Tabel 3. Instalasi Produksi Air PDAM DKI Jakarta No.
Instalasi Produksi
Kapasitas Produksi
literdetik Sumber Air Baku
1 Pejompongan I
2.000 2 Pejompongan
II 3.600
3 Buaran 5.000
4 Pulo Gadung
4.000 5 Taman
Kota 200
6 Cilandak 400
7 Cisadane 2.800
8 Ciburial 185
9 Cengkareng 75
Air Kanal S. Ciliwung dan Jatiluhur Kali Krukut
Kanal Tarum Barat Jatiluhur Kali Pesanggrahan
Saluran Bekasi Tengah Kali Ciliwung
Sumber: PAM Jaya, 2006
Distribusi air dari instalasi produksi ke wilayah-wilayah pemakai dilakukan dengan pemompaan, kecuali air dari Gudang Air, Kampung Rambutan
yang airnya berasal dari Ciburial, Bogor. Pendistribusian air asal Ciburial ini dilakukan dengan sistem gravitasi. Untuk menaikkan kembali tekanan air
dibangun instalasi pompa tekan booster pump. Sampai saat ini beberapa booster pump
digunakan untuk menaikkan tekanan di jaringan perpipaan. Berdasarkan diameter pipa, jaringan pipa distribusi PAM Jaya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu
pipa primer, pipa sekunder dan pipa tersier. Berdasarkan bahan pipa, jaringan pipa PAM Jaya menggunakan pipa DCIP, steel pipe, GIP, PVC, fiber glass, HDPE dan
CIP. Distribusi pelayanan air bersih PAM Jaya lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 11.
5.2.3. Struktur Penerimaan dan Pengelolaan PAM Jaya
Karena PAM Jaya merupakan perusahaan yang hanya berproduksi satu jenis barang yaitu air bersih maka penerimaan PAM Jaya berasal dari pembayaran
rekening air oleh para pelanggan. Tabel 4 berikut menyajikan struktur penerimaan
PAM Jaya dan pengelolaan air bersih dilihat dari jumlah produksi air bersih dan jumlah air yang terbayarkan oleh pelanggan.
Tabel 4. Struktur Penerimaan dan Pengelolaan Air PAM Jaya Tahun 1992- 2004
Produksi Air PDAM
Air PDAM Terjual
Air yang Hilang
Efisiensi Produksi
Penerimaan LabaRugi
Tahun Juta m3
juta m3 juta m3
Air PAM Jaya
milyar Rp
1992 312,12 143,74 168,38 0,46 9,69
1993 339,18 159,94 179,24 0,47 6,95
1994 344,23 168,31 175,92 0,49 14,72
1995 347,14 166,38 180,77 0,48 27,63
1996 409,43 176,44 232,98 0,43 2,15
1997 466,40 201,57 264,83 0,43 11,14
1998 497,60 181,13 316,47 0,36 -101,97
1999 475,70 207,63 268,07 0,44 -338,47
2000 381,71 228,35 222,72 0,51 -449,30
2001 399,75 237,19 235,61 0,50 -419,99
2002 407,05 255,16 228,72 0,53 -331,89
2003 416,40 274,10 142,30 0,66 -228,81
2004 432,50 270,91 161,59 0,63 -13,46
Sumber: PAM Jaya, 2006
Pada masa sebelum adanya konsesi tahun 1992 hingga tahun 1997, PAM Jaya selalu mendapat penerimaan yang positif setiap tahunnya, artinya PAM Jaya
memperoleh laba usaha. Namun setelah adanya konsesi sejak tahun 1998, PAM Jaya selalu mengalami kerugian yang jumlahnya terus meningkat. Hal ini
disebabkan oleh adanya kewajiban membayar mengganti biaya pengelolaan air bersih dalam bentuk imbalan water charge kepada dua mitra asing sesuai
dengan persentase bagian yang telah disepakati bersama. Tingginya biaya pengelolaan dan sedikitnya air bersih yang terjual
menimbulkan kerugian bagi PAM Jaya karena PAM Jaya tetap harus mengganti keseluruhan biaya-biaya pengelolaan yang dikeluarkan oleh Palyja dan TPJ dalam
proses produksi dan distribusi air kepada pelanggan, termasuk untuk membayar
gaji pegawai pada mitra swasta asing tersebut. Selain itu, dalam penetapan tarif air terdapat sejumlah subsidi yang diberikan oleh PAM Jaya dan Pemda DKI Jakarta
dalam rangka menekan tarif air agar lebih terjangkau oleh golongan pelanggan yang kurang mampu. Subsidi ini termasuk ke dalam biaya penggantian untuk
proses produksi dan distribusi yang diberikan oleh PAM Jaya kepada Palyja dan TPJ. Dengan demikian, penerimaan PAM Jaya menjadi lebih kecil jika
dibandingkan sebelum adanya konsesi, sehingga mengakibatkan kerugian bagi PAM Jaya. Hal ini kemudian ditanggulangi dengan adanya kebijakan PTO
Penyesuaian Tarif Otomatis yang memperbolehkan pihak mitra asing untuk menaikkan tarif setiap enam bulan sekali dimulai sejak tahun 2003 hingga tahun
2007. Kenaikkan tarif air bersih ini diharpkan juga diimbangi dengan peningkatan pelayanan air bersih yang dilakukan oleh pihak mitra asing.
Kerugian yang dialami oleh PAM Jaya ini juga sangat dipengaruhi oleh jumlah kebocoran air yang didistribusikan. Seperti terlihat pada Tabel 4, tingkat
kebocoran air semakin meningkat setiap tahunnya dan cenderung lebih besar daripada jumlah air yang terjual kepada pelanggan. Tingkat kebocoran ini juga
dapat dilihat dari efisiensi produksi yang tidak pernah mencapai 50 persen hingga tahun 1999. Hal ini sangat mempengaruhi jumlah penerimaan PAM Jaya dari
rekening air yang sudah pasti berkurang atau lebih kecil daripada biaya-biaya pengelolaan air bersih, sehingga penerimaan tersebut tidak dapat menutupi
pengeluaran biaya pengelolaan air. Sedangkan di sisi lain, PAM Jaya masih tetap harus membayar penggantian biaya operasional pengelolaan air kepada mitra
swasta asing.
5.2.4. Karakteristik Pelanggan PDAM DKI Jakarta