ANALISIS OUTCOME PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN

104

BAB VII ANALISIS OUTCOME PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN

Mengacu pada kerangka penelitian, berbagai aktivitas strategi penghidupan yang dilakukan rumah tangga dengan mengkombinasikan berbagai aset penghidupan harus mampu mewujudkan penghidupan berkelanjutan, baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat Desa Karangmulya. Chambers and Conway 1991 mengemukakan bahwa penghidupan berkelanjutan harus mampu 1 beradaptasi dengan berbagai tekanan dan goncangan, 2 memelihara kapabilitas dan aset-aset penghidupan yang dimiliki, 3 menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Merujuk pada Carney 1996, Scoones 1998, 2009, DFID 1999, terwujudnya penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga dan masyarakat dapat dilihat dari 1 adanya kesempatan bekerja dan berusaha, 2 pencapaian well-being [kesejahteraan], 3 adaptasi dan resiliensi penghidupan, 4 pemenuhan pangan, dan 4 keberlanjutan sumber daya alam. Kesempatan bekerja dan berusaha Analisis strategi penghidupan pada Bab VI menunjukkan bahwa semua rumah tangga mempunyai kesempatan bekerja dan berusaha untuk memperoleh pendapatan yang bisa mempertahankan keberlanjutannya. Bekerja dan berusaha dilakukan dalam berbagai aktivitas penghidupan di sektor pertanian, non- pertanian, dan migrasi. Selain mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki, aktivitas bekerja dan berusaha dilakukan dengan mengkombinasikan aset penghidupan milik rumah tangga lain yang dapat diakses melalui berbagai institusi sosial produksi modal sosial. Institusi sosial produksi modal sosial terbukti memperbesar kapasitas aset penghidupan setiap rumah tangga. Institusi sosial produksi modal sosial yang kuat menjadi faktor terwujudnya resilensi penghidupan setiap rumah tangga. Selain itu, institiusi sosial juga terbukti menjadi semen sosial yang mengikat keharmonisan kehidupan di desa Karangmulya. Well-being Kesejahteraan Merujuk pada Scoones 1998 dan DFID 1999, well-being kesejahteraan merupakan salah satu outcome yang dihasilkan dari penghidupan berkelanjutan. Well-being kesejahteraan diperoleh rumah tangga 1 melalui penghargaan diri yang diperoleh setiap rumah tangga dan anggotanya, 2 kesadaran sosial yang menjadikan setiap rumah tangga adalah bagian dari masyarakat dapat ikut serta dalam kegiatan masyarakat, 3 keamanan setiap anggota rumah tangga, keamanan fisik rumah tinggal dan aset-aset penghidupan yang dimiliki, 4 status kesehatan dan pendidikan, 5 akses terhadap berbagai 105 pelayanan publik, 6 hak untuk berpolitik, 6 hak untuk memelihara tradisi budaya, dan lain-lain. Di Desa Karangmulya apa yang diuraikan di atas sebagai kriteria tercapainya penghidupan keberlanjutan sepertinya memang terwujud. Institusi sosial asli yang melekat pada modal sosial setiap rumah tangga dan mewarnai setiap interaksi antar rumah tangga, termasuk dalam melakukan aktivitas strategi penghidupan, sangat membantu setiap rumah tangga mencapai kesejahteraannya. Beberapa uraian analisis pada Bab V, Bab VI, dan juga analisis pendapatan di atas menunjukkan adanya pembagian peran yang cukup jelas dan dilakukan secara sadar oleh setiap rumah tangga. Dalam aktivitas penghidupan subsektor pertanian tanaman padi yang sebagian besar membentuk ikatan patron-klien antara rumah tangga pemilik lahan sawah dengan rumah tangga pekerja terlihat terciptanya kriteria ini. Pemilik lahan akan memberikan penghargaan kepada setiap buruh tani yang bekerja di sawahnya dengan upah layak dan disepakati oleh kedua belah pihak. Penghargaan pemilik kepada buruh juga meluas kepada seluruh aspek penghidupan yang lain, seperti bantuan untuk kesehatan dan pendidikan anggota rumah tangga buruh. Keduanya pun sama-sama menjaga keamanan fisik setiap anggota rumah serta keamanan rumah tinggal dan aset penghidupan keduanya. Dalam aktivitas penghidupan migrasi, kehadiran rumah tangga atas yang menjalankan usaha lembaga pelatihan bahasa Korea dapat membantu memfasilitasi keberangkatan anggota rumah tangga dari semua lapisan untuk bisa berangkat ke Korea. Hambatan mahalnya biaya persiapan keberangkatan yang bisa membatasi kesempatan rumah tangga bawah untuk melakukan aktivitas migrasi ke Korea dipecahkan oleh peran rumah tangga atas yang mau meminjamkan uang yang cukup besar tanpa jaminan agunan apapun melalui institusi yang disepakati kedua belah