PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGEDARAN DAN PENJUALAN BARANG HASIL PELANGGARAN HAK CIPTA (Studi Putusan No. 128/Pid/2013/PT.TK.)

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGEDARAN DAN PENJUALAN BARANG HASIL PELANGGARAN HAK CIPTA

(Studi Putusan Nomor 128/Pid./2013/PT.TK)

Oleh AMINULLAH

Upaya Pemerintah Indonesia untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual dilakukan sejak tahun 1982 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (disingkat UUHC). UUHC telah mengalami beberapa kali revisi melalui Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 yang diberlakukan secara efektif mulai tanggal 29 Juli 2003. Diberlakukannya sejumlah regulasi tentang hak cipta belum mampu membuat para pembajak karya cipta menjadi jera dan berhenti. Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) masih saja terus berlanjut, bahkan cenderung ke arah yang semakin memprihatinkan sebagai negara yang berdasarkan hukum. Salah satu bentuk pelanggaran karya cipta adalah pembajakan VCD. Permasalahan yang dikaji oleh penulis adalah Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta dan Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta.

Metode pendekatan diterapkan dengan meliputi pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara seleksi, klasifikasi, dan sistematisasi data. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan bahwa Pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana meliputi unsur-unsur perbuatan atau tindak pidana, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan, selain itu juga dapat diketahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pengedaran dan


(2)

yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara di sidang pengadilan.

Adapun saran yang diberikan adalah hendaknya pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi pidana yang lebih maksimal lagi dengan menerapkan ketentuan terkait perbarengan melakukan tindak pidana (consursus) yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penerapan perbarengan tindak pidana sangat dimungkinkan adanya pemberatan pidananya karena ancaman sanksi pidananya bisa ditambah dengan sepertiga. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGEDARAN DAN

PENJUALAN BARANG HASIL PELANGGARAN HAK CIPTA

(Studi Putusan No. 128/Pid/2013/PT.TK.)

Oleh

Aminullah

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG


(4)

(Skripsi)

Oleh AMINULLAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hak Cipta dan Pelanggaran Hak Cipta... 16

B. Pertanggungjawaban Pidana... 18

C. Tinjauan Umum tentang Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 21

D. Tindak Pidana Pelanggaran Hak Cipta ... 26

E. Teori Dasar Pertimbangan Hukum Hakim ... 27

F. Teori Pemidanaan ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 39

B. Sumber dan Jenis Data ... 40

C. Penentuan Narasumber ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42


(6)

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 128/Pid./2013/PT.TK tentang Tindak Pidana Pengedaran dan Penjualan Barang Hasil Pelanggaran Hak Cipta... 47 C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku dan Penjualan Barang Hasil

Pelanggaran Hak Cipta (Studi Putusan Nomor: 128/Pid./2013/PT.TK)... 53 D. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan 4 (Empat)

Bulan Penjara………... 61

V PENUTUP

A. Simpulan ... 73 B. Saran... 74

DAFTAR PUSTAKA


(7)

(8)

(9)

MOTO

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telahmenciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia. Yang mengajar

(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusiaapa yang tidak diketahuinya.”

(Al-Qur’an Surat Al-‘Alaq, Ayat 1-5) Man Jadda Wajada, Man Shabara Zhafira

“Kau tidak akan bahagia jika kau tidak membantu penderitaan orang lain”

Lakukan yang terbaik selagi kita bisa

Do the best in your life,confident to be number one. .

Walau dalam kesusahan tetaplah tersenyum Hadapilah segala sesuatu dengan sabar dan tabah


(10)

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap

perjuangan, do’adan jerih payahku, aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Papa dan Mama

yang selalu kuhormati, kubanggakan, kusayangi, dan kucintai sebagai rasa baktiku kepada kalian

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta

do’a demi keberhasilankuselama ini

Untuk kakak-kakakku tersayang yang selalu kubanggakan dan senantiasa menemani saat-saat aku membutuhkan tempat untuk berbagi cerita dan

memberikan motivasi

Seluruh keluarga besarku yang selalu aku sayangi yang setiap helan nafas selalu

mendo’akan keberhasilanku dan memberikansemangat untukku.

Teman-temanku dimanapun kalian berada Almamater tercinta.


(11)

RIWAYAT HIDUP

penulis dilahirkan di Bandung 14 Juni 1991, yang merupakan anak dari pasangan Bapak Syahria dan Ibu Nana. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Bandung pada Tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah MTs Al-fatah Natar pada Tahun 2008 dan menyelesaikan di sekolah MA Al-fatah Natar pada Tahun 2011.

Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila (2014-2015). Selain itu, pada Tahun 2015 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan di Desa Ujung Gunung ilir Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang.


(12)

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolongannya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjaan, namun penulis berhasil menyelesaikan dengan baik. Skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGEDARAN DAN PENJUALAN BARANG HASIL

PELANGGARAN HAK CIPTA (Studi Putusan Nomor

128/Pid./2013/PT.TK)

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(13)

4. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Pembimbing Pertama dan Bapak Gunawan, S.H., M.H., selaku Pembimbing Kedua yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi.

5. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., selaku Pembahas Pertama dan Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H., selaku Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa serta seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademik dan kemahasiswaan atas bantuan selama penyusunan skripsi.

8. Kedua orang tuaku tersayang: Ayah Sahria dan Ibu Nana Esmana yang selalu menjadi inspirasi memberikan dukungan baik materil maupun pemikiran serta selalu mendukung tingkah laku dan tindakanku.

9. Kakak-kakakku tercinta yang selalu memberikan motivasi dan membantu membiayai dari sejak penulis duduk dibangku sekolah sampai menempuh gelar sarjana kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya semoga Allah mendengar dan melihat kebaikan kalian semua dan menggantinya dengan berkali-kali lipat.

10. Sahabat-sahabat seperjuanganku: Andrian Rizki, Brian tarek, Deni pendekar, Bayu MJ, Abudzar, Agus tejo, Fajar, Deswandi yang selalu menemani dan


(14)

11. Teman-temanku Bayu MJ, Tara, Deni, Fajar, Adi wahyu dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu ,terimakasih atas motivasi dan semangat bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi.

12. Keluarga besar Hima Pidana dan lain-lain serta teman-teman FH Unila 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan, doa dan semangat yang diberikan untukku.

13. Almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah menghantarkanku menuju keberhasilan.

14. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan, 15. Terutama sekali kepada Allah SWT yang telah meridoi langkah penulis

dalam proses penyusunan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Bandar Lampung, Oktober 2015 Penulis,


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Upaya Pemerintah Indonesia untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual dilakukan sejak tahun 1982 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (disingkat UUHC). UUHC telah mengalami beberapa kali revisi melalui Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 yang diberlakukan secara efektif mulai tanggal 29 Juli 2003. Keseluruhan regulasi itu dimaksudkan untuk melindungi karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra (scientific, literary and artistic works).

Diberlakukannya sejumlah regulasi tentang hak cipta belum mampu membuat para pembajak karya cipta menjadi jera dan berhenti. Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) masih saja terus berlanjut, bahkan cenderung ke arah yang semakin memprihatinkan sebagai negara yang berdasarkan hukum. Salah satu bentuk pelanggaran karya cipta adalah pembajakan VCD. Pembajakan VCD menghasilkan ribuan VCD palsu yang beredar di kalangan masyarakat, yang terkadang film asli (orisinal)-nya belum diputar di bioskop secara resmi, sementara para penikmat VCD bajakan/palsu telah memutar di rumahnya


(16)

berulang kali. Tingginya peminat dan luasnya peredaran VCD bajakan, telah merambah di masyarakat perkotaan sampai ke pelosok pedesaan.

Tinggi dan luasnya pembajakan dan peredaran VCD tentunya sangat merugikan, mengingat Negara Indonesia adalah salah satu negara penandatanganan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights), yaitu Perjanjian Hak-Hak Milik Intelektual berkaitan dengan perdagangan dalam Badan Perdagangan Dunia (WTO) yang harus tunduk pada perjanjian internasional.

Beberapa sumber terpercaya menyatakan bahwa kendala utama yang dihadapi negara Indonesia dalam berupaya melakukan pemberantasan pelanggaran karya cipta dan memberikan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah masalah penegakan hukum. Di samping masalah-masalah lain seperti kesadaran masyarakat terhadap HKI dan keadaan ekonomi bangsa Indonesia yang masih terpuruk yang secara tidak langsung turut menyumbang terjadinya pelanggaran karya cipta itu. Akibat dari maraknya pembajakan VCD, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, baik dari dunia Internasional maupun masyarakat Indonesia sendiri. Pengenaan sanksi oleh masyarakat Internasional merupakan suatu keniscayaan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Sementara pengaruh dari VCD bajakan terhadap masyarakat juga sangat luas, seperti rusaknya etika dan moral masyarakat Indonesia sebagai akibat dari tidak adanya sensor dan pembatasan terhadap VCD bajakan serta menurunnya kreativitas para pelaku di bidang musik dan film nasional.1

1

KemalaAvivahttp://www.academia.edu/7106406/Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelanggaran Hak Cipta_Khususnya DVD, VCD lagu diakses pada tanggal 10 Juni 2015 pukul 11.00 Wib.


(17)

3

Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.

Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukan pembajakan hak cipta.

Pelanggaran hak cipta yang sering terjadi dan canggih dapat dilihat melalui penegakan hukum pidana terhadap kasus pelanggaran hak cipta yang disidangkan di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang terkait tindak pidana pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta (Putusan Pengadilan Nomor 128/Pid./2013/PT.TK.). Kasus itu bermula dari Terdakwa membeli VCD, DVD dan MP3 bajakan di Pasar Glodok Jakarta. Barang-barang itu terdiri dari VCD lagu-lagu, film anak-anak dari berbagai judul, DVD lagu, film barat dan film


(18)

