6.4. Peranserta Mitra Swasta Asing Palyja dan TPJ dalam Pengelolaan
Air Bersih Wilayah DKI Jakarta
Kerjasama yang dilakukan oleh PAM Jaya dengan Palyja dan TPJ bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan dan penyediaan air
bersih bagi masyarakat DKI Jakarta. Adapun bentuk kerjasama tersebut dapat dillihat dari investasi yang ditanamkan Palyja dan TPJ demi kelangsungan dan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Tabel 16. Realisasi Investasi Palyja dan TPJ Tahun 1998-2006 Tahun
Investasi Palyja Pelayanan Wilayah Barat milyar Rp
Investasi TPJ Pelayanan Wilayah Timur milyar Rp
1998 162.530 31.912
1999 216.559 69.880
2000 106.360 84.027
2001 61.060 68.072
2002 60.760 134.942
2003 62.999 148.907
2004 80.330 58.031
2005 123.847 54.648
2006 36.300 12.450
Sumber: PAM Jaya, 2006 Ket: semester 1 2006
Investasi Palyja dalam bentuk rehabilitasi fasilitas produksi, sistem transmisi, pengembangan jaringan, kebocoran air dan pembangunan sarana
pendukung. Sedangkan investasi TPJ dalam bentuk bangunan, mesin dan jaringan, kendaraan, dan peralatan kantor. Untuk pembangunan instalasi produksi baru dari
kedua mitra asing belum ada. Kerugian yang dialami oleh PAM Jaya juga disebabkan oleh semenjak
adanya konsesi, hasil pembayaran air oleh pelanggan tidak seluruhnya diterima PAM Jaya, tetapi dibagi dengan dua mitra asing yaitu Palyja dan TPJ dengan
persentase yang telah disepakati sebelumnya. Pembagian ini bertujuan untuk
menutupi seluruh biaya operasional dari proses produksi dan distribusi air yang dikeluarkan oleh kedua mitra asing tersebut. Namun hasil yang diterima dari
pembayaran air oleh pelanggan ini tidak dapat mengganti seluruh biaya pengelolaaan air, karena air yang terjual masih dibawah dari jumlah air yang
diproduksi keseluruhan. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah pendapatan usaha yang diperoleh dibandingkan biaya pengganti yang harus dibayarkan kepada
pihak mitra swasta menyebabkan terjadinya defisit penerimaan PAM Jaya.
Tabel 17. Biaya Imbalan yang Diterima Palyja dan TPJ dari PAM Jaya Tahun
Biaya Imbalan yang Diterima Palyja dan TPJ
Pendapatan Usaha milyar Rp
milyar Rp
1998 269,238 343,722
1999 522,572 401,216
2000 647,414 433,798
2001 673,935 569,582
2002 726,135 658,065
2003 869,495 855,882
2004 970,329 1188,576
Sumber: PAM Jaya, 2006
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kerjasama konsesi antara PAM Jaya dengan Palyja dan TPJ belum memberikan perubahan
yang lebih baik dalam memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat DKI Jakarta. Walaupun sudah dilakukan beberapa perbaikan pada pipa yang
mengalami kebocoran, kerugian dalam distribusi air bersih masih belum dapat tertanggulangi secara keseluruhan. Selain itu, investasi yang ada harus digunakan
secara lebih efisien agar dapat memberikan perbaikan dalam pengembangan pengelolaan air maupun memperbaiki pelayanan kepada pelanggan. Pengeluaran
dalam pengelolaan air bersih juga harus lebih diefisienkan agar tidak terjadi defisit dalam penerimaan PDAM.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari analisis struktur produksi PDAM DKI Jakarta diperoleh hasil produksi
yang lebih baik sebelum adanya konsesi dibandingkan setelah adanya konsesi. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan produksi air bersih yang lebih besar
sebelum adanya konsesi dibandingkan setelah adanya konsesi, dan tingkat biaya yang lebih rendah peningkatannya pada masa sebelum konsesi dari pada
setelah adanya konsesi. 2.
Hasil analisis model biaya produksi PDAM DKI Jakarta dari tahun 1992 hingga tahun 2003 menunjukkan bahwa variabel yang nyata mempengaruhi
biaya total pengelolaan adalah peubah biaya variabel dan dummy konsesi. Biaya variabel berhubungan positif terhadap biaya total, sedangkan dummy
konsesi memiliki hubungan negatif dengan biaya total. 3.
Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh PDAM DKI Jakarta adalah dengan cara diskriminasi harga tingkat tiga antar golongan masyarakat dan konsep
increasing block tariff untuk tiap tingkatan blok pemakaian air bersih.
Diskriminasi harga ditujukan agar tercipta subsidi silang cross subsidies dari masyarakat berpendapatan tinggi ke masyarakat berpendapatan rendah,
sedangkan konsep increasing block tariff bertujuan untuk mengerem konsumsi