pihak. Institusi inilah yang kemudian berlaku selama aktivitas migrasi tersebut masih berlaku dan menjadi jaminan bagi keduanya. Dari aktivitas migrasi ke Korea tersebut, keduanya pun dapat mewujudkan atau bahkan meningkatan well-being kesejahteraan rumah tangganya masing-masing. Begitu pun dalam aktivitas penghidupan lainnya dan aktivitas lainnya. Berbagai aktivitas tradisi budaya yang terkait dengan tahapan budidaya padi di sawah juga berhasil menghadirkan well-being bagi seluruh rumah tangga. Selain adanya do’a dan rasa syukur yang disampaikan pada sang pencipta, berbagai tradisi budaya ini juga memperkuat hubungan baik antara seluruh lapisan rumah tangga di desa. Ada pembagian peran yang cukup adil dan perwujudan nilai-nilai resiprositas di balik upacara yang dilakukan. Untuk kesehatan dan pendidikan, selain saat ini sudah difasilitasi oleh pemerintah, jauh sebelum itu, masyarakat Desa Karangmulya telah berhasil menghadirkan hal ini dengan baik. Dengan ikatan kekerabatan sosial dan resiprositas, setiap rumah tangga yang sakit, terutama yang menjadi tetangganya, 106 kerabatnya, patronnya, dan kliennya mendapatkan dukungan moral maupun materil. Bahkan, seperti yang disampaikan pada Bab V dan VI, salah seorang rumah tangga kaya secara khusus menyediakann mobil pik-up nya untuk digunakan dengan gratis untuk keperluan kesehatan. Untuk hak politik setiap rumah tangga pun dapat terwujud dengan baik. Ikatan patron-klien memang sangat terlihat pengaruhnya di permukaan dalam menentukan keputusan politik rumah tangga. Beberapa klien, misalnya, berusaha menanyakan pada patronnya mengenai pilihan politik yang harus diambil dalam pemilihan legislatif 2014. Beberapa patron memang terlibat aktif menjadi bagian dari tim sukses beberapa calon legislatif. Hasilnya, calon-calon legislatif yang didukung oleh patron tersebut memang berhasil mendapatkan suara yang cukup signifikan sehingga berhasil memperoleh tiket ke legislatif. Ketika saya konfirmasi kepada kedua belah pihak, baik patron maupun klien, menyatakan bahawa itu kebetulan saja. Sang patron tidak memaksa dan sang klien pun tidak merasa dipaksa. Ada yang menarik dalam pemilihan presiden. Kondisi yang sama pada waktu kampanye tetap terjadi. Sang patron menjadi bagian dari tim sukses salah satu calon presiden dan sang klien pun sering menanyakan pilihan yang harus dipilih oleh rumah tangganya. Yang menarik, berbeda dengan pemilihan anggota legislatif, yang semuanya sama dengan pilihan sang patron, pada pemilihan presiden nampak perbedaan yang cukup terbuka di permukaan. Banyak di antara para klien meminta izin kepada patron-nya untuk memilih calon presiden yang berbeda. Sang patron pun dengan mudah mempersilakannya. Menurut sang patron, pilihan politik pada pemilu presiden adalah hak dari setiap rumah tangga sang klien. Apabila mereka meminta saran, sang patron akan memberikan saran yang sesuai dengan pilihannya. Tapi, apabila berbeda tidak akan mempengaruhi hubungan patron-klien yang selama ini terjadi. Apalagi, menurut sang patron, siapa pun presidennya sebetulnya tidak berpengaruh langsung terhadap pembangunan desanya. Berbeda dengan anggota legislatif. Setiap anggota legislatif punya wilayah daerah pemilihan yang jelas sehingga sangat menentukan pembangunan desanya. Apabila seoran anggota legislatif mendapatkan suara yang signifikan dari desanya, anggota legislatif tersebut dipastikan akan mendahulukan pembangunan desanya. Kesadaran dan kebebasan politik diperoleh masyarakat Desa Karangmulya dari sistem pemilihan kepala desa kuwu yang rutin dilakukan. Hajatan politk tingkat desa tersebut secara langsung memberi pelajaran bahwa “meskipun bersaudara tapi boleh berbeda secara politik ” dan “meskipun berbeda secara politik, namu n tetap bersaudara”. Adaptasi Penghidupan Pengalaman hidup dan menjalankan penghidupan selama ratusan tahun di desa yang mempunyai kerentanan sangat tinggi telah membentuk masyarakat 107 yang harus selalu siap beradaptasi dengan berbagai stresses tekanan dan shock goncangan. Berbagai institusi sosial pun tercipta untuk mengatur interaksi sosial antar rumah tangga sebagai anggota masyarakat, termasuk dalam aktivitas strategi penghidupan rumah tangga yang melibatkan penggunaan berbagai aset penghidupan. Berbagai aktivitas strategi penghidupan pun dicoba menyesuaikan kondisi iklim dan cuaca yang berubah-ubah terutama yang berkaitan dengan air, kondisi permintaan pasar terutama untuk