Indonesia dari berbagai judul MP3 lagu-lagu. VCD seharga Rp1.700,00 (seribu tujuh ratus rupiah), DVD seharga Rp2.700,00 (dua ribu tujuh ratus rupiah), MP3 seharga Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah). Selanjutnya, Terdakwa menjual produk bajakan itu dengan harga eceran VCD seharga Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per 3 (tiga) keping; MP3 seharga Rp5.000,00 (lima ribu rupiah), DVD seharga Rp4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah). Sedangkan untuk grosir VCD seharga Rp1.800 (seribu delapan ratus rupiah), DVD seharga Rp4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) dan MP3 seharga Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah). Di toko yang dimiliki Terdakwa telah menjual 400 (empat ratus) keping VCD. Terdakwa memesan dari Pasar Glodok sebanyak 3.000-4.000 keping VCD per minggu.2

Atas perbuatan yang dilakukan Terdakwa Metty alias Acen, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengedarkan atau menjual barang hasil pelanggaran hak cipta, menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan, pidana tersebut tidak akan dijalankan kecuali kalau kemudian hari ada perintah lain dalam keputusan hakim oleh karena terdakwa sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun berakhir melakukan perbuatan yang dapat dipidana di tingkat pertama, dan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dijatuhkan pidana penjara selama 4 bulan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 72 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta. Mengingat dari akibat perbuatan si pelaku yang telah menjual dan mengedarkan VCD bajakan menjadi sangat merugikan karya cipta, baik secara materil maupun immateril. Selain itu, penerimaan negara dari sektor pajak industri hiburan pun ikut merugi

2


(19)

5

dan pertumbuhan ekonomi menjadi turun sebagai akibat kegiatan pembajakan VCD. Di samping itu, pembajakan hak cipta memicu penurunan kreativitas berkesenian dari para generasi muda yang memiliki jiwa kesenian.

Berdasarakan putusan pengadilan di atas terlihat dalam dakwaan dan tuntutan pidana tidak memberlakukan ketentuan terkait perbarengan melakukan tindak pidana (consursus) yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penerapan perbarengan tindak pidana sangat dimungkinkan adanya pemberatan pidananya karena ancaman sanksi pidananya bisa ditambah dengan sepertiga. Serta melihat akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku yang melakukan penjualan dan peredaran karya cipta bajakan begitu sangat merugikan banyak pihak.

Berdasar paparan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh dalam bentuk skripsi dengan judul“PertanggungjawabanPidana Pelaku Pengedaran dan Penjualan Barang Hasil Pelanggaran Hak Cipta (Studi Putusan No.128/Pid./2013/PT.TK)


(20)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dipandang perlu untuk dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka ruang lingkup penelitian ini meliputi substansi ilmu Hukum Pidana; yang membahas objek penelitian terkait pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta (Studi Putusan No.128/Pid./2013/PT.TK), dengan lokasi penelitian dipilih di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Sedangkan data tahun penelitian ditentukan tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta.


(21)

7

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan secara teoritis adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana, khususnya terkait pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan secara praktis adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat kepada rekan-rekan mahasiswa, para aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat serta masyarakat umum yang mengkaji terkait pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta.

D. Kerangka Teoritis dan Koseptual

1. Kerangka Teoritis

Menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasikan terhadap


(22)

dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan, landasan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.4Kerangka teoritisnya meliputi:

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief5bahwa pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (schuld/guilt/mens rea), yaitu diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Pentingnya pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, yaitu tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan. Kesalahan terdiri dari unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangkan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menuntup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error), baik kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf, sehingga pelaku tidak

3

Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 125. 4

Abdulkadir Muhammad, 2004,Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm. 73.

5

Barda Nawawi Arief, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 49.


(23)

9

dipidana kecuali kesesatan itu patut dipersalahakan kepadanya.6

Pertanggungjawaban pidana harus diperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujdkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya.7

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.8 Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan.

b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat.9

6

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 23.

7

Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hlm. 49.

8

R.Soesilo, 1999, KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap dengan Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor.

9


(24)

b. Teori Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:

1. Teori Keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, antara lain adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan pengadilan oleh hakim merupakan diskresi suatu kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu tergugat dan penggugat. Dalam perkara pidana, yaitu pelaku dan korban. Pendekatan seni dan intuisi dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitan dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari


(25)

11

putusan hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.10

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang dimasalahkan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dalam memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan

Sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori kebijakan ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk, dan dibina. Selanjutnya teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna

10

Ahmad Rifai, 2010,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 105-106.


(26)

bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.11

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan dan pedoman dalam penelitian atau penulisan.12 Sumber Konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus, dan fakta/peristiwa. Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka di bawah ini diberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.13

b. Pelaku adalah sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 55 Ayat (1) KUHP, yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

c. Tindak Pidana adalah sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.14

d. Pengedaran atau penjualan yaitu barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,

11 Ibid. 12

Abdulkadir Muhammad,op.cit., hlm. 78. 13

Roeslan Saleh,1999, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, hlm. 75.

14

Sudarto, 1990,Hukum Pidana, Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 23.


(27)

13

memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta).

e. Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.

f. Pertimbangan adalah memikirkan baik-baik untuk menentukan (memutuskan dan sebagainya) memintakan pertimbangan kepada; menyerahkan sesuatu; upaya dipertimbangkan.15

g. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP).

