Teori Retributif Teori Pemidanaan

perasaan. Manusia mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh ke depan. Nigel Walker mengartikan retribution menjadi tiga pengertian, yaitu: a. Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat yang menyadari bahwa penderitaan itu merupakan akibat kejahatan yang dilakukannya. b. Distributife retribution, artinya pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan. c. Quantitatife retribution, adalah pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan. Teori itu dapat dikelompokkan dalam beberapa versi, seperti penganut teori retributif murni yang beranggapan, bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan pembuat; dan penganut teori retributif yang tidak murni dengan modifikasi. Yang terakhir ini sendiri, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief 30 terbagi dalam: a. Penganut teori retributif yang terbatas, yang berpendapat bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang sepadan dengan kesalahan terdakwa; b. Penganut teori retributif yang distributif, yang berpendapat bahwa pidana 30 Ibid., hlm. 12. jangan dikenakan terhadap orang yang tidak bersalah, teori pidana juga harus sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan dihormati, tapi dimungkinkan adanya pengecualian, misalnya dalam hal strict liability. Pada akhirnya dapat dikemukakan beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana pernah diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen 31 sebagai berikut: a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan. b. Pembalasan merupakan tujuan utama tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat. c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana. d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat; e. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

2. Teori Utilitarian

Berbeda dari teori retributif, menurut teori utilitarian, pidana bukanlah untuk memuaskan tuntutaan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tapi hanya sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dalam teori ini pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itulah teori ini sering disebut sebagai teori tujuan utilitarian theory. Pada teori utilitarian ini, pidana 31 Ibid., hlm. 17. dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan melainkan agar orang jangan melakukan kejahatan. Atau dengan kata lain tujuan pidana adalah untuk pencegahan kejahatan. Mengenai pencegahan kejahatan prevensi ini, dapat dibedakan antara prevensi spesial dan prevensi general, atau sering juga disebut special deterrence dan general deterrence. Dalam prevensi spesial, pengaruh pidana ditujukan terhadap terpidana. Jadi, pencegahan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi berbuat jahat. Sedangkan prevensi general pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya. Dalam arti pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan kejahatan. Johannes Andenaes mengemukakan tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi general, yaitu: a. Pengaruh pencegahan. b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral; c. Pengaruh untuk mendorong kebiasaan berbuat patuh pada hukum. Selain prevensi spesial dan prevensi general, Van Bemmelen 32 memasukkan pula ke dalam teori ini apa yang disebutnya dengan daya untuk mengamankan. Dalam hal ini dijelaskan bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada dalam penjara. Dari uraian di atas selajutnya dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori 32 Ibid., hlm. 16. utilitarian 33 sebagai berikut: a. Tujuan pidana adalah pencegahan; b. Pencegahan bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat; c. Hanya orang yang dapat dipersalahkan yang dapat dipidana; d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan; e. Pidana berorientasi ke depan; pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima jika tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

3. Teori Integratif

Beranjak dari ketidakpuasan prinsip-prinsip retributif maupun utilitarian, maka teori integratif berusaha menggabungkan kedua prinsip teori tersebut, sehingga seringkali teori ini disebut aliran integratif. Penulis yang pertama kali menganjurkan teori ini adalah Pellegrono Rossi 1787- 1848. 34 Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa berat pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian, bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi 33 Ibid., hlm. 16, 18, 19. 34 Ibid., hlm. 19.