ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANAU LIMBOTO

VII. ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANAU LIMBOTO

7.1 Analisis Landasan Hukum Pengelolaan Danau

Danau merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hal tersebut didasarkan atas fungsi danau yang multi dimensi bagi kelangsungan hidup, termasuk manusia. Diantara fungsi danau tersebut ada yang bersifat intagiable, sulit dilihat langsung namun memiliki peran besar. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya danau harus dilakukan secara tepat agar fungsinya berjalan secara berkelanjutan. Kerusakan danau sebagai suatu sumberdaya ekosistem bukanlah proses yang terjadi secara tunggal. Sedimentasi, tercemarnya air, pertumbuhan tanaman air yang tinggi di danau, merupakan fenomena yang terjadi di hilir permasalahan. Banyak hal yang menjadi latar belakang sehingga terjadi kerusakan lingkungan danau, dan hal tersebut berlangsung secara kompleks. Salah satunya ialah kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan merupakan instrumen formal tentang arah dan prinsip dalam pembangunan terkait sumberdaya alam. Oleh karena itu analisis terhadap peraturan formal yang menjadi landasan operasional pengelolaan sumberdaya alam danau adalah penting. Pengelolaan sumberdaya alam secara fundamental diatur dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ayat tersebut memberikan tafsiran bahwa negara memiliki otoritas untuk mengelola sumberdaya alamnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian pemerintah memiliki kewajiban untuk menjadikan sumberdaya alam bagi kemakmuran rakyatnya. Kemakmuran rakyat menjadi tujuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam oleh negara. Danau Limboto sebagai sumberdaya strategis di Provinsi Gorontalo pengelolaannya didasarkan atas kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut dalam bentuk sistem peraturan perundangan sumberdaya alam dan lingkungan. Beberapa perundangan tersebut antara lain disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Landasan hukum kebijakan pengelolaan Danau Limboto Analisis isi dilakukan terhadap peraturan tersebut di atas menyangkut tema konservasi ekosistem dan pengelolaan danau secara umum. Dua tema tersebut dijadikan sebagai indikator tentang keberpihakan suatu peraturan terhadap keberlanjutan sumberdaya alam secara umum dan danau secara khusus. Hasilnya disajikan pada Tabel 22. Peraturan Perundangan Batas Yuridiksi Lembaga yang Berwenang UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem 1. Pelaksanaan kegiatan konservasi; 2. Pola dasar dan pengaturan cara pemanfaatan konservasi sumberdaya; 3. Pembinaan konservasi berkaitan penegakan hukum. Pemerintah, masyarakat dan instansi hukum UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 1. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan; 2. Aktivitas perencanaan, pengelolaanpemanfaatan penelitian dan pengembangan serta pengawasan kehutanan; 3. Rehabilitasi hutan; Pemerintah, masyarakat dan aparat hukum UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air 1. Pola pengelolaan wilayah sungai; 2. Perencanaan pengelolaan SDA; 3. Koordinasi Pemerintah, masyarakat dan Dewan Air UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan 1. Rencana pengelolaan SDI, jumlah penangkapan; 2. Penyusunan sistem informasi SDI; 3. Penelitian dan pengembangan SDI; 4. Pengawasan. Pemerintah, LSM, PT, penegak hukum UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Penyelengaraan pemerintahan; 3. Pengelolaan SDA; 4. Perencanaan RTRW. Pemerintah provinsi dan kabupatenkota UU No 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang 1. Pengaturan dan pembinaan penataan ruang; 2. Perencanaan pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan ruang; 3. Penyidikan Pemerintah, masyarakkat , PPNS UU No 32 Tahun 2009 Pengelolaan Lingkungan Hidup 1. Menetapkan dan melaksanakan RPPLH; 2. Menetapkan dan melaksanakan KLHS; 3. Penegakan hukum. Pemerintah, masyarakat, instansi hukum PERDA No 1 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Danau 1. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan; 2. Kerja sama dan penegakan hukum Pemerintah provisnidaerah dan PPNS Tabel 22 Analisi isi tema konservasi dan danau No PeraturanPerundangan Tema Konservasi Danau 1 UU No 5 Tahun 1990 23 2 UU No 41 Tahun 1999 14 1 3 UU No 31 Tahun 2004 15 3 4 UU No 32 Tahun 2004 1 5 UU No 7 Tahun 2004 28 11 6 UU No 26 Tahun 2007 1 1 7 UU No 32 Tahun 2009 10 Berdasarkan Tabel 23 di atas menunjukkan bahwa kata konservasi terbanyak terdapat pada UU No. 7 tahun 2004 yaitu 28 kata, UU No. 5 tahun 1990 terdapat sebanyak 23 kata konservasi, sedangkan UU No. 32 tahun 2004 terdapat 10 kata konservasi. Sama halnya dengan kata danau terbanyak terdapat pada UU No. 7 tahun 2004 yaitu 11 kata, sedangkan UU No. 32 tahun 2009, UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 5 tahun 1990 tidak terdapat kata danau. Tabel 22 menunjukkan bahwa, satu-satunya perundangan yang terbit sebelum era otonomi daerah ialah UU No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem. Peraturan tersebut belum secara tegas memberikan arahan kepada berbagai pihak terkait kebijakan pengelolaan konservasi sumberdaya danau secara umum dan secara khusus. Pada pasal 38 UU No. 5 tahun 1990 masih sangat umum terkait penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah. Disamping itu, UU tersebut belum memberikan ruang publik untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Peran rakyat dalam pelaksanaan konservasi diarahkan oleh pemerintah, pasal 37. Hal tersebut memberikan gambaran pengelolaannya masih bersifat sentralistik sebagaimana regim yang berkuasa ketika itu. Visi dan misi UU ini adalah konservasi sumberdaya alam, meskipun hanya terbatas pada kawasan suaka alam. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam substansi pro-kapital, bersifat sentralistik dan berorientasi produksi Sumardjono et al. 2011. Fungsi hutan dalam UU ini dibagi dalam tiga macam yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pasal 37 UU ini menjelaskan bahwa pemanfaatan hutan yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak merusak fungsinya. Misalnya PP No. 6 tahun 2007 yang memberikan mandat bahwa pengelolaan hutan lindung diarahkan untuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, tetapi ketentuan ini menjadi tidak jelas ketika pemerintah mengizinkan penambangan bawah tanah di kawasan lindung melalui Peraturan Presiden No 28 tahun 2011. Landasan operasional tersebut menggambarkan inkonsistensi tentang pemanfaatan hutan lindung. Realitanya banyak kawasan lindung termasuk hutan lindung tertekan oleh kepentingan ekonomi. Dengan demikian KEPRES No. 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, tidak akan efektif pelaksanaannya di lapangan karena tumpang tindih dengan aturan yang lainnya. UU No 7 tahun 2004 terbatas pada air sebagai sumberdaya alam dalam pendekatan komoditas. Sebaliknya ekosistem dari sumberdaya air tersebut tidak dijelaskan secara konkret terkait konservasinya. Artinya peraturan yang bersifat tematik UU No. 7 tahun 2004 ini, hanya memandang air sebagai komoditas. Konsekuensinya ialah air dipandang sebagai modal ekonomi untuk dieksploitasi dalam rangka mendapatkan rente. Peraturan tersebut tidak membahas atau mengatur tentang air keterkaitannya dengan ekosistemnya serta interdependensi dengan lingkungannya. Padahal keberadaaan air dalam konteks jumlah dan kualitas sangat ditentukan oleh ekosistemnya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sanin 2010 bahwa UU No. 7 tahun 2004 lebih berpihak kepada swasta dan kurang memandang air dari dimensi sosial serta mengabaikan aspek kajian ekosistemnya. Menurut Sumarjono et al. 2011 UU ini memiliki kecenderungan pro-kapital yang ditunjukkan oleh peluang badan swasta untuk mengusahakannya. PP No. 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, sebagai peraturan yang lebih operasional belum secara eksplisit menjelaskan tentang pengelolaan danau, sebaliknya sangat umum sebagai bagian dari DAS. Misalnya belum ada pasal atau ayat satupun yang menjelaskan tentang pengelolaan danau. UU No. 31 tahun 2004 Pasal 5 menjelaskan bahwa danau merupakan salah satu wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan dan pembudidayaan. Penjelasan pasal 13 menyatakan bahwa, danau termasuk dalam kawasan konservasi terkait kegiatan perikanan. Namun secara eksplisit keterpaduan pelaksanaan konservasi belum diatur dalam batang tubuh UU ini, sementara keterpaduan penting dalam konservasi danau. Sisi lain menurut Sumardjono et al. 2011 secara umum UU ini pengelolaannya bersifat sentralistik. Walaupun dalam pasal 65 disampaikan tentang penyerahan urusan dan pembantuan umum tehadap pemerintah daerah tetapi tidak jelas rinciannya. