Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Danau Berkelanjutan .1 Konsep Kebijakan
dibangun, walaupun pada kenyataannya sangat sulit diimplimentasikan di lapangan. Terbukti masih banyak pandangan yang stereotype terhadap
pembanguan berkelanjutan. Oleh karena itu berkembang alternatif model yang diusulkan memperbaiki model tiga pilar dengan model prisma. Model prisma
yaitu mengelaborasi dimensi kelembagaan dan teknologi dalam paradigma pembangunan berkelanjutan. Dimensi kelembagaan mengakomodasi sejumlah
elemen seperti kebijakan, sosial dan budaya. Sedangkan dimensi teknologi mengakomodasi peluang pengembangan ilmu teknologi, sehingga pemanfaatan
sumberdaya alam lebih efisien secara ekologis.
2.4 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Danau Berkelanjutan 2.4.1 Konsep Kebijakan
Kebijakan dan kelembagaan merupakan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Kebijakan yang bagus tanpa ditunjang kelembagaan yang kuat, maka
akan sulit mencapai output yang maksimal. Sebaliknya kelembagaan yang baik tanpa ditunjang kebijakan yang baik juga akan memberikan hasil yang tidak
maksimal Purwanti 2008. Sejalan dengan penyampaian Yogo et al. 2003 bahwa kelembagaan tidak semata wadah atau organisasi melainkan mencakup
kode etik, aturan main, sikap dan perilaku suatu sistim atau organisasi. Atas dasar konsep tersebut Yogo et al. 2003 memberikan pengertian kelembagaan
suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling
mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan
oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk
bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Berdasarkan pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam kelembagaan tergabung pihak-pihak yang memiliki
kepentingan yang sama yang disebut para pihak. Sisi lain, kebijakan merupakan sesuatu yang kompleks dan dinamis,
karena mencakup berbagai aspek. Kebijakan dikondisikan dan dibentuk oleh dimensi politik, sosial, ekonomi serta faktor sejarah. Walau beberapa ahli
berusaha keras menghindari perdebatan tentang definisi kebijakan, karena begitu ragamnya sudut pandang yang digunakan. Namun sebagai dasar untuk
memberikan bingkai pemahaman berikut ini disampaikan beberapa pengertian tentang kebijakan.
1. Kebijakan ialah kegiatan yang dilakukan oleh aktor atau beberapa aktor untuk menyelesaikan masalah Young dan Qoin 2002 dalam Suharto
2005. 2. Kebijakan adalah intervensi, cara dan pendekatan pemerintah untuk
mencari solusi atas masalah pembangunan atau untuk mencapai tujuan pembangunan dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan
maupun implementasinya di lapangan menggunakan instrumen tertentu Djogo, et al. 2003.
3. Kebijakan ialah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten dalam mencapai tujuan tertentu Suharto 2005. 4. Jenkin 1972 dalam Wahab 2008 menyatakan kebijakan adalah
serangkaian keputusan yang saling terkait berkenaan dengan pemilihan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu.
5. Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan mempengaruhi
pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum Sanim 2005
Pengertian kebijakan tersebut memberikan gambaran beragamnya sudut pandang dari para ahli terkait kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan penyampaian
Hogwood dan Gunn 1986 yang dikutip Wahab 2008 bahwa terdapat sepuluh pengelompokkan ragam istilah kebijakan. Antara lain; kebijakan sebagai program,
hasil akhir, keluaran, teori dan model, serta sebagai suatu proses. Dengan demikian berdasarkan pengertian kebijakan di atas secara umum menjelaskan
bahwa kebijakan berorientasi pada tujuan untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu kejelasan masalah, kehandalan instrumen dan kelembagaan yang baik
merupakan serial yang utuh dalam proses kebijakan. Kebijakan sering tidak efektif menyelesaikan masalah, karena masalah yang dikonstruksikan salah.
Padahal kebijakan sumberdaya alam yang salah, akan memberikan dampak pada aspek ekologis, ekonomis dan sosial, secara dependen maupun independen.
Salim 2005 menyatakan kerusakan lingkungan di Indonesia sebagai bagian dari kebijakan pembangunan yang pada awal tahun 1970an berorientasi
pertumbuhan ekonomi semata. Artinya kebijakan pembangunan tahun 1970an yang didominasi pertimbangan ekonomi telah menimbulkan permasalahan yang
kompleks. Misalnya pemanfaatan hutan yang ekstraktif telah menimbulkan banjir, erosi dan sedimentasi. Perubahan bentang alam mangrove untuk kawasan industri
dan permukiman berdampak pada interusi dan rob. Perubahan kawasan hijau menjadi kawasan ekonomi telah menimbulkan gangguan sistem hidrologi.
Sedangkan Marifa 2005 menjelaskan penting memperhatikan aspek konsistensi dalam penyusunan kebijakan mencakup masukan, proses, luaran dan aspek
koordinasi serta harmonisasi lintas sektor. Kebijakan dan pembangunan semestinya merupakan dua istilah yang
sangat terkait.
Pembangunan konteksnya
adalah wilayah
kebijakan diimplimentasikan, sedangkan kebijakan menunjuk pada kerangka kerja
bagaimana pembangunan dilaksanakan Suharto 2008. Oleh karena itu kebijakan dalam perspektif sebuah proses sering dipandang seperti ban berjalan
yang terdiri atas tahapan-tahapan. Tahap pertama, penyusunan agenda berdasarkan inventarsisai masalah dan meta masalahnya. Tahap kedua, perumusan
kebijakan atau adopsi kebijakan yaitu proses pengesahan yang dirancang untuk mengatasi masalah yang terjadi di masa lalu atau mencegah terjadinya masalah
pada masa yang akan datang. Tahap ketiga, implimentasi kebijakan yaitu pelaksanaan strategi atau kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu yang
telah diprogramkan Wahab 2008. Sedangkan Dunn 2000 menjelaskan lima tahapan dalam proses pembuatan kebijakan mencakup; penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implimentasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Berdasarkan uraian di atas menggambarkan bahwa antara kebijakan dan kelembagaan saling terkait erat. Kelembagaan yang baik akan menghasilkan
kebijakan yang baik juga. Dan kebijakan yang baik tanpa ditunjang oleh kelembagaan yang baik tidak akan efektif. Bahkan bisa menimbulkan biaya
transaksi tinggi. Misalnya kebijakan otonomi daerah yang belum optimal
didukung oleh kelembagaan pemerintahan daerah yang berkapasitas baik sehingga belum menghasilkan kinerja pembangunan sumberdaya alam yang efektif.