebabkan aliran, tetapi memerlukan energy karena ada energi pengaktifan yang harus dipunyai suatu molekul agar dapat bergerak ke dalam kekosongan. Energi pengaktifan lebih mungkin terdapat pada suhu yang lebih tinggi dan dengan demikian cairan lebih mudah mengalir (Yazid,Estein,2005).

Pada penelitian ini, viskositas larutan kitosan diukur menggunakan viscometer Brookfield.

2.3 Berat Molekul Kitosan

Salah satu karakteristik dari larutan polimer berbobot molekul tinggi dibandingkan dengan pelarut murninya adalah kenaikan viskositas larutannya oleh pertambahan konsentrasi. Karena berat/ukurannya yang besar, molekul polimer dalam larutan akan menurunkan mobilitas dan mempengaruhi sifat aliran campuran yang sebanding dengan jumlah molekul terlarut. Karena itu, pengamatan perubahan viskositas ini dapat digunakan untuk menentukan bobot molekul polimer tersebut (Wirjosentono,B, 1995).

Kitosan memiliki berat molekul yang tinggi. Berat molekul dari kitosan bervariasi berdasarkan sumber materialnya dan metode preparasinya. Kitin memiliki berat molekul biasanya lebih besar dari satu juta Dalton sementara berat molekul


(32)

produk. Berat molekul dapat ditentukan dengan beberapa metode seperti viscometry dan light schattering (R.A.A.Muzzarelli).

Nata et al.,2007 dalam Sugita 2009 melakukan penentuan Berat molekul kitosan dengan menggunakan alat viscometer Oswald yang merujuk metode tarbojevich & Cosani (1996). Dalam penentuannya, larutan kitosan perlu disiapkan dengan konsentrasi 0,00, 0,02, 0,04, 0,06 dan 0,08% dalam larutan asam asetat 1%. Sejumlah volume larutan tersebut dimasukkan ke dalam viscometer dan ditentukan waktu alirnya dengan pengukuran berulang. Bobot molekul dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Mark-Houwink sebagai berikut :

Viskositas relative ηr = η/ηo = t/t Viskositas spesifik η

o sp = ηr

η

– 1 sp/c = [η] + k’ [η]2

viskositas intrinsic [η] = KM

c ; dengan nilai k’ 0,3 – 0,7 K = 3,5 x 1

a

a = 0.76

c = konsentrasi larutan t = waktu alir zat to

η = viskositas zat = waktu alir pelarut

ηo

M = bobot molekul zat = viskositas pelarut

Dari data percobaan kemudian dibuat kurva hubungan antara ηsp

ln η

/c dengan c, sehingga diperoleh persamaan :

sp/c = ln [η] + k’ [η]2 c

x y a b (Sugita, 2009)


(33)

Sifat polidispersi kitosan menurun seiring dengan semakin lamanya waktu penggunaan ultrasonic bath, dalam hal ini berbanding lurus dengan penurunan berat molekul. Sedangkan kristalinitas dari kitosan yang diberi perlakuan dengan ultrasonic bath menunjukkan bahwa perlakuan dengan ultrasonic mengubah struktur fisik dari kitosan, terutama bergantung pada penurunan berat molekul. Penggunaan ultrasonic mempertinggi aktivitas antimikroba dari kitosan, terutama bergantung pada berat molekul kitosan (Liu, 2005).

2.4 Nanopartikel

Nanopartikel merupakan partikel yang berukuran sangat kecil, sangat aktif dan memiliki karakteristik sangat istimewa seperti luas permukaan hingga rasio massa yang dapat meningkatkan kapasitas material nano tersebut. Sebagai tambahan dalam hal luas permukaan, nanopartikel juga memiliki sifat penyerapan yang unik.

Karakteristik dari nano partikel sangat beragam berdasarkan hal-hal berikut : a. Ukuran

Ukuran bergantung pada bahan yang digunakan untuk menghasilkan nanopartikel. Sifat-sifat seperti kelarutan, transparansi, warna, absorpsi atau panjang gelombang emisi, konduktivitas, titik leleh dan sifat katalitik berubah hanya karena variasi ukuran partikel.

b. Komposisi

Perbedaan komposisi nanopartikel yang digunakan akan menunjukkan perbedaan sifat fisik-kimia bahan tersebut.

c. Permukaan

Sifat-sifat seperti adsorptivitas, sifat dispersibilitas katalitik, konduktivitas dan sifat optis berubah seiring dengan perbedaan sifat permukaan dari partikel tersebut.


(34)

Nanopartikel memiliki jangkauan aplikasi yang luas mengenai polusi dan monitoring lingkungan. Pengolahan air limbah adalah area yang sangat penting dimana nanopartikel dapat digunakan secara efektif (Ghosh. 2010).

2.4.1 Klasifikasi Nanopartikel

Jain, 2008 mengklasifikasikan nanopartikel menjadi lima macam berdasarkan jenis materi partikel yaitu kuantum dot, nanokristal, lipopartikel, nanopartikel magnetik, dan nanopartikel polimer. Kuantum dot merupakan kristal berukuran nano dari suatu bahan semikonduktor yang bersinar atau berfluoresense apabila dikenai dengan cahaya seperti laser. Kuantum dot memiliki sifat tidak stabil dan sulit larut sehingga penggunaan kuantum dot harus ditanamkan dalam bahan penjerap karet. Beberapa kristal yang sering digunakan sebagai kuantum dot adalah kadmium selenida (CdSe) dan seng selenida (ZnSe). Pembuatan nanopartikel kuantum dot menggunakan gas mikroemulsi pada suhu kamar. Teknik ini memanfaatkan fase terdispersi dari berbagai mikroemulsi untuk beberapa nanoreaktor yang identik. Kuantum dot banyak digunakan sebagai penanda dalam pelacakan protein pada sel hidup, biosensor, ekspresi gen, pengambilan gambar sel hidup secara in vitro, dan melacak keberadaan sel kanker dengan bantuan Magnetic Resonance Imaging (MRI) secara in vivo.

Partikel yang termasuk dalam kuatum dot selain CdSe dan ZnSe adalah nanopartikel emas dan nanopartikel silika (SiO2). Nanopartikel emas digunakan untuk mengetahui keberadaan timbal dalam DNA. Molekul DNA yang melekat pada nanopartikel emas meghasilkan warna biru pada spektroskopi. Keberadaan senyawa timbal mengakibatkan putusnya ikatan molekul DNA dengan nanopartikel emas sehingga menyebabkan perubahan warna menjadi merah. Nanopartikel emas juga dapat digunakan sebagai biosensor dalam mendeteksi adanya penyakit. Metode biosensor menggunakan nanopartikel emas ini lebih akurat dibanding penggunaan molekul fluoresens lainnya karena lebih banyak salinan antibodi dan DNA yang dapat melekat pada nanopartikel emas. Nanopartikel silika diperoleh dari ekstrak cangkang


(35)

silika hasil sedimentasi alga. Nanopartikel ini telah digunakan dalam sistem pengantaran obat dan terapi gen (Jain 2008).