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 17 menjelaskan secara umum hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta hubungan antar pemerintah daerah tentang pemanfaatan sumberdaya alam. Namun secara keseluruhan UU ini belum memberikan penjelasan hubungan antar pemerintah daerah menyangkut kegiatan konservasi. Padahal sering kali konflik terjadi antara pemerintah daerah disebabkan oleh persepsi terhadap batasan sumberdaya alam sangat administratif, sedangkan hakikat sumberdaya alam bersifat ekosistemik, sehingga sangat rancu jika didekati secara administrasi semata. Artinya UU ini secara formal memberikan kewenangan pemerintah daerah terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Namun sisi lain secara bersamaan UU ini pendekatannya sangat formal dalam memahami batasan sumberdaya alam. Akibatnya sering terjadi konflik kepentingan dan kewenangan terkait pengelolaan sumberdaya alam diantara pemerintah daerah. Misalnya kerusakan ekosistem perairan danau yang merupakan daerah hilir, jika pengendaliannya semata teknosentris melalui restorasi danau, maka tidak menyelesaikan permasalahan secara mendasar, karena akar masalah di bagian hulu tidak dikendalikan. Sisi lain kawasan hilir dan hulu berada pada daerah administrasi kabupatenkota yang berbeda. Dengan demikian regim otonomi daerah gagal memperbaiki pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ekstraktif. Kegagalan tersebut diantaranya disebabkan oleh 1 keterbatasan kapasitas SDM daerah sehingga belum efektif menjalankan mandat yang diberikan. Kondisi tersebut bisa berdampak pada biaya transaksi tinggi; 2 dominannya kekuatan politik kepala daerah yang berimplikasi pada lahirnya kebijakan yang berorientasi kepentingan jangan pendek. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan instrumen kebijakan dalam aspek perencanaan ruang secara umum termasuk danau. Dari Tabel 22 memberikan informasi bahwa, secara kuantitatif ada dua kata konservasi dan satu kata tentang danau. Substansi konservasi pada undang-undang ini ialah penataan ruang salah satunya diarahkan pada konservasi sumberdaya alam. Sedangkan danau dalam undang-undang ini dipandang sebagai kawasan lindung setempat mencakup sempadan sungai, sempadan pantai dan sempadan danau, penjelasan Pasal 5 ayat 2. Semangat yang tersirat dari undang-undang ini ialah pemanfataan sumberdaya alam harus dalam sistem perencanaan tata ruang yang mendorong keberlanjutan sumberdaya alam tersebut. Oleh karena itu danau yang memiliki fungsi strategis dimasukkan dalam kawasan lindung setempat. Dalam aturan operasionalnya dijelaskan ruang kawasan danau yang mencakupi; 1 shoreline garis pantai danau berjarak 15-50 meter dari pasang tertinggi, 2 shoreline buffer daerah penyangga danau, 3 shoreland protection area kawasan perlindungan danau yaitu sekurang-kurangnya berjarak 50-100 meter dari pasang tertingi, 4 daerah budidaya. Penataan ruang tersebut ditujukan agar danau sebagai sumberdaya dapat terus menjalankan fungsinya. Kebijakan penataan ruang secara substansi mencakup tiga isu pokok yaitu pola ruang yang terdiri atas kawasan budidaya dan lindung, struktur ruang dan kelembagaan. Dalam kenyataannya penataan ruang kawasan danau secara khusus dan wilayah secara umum banyak mengabaikan aspek prinsip keserasian fungsi ruang yang tujuannya untuk keberlanjutan sumberdaya alam. Indikasinya banyak aktivitas ekonomi dilaksanakan di area yang secara peraturan di larang misalnya di kawasan lindung seperti sempadan sungai dan danau serta kawasan lindung yang melindungi kawasan di bawahnya. Akibat dari perubahan fungsi penggunaan lahan dari lindung menjadi budidaya di daerah tangkapan air danau, maka berimplikasi negatif terhadap keberadaan danau sebagai hilir dari sistem DAS tersebut. Kebijakan penataan ruang di kawasan Danau Limboto belum mengindahkan secara efektif aturan yang ada. Misalnya dalam RTRW Provinsi diamanahkan bahwa Danau Limboto menjadi taman wisata danau. Sedangkan RTRW Kota Gorontalo mengidentifikasi bahwa Danau Limboto menjadi salah satu alternatif sumber air bersih, pengembangan wisata dan pengembangan perikanan. Namun implimentasinya banyak aktivitas pertanian dilaksanakan di lahan-lahan marginal, aktivitas ekonomi di sempadan danau dan sungai, serta aktvitas ekonomi di danau sehingga mereduksi keberlanjutan fungsi danau. Implimentasi kebijakan tata ruang kawasan Danau Limboto harus diatur dalam bentuk peraturan daerah tentang tata ruang kawasan Danau Limboto yang terpadu. Oleh karena itu kehadiran aturan di tingkat daerah dalam bentuk RTRW Danau Limboto adalah penting untuk memberikan kejelasan lokus, fokus dan otoritas. Perda ini juga harus mampu mengidentifikasi setiap kebutuhan ruang stakeholders yang berada di kawasan Danau Limboto agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan. Misalnya kepentingan memulihkan atau merevitalisasi kawasan hutan minimal 30 persen dari luas DAS yang diperintahkan UU No. 26 tahun 2007 pasal 17 dan memulihkan sempadan danau sebagai kawasan lindung. UU No. 32 tahun 2009 memiliki visi konservasi dan telah memberi ruang publik untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Misalnya pada penjelasan pasal 2 huruf k yaitu y ang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. UU No.32 Tahun 2009 juga menjelaskan dan mewajbkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis KLHS. Namun pelaksanaannya di lapangan masih sangat terbatas, karena mandat ini baru. Sisi lain, tantangannya ialah komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan di lapangan. Misalnya disahkannya PP No. 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Kedua peraturan tersebut sering dikalahkan oleh kepentingan politik, sehingga pertimbangan sosial-ekologi menjadi marginal. Perda Provinsi Gorontalo No 1 tahun 2008 merupakan payung hukum pengelolaan Danau Limboto dalam konteks lokal. Perda ini belum secara jelas mengatur aspek kelembagaan pengelolaan danau untuk lestari. Hal tersebut ditunjukkan oleh saling tumpang tindihnya program dan kegiatan yang dilaksanakan di kawasan Danau Limboto. Sisi lain PERDA ini belum secara jelas bagaimana fungsi kelembagaannya dijalan yaitu aspek koordinasi dan aturan mainnya. Tabel 21 dan uraiannya memberikan petunjuk bahwa isu tentang danau sebagai sumberdaya alam yang penting bagi kelangsungan kehidupan tidak cukup terwadahi secara signifikan dalam berbagai aturan yang ada. Belum ada peraturan yang secara tematik memiliki fokus dan lokus tentang kawasan danau. Hal tersebut memberi penjelasan bahwa perhatian pemerintah terhadap danau masih sangat kecil. Padahal secara sosial budaya bahkan ekonomi serta ekologi, banyak masyarakat yang tergantung terhadap danau. Danau dalam peraturan perundung- undangan di atas hanya menjadi topik komplementer dari tema penting yang dibangunnya. Oleh karenanya wajar jika kemudian hampir seluruh danau yang ada di Indonesia mengalami degradasi yang serius. Keberpihakan politik terhadap kelestarian danau sangat rendah dan hanya terbatas pada kepentingan ekonomi semata. Uraian tersebut juga memberikan gambaran bahwa, peraturan perundangan tentang sumberdaya alam dan lingkungan masih sektoral. Peraturan yang mengatur tentang sumberdaya alam dan lingkungan secara terpadu belum ada. Implikasinya banyak ditemukan adanya tumpang tindih antara peraturan satu dengan yang lainnya. Kondisi tersebut potensial menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Hal lain dari uraian di atas ialah regim otonomi daerah gagal menginternalisasi paradigma pembangunan berkelanjutan dalam agenda-agenda politik ekonominya. Kerusakan lingkungan dan perubahan kawasan hutan yang terus terjadi mengkonfirmasi keadaan tersebut. Kondisi tersebut juga menggambarkan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan belum menjadi sesuatu yang prinsip dalam kebijakan ekologi politik pemerintah. Paradigma pembangunan berkelanjutan terjebak pada pilihan pertumbuhan ekonomi. Sementara sumberdaya alam dan lingkungannya dipandang semata modal pembangunan dan mengabaikan nilai intagible dan intrinsik.