15

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Jakarta,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hlm. 1056.


(28)

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka perlu diuraikan secara garis besar dari keseluruhan sistematika skripsi ini sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pemahaman terhadap pengertian-pengertian umum untuk menjawab permasalahan. Uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang akan digunakan sebagai bahan analisis untuk menjawab permasalahan, di antaranya adalah pengertian hak cipta dan pelanggaran hak cipta; teori pertanggungjawaban pidana; tinjauan umum tentang pengertian dan unsur-unsur tindak pidana; pengertian tindak pidana pelanggaran hak cipta; teori dasar pertimbangan hukum hakim; dan teori pemidanaan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini yang berisi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang disertai dengan penerapan kerangka teori dan dasar hukum. Uraiannya membahas jawaban permasalahan yang ada. Oleh karena itu, bab ini berisi pertanggungjawaban


(29)

15

pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana ringan terhadap pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan simpulan secara singkat dari hasil penelitian dan pembahasan serta beberapa saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(30)

A. Pengertian Hak Cipta dan Pelanggaran Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan rumusan Pasal 1 UUHC). Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususnya yang boleh menggunakan hak cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang menggangu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh hukum.

Hak cipta merupakan hak eksklusif, yang memberi arti bahwa selain pencipta, maka orang lain tidak berhak atasnya, kecuali atas izin penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara penyerahan nyata karena ia mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud (vide penjelasan Pasal 4 Ayat (1) UUHC). Sifat manunggal itu pula yang menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditur.


(31)

17

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta. Perbuatan yang ‘tidak’ dianggap sebagai pelanggaran hak cipta hal-hal

sebagai berikut:1

a. Pengumuman dan/atau perbanyakan Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan menurut sifatnya yang asli;

b. Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali jika hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau

c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan:

a. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta; Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan;

b. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:

1) pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;

2) ceramah yang semata2 untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; 3) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentua

tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.

c. Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan tersebut bersifat komersial;

d. Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang bersifat non komersial semata-mata untuk keperluan aktifitasnya;

e. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;

f. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

1

Ardimoviz, http://hitamandbiru.com/2012/07/pelanggaran-hak-cipta.html diakses pada tanggal 10 Juni 2015 pukul 10.30 Wib.


(32)

B. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief2bahwa pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (schuld/guilt/mens rea), yaitu diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Pentingnya pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, yaitu tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan. Kesalahan terdiri dari unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

“Asas kesalahan” (Geen straf zonder schuld; Keine Strafe ohne Schuld; No punishment without Guilt; asas Mens rea atau “asas Culpabilitas”) di dalam KUHP tidak ada. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) ini

merupakan salah satu asas fundamental. Oleh karena itu perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep RUU KUHP sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan ini merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik.

Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Konsep juga memberikan kemungkinan dalam hal-hal tertentu

untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maaf/pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”). Asas strict liability adalah undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan. Asas ini hanya

berlaku terhadap tindak pidana tertentu. Asas “vicarious liability” adalah setiap

2

Barda Nawawi Arief, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang,hlm. 49.


(33)

19

orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Asas ini harus ditentukan oleh undang-undang.

Bab Pertanggungjawaban Pidana Konsep itu juga mengatur masalah

“Kekurangmampuan Bertanggung Jawab” (“verminderde toerekenings-vatbaarheid”; Diminished Mental Capacity; Diminished Responsibility), masalah

“pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak dituju/tidak dikehendaki/tidak

disengaja” (Erfolgshaftung), dan masalah “kesesatan” (Error/Dwaling/Mistake). Kesemua itu juga tidak diatur di dalam KUHP. Masalah pertanggungjawaban pidanajuga berhubungan dengan masalah “subyek tindak pidana”, oleh karena itu

di dalam Bab Pertanggungjawaban Pidana ini ada pula ketentuan tentang subjek

berupa “korporasi”, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHP (WvS).

Pertanggungjawaban pidana harus diperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujdkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya.3

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang

3

Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hlm. 49.


(34)

melanggar larangan tersebut.4 Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan.

b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat.5

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangkan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menuntup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatan itu patut dipersalahkan kepadanya.6

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet)dan kelalaian (culpa), sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu:

4

R. Soesilo, 1999,KUHP Serta Komentar-komentarnyanya Lengkap dengan Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor

5

Sudarto, 1997,Hukum Pidana, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang. 6

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 23.


(35)

21

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, sipelaku pantas dikenakan hukuman pidana.

b. Kesengajaan secara keinsyafan ketidakpastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetap ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu

c. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yangbersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang mengahasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.

C. Tinjauan Umum Tentang Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Istilah Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda“Strafbaar Feit”, sebagai berikut:7

a. Delik (delict). b. Peristiwa pidana. c. Perbuatan pidana.

d. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. e. Hal yang diancam dengan hukum.

f. Perbuatan yang diancam dengan hukum

g. Tindak Pidana (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk undang-undang sampai sekarang).