Lipopartikel adalah matriks berukuran nano yang dikelilingi oleh lipid bilayer dan ditanamkan dalam protein membran integral. Jenis nanopartikel ini digunakan dalam biosensor, pengembangan antibodi, penelitian mengenai struktur reseptor kompleks, dan mikrofluida (Jain 2008).

Nanopartikel magnetik merupakan bahan penting untuk sortasi sel, pemisahan protein, dan pengukuran molekul tunggal. Partikel yang digunakan pada aplikasi tersebut harus memenuhi persyaratan seperti keseragaman ukuran, paramagnetik kuat, dan stabil dalam lingkungan larutan penyangga garam (Jain 2008).

2.4.2 Metode Pembuatan Nanopartikel

Menurut Soppimath et al. 2001, sediaan nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode. Hingga saat ini, ada enam metode pembuatan nanopartikel yang sering digunakan yaitu metode emulsifikasi spontan atau difusi pelarut, salting out, fluida superkritis, polimerisasi monomer, polimer hidrofilik, dan dispersi pembentukan polimer.

Metode emulsifikasi spontan menggunakan prinsip difusi antar pelarut larut air seperti aseton dan metanol dengan pelarut organik tidak larut air seperti kloroform dengan penambahan polimer. Difusi yang terjadi antara dua pelarut tersebut mengakibatkan emulsifikasi pada daerah di antara dua fase pelarut. Partikel yang berada antara dua fase pelarut tersebut berukuran lebih kecil dari pada kedua fase pelarut itu sendiri (Soppimath et al. 2001).

Metode salting out merupakan modifikasi dari metode emulsifikasi spontan. Penggunaan pelarut organik pada metode emulsifikasi spontan dapat membahayakan lingkungan serta sistem fisiologis sehingga diperlukan pemisahan pelarut organik (Soppimath et al. 2001).


(36)

Metode fluida superkritis menggunakan senyawa yang memiliki suhu dan tekanan di atas titik kritis. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain karbon dioksida, air, dan gas metan. Senyawa ini digunakan sebagai pengganti pelarut organik yang berbahaya bagi lingkungan (Soppimath et al. 2001).

Metode polimerisasi monomer menggunakan senyawa poliakrilsianoakrilat (PACA). Metil atau etil sianoakrilat dimasukkan dalam media asam dengan penambahan surfaktan. Monomer sianoakrilat ditambahkan dalam campuran yang sedang diaduk dengan magnetic stirrer. Senyawa obat ditambahkan baik sebelum penambahan monomer maupun setelah reaksi polimerisasi. Suspensi nanopartikel yang terbentuk dimurnikan dengan ultrasentrifugasi (Soppimath et al. 2001).

Metode polimer hidrofilik tidak memerlukan surfaktan seperti metode polimerisasi monomer. Polimer yang digunakan dalam metode ini merupakan polimer larut air seperti kitosan larut air, natrium alginat, dan gelatin. Nanopartikel umumnya terbentuk secara spontan ataupun dengan penambahan pengemulsi (Soppimath et al. 2001).

Metode evaporasi pelarut menggunakan pelarut organik seperti diklorometan, kloroform atau etil asetat untuk melarutkan polimer. Senyawa obat atau pengisi ditambahkan dalam campuran kemudian diemulsikan dengan penambahan surfaktan. Homogenasi atau sonikasi dilakukan agar emulsi menjadi stabil. Nanopartikel kemudian dikeringkan untuk memperoleh produk dalam bentuk serbuk nanopartikel. Metode ini sangat cocok dilakukan untuk skala laboratorium (Soppimath et al. 2001). Sementara menurut Mohanraj & Chen, 2006, nanopartikel dibuat dengan tiga teknik yaitu dispersi polimer, polimerisasi monomer, dan proses gelasi ionik. Teknik dispersi polimer dilakukan dengan beberapa cara diantaranya metode evaporasi pelarut dan metode difusi pelarut. Pada metode evaporasi pelarut polimer dan obat yang digunakan masing-masing dilarutkan dalam pelarut organik kemudian ditambahkan surfaktan agar membentuk emulsi minyak dalam air, setelah itu dilakukan penguapan pelarut. Pada teknik polimerisasi, monomer dipolimerisasi dalam larutan berair untuk membentuk nanopartikel. Kemudian suspensi nanopartikel


(37)

dipisahkan dari zat penstabil dan surfaktan dengan menggunakan sentrifugasi. Pada teknik gelasi ionik dilakukan pencampuran antara polimer yang bersifat polikation dengan polianion.

Tiyaboonchai et al. 2003 menyatakan bahwa nanopartikel dapat dibuat melalui empat metode. Metode tersebut diantaranya gelasi ionik, mikroemulsi, difusi emulsifikasi pelarut dan komplek polielektrolit. Metode yang berkembang luas adalah metode gelasi ionik dan metode pembentukan kompleks polielektrolit (Tiyaboonchai et al. 2003). Pada metode gelasi ionik, dilakukan pencampuran polikation kitosan dengan polianion sodium tripolifosfat yang mengakibatkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dan muatan negatif pada TPP. Beberapa peneliti yang menggunakan metode gelasi ionik kitosan dengan TPP antara lain: Kumar (2000) dalam pembentukan nanopartikel kitosan poli(etilen oksida), ukuran nanopartikel yang diperoleh berkisar 200-1000 nm.

2.5 Kitosan Nanopartikel

Kitosan nano adalah kitosan yang mana partikelnya berukuran 100-400 nm. Sekarang ini, banyak ahli-ahli menggunakan kitosan dengan nano teknologi, You Shan Szeto dan Zhigang Hu untuk menyiapkan nanopartikel dimana kitosan dilarutkan dalam asam lemah kemudian ditambahkan larutan yang bersifat basa seperti amoniak, natrium hidroksida atau kalium hidroksida kemudian distirer dengan kecepatan 300 rpm sehingga diperoleh gel kitosan putih dan dibilas dengan aquades sampai netral kemudian ditempatkan pada ultrasonik bath untuk memecah partikel gel kitosan menjadi lebih kecil (Szeto,2007). Sebagian ahli juga mencoba metode lain untuk menyiapkan kitosan nano dengan menambahkan larutan tripoliposfat kedalam larutan kitosan sehingga diperoleh emulsi kitosan sambil distirer dengan kecepatan 1200 rpm kemudian emulsi di buat pH 3,5 dengan menambahkan asam asetat hasilnya akan berupa suspensi kitosan (Cheung, 2008). Kitosan dalam bentuk nanopartikel ini pun bersifat netral, tidak toksik, dan memiliki stabilitas yang konstan


(38)

Kim et al (2006) berhasil membuat kitosan nanopartikel berukuran 50-200 nm menggunakan metode ultrasonikasi dilanjutkan dengan metode pengering beku (Freeze Dryer).