7.2 Analisis Kelembagaan Pengelolaan Danau Limboto

Kajian kelembagaan pengelolaan danau dilakukan berdasarkan observasi lapangan terhadap stakeholders yang terkait dengan pengelolaan Danau Limboto. Hasil observasi menunjukkan bahwa terdapat 20 stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam pengelolaan Danau Limboto terpadu dan berkelanjutan Tabel 23. Tabel 23 Stakeholders yang terkait dalam pengelolaan Danau Limboto No Stakeholders Potensi Peran 1 Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Provinsi Gorontalo Merumuskan kebijakan perikanan lintas kabupaten 2 Badan Perencanaan Percepatan Pembangunan Daerah BAPPPEDA Provinsi Gorontalo Perencanaan makro dan koordinasi lintas sektor 3 Balai Wilayah Sungai Sulawesi II Perencanaan dan pembangunan sarana- prasarana pengendalian air permukaan 4 Badan Lingkungan Hidup dan Riset, Teknologi-Infromasi Baliristri Provinsi Gorontalo Perencanaan dan pengendalian lingkungan hidup 5 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BP DAS Provinsi Gorontalo Perencanaan dan monev DAS 6 Dinas Pariwisata Provinsi Perencanaan dan pembanggunan wisata 7 Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Kab Gorontalo Perencanaan dan pembangunan sektor perikanan kabupaten 8 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA Kab Gorontalo Perencanaan makro dan koordinasi lintas sektor 9 Dinas PU Kabpaten Gorontalo Perencanaan dan pembangunan sarana- prasarana 10 Dinas Pertanian Distan Kab Goorontalo Perencanaan dan pembangunan sektor pertanian 11 Dinas Pertanian Distan Kota Gorontalo Perencanaan dan pembangunan sektor pertanian perikanan 12 Dinas Lingkunggan Hidup DLH Kota Gorontalo Perencanaan dan pengendalian lingkungan hidup 13 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA Kota Gorontalo Perencanaan makro dan koordinasi lintas sektor 14 Perguruan Tinggi PT, seperti Univ. Negeri Gorontalo Mendukung dalam menyediakan data dan informasi serta narasi ilmiah 15 Dinas kehutanan Dishut Provinsi Gorontalo Perencanaan dan pembangunan kawasan hutan 16 Dinas Kehutanan Dishut Kab. Gorontalo Perencanaan dan pembangunan kawasan hutan 17 Forum DAS Pendampingan, pemberdayaan masyarakat 18 Masyarakat Hulu pertanian Mendukung melalui pertanian ramah lingkungan 19 Masyarakat Perikanan danau Mendukung melalui perikanan ramah lingkungan 20 Kementerian Lingkungan Hidup KLH Perencanaan makro dan pelaksanaannya terkait aspek lingkungan hidup danau Terhadap Stakeholders yang disajikan pada Tabel 23 selanjutkan dilakukan analisis penting dan pengaruhnya dalam pengelolaan Danau Limboto. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui posisi kwadran dari masing-masing stakeholders. Berdasarkan analisis stakeholders tersebut memberikan arahan tafsiran bahwa dari empat kwadran, maka 20 stakeholders tersebar pada kwadran Contest Setter, Player dan Subyek. Secara lebih detail sebaran stakeholders disajikan pada Gambar 41. Gambar 41 Matrik Stakeholders pengelolaan Danau Limboto Contest Setter Contest setter adalah stakeholders yang mempunyai kepentingan kecil dan pengaruh yang besar. Contest setter dalam pengelolaan Danau Limboto bisa diartikan sebagai stakeholders yang memiliki fungsi perencana makro dari pembangunan, koordinasi, yang karena lingkup kerjanya yang teramat luas maka dianggap minatnya kecil terhadap pengelolaan Danau Limboto. Pengaruhnya besar karena contest setter mempunyai pengaruh untuk mengesahkan program- program dari instansi terkait, termasuk wewenang dalam prioritas pemberian anggaran. Atau yang memiliki pengaruh terhadap keberlanjutan danau, meskipun kepentingannya kecil. Beberapa yang termasuk contest setter antara lain sebagai berikut. 1 Balai Wilayah Sungai Sulawesi II Balai Sungai memiliki pengaruh terkait perencanaan dan pembuatan bangunan- bangunan air seperti cek dam yang airnya mengalir ke dalam Danau Limboto. Optimalisasi fungsi cek dam akan meminimalisir butiran-butiran yang akan diendapkan dalam danau. Kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya, Balai Sungai berkoordinasi dengan instansi teknis misalnya PU Provinsi, PU Kabupaten dan BALIRISTI. 2 Kementerian Lingkungan Hidup KLH KLH memiliki kewenangan dalam hal koordinasi tingkat nasional tentang perencanaan, pelaksanaan dan pembinaan pelestarian ekosistem danau secara umum dan Danau Limboto di tingkat nasional. 3 BAPPEDA Kota Gorontalo Bappeda Kota Gorontalo merupakan instansi dengan tupoksi merumuskan kebijakan teknis dan mengkoordinasikannya di tingkat Kota Gorontalo. Instansi ini memiliki pengaruh dalam perencanaan pembangunan termasuk yang berada di kawasan Danau Limboto. 4 BAPPEDA Kabupaten Gorontalo Bappeda Kabupaten Gorontalo merupakan instansi dengan tupoksi merumuskan kebijakan teknis dan mengkoordinasikannya di tingkat Kabupaten Gorontalo. Instansi ini memiliki pengaruh dalam perencanaan pembangunan termasuk yang berada di kawasan Danau Limboto. 5 BP DAS Limboto Instansi berdasarkan tupoksinya secara spesifik menangani masalah pengelolaan DAS, khususnya masalah perencanaan dan monev. Instansi ini memiliki pengaruh dalam perencanaan dan pembangunan DAS Limboto. Sisi lain kualitas DAS akan mempengaruhi keberadaan Danau Limboto. BPDAS merupakan instansi pusat sehingga untuk pelaksanaan program-programnya dilakukan melalui kerjasama dengan Dinas yang ada di daerah. 6 Dinas Pertanian Kabupaten Gorontalo Dinas Pertanian mempunyai kaitan yang cukup erat dengan pengelolaan DAS terutama bila menyangkut masalah pertanian di daerah hulu. Artinya aktivitas pertanian yang mengabaikan aspek lingkungan akan menekan secara ekologis keberadaan Danau Limboto sebagai hilir dari DAS. 7 Dinas Kehutanan Provinsi Gorontalo Dinas Kehutanan Propinsi terutama menangani masalah pengelolaan kawasan hutan lintas Kabupaten. Luasan kawasan hutan yang memadai di daerah tangkapan air akan meminimalisir dampak ekologis terhadap Danau Limboto. 8 Dinas Kehutanan Kabupaten Gorontalo Dinas Kehutanan kabupaten terutama menangani masalah pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten. Dalam hal pengelolaan Danau Limboto, Dinas Kehutanan Kabupaten memiliki pengaruh terhadap pembangunan kawasan hutan yang terdapat di daerah ini. 9 Dinas Pekerjaan Umum PU Kabupaten Instansi ini memiliki kewenangan pembangunan sarana prasarana di kabupaten Gorontalo, termasuk dalam menyusun rencana tata ruang daerah kabupaten Gorontalo. 