Jadi, istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.8

2. Pengertian Tindak Pidana

Menurut E. Mezger (dikutip Sudarto) mengatakan bahwa hukum pidana sebagai

7

Tri Andrisman, 2011, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Universitas Lampung, hlm. 69.

8

Satochid Kartanegara, tanpa tahun,Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 74.


(36)

aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.9 Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, dan bersifat melawan hukum yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana (Verbrechen atau Crime).

Perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu strafbaar feit yyang berasal dari kata strafbaar,artinya dapat dihukum.10 Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa pembentuk

undang-undang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana” Akan

tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada menganggap

lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” (dalam pidatonya yang

berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana”,

1955).11

Menurut SudradjatBassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah

yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan mengemukakan alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai

istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah didalam

9

Sudarto,loc.cit. 10

Ibid. 11

Lamintang, 1981,Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leerboek Van Het Nederlanches Straftrecht, Bandung, Pionir Jaya, hlm. 36.


(37)

23

kebanyakan peraturan perundang-undangan memakai istilahtindak pidana, umpamanya didalam peraturan-peraturan pidana khusus.12

Mengenai beberapa pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut:

a. Pompe

Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu: 1) Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.

2) Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feityang oleh peraturan undang- undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dapatlah disimpulkan pengertian tindak pidana menurut Pompe sebagai berikut:

a) Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan hukum) (onrechtmatigatauwederrechtelijk);

b) Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld

(van de overtreder)te wijten);

c) Suatu kelakuan yang dapat dihukum (stafbaar).13

b. Utrecht

Menurut Utrecht, pengertian tindak pidana yaitu meliputi perbuatan atau suatu melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu) "peristiwa pidana" adalah akibat yang diatur

12

Sudradjat Bassar, 1999,Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Bandung, Ghalian, hlm. 1. 13


(38)

oleh hukum.14

c. Vos

Menurut Vos peristiwa pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut:

1) Suatu kelakuan manusia;

2) Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan satu dengan lain;

3) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Ayat 1 KUHP) dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.15

d. Wirjono Prodjodikoro

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu:16

1) Tindak pidana materiil.

Pengertian tindak pidana materil adalah apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu.

2) Tindak pidana formil.

Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang

14 Ibid. 15

Ibid. 16

Wiryono Prodjodikoro, tanpa tahun, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung, Erasco, hlm. 55-57.


(39)

25

dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Perbedaan pandangan ini membawa konsekuensi dalam memberikan pengertian tindak pidana. Aliran monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana dilakukan dengan melihat: “keseluruhan syarat adanya pidana itu kesemuanya

merupakan sifat dari perbuatan”. Sehingga dalam merumuskan pengertian tindak

pidana ia tidak memisahkan unsur-unsur tindak pidana; mana yang merupakan unsur perbuatan pidana dana mana yang unsur pertanggungjawaban pidana. Penganut pandangan/aliran monistis adalah Simons, Van Hamel, E.Mezger, J. Baumann, Karni, dan Wirjono Prodjodikoro. Misalnya Simons, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:17

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuatatau membiarkan);

2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Orang yang mampu bertanggungjawab.

Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana, maka sudah dapat dipidana. Sedangkan menurut aliran dualistis, belum tentu karena harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya itu, dapat dipidana atau tidak. Aliran dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Penganut pandangan/aliran dualistis

17


(40)

adalah H.B vos, WPJ. Pompe, dan Moeljatno.18

Sudarto merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); c. Bersifat melawan hukum ( ini merupakan syarat materiil).19

Orang yang dapat dipidana, maka orang yang melakukan tindak pidana (yang memenuhi unsur-unsur tersebut diatas) harus dapat dipertanggungjawaban pidana ini melekat pada orang/pelaku tindak pidana, menurut Moeljatno unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi :

1) Kesalahan.

2) Kemampuan bertanggungjawaab. 3) Tidak ada alasan pemaaf.20

D. Tindak Pidana Pelanggaran Hak Cipta

Pasal 72 ayat (1):

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 72 ayat (2):

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak

18

Tri Andrisman,op.cit., hlm. 72. 19

Sudarto,op.cit., hlm. 43. 20


(41)

27

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Unsur-unsur pidananya, yaitu:

1. Setiap Orang, yang dimaksud dengan unsur ini adalah setiap orang atau siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.

2. Dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau memjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait. Yang dimaksud dengan sengaja adalah perbuatan yang dilakukan tersebut sesuai dengan kehendak atau niat dari peaku dan pelaku menyadari akan akibat dari perbuatannya tersebut.

E. Teori Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

Menurut Andi Hamzah21 bahwa Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, maka hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.

Menurut Lilik Mulyadi22 bahwa perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di

21

Andi Hamzah, 2001,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 97. 22

Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 119.


(42)

satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Teori dasar pertimbangan hukum hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa:23

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Menurut Soerjono Soekanto,24 walaupun praktiknya telah bertitik tolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan

23

Ibid., hlm. 136. 24


(43)

29

hakim dalam membuat keputusan.

Dengan visi bahwasannya putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari perkara pidana tentu saja hakim harus juga mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onfoldoende gemotiverd).