Penelitian nanokitosan umumnya manggunakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan nonionik (Tween 80 dan span 80). Selain itu, ada senyawa yang bisa berfungsi sebagai pengikat silang sekaligus sebagai surfaktan, yaitu asam oleat (Wahyono, 2010).

Umumnya pembentukan ikatan silang ionik antara polikationik kitosan dengan senyawa polianion akan lebih disukai. Tripolifosfat (TPP) yang merupakan senyawa polianion merupakan zat pengikat silang yang baik. Kekuatan mekanik gel kitosan meningkat dengan menggunakan TPP karena TPP memiliki rapatan muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar (Shu & Zhu 2002).

Metode yang paling umum dalam pembuatan nanopartikel melalui proses gelasi ionik yaitu metode magnetic stirrer, metode homogenizer ultrasonik dan metode high speed.. Salah satu contoh metode gelasi ionik ini adalah mencampurkan polimer kitosan dengan polianion sodium tripolifosfat yang menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik (Mohanraj & Chen 2006). Proses terbentuknya kitosan nanopartikel dengan gelasi ionik dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(39)

Dalam penelitian ini, pengikat silang yang digunakan adalah Tripolipospat (TPP).

2.6 Tripolipospat

Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik. Shu dan Zhu (2002) melaporkan bahwa penggunaan tripolifosfat untuk pembentukan gel kitosan dapat meningkatkan mekanik dari gel yang terbentuk. Hal ini karena tripolifosfat memiliki rapatan muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar. Menurut Yongmei dan Yumin (2003) dalam Wahyono (2010), pembentukan nanopartikel hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Peran TPP sebagai zat pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian - bagian yang lebih kecil (Wahyono 2010).

Selain menggunakan pengikat silang, pembuatan kitosan nanopartikel dalam penelitian ini juga menggunakan surfaktan.

2.7 Surfaktan

Penelitian nanopartikel kitosan termodifikasi menggunakan emulsifier yang merupakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Berdasarkan penelitian Silva et al. (2006) diketahui bahwa penambahan surfaktan dapat memperkecil ukuran partikel kitosan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan nonionik (Tween 80 dan Span 80). Beberapa contoh surfaktan nonionik adalah Tween 80 (polietilena sorbitan monooleat) dan Span 80 (sorbitan monooleat). Tween 80 dan Span 80 bersifat


(40)

pangan dan farmasi. Tarirai (2005) dalam Wahyono (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan gel kitosan sebagai pembawa obat ibuprofen dengan menggunakan senyawa pengikat silang tripolifosfat dan senyawa surfaktan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat silang, yaitu asam oleat, sodium laurit sulfat (SLS) dan Tween 80. Dalam penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah asam oleat.

Asam oleat sering digunakan sebagai agen pengemulsi pada makanan dan formula obat-obatan. Asam oleat berwarna kekuningan, larut dalam benzene, kloroform, etanol 95%, eter, hexane, dan tidak larut dalam air.

2.8 Ultrasonic

Ultrasonik didefinisikan sebagai energi akustik atau gelombang suara dengan frekuensi diatas 20 KHz. Ultrasonikasi biasanya dianggap perusak bagi pertumbuhan sel. Ultrasonic meningkatkan transport molekul-molekul kecil dalam larutan berarir dengan meningkatkan konveksi dalam larutan (Ghosh. 2010).

Ultrasonik merupakan vibrasi suara dengan frekuensi melebihi batas pendengaran manusia, yaitu diatas 20 KHz. Batas atas rentang ultrasonik mencapai 5 MHz untuk gas dan mencapai 500 MHz untuk cairan dan padatan. Penggunaan ultrasonic berdasarkan rentangnya yang luas ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama termasuk suara beramplitudo rendah (frekuensi lebih tinggi) dan berkaitan dengan efek fisik medium pada gelombang dan biasanya disebut “gelombang energi rendah” atau “ultrasonic frekuensi tinggi”. Biasanya, gelombang amplitudo rendah digunakan dalam tujuan analisis untuk mengukur kecepatan dan koefisien absorpsi gelombang dalam medium pada rentang 2 sampai 10 MHz. Yang kedua adalah gelombang energi tinggi (frekuensi rendah), yang dikenal dengan “ultrasonic energi tinggi” dan terletak antara 20 – 100 KHz. Jenis kedua ini digunakan untuk pembersihan, pembentukan plastik, dan yang terbaru adalah untuk sonokimia (Mason et al., 2002).


(41)

Beberapa aspek penting dari sonokimia adalah aplikasinya dalam pembuatan dan modifikasi bahan-bahan organik maupun nonorganik. Ultrasonik intensitas tinggi dapat menginduksi konsekuensi fisika dan kimia yang cukup luas. Efek fisika dari ultrasonic intensitas tinggi salah satunya adalah emulsifikasi. Pada sistem polimer termasuk dispersi bahan pengisi dan bahan lainnya kedalam polimer dasar (contohnya pada formulasi cat), enkapsulasi partikel inorganic dengan polimer, modifikasi ukuran partikel pada serbuk polimer, hingga pembentukan dan pemotongan termoplastik.

Sedangkan efek kimianya, gelombang ultrasonik tidak secara langsung berinteraksi dengan molekul-molekul untuk menginduksi suatu perubahan kimiawi. Ini karena panjang gelombang ultrasonik yang terlalu panjang jika dibandingkan dengan panjang gelombang molekul-molekul. Interaksi gelombang ultrasonik dengan molekul-molekul terjadi melalui media perantara berupa cairan. Gelombang yang dihasilkan oleh tenaga listrik (lewat tranduser) diteruskan oleh media cair ke medan yang dituju melalui fenomena kavitasi akustik yang menyebabkan terjadinya temperatur dan tekanan lokal ekstrem dalam cairan dimana reaksi terjadi.

Gelombang suara biasanya diaplikasikan pada medium cairan menggunakan ultrasonic bath atau ultrasonic horn. Medan listrik bolak-balik (sekitar 20 - 50 KHz) menghasilkan vibrasi mekanis pada tranduser yang menyebabkan probe bervibrasi pada frekuensi medan listrik yang digunakan. Molekul-molekul cairan dibawah pengaruh medan akustik yang digunakan akan bervibrasi pada posisi seimbangnya dan tekanan akustik (Pa = PA sin 2π ft) akan tumpang tindih dengan tekanan lingkungan (biasanya tekanan hidrostatik, Ph). Selama perambatan gelombang suara dalam medium intensitas gelombang semakin menurun seiring makin besarnya jarak dari sumber radiasi.

Kitosan nano partikel yang telah dihasilkan dengan menggunakan instrument ultrasonic bath, dikeringkan dengan metode pengeringan beku (freeze drying).