10 BAPPPEDA Provinsi Gorontalo Instansi ini memiliki kepentingan bahwa danau sebagai aset ekologis, sosial dan ekonomi bagi daerah. Rusaknya danau akan menimbulkan bencana lingkungan dan akan melahirkan kantong kemiskinan di kawasan ini. Instansi ini memiliki kepentingan untuk menjaga danau sebagai trade mark Provinsi Gorontalo. Instansi ini juga memiliki fungsi perencanaan makro dan mengkoordinasikannya dengan instansi terkait. Misalnya menyusun kebijakan tata ruang provinsi yang termasuk di dalamnya ialah kawasan Danau Limboto. 11 Masyarakat Hulu Masyarakat hulu yang umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani aktivitasnya memiliki pengaruh terhadap kelestarian Danau Limboto. Karena aktivitas pertanian di lahan-lahan marginal dengan pola intensif tanpa ditopang teknologi konservasi lahan dan air akan memberikan dampak negatif terhadap daerah di bawahnya termasuk Danau Limboto. Players Players adalah stakeholders yang mempunyai kepentingan dan kewenangan besar. Player dapat diartikan sebagai pelaksana kunci yang berkepentingan dan memiliki pengaruh besar terhadap pengelolaan Danau Limboto yang lebih baik. Beberapa stakeholders yang masuk dalam kwadran player adalah sebagai berikut. 1 Dinas Perikanan Provinsi Gorontalo Instansi ini memiliki kepentingan bahwa danau sebagai aset ekonomi bagi pembudidaya ikan dan nelayan. Oleh karena itu instansi ini memiliki kepentingan terhadap kelestarian danau untuk menopang ketahanan pangan sumber protein hewani. Instansi ini juga memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan pembangunan perikanan di Danau Limboto dalam lintas kabupatenkota. 2 BALIRISTI Provinsi Gorontalo Instansi ini memiliki kepentingan bahwa danau sebagai aset ekologis dan sosial daerah. Instansi ini memiliki kepentingan untuk menjaga ekosistem danau sebagai bagian dari keanekaragam sumberdaya alam. Disamping itu instansi ini memiliki kewenangan merumuskan kebijakan tentang riset-riset yang ada di danau termasuk menyusun masterplan tentang Danau Limboto. 3 DLH Kota Gorontalo Instansi ini memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan tentang lingkungan hidup ditingkat Kota Gorontalo. Disamping itu memiliki kepentingan terhadap danau sebagai aset ekologi. Oleh karena itu pembangunan lingkungan hidup di daerah ini menjadi kewenangan instansi ini. 4 Dinas Perikanan Kabupaten Gorontalo Instansi ini memiliki kepentingan bahwa danau sebagai aset eknomi dan sosial masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan, sehingga harus tetap lestari. Terkait dengan pengelolaan Danau Limboto, instansi ini memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan pembangunan perikanan yang ramah lingkungan di Danau Limboto. 5 Dinas Pertanian Kota Gorontalo Instansi ini memiliki kepentingan bahwa danau sebagai aset ekologis, sosial dan ekonomi bagi daerah. Oleh karena itu danau harus lestari untuk keberlanjutan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap Danau Limboto. Instansi ini memiliki kewenangan merumuskan kebijakan pembangunan perikanan yang ramah lingkungan di Danau Limboto. 6 Pariwisata Instansi ini memiliki kepentingan terhadap kelestarian danau sebagai aset wisata alam. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad 2011 menyatakan bahwa potensi ekonomi wisata Danau Limboto berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber ekonomi danau. Disisi lain instansi ini juga memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan pembangunan wisata yang berbasis ekosistemik, sehingga tidak mendorong degradasi Danau Limboto lebih parah. Subyek Subyek adalah stakeholders yang mempunyai kepentingan besar namun pengaruh kecil. Beberapa pihak dari stakeholders ini bahkan mempunyai kesungguhan dalam mengelola Danau Limboto lebih baik walaupun tidak mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau membuat kebijakan atau aturan. Beberapa stakeholders yang masuk dalam kwadran ini ialah sebagai berikut. 1 Masyarakat perikanan Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Danau Limboto memiliki kepentingan terhadap kelestarian danau. Karena mereka memiliki ketergantungan ekonomi dan sosial terhadap Danau Limboto. Masyarakat pesisir danau lebih dari 50 persen memiliki aktivitas ekonomi di Danau Limboto, seperti nelayan dan pembudidaya ikan. 2 Forum DAS Forum DAS dibentuk dengan satu tujuan yaitu pengelolaan DAS yang lebih baik. Artinya forum ini memiliki kepentingan untuk pengelolaan DAS termasuk di dalamnya ialah Danau Limboto. Namun forum ini tidak memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan hukum terkait pengelolaan Danau Limboto yang lebih baik. Memiliki potensi dalam pemberdayaan masyarakat. 3 Perguruan Tinggi Lembaga ini memiliki perhatian dan minat yang tinggi terhadap kelestarian Danau Limboto. Kelestarian Danau Limboto bagi lembaga ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar dan tempat kegiatan praktek mahasiswa. Hal tersebut ditunjukkan beberapa riset oleh dosen dan mahasiswa dilaksanakan di Danau Limboto seperti tentang kualitas air, biota dan aktivitas perikanan. Namun lembaga ini tidak memiliki kewenangan untuk melahirkan kebijakan hukum terkait pengelolaan Danau Limboto yang lebih baik. Analisis isi yang dilakukan terhadap PERGUB, PERDA Kabupaten Gorontalo dan PERDA Kota Gorontalo tentang tugas dan fungsi masing-masing instansi, tidak secara eksplisit menyebut Danau Limboto dalam batang tubuh peraturan tersebut. Dengan demikian menjadi wajar bila dalam implimentasinya terjadi ketidakjelasan instansi yang memiliki peran utama dalam pengelolaan Danau Limboto. Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Disebabkan masing-masing instansi memiliki agenda yang bersifat sektoral dan belum terintegrasi. Uraian di atas memberikan gambaran tentang kebutuhan dasar dalam pengelolaan Danau Limboto yaitu kelembagaan. Secara fungsional kelembagaan tersebut melakukan peran koordinasi dan memiliki otoritas untuk mewujudkan ekosistem danau yang lestari. Hal tersebut sesuai dengan informasi lapangan bahwa belum ada mekanisme koordinasi lintas sektor kaitannya dengan pengelolaan Danau Limboto khususnya antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kotakabupaten.