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

Teori Dasar Pertimbangan Hakim, menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:

a. Teori Keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, antara lain adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat.


(44)

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan pengadilan oleh hakim merupakan diskresi suatu kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu tergugat dan penggugat. Dalam perkara pidana, yaitu pelaku dan korban. Pendekatan seni dan intuisi dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan hakim.

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitan dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.25

e. Teori Ratio Decidendi

25


(45)

31

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang dimasalahkan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dalam memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan

Sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori kebijakan ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk, dan dibina. Selanjutnya teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.26

F. Teori Pemidanaan

Dalam literatur hukum pidana dikenal teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok teori, yaitu teori pembalasan (retributive)

dan teori tujuan (utilitarian). Selain itu terdapat pula teori ketiga, yaitu teori gabungan atauteori integrative, yaitu:27

1. Teori Retributif

Dalam pandangan teori retributif, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

26 Ibid. 27

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992,Teori-teori dan Kebijakan Pidana,Alumni, Bandung, hlm. 10-19.


(46)

telah melakukan kejahatan. Pidana dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenarannya adalah kejahatan itu sendiri.

Menurut Johanes Andenaes, yang menjadi tujuan utama dalam teori retributif adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of Justice).

Sedangkan pengaruh-pengaruh lain yang menguntungkan hanya merupakan tujuan yang sekunder. Tuntutan keadilan yang bersifat absolut ini antara lain dikemukakan oleh Immanuel Kant. Ia memandang pidana sebagai Kategorische lmperatief. Yang berarti, seorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Dengan demikian pidana bukan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, melainkan semata-mata mencerminkan keadilan.

Tokoh lain penganut teori ini adalah Hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan karena kejahatan merupakan pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan cita-susila, maka pidana merupakan pengingkaran terhadap pengingkaran. Teori Hegel28 ini terkenal dengan sebutan quasi mathematic, yang berbunyi wrong being (crime) is the negation of right, and punishment is the negation of that negation.

Sehubungan dengan konsep retributif ini, J.E. Sahetapy29 mengemukakan, bahwa kecenderungan untuk membalas pada prinsipnya merupakan gejala sosial yang normal, akan tetapi manusia bukan binatang karena ia mempunyai pikiran dan

28

Ibid., hlm. 10-12. 29


(47)

33

perasaan. Manusia mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh ke depan.

Nigel Walker mengartikanretributionmenjadi tiga pengertian, yaitu:

a. Retaliatory retribution,yaitu dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat yang menyadari bahwa penderitaan itu merupakan akibat kejahatan yang dilakukannya.

b. Distributife retribution, artinya pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan.

c. Quantitatife retribution, adalah pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.

Teori itu dapat dikelompokkan dalam beberapa versi, seperti penganut teori retributif murni yang beranggapan, bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan pembuat; dan penganut teori retributif yang tidak murni (dengan modifikasi). Yang terakhir ini sendiri, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief30terbagi dalam:

a. Penganut teori retributif yang terbatas, yang berpendapat bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang sepadan dengan kesalahan terdakwa;

b. Penganut teori retributif yang distributif, yang berpendapat bahwa pidana

30


(48)

jangan dikenakan terhadap orang yang tidak bersalah, teori pidana juga harus sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan dihormati, tapi dimungkinkan adanya pengecualian, misalnya dalam hal strict liability.

Pada akhirnya dapat dikemukakan beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana pernah diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen31sebagai berikut:

a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan.

b. Pembalasan merupakan tujuan utama tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat.

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana. d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

e. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

2. Teori Utilitarian

Berbeda dari teori retributif, menurut teori utilitarian, pidana bukanlah untuk memuaskan tuntutaan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tapi hanya sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dalam teori ini pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itulah teori ini sering disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory). Pada teori utilitarian ini, pidana

31


(49)

35

dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan melainkan agar orang jangan melakukan kejahatan. Atau dengan kata lain tujuan pidana adalah untuk pencegahan kejahatan.

Mengenai pencegahan kejahatan (prevensi) ini, dapat dibedakan antara prevensi spesial dan prevensi general, atau sering juga disebut special deterrence dan

general deterrence. Dalam prevensi spesial, pengaruh pidana ditujukan terhadap terpidana. Jadi, pencegahan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi berbuat jahat. Sedangkan prevensi general pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya. Dalam arti pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan kejahatan.

Johannes Andenaes mengemukakan tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi general, yaitu:

a. Pengaruh pencegahan.

b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

c. Pengaruh untuk mendorong kebiasaan berbuat patuh pada hukum.

Selain prevensi spesial dan prevensi general, Van Bemmelen32 memasukkan pula ke dalam teori ini apa yang disebutnya dengan "daya untuk mengamankan". Dalam hal ini dijelaskan bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada dalam penjara.

Dari uraian di atas selajutnya dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori

32


(50)

utilitarian33sebagai berikut:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan;

b. Pencegahan bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. Hanya orang yang dapat dipersalahkan yang dapat dipidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan;

e. Pidana berorientasi ke depan; pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima jika tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

3. Teori Integratif

Beranjak dari ketidakpuasan prinsip-prinsip retributif maupun utilitarian, maka teori integratif berusaha menggabungkan kedua prinsip teori tersebut, sehingga seringkali teori ini disebut aliran integratif. Penulis yang pertama kali menganjurkan teori ini adalah Pellegrono Rossi (1787- 1848).34 Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa berat pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian, bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.

Teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi

33

Ibid., hlm. 16, 18, 19. 34


(51)

37

terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, yaitu bersifat retributif dan sekaligus juga mempunyai sifat utilitarian, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya harus dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Jadi dalam hal ini, pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat. Seiring dengan itu masyarakat menuntut agar individu tersebut diperlakukan dengan suatu yang juga dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pembalasan. Lebih lanjut hal tersebut diharapkan dapat menunjang tujuan yang bermanfaat, yang dalam hal ini harus ditentukan secara kasuistis. Hal inilah yang sering menimbulkan anggapan pidana sebagi seni(punishment as an art).35

Sehubungan dengan teori-teori tujuan pemidanaan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat ahli hukum mengenal tujuan pidana. Menurut Richard D. Schwart dan Jerome H. Skolnick,36sanksi pidana dimaksudkan untuk:

a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana;

b. Mencegah orang melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan terpidana;

c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam.

Di samping mengemukakan adanya empat teori mengenai dasar pembenaran pidana (teori retribution, deterrence, incapatitation, dan rehabilitation), John Kaplan menyebutkan pula adanya dasar pembenaran pidana yang lain, yaitu:

35

Ibid., hlm. 58. 36


(52)

a. Untuk menghindari balas dendam;

b. Adanya pengaruh yang bersifat mendidik; dan c. Mempunyal fungsi memelihara perdamaian.

G. Peter Hoefnagels berpendapat, bahwa tujuan pidana adalah untuk:

a. Penyelesalan konflik;

b. Mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum.

Sejalan dengan pendapat di atas, secara tegas H.L. Packer37 menyatakan, bahwa ada dua dan hanya dua tujuan akhir yang hendak dicapai dari pemidanaan, yaitu memberikan pembalasan berupa penderitaan terhadap pelaku kejahatan dan untuk pencegahan kejahatan. Memang mungkin dibedakan sejumlah tujuan spesifik, tetapi pada akhirnya semua itu hanyalah cara-cara pertengahan yang termasuk ke dalam salah satu tujuan tersebut.

37


(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu:

1.Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah. Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.1

2.Pendekatan yuridis empiris atau penelitian sosiologi hukum, yaitu pendekatan yang mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa sikap, penilaian, perilaku, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian dilapangan. Pendekatan Empiris tidak bertolak belakang dari hukum positif tertulis (perundang-undangan) sebagai data sekunder, tetapi dari perilaku nyata sebagai data primer yang diperoleh dari lokasi penelitian lapangan (field researcrh).2

1

Soerjono Soekanto, 2009,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 13-14.

2


(54)

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya. Sumber data dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.3Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.4 Dengan demikian data primer yang diperoleh langsung dari obyek penelitian di lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian. Penulis akan mengakaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil wawancara responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam perkara tindak pidana pengedaran atau penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan, serta ilmu pengetahuan hukum mengikat yang terdiri dari bahan hukum antara lain:

a.Bahan hukum primer, yaitu data yang diambil dari sumber aslinya berupa undang-undang yang memiliki otoritas tinggi yang bersifat

3

Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 11. 4


(55)

41

mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat.5 Dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri dari:

1)Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

b.Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya atau oleh pihaklain,6 dapat berupa Putusan

Pengadilan.

c.Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama acuan bidang hukum, misal kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum dan penelitian yang berwujud laporan dan buku-buku hukum.7

5

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Group, hlm. 142. 6

Ibid., hlm. 36. 7


(56)

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti.8 Narasumber ditentukan secara purposive samplingyaitu penunjukan langsung dengan narasumber yang ditunjuk menguasai permasalahan dalam penelitian ini.9 Narasumber penelitian tersebut adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang : 1 orang 2. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang 2.Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung :1 orang

3. Kepolisian pada Polresta Bandar Lampung : 1 orang

4. Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila :1 orang + Jumlah : 5 orang

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh data-data sekunder. Dalam hal ini penulis melakukan serangkaian kegiatan studi dokumenter dengan cara membaca, mencatat, menyadur, mengutip buku-buku atau referensi dan menelaah perundang-undangan, dokumen dan informasi lain yang ada hubungannya dengan permasalahan.

8

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 175.

9

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, hlm. 155.


(57)

43

b. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha untuk mendapatkan data primer.Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pertanyaan yang telah dipersiapkan diajukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk mendapatkan data, tanggapan, dan juga jawaban dari responden. Selain itu, untuk melengkapi tulisan ini, maka penulis juga melakukan observasi untuk melengkapi data-data dan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang terkumpul, diolah melalui pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapan, kejelasan, kebenaran, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b.Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi data, yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.


(58)

E.Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci, sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian dilapangan.Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.