(42)

2.9 Metode Freeze Drying

Freeze dryer awalnya digunakan untuk mengeringkan artefak. Spesimen basah dibekukan secepat mungkin, khususnya dengan kecepatan pendinginan ratusan derajat Celsius per detik. Ukuran dari Kristal es yang terbentuk dalam spesimen bergantung pada kecepatan pendinginan, Pendinginan lambat menghasilkan Kristal berukuran besar dan sebaliknya.

Prinsip metode freeze drying adalah pengeringan suspensi sel dari fase cair dengan cara sublimasi melalui proses pembekuan terlebih dahulu. Proses freeze-drying dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama, yaitu proses pembekuan. Tahap kedua, yaitu proses pengeringan primer melalui proses sublimasi pada suhu rendah, sehingga menyebabkan sebagian besar air tertarik dari suspensi beku sel. Tahap ketiga, yaitu proses pengeringan sekunder pada suhu yang lebih tinggi dengan tujuan mengeringkan sisa air (Matejtschuk 2007).

• Tahap Freezing

Freezing adalah tahapan pertama dalam freeze-drying. Dalam tahap ini, suspensi larutan didinginkan, dan kristal es dari air murni terbentuk. Karena proses freezing terus berlanjut, maka ada semakin banyak air dalam cairan yang membeku. Hal ini menyebabkan meningkatnya konsentrasi dari cairan yang tertinggal. Ketika suspensi cairan menjadi lebih terkonsentrasi, peningkatan viskositasnya menghalangi kristalisasi lebih lanjut. Cairan yang mengeras dengan konsentrasi dan viskositas yang tinggi ini berfasa amorf, kristal atau gabungan amorf-kristal. Sebagian kecil air yang tertinggal dalam cairan dan tidak membeku disebut bound water.

• Tahap Primary Drying

Tahap primary drying melibatkan sublimasi es dari produk yang membeku. Dalam tahap ini, 1) panas berpindah dari shelf ke larutan yang membeku melalui tray dan vial, dan terjadilah sublimasi, 2) es yang tersublimasi dan uap air yang terbentuk keluar melewati bagian yang kering dari produk menuju permukaan sampel, 3) uap


(43)

air berpindah dari permukaan produk ke kondensor melalui chamber, dan 4) uap air terkondensasi di dalam kondensor. Di akhir tahap sublimasi terbentuklah bagian yang berpori-pori. Tiap-tiap pori cocok dengan ruangan yang diisi dengan kristal es.

• Tahap Secondary Drying

Tahap secondary drying melibatkan penghilangan air yang diserap dari produk. Ini adalah air yang tidak dapat dipisahkan sebagai es pada tahap freezing, dan juga tidak dapat tersublimasi.

Ukuran sistem yang khas dari freeze dryer terdiri dari drying chamber mengandung shelves yang dapat diatur temperaturnya, yang dihubungkan dengan condenser chamber melalui katup besar. Condenser chamber merupakan tempat dari rangkaian plates atau coil yang temperaturnya dapat dipertahankan pada titik yang sangat rendah (di bawah -50oC). Satu atau lebih pompa vakum dalam rangkaian yang dihubungkan ke condenser chamber untuk dapat mencapai tekanan antara 4-40 Pa di dalam keseluruhan sistem selama pengoperasian.

Kitosan nanopartikel yang telah dikeringkan dengan freeze dryer kemudian diuji karakteristiknya dengan menggunakan SEM dan FTIR.

2.10 Spektrofotometer Fourier Transform Inframerah (FTIR)

Spektrofotometer inframerah digunakan untuk memastikan senyawa yang diuji merupakan senyawa kitosan dengan melihat gugus fungsinya. Konsep radiasi infra merah diajukan pertama kali oleh Sir William Herschel (1800) melalui percobaannya mendispersikan radiasi matahari dengan prisma. Ternyata pada daerah sesudah sinar merah menunjukkan adanya kenaikan temperatur tertinggi yang berarti pada daerah panjang gelombang radiasi tersebut banyak kalori (energi tinggi). Daerah spektrum tersebut selanjutnya disebut infrared. Spektroskopi inframerah ditujukan untuk maksud penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa kualitatif, disamping untuk tujuan analisis kuantitatif (Mulja, M., 1995 ).


(44)

Spektrofotometer inframerah konvensional dikenal sebagai alat dispersi. Dengan terhubung pada komputer dan mikroposesor sebagai alat dasarnya, hal ini telah tersebar luas dan dikenal dengan nama alat Fourier transform infrared (FTIR) spectrometer, yang mana mempengaruhi sejumlah keuntungan. Dibandingkan suatu kinerja pada monokromator, alat FTIR memakai suatu interferometer untuk mendeteksi peak yang mengandung pengganggu yang terdeteksi.

Pada alat interferometer, radiasi dari sumber IR konvensional dibedakan kedalam dua alur oleh suatu pemisah berkas cahaya, satu alur menuju posisi cermin yang ditentukan, dan yang lainnya menjauhi cermin. Ketika berkas cahaya dipantulkan, salah satu cahaya dipindahkan (keluar dari tahap) dari yang lainnya sejak ia menjadi lebih kecil (ataupun lebih besar) tujuan jaraknya untuk menjauhi cermin, dan mereka dikombinasikan kembali untuk menghasilkan suatu rumus gangguan (semua panjang gelombang dalam berkas cahaya) sebelum melewati sampel. Sampel mendeteksi secara serentak semua panjang gelombang, dan menukar rumus gangguan dengan waktu seperti cermin yang terusmenerus diteliti pada percepatan linier.Hasil penyerapan radiasi oleh sampel merupakan suatu spectrum dalam daerah waktu, yang disebut suatu interferogram, yang menyerap intensitas sebagai fungsi dari lintasan optis yang membedakannya dengan kedua berkas cahaya tersebut (Cristian,D.G.2005).

Suatu jenis interferogram yang mana tinggi bagian signal yang dihasilkan ketika kedua kaca diletakkan sama jauh dari pemisah berkas cahaya, ketika gangguan yang merusak diantara kedua cermin tersebut bernilai nol, dan disebut sebagai pusat masalah. Intensitas mulai menjauh secara cepat dari ini, menuju gangguan. Ini disesuaikan dengan menggunakan komputer, kedalam daerah frekuensi untuk mengetahui operasi matematika yang dikenal sebagai Fourier transformation (karenanya lebih dikenal dengan nama Fourier Transform Infra-red Spectrophotometer). Suatu hasil spektrum inframerah yang ditunjukkan secara konvensional (Cristian,D.G.2005).


(45)

Ketebalan film merupakan parameter kkritis dalam mempelajari IR dari degradasi polimer. Suatu reaksi panas oksidatif mungkin menjadi kontrol difusi jika film tebal lebih besar dari pada nilai tertentu. Dalam degradasi termal pada polimer, tingkatan difusi pada produk yang mudah menguap menjadi lebih dominan dan sisi reaksi diantara produk dan rantai radikal mungkin menjadi lebih besar luasnya dengan meningkatnya ketebalan film. Hal tersebut dicatat bahwa dalam film yang benar-benar tipis tingkat degradasi dapat ditinggkatkan untuk volatilisasi pada radikal-radikal dengan hasil pada reaksi radikal yang non-steady-state. Ini merupakan awal tujuan dari Florin et all untuk menjelaskan peningkatan tingkat degradasi pada polytetrafluoroetilena irradisi-ƒÁ dengan berkurangnya ketebalan film (Allen.1983).