7.3 Analisis Sistem Dinamik Pengelolaan Danau Limboto Analisis kebutuhan

Setelah mengetahui dari hasil analisis berbagai faktor, bahwa kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan perlu seimbang dalam pengelolaan danau berkelanjutan, maka masih perlu dilakukan analisis kebutuhan stakeholders di dalam kawasan sekitar danau. Berdasarkan hasil identifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam sistem pengelolaan danau berkelanjutan pada dimensi kebijakan publik adalah pemerintah yang mewakili kepentingan publik, petani dan pemilik KJA, masyarakat setempat dan lembaga swadaya masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat, serta akademisi yang mewakili kalangan intelektual dan kepakaran. Tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan stakeholders yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan terhadap dampak-dampak pengembangan pada keberlanjutan manfaat- manfaat dan dampak-dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial. Analisa kebutuhan stakeholders dalam sistem disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan danau Berkelanjutan Stakeholders Kebutuhan Pemerintah 1. Keberlanjutan ekosistem Danau Limboto 2. Pendapatan daerah meningkat 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat 4. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan danau 5. Pengembangan sumberdaya danau PetaniPemilik KJA 1. Kesejahteraan meningkat 2. Terjaganya kondisi lingkungan yang baik 3. Penyuluhan pertanian dan perikanan 4. Bantuan pengembangan modal usaha yang kondusif 5. Pelayanan pemerintah Masyarakat 1. Kelestarian ekosistem danau 2. pelayanan pemerintah 3. Pengembangan wisata Danau Limboto 4. Transparansi dan sosialisasi peraturan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM Akademisi 1. Danau lestari 2. Kemitraan dalam pengelolaan danau 3. Transparansi pemerintah 4. Good governance 1. Kemitraan dengan perguruan tinggi 2. Ekosistem Danau Limboto lestari 3. Penelitian dan pengembangan pengelolaan SDA 4. Kesejahteraan pembudidaya dan petani terjamin Formulasi Masalah Perumusan permasalahan merupakan aktivitas sistem yang dikaji. Dalam hubungannya dengan pengelolaan danau berkelanjutan, permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, perumusan permasalahan sistem merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku pada kondisi nyata yang terjadi. Kebutuhan para pelaku terhadap keberhasilan adalah bersifat pemuasan kebutuhan dari masing-masing pelaku stakeholders, sedangkan kondisi yang ada saat ini tidak dapat memenuhi kebutuhan para pelaku tersebut. Permasalahan yang muncul perlu mendapat perhatian pihak pemerintah dan masyarakat luas. Selain melalui koordinasi dan pemahaman yang sama antar stakeholders. Adanya konflik kepentingan diantara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan stakeholders, uraian permasalahan dalam sistem pengelolaan danau berkelanjutan dimensinya mencakup sebagai berikut: 1. Dimensi ekologi 2. Dimensi ekonomi 3. Dimensi sosial 4. Dimensi kebijakan-kelembagaan 5. Dimensi teknologi infrastruktur Identifikasi Sub Model Sub Model Sosial Sub model sosial menggambarkan dinamika perkembangan penduduk di kawasan Danau Limboto berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah yang terlibat dalam sub model ini adalah jumlah penduduk, pertambahan penduduk, pengurangan penduduk, harapan hidup, jumlah petani, jumlah pembudidaya. Semua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, diformulasikan secara numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub model sosial dengan menggunakan powersim studio dan hasilnya diperlihatkan pada Gambar 42. Gambar 42 terlihat bahwa penduduk berfungsi sebagai level yaitu variabel yang mengakumulasikan jumlah masukan dan keluaran dalam sistem. Masukan tersebut antara lain fraksi pertambahan penduduk dan laju pertambahan penduduk. Sedangkan keluarannya ialah rata-rata harapan hidup. Petani berfungsi sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian antara prosentase petani, lahan pertanian kering dan fraksi petani. Gambar 42 Diagram alir sub model sosial Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi menggambarkan adanya peningkatan pendapatan petani dan pemilik KJA dari adanya pengelolaan lahan dan KJA sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi daerah yang akan berdampat terhadap kontribusi sektor. Gambar 43 Diagram alir sub model ekonomi Berdasarkan Gambar 43 tersebut, peningkatan kegiatan aktivitas ekonomi yang dapat menambah pendapatan akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Di dalam model pengelolaan danau berkelanjutan dimana tingkat kesejahteraan dipengaruhi adanya peningkatan pendapatan. Asumsi yang digunakan pada sub model ekonomi adalah angka pertumbuhan pendapatan pembudidaya ikan dipengaruhi oleh aktivitas perikanan di Danau Limboto. Asumsinya kegiatan perikanan dapat dilaksanakan hingga pada tahun 2040. Sub Model Eceng Gondok Sub model eceng gondok Eichornia crassipes menggambarkan pertumbuhan dinamika luasan eceng gondok di Danau Limboto. Peubah yang terlibat dalam sub-model ini adalah luasan eceng gondok, laju pertumbuhan, fraksi laju pertumbuhan, laju pengurangan dan fraksi laju pengurangan. Semua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, diformulasikan secara numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub-model social dengan menggunakan powersim studio dan hasilnya diperlihatkan pada Gambar 44. Gambar 44 Diagram alir sub model eceng gondok Sub Model Ekologi Sub model ekologi menggambarkan dinamika penggunaan lahan di kawasan daratan Danau Limboto. Peubah yang terlibat dalam sub-model ini adalah luas penggunaan lahan; hutan, pertanian, sawah, permukiman, semak belukar, jumlah penduduk, erosi, sedimentasi, pengurangan penduduk, kedalaman dan luas danau. Semua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, diformulasikan secara numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub-model ekologi dengan menggunakan powersim studio dan hasilnya diperlihatkan pada Gambar 45. Gambar 45 Diagram alir sub model ekologi Gambar 45 di atas terlihat luas penggunaan lahan berfungsi sebagai level yaitu variabel yang mengakumulasikan jumlah masukan dan keluaran dalam sistem. Laju pertambahan penggunaan lahan berfungsi sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian antara level dan fraksi. Beberapa atribut yang berfungsi sebagai fraksi ialah fraksi pertambahan penggunaan lahan. Simulasi Model Analisis kecenderungan sistem ditujukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan, melalui simulasi model. Perilaku simulasi ditetapkan selama 30 tahun, yakni dimulai tahun 2010 sampai dengan 2040. Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan perkembangan yang mungkin terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Peubah-peubah model yang akan disimulasikan adalah jumlah penduduk, pertumbuhan eceng gondok, aspek ekonomi, penggunaan lahan, kedalaman dan luasan Danau Limboto. Simulasi Sub Model Sosial Sub model sosial dilihat dari jumlah penduduk dan pengangguran di kawasan pengelolaan Danau Limboto. Jumlah penduduk memiliki garis linier positif dalam waktu. Pola tersebut sama dengan pola grafik pengangguran. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa pertambahan penduduk di kawasan Danau Limboto, diikuti oleh pertambahan pengangguran di kawasan tersebut. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa jumlah penduduk di kawasan Danau Limboto, terus meningkat dari 283.483 jiwa pada awal simulasi menjadi 409.561 jiwa pada akhir tahun simulasi. Pola peningkatan jumlah penduduk diikuti pengangguran. Pada awal simulasi pengangguran 14.174 jiwa menjadi 20.478 jiwa di akhir simulasi. Pertambahan penduduk tentu akan berimplikasi pada pergeseran penggunaan lahan, misalnya kebutuhan lahan untuk permukiman diperkirakan akan meningkat. Sisi lain pertambahan jumlah pengangguran memberi informasi bahwa kapasitas lapangan kerja lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pencari kerja. Oleh karena itu pemerintah perlu memperhatikan aspek tersebut melalui penciptaan lapangan kerja yang baru. Simulasi sub model sosial disajikan pada Gambar 46. Gambar 46 Simulasi penduduk dan pengangguran di Kawasan Danau Limboto 14.174 20.478 283.483 409.561 - 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 Tahun P e n g a n g g u ra n - 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 400.000 450.000 Pengangguran jiwa Penduduk jiwa P e n d u d u k Simulasi Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi melihat dari pertambahan pendapatan petani ikan atau pembudidaya ikan. Gambaran mengenai perubahan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Gambar 47. Berdasarkan gambar tersebut tingkat pendapatan petani ikan di Danau Limboto cenderung mengalami peningkatan. Pendapatan pada tahun 2010 awal simulasi yaitu Rp. 1.250.000,00 sedangkan pada tahun 2040 sebesar Rp. 2.284.359,70 Peningkatan tersebut sebagai bawaan intensifikasi dan ekstensifikasi perikanan budidaya yang dilaksanakan oleh pembudidaya ikan. Oleh karena itu kelestarian fungsi danau sebagai penyedia jasa ekonomi perikanan sangat penting, agar tetap memberikan sediaan jasa lingkungan bagi masyarakat perikanan Danau Limboto. Gambar 47 Tingkat pendapatan petani ikan Simulasi Sub Model Lingkungan Simulasi sub model lingkungan diragakan dengan perubahan luasan eceng gondok, luasan penggunaan lahan dan luas-kedalaman Danau Limboto. Gambar 48 menyajikan hasil simulasi perkembangan eceng gondok di Danau Limboto antara tahun 2010-2040. Gambar tersebut menunjukkan bahwa luas eceng gondok, awalnya mengalami pertumbuhan linier positif, tetapi kemudian mengalami stagnan. Eceng gondok tidak mengalami pertambahan luasan lagi sejak tahun 2025, karena sudah menutupi seluruh permukaan Danau Limboto. 1.760.893,32 1.411.280,72 2.284.358,70 1.250.000,00 - 500.000,00 1.000.000,00 1.500.000,00 2.000.000,00 2.500.000,00 2010 2020 2030 2040 Tahun P e nd a pa ta n P e ta ni I k a n R p Artinya jika dihitung hingga tahun 2025 maka sisa waktu luasan Danau Limboto tertutupi eceng gondok ialah 13 tahun. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan pupuk dalam pertanian turut menyumbang terhadap pertumbuhan eceng gondok di danau, karena pupuk tersebut tidak 100 efektif termanfaatkan oleh tanaman. Disamping itu pertambahan tanaman air di danau juga dipengaruhi secara positif oleh limbah organik pakan yang digunakan dalam perikanan budidaya. Sementara Boyd 1998 menyatakan bahwa populasi tanaman air yang melebihi 10-20 persen akan menyulitkan pengelolaan perikanan. Gambar 48 Simulasi sub model lingkungan untuk eceng gondok tahun 2010-2040 Sejalan dengan penyampaian Krismono 2012 bahwa eceng gondok di Danau Limboto telah menjadi gulma dan berdampak pada; 1 produktivitas primer berkurang seiring dengan perkembangan eceng gondok yang menutupi perairan; 2 hasil tangkapan ikan menurun; 3 volume air menurun karena evapotranspirasi pada permukaan air yang tertutup oleh gulma air eceng gondok mempunyai kecepatan tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan permukaan perairan yang terbuka. Hasil simulasi perkembangan penggunaan lahan antara tahun 2010-2040 di Kawasan Danau Limboto disajikan pada Gambar 49. Gambar 49 tersebut memberikan informasi bahwa dari enam penggunaan lahan hanya dua jenis penggunaan lahan mengalami kenaikan yaitu penggunaan lahan untuk 1.200,00 2.500,00 - 500,00 1.000,00 1.500,00 2.000,00 2.500,00 3.000,00 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 Tahun Lu a s E c e ng G on do k ha permukiman dan rawa-semak. Penggunaan lahan lainnya mengalami penurunan antara lain; penggunaan lahan hutan, pertanian lahan kering, perkebunan, sawah. Dinamika perubahan penggunaan lahan tersebut menggambarkan terjadinya aktivitas sosial-ekonomi di kawasan tersebut. Gambar 49 Simulasi penggunaan lahan di kawasan Danau Limboto Kenaikan penggunaan lahan untuk permukiman memberikan konfirmasi tentang implikasi dari pertambahan penduduk. Dengan demikian pola kenaikan penggunaan lahan untuk permukiman mengikuti pola pertumbahan penduduk yaitu linier positif. Sedangkan kenaikan rawa-semak memberikan konfirmasi tentang penurunan penggunaan pertanian lahan kering yang tidak digarap. Kenaikan rawa juga dikontribusi oleh mengecilnya luasan Danau Limboto. Penurunan luasan Danau Limboto ditunjukkan oleh berubahnya komunitas profundal danau dengan komunitas tanaman rumput-rumputan yang bisa hidup pada kondisi kering dan terendam air. Tabel 25 menunjukkan bahwa luasan permukiman meningkat tajam yaitu pada tahun 2010 adalah 3.913 ha menjadi 46.494,82 ha pada tahun 2040. Rawa- semak belukar menunjukkan pertumbuhan positif hingga tahun 2025 yaitu 20.873,94 ha, kemudian sejak tahun 2030 menjadi 18.805,22 ha dan tahun 2040 luasnya ialah 934,04 ha. Menurunnya seluruh luasan penggunaan lahan diduga dipengaruhi oleh pertambahan luasan permukiman. 