Teori Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

hakim dalam membuat keputusan. Dengan visi bahwasannya putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari perkara pidana tentu saja hakim harus juga mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum van rechtswege nietig atau null and void karena kurang pertimbangan hukum onfoldoende gemotiverd. Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan- pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta- fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Teori Dasar Pertimbangan Hakim, menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu: a. Teori Keseimbangan Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, antara lain adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat. b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi Penjatuhan putusan pengadilan oleh hakim merupakan diskresi suatu kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu tergugat dan penggugat. Dalam perkara pidana, yaitu pelaku dan korban. Pendekatan seni dan intuisi dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan hakim. c. Teori Pendekatan Keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitan dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. d. Teori Pendekatan Pengalaman Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. 25 e. Teori Ratio Decidendi 25 Ahmad Rifai, 2010, Loc., Cit. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang dimasalahkan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dalam memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. f. Teori Kebijaksanaan Sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori kebijakan ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk, dan dibina. Selanjutnya teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya. 26

F. Teori Pemidanaan

Dalam literatur hukum pidana dikenal teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok teori, yaitu teori pembalasan retributive dan teori tujuan utilitarian. Selain itu terdapat pula teori ketiga, yaitu teori gabungan atau teori integrative, yaitu: 27

1. Teori Retributif

Dalam pandangan teori retributif, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang 26 Ibid. 27 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 10-19. telah melakukan kejahatan. Pidana dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenarannya adalah kejahatan itu sendiri. Menurut Johanes Andenaes, yang menjadi tujuan utama dalam teori retributif adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan to satisfy the claims of Justice. Sedangkan pengaruh-pengaruh lain yang menguntungkan hanya merupakan tujuan yang sekunder. Tuntutan keadilan yang bersifat absolut ini antara lain dikemukakan oleh Immanuel Kant. Ia memandang pidana sebagai Kategorische lmperatief. Yang berarti, seorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Dengan demikian pidana bukan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, melainkan semata-mata mencerminkan keadilan. Tokoh lain penganut teori ini adalah Hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan karena kejahatan merupakan pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan cita-susila, maka pidana merupakan pengingkaran terhadap pengingkaran. Teori Hegel 28 ini terkenal dengan sebutan quasi mathematic, yang berbunyi wrong being crime is the negation of right, and punishment is the negation of that negation. Sehubungan dengan konsep retributif ini, J.E. Sahetapy 29 mengemukakan, bahwa kecenderungan untuk membalas pada prinsipnya merupakan gejala sosial yang normal, akan tetapi manusia bukan binatang karena ia mempunyai pikiran dan 28 Ibid., hlm. 10-12. 29 Ibid., hlm. 199. perasaan. Manusia mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh ke depan. Nigel Walker mengartikan retribution menjadi tiga pengertian, yaitu: a. Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat yang menyadari bahwa penderitaan itu merupakan akibat kejahatan yang dilakukannya. b. Distributife retribution, artinya pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan. c. Quantitatife retribution, adalah pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan. Teori itu dapat dikelompokkan dalam beberapa versi, seperti penganut teori retributif murni yang beranggapan, bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan pembuat; dan penganut teori retributif yang tidak murni dengan modifikasi. Yang terakhir ini sendiri, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief 30 terbagi dalam: a. Penganut teori retributif yang terbatas, yang berpendapat bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang sepadan dengan kesalahan terdakwa; b. Penganut teori retributif yang distributif, yang berpendapat bahwa pidana 30 Ibid., hlm. 12.