2.10.1 Kegunaan Spektrofotometer

Spektrofotometer Fourier Transform Inframerah dapat melakukan semua yang dapat dilakukan oleh spektrometer IR sederhana tetapi harganya lebih mahal. Oleh karena itu keahliannya memanipulasi dalam perlakuan dimana yang lainnya tidak dapat melakukannya, yang mana tidak bagus kecepatan dan kesensitifannya.

Piktogram sampel dapat memberikan spectra yang bagus, khususnya jika berkas cahaya difokuskan pada sampel dengan cermin atau sebuah lensa KBr. Diameter berkas cahaya pada beberapa mikrometer yang mungkin, dan hal tersebut menguntungkan jika sebuah mikrodetektor digunakan dalam kesatuan, jika detektor besar maka akan menghasilkan suara dari area itu yang mana tidak dalam berkas cahaya.

Menurut Dachriyanus (2004), spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk: 1) Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik, dan 2) Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2,5 - 50 ƒÊm atau


(46)

menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Spektrum yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah (Dachriyanus, 2004).

2.10.2 Syarat Interpretasi Spektrum

Tidak ada aturan yang pasti dalam menginterpretasikan spektrum IR. Tetapi beberapa syarat harus dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum :

1. Spektrum harus tajam dan jelas serta memiliki intensitas yang tepat. 2. Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni.

3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilkan pita atau serapan pada bilangan gelombang yang tepat.

4. Metoda penyiapan sampel harus dinyatakan. Jika digunakan pelarut maka jenis pelarut, konsentrasi dan tebal sel harus diketahui.

Karakteristik frekuensi vibrasi IR sangat dipengaruhi oleh perubahan yang sangat kecil pada molekul sehingga sangat sukar untuk menentukan struktur berdasarkan data IR saja. Spektrum IR sangat berguna untuk mengidentifikasikan suatu senyawa dengan membandingkannya dengan spektrum senyawa standar terutama pada daerah sidik jari. Secara praktikal, spektrum IR hanya dapat digunakan untuk menentukan gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).

2.11 Scanning Electron Microscopy (SEM)

Mikroskop merupakan alat untuk melihat benda yang berukuran kecil (mm). Salah satu jenis mikroskop adalah SEM (scanning electron microscopy). Scanning Electron Microscopy (SEM) menggunakan elektron dan cahaya tampak sebagai sumber cahayanya. Elektron menghasilkan gelombang yang lebih pendek dibandingkan cahaya foton dengan ukuran 0,1 nm dan menghasilkan gambar dengan resolusi yang lebih baik (Lee, 1993).


(47)

Mikroskop elektron payaran (SEM) digunakan dalam pengamatan morfologi dan penentuan ukuran nanopartikel. Metode ini merupakan cara yang efisien dalam memperolah gambar permukaan spesimen. Cara kerja mikroskop ini adalah dengan memancarkan elektron ke permukaan spesimen. Informasi tentang permukaan partikel dapat diperoleh dengan pengenalan probe dalam lintasan pancaran elektron yang mengenai permukaan partikel. Informasi juga dapat dibawa oleh probe yang menangkap elektron pada terowongan antara permukaan partikel spesimen dengan tip probe atau sebuah probe yang menangkap gaya dorong antara permukaan dengan tip probe.

Pada sebuah mikroskop elektron (SEM) terdapat beberapa peralatan utama antara lain :

1. Pistol elektron, biasanya berupa filamen yang terbuat dari unsur yang mudah melepas elektron misal tungsten.

2. Lensa untuk elektron, berupa lensa magnetis karena elektron yang bermuatan negatif dapat dibelokkan oleh medan magnet.

3. Sistem vakum, karena elektron sangat kecil dan ringan maka jika ada molekul udara yang lain elektron yang berjalan menuju sasaran akan terpencar oleh tumbukan sebelum mengenai sasaran sehingga menghilangkan molekul udara menjadi sangat penting.

Prinsip kerja dari SEM adalah sebagai berikut:

1. Sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda. 2. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel.

3. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai.

4. Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor (CRT).


(48)

Gambar 2.4 Skema SEM

Ada beberapa sinyal yang penting yang dihasilkan oleh SEM. Dari pantulan inelastis didapatkan sinyal elektron sekunder dan karakteristik sinar X sedangkan dari pantulan elastis didapatkan sinyal backscattered electron.

Perbedaan gambar dari sinyal elektron sekunder dengan backscattered adalah sebagai berikut: elektron sekunder menghasilkan topografi dari benda yang dianalisa, permukaan yang tinggi berwarna lebih cerah dari permukaan rendah. Sedangkan backscattered elektron memberikan perbedaan berat molekul dari atom – atom yang menyusun permukaan, atom dengan berat molekul tinggi akan berwarna lebih cerah daripada atom dengan berat molekul rendah.

Namun untuk mengenali jenis atom dipermukaan yang mengandung multi atom para peneliti lebih banyak menggunakan teknik EDS (Energy Dispersive Spectroscopy). Sebagian besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan ini, namun tidak semua SEM punya fitur ini. EDS dihasilkan dari Sinar X karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar X pada posisi yang ingin kita ketahui komposisinya. Maka setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul puncak –


(49)

puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung. Dengan EDS kita juga bisa membuat elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna berbeda – beda dari masing – masing elemen di permukaan bahan. EDS bisa digunakan untuk menganalisa secara kunatitatif dari persentase masing – masing elemen.

Sedangkan kelemahan dari teknik SEM antara lain: 1. Memerlukan kondisi vakum

2. Hanya menganalisa permukaan 3. Resolusi lebih rendah dari TEM

4. Sampel harus bahan yang konduktif, jika tidak konduktor maka perlu dilapis logam seperti emas

Scanning electron microscopy (SEM) menghasilkan gambar dari suatu permukaan spesimen dengan kedalaman fokus 500 kali lebih besar dibandingkan mikroskop cahaya. Gambar yang dihasilkan memiliki fokus yang baik pada kedalaman spesimen, sehingga gambar yang dihasilkan berupa bentuk tiga dimensi spesimen. Hal ini disebabkan oleh ketajaman pancaran elektron yang menyinari spesimen. Mikroskop SEM memiliki perbesaran hingga 50.000 kali (Fujit et al. 1981).