(59)

73

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku Pengedaran dan Penjualan Barang Hasil Pelanggaran Hak Ciptadapat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana meliputi unsur- unsur perbuatan atau tindak pidana, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Akan tetapidakwaan dan tuntutan pidana tidak memberlakukan ketentuan terkaitperbarengan melakukan tindak pidana (consursus) yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2.Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta (Studi Putusan No.128/Pid./2013/PT.TK),yaitu dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, serta memperhatikan teori keseimbangan, teori seni dan intuisi dan teori yang berkaitan dengan masyarakat, Serta aplikasi teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan.


(60)

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelakupengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta (Studi PutusanNo.128/Pid./2013/PT.TK),.yaitu sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta,hendaknya dijatuhi pidanayanglebih maksimal lagi dengan menerapkan ketentuan terkait perbarengan melakukan tindak pidana (consursus) yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penerapan perbarengan tindak pidana sangat dimungkinkan adanya pemberatan pidananya karena ancaman sanksipidananya bisa ditambah dengan sepertiga. karena tindak pidana penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta merupakan salah satu kejahatan yang serius dan merugikan banyak pihak.

2.Hakim dalam menjatuhkan upaya penal disertai dengan upaya non penal seperti melakukan sosialisasi terhadap Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan melakukan pengawasan terhadap peredaran bentuk bentuk pelanggaran hak cipta.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur:

Andrisman, Tri,2011,Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Barda,Nawawi arif, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang.

---, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Bassar, Sudradjat, 1999,Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Bandung, Ghalian. Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Hamzah, Andi, 2001,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kartanegara, Satochid,tanpa tahun, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian

Satu, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa.

Lamintang, 1981, Kitab Pelajaran Hukum Pidana: Leerboek van Het Nederlandches Straftrecht, Bandung, Pionir Jaya.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Group.

Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara.

Muhammad, Abdulkadir,2004, Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung PT Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,

Alumni, Bandung.

Mulyadi, Lilik, 2007,Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(1)

43

b. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha untuk mendapatkan data primer.Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pertanyaan yang telah dipersiapkan diajukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk mendapatkan data, tanggapan, dan juga jawaban dari responden. Selain itu, untuk melengkapi tulisan ini, maka penulis juga melakukan observasi untuk melengkapi data-data dan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang terkumpul, diolah melalui pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapan, kejelasan, kebenaran, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b.Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi data, yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.


(2)

44

E.Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci, sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian dilapangan.Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.


(3)

73

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku Pengedaran dan Penjualan Barang Hasil Pelanggaran Hak Ciptadapat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana meliputi unsur- unsur perbuatan atau tindak pidana, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Akan tetapidakwaan dan tuntutan pidana tidak memberlakukan ketentuan terkaitperbarengan melakukan tindak pidana (consursus) yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2.Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta (Studi Putusan No.128/Pid./2013/PT.TK),yaitu dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, serta memperhatikan teori keseimbangan, teori seni dan intuisi dan teori yang berkaitan dengan masyarakat, Serta aplikasi teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan.


(4)

74

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelakupengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta (Studi PutusanNo.128/Pid./2013/PT.TK),.yaitu sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku pengedaran dan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta,hendaknya dijatuhi pidanayanglebih maksimal lagi dengan menerapkan ketentuan terkait perbarengan melakukan tindak pidana (consursus) yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penerapan perbarengan tindak pidana sangat dimungkinkan adanya pemberatan pidananya karena ancaman sanksipidananya bisa ditambah dengan sepertiga. karena tindak pidana penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta merupakan salah satu kejahatan yang serius dan merugikan banyak pihak.

2.Hakim dalam menjatuhkan upaya penal disertai dengan upaya non penal seperti melakukan sosialisasi terhadap Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan melakukan pengawasan terhadap peredaran bentuk bentuk pelanggaran hak cipta.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur:

Andrisman, Tri,2011,Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Barda,Nawawi arif, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang.

---, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Bassar, Sudradjat, 1999,Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Bandung, Ghalian. Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Hamzah, Andi, 2001,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kartanegara, Satochid,tanpa tahun, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian

Satu, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa.

Lamintang, 1981, Kitab Pelajaran Hukum Pidana: Leerboek van Het Nederlandches Straftrecht, Bandung, Pionir Jaya.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Group.

Moeljatno, 1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara.

Muhammad, Abdulkadir,2004, Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung PT Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Mulyadi, Lilik, 2007,Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(6)

Prodjodikoro, Wiryono, Tindak-TindakPidana Tertentu di Indonesia, Bandung, Erasco.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika.

Saleh,Roeslan, 1999, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.

Soekanto, Soerjono,1986,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press.

---, 2009,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Soesilo, R., 1999,KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor.

Sudarto, 1990,Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto.

---, 1997, Hukum Pidana, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang.

A. Sumber Lain:

Ardimoviz,http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/pelanggaran-hak-cipta.html diakses pada tanggal 10 Juni 2015 pukul 10.30 Wib.

KemalaAvivahttp://www.academia.edu/7106406/Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Khususnya DVD, VCD Lagu diakses pada tanggal 10 Juni 2015 pukul 11.00 Wib.