10000 20000 30000 40000 50000 60000 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 L u a s L a h a n ha Tahun Permukiman Pertanian LK Rawa-Semak Sawah Perkebunan Hutan Tabel 25 memperlihatkan juga informasi bahwa luasan pertanian lahan kering turun dari 53.623 ha tahun 2010 menjadi 29.250,51 ha pada tahun 2040. Pada awalnya perubahan lahan pertanian lahan kering berubah menjadi rawa- semak belukar. Hal tersebut ditunjukkan oleh pertambahan luasan rawa-semak dan belukar hingga tahun 2025. Tetapi kemudian luasan rawa semak belukar turun sejak tahun 2030. Tabel 25 Penggunaan lahan di kawasan Danau Limboto tahun 2010-2040 Tahun Luas Lahan ha Permukiman Pertanian LK Rawa-Semak Sawah Perkebunan Hutan 2010 3.913 53.623 12.456.00 7.618 300 8.846 2015 5.910.97 48.470.94 17.123.33 7.355.08 181.12 7.714.56 2020 8.929.11 43.813.9 20.074.00 7.101.23 109.35 6.727.84 2025 13.488.3 39.604.29 20.873.94 6.856.14 66.02 5.867.32 2030 20.375.41 35.799.14 18.805.22 6.619.51 39.86 5.116.86 2035 30.779.07 32.359.59 12.739.84 6.391.05 24.06 4.462.39 2040 46.494.82 29.250.51 934.04 6.170.47 14.53 3.891.64 Luasan pertanian lahan kering sebagai penyumbang utama erosi lahan mengalami penurunan, tetapi erosi tetap tinggi karena pola pertanian yang tidak ramah lingkungan dan terjadi di lahan-lahan marginal. Dampak dari aktivitas pertanian adalah memacu terjadinya erosi dipercepat. Sementara erosi tidak semata menimbulkan on-site effect misalnya berkurangnya tingkat kesuburan tanah tetapi juga menimbulkan off-site effect seperti sedimentasi di sungai dan danau. Sejalan dengan hal tersebut disampaikan oleh Soemarwoto 1997 bahwa erosi memberikan efek; 1 menurunkan kesuburan tanah, 2 menurunkan produksi. Menurut Lal 1994 bahwa produktivitas lahan seluas ± 20 jutahath mengalami penurunan ke tingkat nol atau menjadi tidak ekonomis lagi disebabkan oleh erosi; dan 3 menurunkan pendapatan petani. Walaupun luasan lahan untuk pertanian lahan kering mengalami penurunan seperti Gambar 50 di atas, namun kegiatan yang telah berlangsung dalam waktu yang panjang menimbulkan akumulasi dampak yang berkelanjutan. Dengan demikian tingginya erosi yang terjadi kawasan Daratan Danau Limboto mempercepat pendangkalan dan luasan danau melalaui proses sedimentasi. Oleh karena itu, jika pengelolaan Danau Limboto seperti kondisi eksisting saat sekarang maka life time danau sisa 21tahun. Simulasi dinamika perubahan luasan dan kedalaman Danau Limboto disajikan pada Gambar 50 pada halaman berikut. Gambar 50 menunjukkan bahwa dengan kondisi eksisting pengelolaan danau seperti sekarang, maka life time Danau Limboto yang ditunjukkan oleh kedalaman dan luasannya akan mencapai titik 0 pada tahun 2030. Beberapa variabel yang memiliki pengaruh kuat terhadap proses pendangkalan di Danau Limboto ialah aktivitas pertanian dan semakin mengecilnya luasan kawasan hutan. Berkurangnya luasan hutan dan semakin ekstraktifnya pemanfaatan lahan-lahan marginal sehingga memacu erosi semakin tinggi dan diikuti oleh proses sedimentasi di Danau Limboto . Gambar 50 Perubahan luas dan kedalaman Danau Limboto tahun 2010-2040 Gambar 50 menunjukkan bahwa, kedalaman dan luas Danau Limboto memiliki pola linier negatif. Pada tahun 2020 kedalaman danau turun menjadi 0,54 m sedangkan luas danaunya ialah 1.505 ha. Dalam kondisi tersebut fungsi Danau Limboto menjadi tidak berjalan. Masuknya material sedimen yang terus menerus dalam jumlah yang besar akan membuat Danau Limboto punah pada tahun 2030. Validitas Model Validasi adalah untuk menguji keberadaan model. Validasi mencakup dua hal yaitu validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur menekankan pada keyakinan kebenaran logika yang dibangun berdasarkan teori. Seperti yang disampaikan Barlas 1996 bahwa validasi struktur suatu model dikatakan valid 1.505,00 - 2.402,00 - 2,54 0,54 0,02 - - 500,00 1.000,00 1.500,00 2.000,00 2.500,00 3.000,00 2010 2020 2030 2040 Tahun L u a s h a - 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 Luas ha Kedalaman m K e d a l a m a n m jika model sesuai dengan teori yang ada. Secara teori pertumbuhan penduduk akan meningkat yang dipengaruhi oleh pertambahan penduduk kelahiran, dan migrasi. Sebaliknya penduduk akan mengalami pengurangan sebagai akibat dari emigrasi dan kematian mortalitas. Sisi lain, pertumbuhan penduduk akan mempengaruhi penggunaan lahan. Implikasinya penggunaan lahan permukiman akan meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Menurut Barlas 1996 validasi kinerja dapat dilakukan dengan cara membandingkan data simulasi dengan data empiris. Validasi kinerja model dilakukan dengan membandingkan data penduduk aktual dan data simulasi dengan menggunakan Absollute Mean Error AME disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 26 Hasil perhitungan nilai AME untuk uji validasi kinerja Tahun Jumlah Penduduk jiwa AME Penduduk Eksisting Penduduk Simulasi 2005 254.659 254.659 0,00 2006 262.911 257.801 0,02 2007 266.387 260.982 0,02 2008 266.111 264.203 0,01 2009 269.698 267.463 0,01 Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 26 menunjukkan bahwa, nilai AME secara keseluruhan berada di bawah angka 10. Menurut Mahmudi et al. 2001 batas penyimpangan yang diterima antara data simulasi dan eksisting ialah 5-10. Dengan demikian menjelaskan bahwa model yang dibangun memiliki kinerja yang baik. Kesimpulannya model ini bisa diimplimentasikan dalam menyusun desain kebijakan pengelolaan Danau Limboto berkelanjutan. Data pada tabel 26 dapat ditransformasikan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 51. Gambar tersebut juga menunjukkan validasi kinerja untuk luas hutan. Berdasarkan Gambar 51 menunjukkan bahwa luas hutan eksisting dan simulasi, memiliki AME dibawah 10 persen tahun 2000: 0, 2003: 0,06, 2003: 0,02, dan tahun 2009: 0,08. Nilai tersebut menggambarkan bahwa validasi kinerja model penggunaan lahan adalah baik. Dengan demikian model ini bisa digunakan untuk menyusun desain kebijakan pengelolaan Danau Limboto. Gambar 51 Grafik validasi kinerja model pengelolaan Danau Limboto Skenario Model Pengelolaan Danau Berkelanjutan Danau sebagai ekosistem terbuka keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di lingkungannya. Aktivitas sosial-ekonomi yang terdapat di bentang alam danau akan memberikan implikasi terhadap lingkungan perairan Danau Limboto. Untuk mengelola sumberdaya danau secara berkelanjutan, maka perlu di stimulasi efektivitas pengelolaan sumberdaya danau secara terpadu. Dengan demikian kebijakan pengelolaan Danau Limboto disusun berdasarkan pendekatan keterpaduan antara lingkungan daratan danau dan lingkungan perairan danau. Untuk itu perlu dilihat secara holistik mulai dari penataan kelembagaan institutional arrangement, faktor sosial-ekonomi dan budaya, serta faktor biofisik dan teknologi yang digunakan. Disisi lain, kebijakan pengelolaan Danau Limboto juga dilakukan di in-site danau, seperti pengendalian eceng gondok. Pengendalian tersebut mencakup kegiatan mekanis yaitu memanen secara langsung, pengendalian unsur hara yang masuk ke danau dan menggunakan bioremediasi. Menurut Krismono 2012 penggunaan ikan koan sangat efektif untuk mengendalikan pertumbuhan eceng gondok di Danau Limboto. Dari kombinasi antara kondisi faktor, didapatkan