(50)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian FMIPA Universitas Sumatera Utara sedangkan karakterisasi dilakukan ditempat lain.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1 Alat-alat

- Neraca analitis

- Gelas ukur pyrex - Labu takar pyrex - Gelas Beker pyrex - Plat kaca

- FTIR Shimadzu

- Ultrasonik bath

- Viskometer Brookfield

- SEM

3.2.2 Bahan

- Kitosan komersil

- Na. TPP p.a merck

- Asam Oleat p.a merck

- Etanol p.a merck

- CH3

- Aquades


(51)

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pembuatan Larutan Asam Asetat 1%

Diukur 10 ml asam asetat p.a merck, kemudian dimasukkan kedalam labu takar 1 L dan di encerkan dengan aquades sampai garis tanda.

3.3.2. Pembuatan Larutan Asam Oleat 50%

Diukur 50 ml asam oleat p.a. merck dan diencerkan dengan menggunakan etanol 95% hingga 100 ml.

3.3.3. Pembuatan larutan Na- TPP 1%

Ditimbang 1 gram serbuk Na-TPP kemudian dilarutkan dengan aquades dan diencerkan hingga 100 ml.

3.3.4. Pembuatan Larutan Kitosan

Kitosan dengan Berat Molekuli tinggi dilarutkan dalam asam asetat 1% dalam gelas beker sehingga dihasilkan larutan kitosan dengan konsentrasi 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1%, kemudian diaduk dengan waktu pengadukan selama 10 menit hingga homogen. Larutan kitosan yang dihasilkan disimpan selama 1, 2 3, 4, 5 hari dan dilakukan pengujian viskositas larutan setiap harinya.

Dilakukan prosedur yang sama untuk kitosan dengan berat molekul sedang.

3.3.5. Pembuatan Kitosan Nanopartikel

Larutan kitosan diteteskan larutan Na-TPP 1% dan asam oleat. Larutan kemudian di aduk dengan kecepatan 200 rpm selama 20 menit. Larutan tersebut ditempatkan pada ultrasonik bath selama 5 menit yang bertujuan untuk memecahkan larutan kitosan tersebut menjadi partikel yang lebih kecil. Kemudian larutan tersebut dikeringkan dengan Freeze drying kemudian diuji karakterisasinya dengan FTIR dan SEM.


(52)

3.4. Bagan Penelitian

3.4.1. Pembuatan Larutan Asam Asetat 1%

3.4.2. Pembuatan Larutan Asam Oleat 50%

3.4.3. Pembuatan Larutan Na-TPP 1%

Asam Asetat

Di ukur 10 ml

Dimasukkan dalam labu takar 1 L

Diencerkan dengan aquades sampai garis

Larutan Asam Asetat 1%

Asam Oleat

Di ukur 50 ml

Dimasukkan dalam labu takar 100 ml Diencerkan dengan etanol 95% sampai garis

Larutan Asam Oleat 50%

Na-TPP

Ditimbang sebanyak 1 gram Di larutkan dengan aquades

Diencerkan dengan aquades hingga 100 ml Larutan Na-TPP 1%


(53)

3.4.4. Pembuatan larutan kitosan

Dilakukan prosedur yang sama untuk kitosan dengan BM sedang.

3.4.5. Pembuatan Kitosan Nanopartikel Kitosan BM tinggi

Larutkan dalam asam asetat 1% Di aduk

Larutan Kitosan 0,2 %, 0,4 %, 0,6%, 0,8% dan 1%

Hasil

Di simpan selama 1, 2, 3, 4 dan 5 hari Di uji viskositasnya dengan viscometer Brookfield

Larutan Kitosan

Di tambahkan Na-TPP 1% tetes demi tetes dan asam oleat sambil diaduk

Dimasukkan ke dalam ultrasonic bath selama 5 menit Larutan Kitosan Nanopartikel

Dikeringkan dalam freeze dryer Kitosan


(54)

Dilakukan prosedur yang sama untuk kitosan BM tinggi dan sedang untuk berbagai variasi konsentrasi dan waktu penyimpanan larutan


(55)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Uji Viskositas Larutan Kitosan

Pengujian viskositas larutan kitosan dilakukan dengan menggunakan viscometer Brookfield. Data hasil pengujian viskositas larutan kitosan dengan variasi lama penyimpanan disajikan dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1. Viskositas Larutan Kitosan dengan Perbedaan Waktu

Hari

Viskositas Larutan Kitosan (cps)

0,2% 0,4% 0,6% 0,8% 1%

KS1 KS2 KS1 KS2 KS1 KS2 KS1 KS2 KS1 KS2 1 43 65 135 210 300 460 490 850 760 1550 2 38 59 112 205 286 424 412 811 646 1300 3 35 53 98 192 249 388 385 744 575 1215 4 31 46 87 181 205 347 366 695 505 1168 5 27 40 78 165 189 306 315 637 485 1115 Keterangan : KS1

KS

= kitosan berat molekul sedang 2 = kitosan berat molekul tinggi

Perubahan viskositas larutan kitosan dapat dilihat pada hari ke-1 dimana pada hari ke – 2 dan seterusnya didapati nilai yang menurun disebabkan telah terjadi hidrolisis pada larutan kitosan setiap harinya.


(56)

Gambar 4.1. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 0,2%

Pada larutan kitosan 0,2% (gambar 4.1) terjadi penurunan viskositas mulai penyimpanan hari 1 sampai 5 sebesar 16 cps untuk kitosan dengan berat molekul sedang. Sementara untuk kitosan dengan berat molekul tinggi, terjadi penurunan sebesar 25 cps.

Gambar 4.2. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 0,4%

0 10 20 30 40 50 60 70

1 2 3 4 5

43 38 35 31 27 65 59 53 46 40 Vi sk o si ta s ( cp s) Hari KS1 KS2 0 50 100 150 200 250

1 2 3 4 5

135

112

98

87

78

210 205

192 181 165 Vi sk o si ta s ( cp s) Hari KS1 KS2


(57)

Pada larutan kitosan 0,4% (gambar 4.2) terjadi penurunan viskositas mulai penyimpanan hari 1 sampai 5 sebesar 57 cps untuk kitosan dengan berat molekul sedang. Sementara untuk kitosan dengan berat molekul tinggi, terjadi penurunan sebesar 45 cps.

Gambar 4.3. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 0,6%

Pada larutan kitosan 0,6% (gambar 4.3) terjadi penurunan viskositas mulai penyimpanan hari 1 sampai 5 sebesar 111 cps untuk kitosan dengan berat molekul sedang. Sementara untuk kitosan dengan berat molekul tinggi, terjadi penurunan sebesar 154 cps.

0 100 200 300 400 500

1 2 3 4 5

300 286

249

205 189

460 424 388 347 306 Vi sk o si ta s ( cp s) Hari KS1 KS2 0 200 400 600 800 1000

1 2 3 4 5

490

412 385

366

315

850 811

744 695 637 Vi sk o si ta s ( cp s) Hari KS1 KS2


(58)

Pada larutan kitosan 0,8% (gambar 4.4) terjadi penurunan viskositas mulai penyimpanan hari 1 sampai 5 sebesar 175 cps untuk kitosan dengan berat molekul sedang. Sementara untuk kitosan dengan berat molekul tinggi, terjadi penurunan sebesar 213 cps.

