Namun untuk nilai hubungan antara dummy konsesi dengan nilai riil biaya total adalah positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya konsesi biaya total
semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan yang kenyataan, dimana dengan adanya konsesi perusahaan terus mengalami peningkatan biaya total setiap tahunnya.
6.2.1. Kebijakan Tarif Air Bersih PDAM DKI Jakarta
Tarif air minum yang diberlakukan di wilayah DKI Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi
Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta. Tarif yang diberlakukan saat ini berdasarkan SK Gubernur DKI Nomor 172006 tanggal 13 Februari 2006.
Dari tabel 6 dan 7 dapat dilihat bahwa besarnya tarif air bersih PDAM DKI Jakarta Rpm
3
berbeda berdasarkan golongan pelanggan dan banyaknya pemakaian air. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan air bersih didasarkan pada
kombinasi antara konsep diskriminasi harga price discrimination yaitu diskriminasi harga pada tingkat tiga dan konsep struktur tarif increasing block
tariff . Diskriminasi harga dapat dilihat dari penggolongan pelanggan per
kelompok pemakai air bersih yaitu Kelompok I, II, IIIA, IIIB, IVA, IVB, dan VKhusus, tujuan dari diskriminasi harga ini adalah agar mendorong terjadinya
subsidi silang cross subsidies dari golongan masyarakat berpendapatan tinggi ke masyarkat berpendapatan rendah. Sedangkan konsep increasing block tariff dapat
dilihat dari pengenaan tarif yang berbeda tiap tingkatan blok pemakaian air. Konsep increasing block tariff bertujuan agar konsumsi pelanggan atas air bersih
dapat ditekan karena dengan semakin tinggi konsumsi air PDAM maka secara
progresif semakin besar tarif air bersih per m
3
yang dibayarkan sehingga konsumen diharapkan akan mengurangi konsumsinya terhadap air bersih.
6.2.2. Analisis Penetapan Harga Air PDAM Berdasarkan Marginal Cost Pricing
Berdasarkan teori-teori ekonomi baku, penetapan harga air PDAM berdasarkan nilai marginal cost MC akan mendatangkan keuntungan bagi
perusahaan pengelola air apabila nilai MC lebih besar dibandingkan nilai average cost
AC dan akan menimbulkan masalah defisit apabila nilai MC lebih kecil daripada AC.
Tabel 12. Perbandingan Marginal Cost dan Average Cost Tahun 1992-2004 Jumlah Air yang
Diproduksi Q
Biaya Total TC
Marginal Cost MC
Average Cost AC
Tahun Juta m3
Milyar Rp
Rpm3 Rpm3
1992 312,12 133,65 258,33 1148,49 1993 339,18 150,99 383,86 1230,31
1994 344,23 189,82 459,82 1473,79 1995 347,14 231,96 552,61 1771,18
1996 409,43 286,58 567,98 1820,45 1997 466,40 313,30 573,17 1837,10
1998 497,60 434,04 911,64 2921,93 1999 475,70 745,91 1593,66 5107,87
2000 381,71 886,01 2265,45 7261,04 2001 399,75 955,76 2383,14 7638,27
2002 407,05 981,69 2402,66 7700,84 2003 416,40 1084,68
2521,48 8081,68 2004 432,50 1236,66
2815,37 9023,62
Sumber: PAM Jaya, 2006 Diolah MC =
∂TC∂Q dan AC TCQ
Dari Tabel 12 didapat hasil biaya rata-rata Average Cost, AC yang terus meningkat sangat tinggi. Hal ini disebabkan biaya total yang terus meningkat
walaupun jumlah air yang diproduksi tidak mengalami peningkatan. Sedangkan
marginal cost sendiri juga meningkat tetapi masih dibawah nilai Average Cost.
Sejak tahun 1992 hingga tahun 1997 nilai biaya marjinal terus meningkat tetapi masih berbeda tipis dengan nilai biaya rata-rata. Artinya, perusahaan defisit
perusahaan tidak terlalu besar. Sedangkan pada tahun 1998 hingga tahun 2004 nilai biaya marjinal jauh di bawah nilai biaya rata-rata, sehingga perusahaan
mengalami defisit yang cukup besar. Nilai biaya marjinal dan biaya rata-rata sangat dipengaruhi oleh peningkatan biaya total. Perkembangan nilai marginal
cost dan average cost dapat dilihat lebih jelas pada grafik di bawah ini.
Perbandingan MC dengan AC
2000 4000
6000 8000
10000
19 92
19 95
19 98
20 01
20 04
Tahun Rp
m 3
MC AC
Gambar 12. Perbandingan Nilai Marginal Cost dan Average Cost
Sukirno 2005, menyebutkan apabila pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata menjadi semakin tinggi maka perusahaan mencapai skala
tidak ekonomi diseconomies of scale. Tabel 12 menunjukkan nilai biaya rata- rata yang terus meningkat, pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi
rata-rata terus mengalami peningkatan sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan produksi yang dilakukan PDAM DKI Jakarta mencapai skala tidak ekonomi
diseconomies of scale. Hal ini dapat disebabkan karena kegiatan produksi yang menurun efisiensinya.
Kelemahan dalam perhitungan MC ini adalah tidak adanya pemisahan antara kelompok pelanggan data yang digunakan adalah secara keseluruhan
jumlah pelanggan dan total biaya pengelolaan air bersih PAM Jaya sehingga tidak dapat memprediksi seberapa besar tambahan biaya yang harus ditanggung oleh
tiap-tiap kelompok pemakai air bersih. Karena apabila dikenakan tambahan biaya yang sama untuk semua kelompok maka akan terjadi ketidakadilan dimana
kemampuan ekonomi dari masing-masing kelompok juga memiliki perbedaan. Agar mendapatkan nilai MC yang menggambarkan kemampuan tiap-tiap
kelompok maka diperlukan pemisahan data mengenai total pemakaian antar tiap kelompok dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap kelompok.
Karena keterbatasan data ini juga maka tidak dapat dianalisis besar nilai penerimaan tambahan MR yang diperoleh PAM Jaya akibat dari adanya
pemisahan-pemisahan kelompok pemakai air bersih tersebut. jika dihitung menggunakan nilai MC yang telah didapat di atas hasilnya tidak akan valid karena
tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan, oleh karena perhitungan nilai MR tidak dapat dilakukan lebih lanjut.
6.3. Analisis Manfaat-Biaya PDAM DKI Jakarta Setelah Adanya Konsesi