tiga skenario, yang diberi nama: 1 skenario eksisting, 2 skenario moderat, dan 3 skenario optimis. Secara ringkas, penamaan dan susunan skenario disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Faktor kunci dalam skenario kebijakan No. Faktor Keadaan State Eksisting Moderat Optimis 1. Luas Hutan Ekologi Tidak terkontrolnya perubahan kawasan hutan Sedikit terkontrol, Penambahan luas hutan hingga 20 Pengontrolan semakin baik, hingga luas hutan 30 2. Insentif Ekonomi Tidak ada intervensi ekonomi Ada intervensi ekonomi, diasumsikan bisa menurunkan erosi hingga 10 Ada intervensi ekonomi yang optimal, diasumsikan bisa menurunkan erosi hingga 20 3. Peningkatan Kualitas SDM Sosial Tidak ada intervensi peningkatan SDM Peningkatan SDM diasumsikan bisa menurunkan eorsi hingga 10 Semakin meningkat, dan berefek positif hingga bisa menurunkan erosi 20 4. Mekanisme lintas sektoral Tidak ada perbaikan mekanisme, karena perlu anggaran yang tinggi Ada perbaikan hingga diasumsikan bisa menurunkan erosi 10 Sangat terpadu, diasumsikan hingga bisa menurunkan erosi 20 5. Teknologi pengendalian Sedimen Tidak ada, karena teknologi tersebut perlu biaya yang tinggi Tahap penerapan belum optimal, diasumsikan mengurangi sedimentasi hingga 40 Diterapkan dengan optimal diasumsiikan hingga bisa mengurangi sedimentasi hingga 80 Degradasi lingkungan perairan Danau Limboto akan tetap berlangsung jika degradasi lahan di kawasan daratannya tetap terjadi seperti kondisi saat sekarang. Pertanian yang tidak ramah lingkungan, kawasan lindung yang fungsi ekologisnya turun, luasan hutan yang semakin menurun drastis telah menyebabkan erosi di kawasan daratan Danau Limboto adalah tinggi. Erosi tersebut selanjutnya dengan pergerakan air menjadi sedimen di perairan Danau Limboto, sehingga pendangkalan dan luas danau turun secara drastis, lihat Gambar 52 di bawah ini. Gambar 52 Simulasi skenario luas dan kedalaman Danau Limboto Gambar 52, menunjukkan simulasi skenario kedalaman dan luas Danau Limboto. Garis merah menunjukkan skenario pesimistik, garis coklat menunjukkan skenario moderat, dan garis biru skenario optimistik. Skenario eksisting merupakan proyeksi kondisi aktual jika tidak dilakukan intervensi. Skenario moderat merupakan proyeksi eksisting dengan pencapaian perbaikan kondisi lingkungan pada tingkat sedang. Sementara, skenario optimis dibangun dengan asumsi bisa terjadi pencapaian perbaikan lingkungan yang cukup baik. Skenario disimulasikan terhadap faktor-faktor yang disajikan pada tabel 27. Skenario eksisting menujukkan kedalaman dan luas Danau Limboto akan punah pada tahun 2031. Sedangkan skenario moderat menunjukkan bahwa kedalaman dan luas Danau Limboto mulai menurun pada tahun 2040. Pada tahun tersebut kedalaman danau mendekati 0,5 m, sedangkan luasnya dibawah 1500 ha. Sebaliknya intervensi dengan skenario optimis menunjukkan hingga tahun 2040 kedalaman danau dapat dipertahankan di atas 2 m, sedangkan luas danau dapat dipertahankan di atas 2000 ha. Konservasi lahan untuk mengendalikan erosi di DTA danau Limboto adalah penting dan mendesak. Misalnya restorasi kawasan hutan dan penataan ruang sesuai kesesuaian dan kemampuannya. Menurut Arsyad 2010 konservasi lahan antara lain secera vegetatif dan mekanik. Secara vegetatif ialah menggunakan vegetasi, tujuannya untuk mengurangi tumbukan air hujan dan mengurangi aliran permukaan. Misalnyan riparian buffer dan agroforestri. Secara mekanik ialah setiap perlakuan fisik terhadap tanah untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi. Contohnya seperti teras dan pembuat dam. Insentif ekonomi dalam bentuk bantuan dana bagi kegiatan konservasi pertanian di daerah hulu. Sedangkan peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan penyuluhan akan memberikan efek positif terhadap kelestarian lingkungan. Intervensi tersebut akan memberikan efek efektif jika dilakukan secara stimultan dari berbagai aspek. Disamping itu perlu dilaksanakan pengendalian sedimen dan pencemar organik pada kolam perlakuan yang dilakukan pengerukannya secara periodik. Pengelolaan lingkungan perairan Danau Limboto di in-site danau dilakukan dengan mengendalikan pertumbuhan eceng gondok. Pengendalian dilakukan berdasarkan pendekatan tiga skenario sebagaimana di atas. Faktor yang menjadi pengendali ialah bioremediasi menggukan ikan koan, pengendalian limbah organik dan pemanenan langsung, lihat Gambar 53 di bawah ini. Gambar 53 Simulasi skenario pertumbuhan eceng gondok Gambar 53 menunjukkan bahwa tanpa intervensi yaitu skenario eksisting tahun 2025 luas eceng gondok menutupi seluruh permukaan danau. Skenario moderat ditunjukkan dengan warna grafik coklat. Pada skenario ini menunjukkan terjadi perubahan kinerja, sehingga sampai tahun 2040 luasan eceng gondok tidak menutupi permukaan Danau Lmboto. Pada skenario optimis pertambahan eceng gondok cenderung negatif, sehingga pada tahun 2040 luasnya menjadi 250 ha. 2.500,00 250,00 1.200,00 1.218,13 - 500,00 1.000,00 1.500,00 2.000,00 2.500,00 3.000,00 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 Tahun Lu a s E c e ng G on do k ha Eksisting Optimis Moderet Kondisi tersebut menjelaskan bahwa skenario optimis lebih optimal dalam mengendalikan pertambahan eceng gondok dibandingkan skenario moderat dan skenario eksisting. Eceng gondok di Danau Limboto pengendaliannya dapat dilakukan melalui tiga hal, yaitu; 1 mengurangi laju masukan unsur hara fosfat dan nitrogen sebagai makro nutrien terhadap terjadinya eutrofikasi. Kegiatan tersebut mencakup; penggunaan pupuk pertanian yang ramah lingkungan, pembuatan kolam perlakuan air sebelum masuk ke dalam danau, kontrol terhadap pemberian pakan perikanan budidaya; 2 pemanfaatan eceng gondok sebagai komoditi ekonomi kreatif skala rumah tangga; 3 pemanfaatan ikan koan sebagai bioremediasi untuk mengendalikan pertumbuhan eceng gondok. Dengan demikian pada skenario eksisting tidak ada tindakan pengendalian, sehingga pertumbuhan eceng gondok terus bertambah. Skenario moderat dilakukan intervensi sehingga bisa menurunkan pertambahan eceng gondok sebanyak 1,75 melalui penurunan unsur hara, pemanfaatan bioremediasi ikan koan mengurangi laju pertumbuhan luasan eceng gondok 1,5, dan pemanen langsung 2. Skenario optimis, dilakukan optimalisasi pengendalian pada kegiatan hulu sehingga bisa menurunkan 3,5 pertumbuhan eceng gondok, optimalisasi bioremediasi sehingga mengurangi 2 dan 4 pemanenan langsung. Melalui skenario optimis tersebut maka diharapkan eceng gondok luasannya bisa mencapai 10 dari luas danau. Eceng gondok yang tersisa tersebut difungsikan sebagai green belt di lokasi-lokasi yang potensial limbah organiknya relatif tinggi.

VIII. DESAIN KEBIJAKAN PENGELOLAN DANAU LIMBOTO TERPADU DAN BERKELANJUTAN