Gambar 4.5. Grafik perubahan viskositas larutan kitosan 1%

Pada larutan kitosan 1% (gambar 4.5) terjadi penurunan viskositas mulai penyimpanan hari 1 sampai 5 sebesar 275 cps untuk kitosan dengan berat molekul sedang. Sementara untuk kitosan dengan berat molekul tinggi, terjadi penurunan sebesar 435 cps.

Dari pengujian viskositas diketahui bahwa viskositas larutan kitosan menurun seiring dengan lamanya penyimpanan larutan kitosan. Pada larutan kitosan 0,2% penurunan viskositas yang terjadi tidak terlalu signifikan, namun pada larutan kitosan 1% terjadi penurunan viskositas yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan karena terjadinya hidrolisis antara kitosan dengan larutan asam asetat. Kitosan memiliki gugus hidroksil dan amina yang dapat memberi jembatan hydrogen secara intermolekuler dan intramolekuler. Semakin lama waktu kontak antara kitosan

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

1 2 3 4 5

760

646

575

505 485

1550

1300

1215

1168 1115

Vi sk o si ta s ( cp s) Hari KS1 KS2


(59)

dengan asam asetat, ikatan hydrogen yang terbentuk antara Hidrogen dari gugus amina pada kitosan dengan Hidrogen dari asam asetat juga semakin banyak.

Menurut Muzzarelli 1977, untuk konsentrasi yang sama dengan berat molekul yang berbeda akan semakin nyata perubahan hidrolisis yang terjadi pada larutan kitosan, ini menunjukkan data pengujian viskositas larutan kitosan yang dilakukan memang mengalami hidrolisisis sesuai yang dilaporkan Muzzarelli.

Demikian juga untuk kitosan dengan berat molekul sama, semakin tinggi konsentrasi maka penurunan viskositas juga semakin nyata terlihat. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi berarti semakin banyak kitosan yang terlarut dalam larutan asam yang juga berarti semakin banyak gugus hidroksil dan amina yang terdapat dalam larutan sehingga semakin banyak jembatan hydrogen yang dapat terbentuk akibat kontak dengan larutan asam.

4.2Karakterisasi dengan SEM

Kitosan nanopartikel yang dihasilkan, dikarakterisasi dengan menggunakan instrument SEM untuk melihat morfologi partikel nano kitosan sehingga dapat diketahui homogenitas ukuran partikel yang dihasilkan.

Dari pengujian viskositas, diperoleh bahwa viskositas larutan kitosan yang paling tinggi adalah viskositas larutan kitosan 1%. Kitosan dengan viskositas tinggi ini kemudian dibuat menjadi kitosan nanopartikel dan diuji karakterisasinya dengan menggunakan instrument SEM.


(60)

Gambar 4.6. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul sedang pada penyimpanan 1 hari

Dari gambar yang dihasilkan (gambar 4.6), dapat dilihat bahwa ukuran partikel nanokitosan yang dihasilkan kurang homogen, hal ini ditunjukkan dengan terdapatnya gumpalan pada gambar SEM yang dihasilkan.

Gambar 4.7. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul tinggi pada penyimpanan 1 hari


(61)

Dari gambar yang dihasilkan (gambar 4.7), dapat dilihat bahwa ukuran partikel nanokitosan yang dihasilkan sangat homogen ditunjukkan dengan meratanya bentuk partikel yang terlihat pada gambar SEM yang dihasilkan.

Gambar 4.8. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul sedang pada penyimpanan 2 hari (tidak homogen)


(62)

Gambar 4.10. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul sedang pada penyimpanan 3 hari (tidak homogen)

Gambar 4.11. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul tinggi pada penyimpanan 3 hari (tidak homogen)


(63)

Gambar 4.12. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul sedang pada penyimpanan 4 hari (tidak homogen)

Gambar 4.13. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul tinggi pada penyimpanan 4 hari (tidak homogen)


(64)

Gambar 4.14. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul sedang pada penyimpanan 5 hari (tidak homogen)

Gambar 4.15. SEM kitosan nanopartikel dari kitosan dengan berat molekul tinggi pada penyimpanan 5 hari (tidak homogen)


(65)

Dari sepuluh sampel yang diuji SEM, dapat terlihat bahwa kitosan nanopartikel yang dihasilkan paling baik adalah kitosan nanopartikel yang dibuat dari kitosan dengan berat molekul tinggi dan waktu penyimpanan larutan kitosan 1 hari (gambar 4.7.)

Pada gambar 4.7. terlihat bahwa kitosan nanopartikel yang dihasilkan memiliki morfologi yang seragam (homogen). Hal ini dikarenakan, pada kitosan dengan berat molekul tinggi dan waktu penyimpanan 1 hari, belum terjadi degradasi sehingga pengubahan kitosan menjadi ukuran nano menghasilkan partikel berukuran seragam (homogen). Sebaliknya, pada kitosan yang telah mengalami penyimpanan lebih dari 1 hari, gambar SEM menunjukkan adanya gumpalan-gumpalan yang berarti adanya perbedaan ukuran partikel dikarenakan telah terjadi degradasi pada kitosan akibat lamanya kontak dengan larutan asam.

4.3Hasil Uji FTIR


(66)

Gambar 4.17. Spektrum FTIR kitosan BM tinggi dengan waktu penyimpanan 1 hari

Pada data gambar 4.17 didapati bahwa spectrum FTIR kitosan hari 1 menunjukkan pita serapan pada bilangan gelombang 3446,8 cm-1 menujukkan adanya regangan N─H yang berhimpitan dengan O-H. Adanya puncak pada serapan bilangan gelombang 2877,6 cm-1 menunjukkan adanya regangan C─H pada CH 3 dan CH2.. Adanya puncak pada serapan bilangan gelombang 1697,3 cm-1 menunjukkan adanya regangan C=O. Adanya puncak pada serapan bilangan gelombang 1376,6 cm-1 menunjukkan adanya lentur C─H, sedangkan pada pita serapan bilangan gelombang 1034,9 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C─O. Hal ini didapati bersesuaian dengan spectrum FTIR pada kitosan standard (gambar 4.16). pada gambar 4.17 hingga 4.21 menunjukkan spectrum FTIR telah mengalami perubahan pada bilangan gelombang 3446,8 cm-1 pada hari 1, 3446,7 cm-1 pada hari 2, 3442,6 cm-1 pada hari 3, 3445,6 pada hari 4 dan 3446,3 cm-1 pada hari 5 dimana spectrum semakin melebar. Adanya pelebaran puncak serapan ini disebabkan terjadinya hidrolisis pada larutan kitosan setiap harinya.


(67)

Gambar 4.18. Spektrum FTIR kitosan BM tinggi dengan waktu penyimpanan 2 hari

Gambar 4.19. Spektrum FTIR kitosan BM tinggi dengan waktu penyimpanan 3 hari

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400.0 2.5 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16.2 cm-1 % T 3836.63,10.28 3446.73,2.50 2905.51,5.91 2147.10,14.80 1595.02,5.49 1537.92,9.35 1475.44,6.86 1423.68,6.35 1376.06,5.62 1255.94,9.29 1152.16,4.13 1083.92,2.81 1034.54,2.98 894.35,7.82 591.83,5.42


(68)

Gambar 4.20. Spektrum FTIR kitosan BM tinggi dengan waktu penyimpanan 4 hari

Gambar 4.21. Spektrum FTIR kitosan BM tinggi dengan waktu penyimpanan 5 hari

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400.0 0.8 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15.0 cm-1 % T 3445.67,1.11 2885.67,2.64 2150.57,13.13 1595.31,3.74 1423.57,3.41 1385.09,3.44 1324.98,4.34 1251.69,5.31 1153.07,1.38 1083.66,0.82 1035.46,0.92 894.13,3.48 662.59,3.07 591.86,2.82


(69)

Dari karakterisasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kitosan nanopartikel yang dihasilkan paling baik adalah kitosan nanopartikel yang dibuat dari kitosan berat molekul tinggi dengan penyimpanan selama 1 hari.

Kitosan dapat larut dalam asam asetat. Adanya gugus karboksil (-COOH) dalam asam asetat akan memudahkan pelarutan kitosan karena terjadinya interaksi hidrogen

antara gugus karboksil dengan gugus amina dari kitosan (Dunn et al.1997). semakin lama

interaksi antara kitosan dengan asam asetat makan semakin banyak interaksi hydrogen yang terjadi. Hal ini ditunjukkan oleh spectrum FTIR dimana terjadi pelebaran puncak pada pita serapan –OH.

Dari data percobaan yang dilakukan oleh Ramadhan, 2010 diketahui bahwa nilai Derajat Deasetilasi berkaitan dengan Berat Molekul Kitosan, dimana semakin tinggi derajat deasetilasi maka berat molekul kitosan akan semakin rendah. Lebih tingginya nilai Derajat deasetilasi menunjukkan lebih banyaknya gugus asetil yang hilang. Pada kitosan dengan berat molekul tinggi, gugus asetil yang hilang lebih sedikit daripada kitosan berat molekul sedang sehingga gugus asetil lebih banyak terdapat pada kitosan berat molekul tinggi. Lebih banyaknya gugus asetil ini disebabkan faktor morfologi rantai yang gugus asetamidanya semakin banyak pada derajat deasetilasi lebih rendah sehingga larutannya dalam asam akan menghasilkan larutan dengan viskositas lebih tinggi.

Pada kitosan berat molekul tinggi, gugus asetil yang berubah menjadi gugus amina terdapat lebih sedikit daripada kitosan berat molekul sedang. Banyaknya gugus amina yang terdapat pada kitosan berat molekul sedang ini mengakibatkan ketika kitosan berat molekul sedang dilarutkan dalam asam lemah seperti asam asetat akan menyebabkan lebih banyak interaksi hydrogen antara gugus karboksil dari asam asetat dengan gugus amina dari kitosan jika dibandingkan dengan kitosan berat molekul tinggi, sehingga kitosan berat molekul sedang lebih banyak terdegradasi daripada kitosan berat molekul tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan hasil foto SEM yaitu morfologi kitosan nanopartikel yang dihasilkan dari kitosan berat molekul tinggi lebih homogen daripada


(70)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Dari pengujian viskositas larutan kitosan dengan variasi konsentrasi 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1%, viskositas tertinggi adalah viskositas larutan kitosan 1% yang berasal dari kitosan Berat Molekul tinggi dengan penyimpanan 1 hari.

2. Dari pengujian dengan SEM diperoleh bahwa kitosan nanopartikel dengan ukuran partikel yang homogen dihasilkan dari larutan kitosan dengan viskositas tertinggi yaitu larutan kitosan 1% yang berasal dari kitosan dengan berat molekul tinggi dan penyimpanan 1 hari

5.2Saran

Dari hasil penelitian ini, penulis menyarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan karakterisasi ukuran kitosan nanopartikel dengan menggunakan particle size analyzer (PSA).


(71)

DAFTAR PUSTAKA

Agusnar,H.2006.Penggunaan Kitosan Sebagai Bahan Penyalut Fiber Glass Dan

Filter Paper Untuk Penyerap Logam Ni Dan Cr Dengan system Aquatic.Disertasi.USU.Medan

Allen,S,N.1983.Degradation And Stabilisation Of Polyolefins. Applied Science

Publishers. New York.

Alsalvar, C, and Taylor, T, 2002. Seafoods Technology, Quality and Nutraceuticals

Applications. Berlin : Springer.

Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn Shells. England : The Queen’s University of Belfast.

Chen, Rong-Huei; Chang, Jaan-Rong and Shyur, Ju-Shii. 1997. Effects on Ultrasonic Conditions and Storage in Acidic Solutions on Changes in Molecular Weight and Polydispersity of Treated Chitosan. Carbohydrate Research. 299:287 -294

Cheung,W.H, S. Szeto, and G. McKay.2008.Enchancing The adsorption Capacities

Of Acid Dyes By A Chitosan NanoParticle. Department of Chemical

Engineering. University of Science and Technology.Hongkong.

Christian,D,G.2005. Analytical Chemistry.Sixth Edition.John Willey And Sons. New York.

Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organic Secara Spektroskopi.

Andalas University Press.Padang.

Dewi,Afrima.2010.Pengaruh Waktu Penggunaan Ultrasonik Bath terhadap

Sifat-sifat Karakteristik Kitosan Nanopartikel.Tesis.USU.Medan

Dunn,ET.EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. 1997. Aplication and Properties of Chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub,Basel.

Emmawati, Aswita, dkk. 2007. Kombinasi Perendaman dalam Natrium Hidroksida

dan Aplikasi Kitin Deasetilase terhadap Kitin Kulit Udang Untuk Menghasilkan Kitosan dengan Berat Molekul Rendah. Jurnal Teknologi


(1)

(2)

LAMPIRAN 5. SPEKTRUM FTIR KITOSAN PENYIMPANAN 4 HARI

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400.0

0.8 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15.0 cm-1 % T 3445.67,1.11 2885.67,2.64 2150.57,13.13 1595.31,3.74 1423.57,3.41 1385.09,3.44 1324.98,4.34 1251.69,5.31 1153.07,1.38 1083.66,0.82 1035.46,0.92 894.13,3.48 662.59,3.07 591.86,2.82


(3)

(4)

LAMPIRAN 7. HASIL FOTO SEM KITOSAN NANOPARTIKEL


(5)

KS1, 3 hari KS2, 3 hari


(6)