tanaman hortikultura, kondisi perekonomian desa seperti akibat dari peningkatan remitans serta kebijakan pemerintah seperti kebijakan mengenai kesempatan bekerja di luar negeri dan program adaptasi iklim. Rumah tangga yang mempunyai lahan sawah di dekat bendungan embung kali Bojong, misalnya, melakukan intensifikasi pertanian dengan menanam padi menjadi dua kali dalam setahun setelah adanya bendungan embung Kali Bojong. Rumah tangga yang jauh dari bendung embung Kali Bojong, namun mempunyai sumur pantek, lebih memilih menanam tanaman hortikultura yang membutuhkan sedikit air di musim keduanya menjelang kemarau. Tanaman timunsuri lebih dipilih ketika menjelang bulan Ramadhan. Sedangkan, tanaman semangka lebih dipilih ketika musim kedua tersebut tidak berdekatan dengan bulan Ramadhan. Namun, bagi sebagian rumah tangga yang jauh dengan bendung embung Kali Bojong dan juga tidak mempunyai sumur pantek, menjadikan gundukan tanah sawahnya yang tidak rata sebagai bahan baku pembuatan bata merah. Sebagian lagi yang tidak bisa melakukan aktivitas pertanian di desa melakukan aktivitas pertaniannya di lahan sawah desa-desa tetangga, seperti menyewa lahan selama satu musim untuk menanam timunsuri atau semangka dan jadi buruh tani, termasuk ikut bawon di desa lain. Banyaknya kesempatan aktivitas penghidupan subsektor konstruksi di desa sebagai akibat dari meningkatnya remitans dari Korea, saat ini, membuat rumah tangga yang biasanya melakukan migrasi bekerja membangun rumah di Jakarta lebih memilih bekerja di desa. Selain upahnya sama, bahkan beberapa lebih besar, dengan bekerja di desa, mereka bisa pulang ke rumah setiap hari dan menjalankan interaksi sosial dengan anggota masyarakat yang lain. Karena tinggal di desa, mereka pun masih bisa melakukan aktivitas bawon, terutama ketika panen raya. Begitu pun dengan perkembangan strategi migrasi selalu beradaptasi menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian dan kebijakan pemerintah. Dulu, pada era 1980-an ketika perekonomian nasional meledak akibat booming minyak sehingga di Jakarta didirikan pusat-pusat hiburan, seperti di Jatinegara, sebagian besar remaja perempuan pergi ke Jakarta menjadi wanita penghibur di pusat-pusat hiburan tersebut. Salah satu tokoh masyarakat masih ingat ketika tahun 1985, sebanyak 24 dari 25 remaja perempuan dari di kampungnya pergi ke Jakarta setelah selesai mengaji di mushola. Pada waktu itu, bekerja sebagai wanita penghibur di Jakarta menjadi sebuah kebanggaan dan meningkatkan martabat 108 kelaurga rumah tangga. Selama menjadi wanita penghibur atau ketika pulang ke desa, mereka tetap menjalankan ritual keagamaan seperti biasanya. Bagi mereka dan juga seluruh masyarakat desa pada waktu itu, bekerja menjadi wanita penghibur tidak-lah berdosa, bahkan dianggap sebagai pahlawan bagi keluarga rumah tangga yang sedang mengalami kesulitan ekonomi dan pangan akibat kekeringan dan banjir yang sering menggagalkan panen padi di desa. Begitu pun dengan para remaja lelaki, mereka juga melakukan migrasi ke Jakarta. Sebagian besar masih menjalankan aktivitas pertanian, seperti menggarap sawah dan menanam semangka di Karawang, Bekasi, dan Serang. Sebagian lagi yang cukup berpendidikan lulus SD atau SMP terserap di pabrik-pabrik di Jabodetabek. Sebagian lagi berusaha dan bekerja di sektor-sektor informal, seperti pedagang asongan, tukang gali sumur, tukang pantek, dan juga preman di beberapa titik di Jakarta, seperti di Jatinegara, Kampung Rambutan, dan Pulo Gadung.Adanya bis di jalur pantura dan kereta api pada waktu itu, bahkan ada kereta api jurusan Serang mempermudah mobilisasi mereka. Pada awal tahun 1990-an, orientasi migrasi berubah dari bekerja di Jakarta menjadi bekerja di luar negeri. Kebijakan pemerintah yang membuka kesempatan bekerja di luar negeri, terutama di Malaysia dan Arab Saudi, dengan gaji yang lebih besar dan kebanggaan pengalaman ke luar negeri menjadi faktor yang merubah orientasi migrasi. Laki-laki yang menjadi TKI bekerja sebagai sopir dan montir. Perempuan yang menjadi TKW bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kebijakan pemerintah yang menutup tempat-tempat hiburan di Jakarta dan maraknya madrasah-madrasah diniyah di desa juga ikut merubah orientasi migrasi masyarakat Desa Karangmulya. Beberapa alumni wanita penghibur ikut menjadi TKW dan beberapa lagi, terutama laki-laki yang pulang kampung, menjalankan aktivitas di sektor pertanian di lahan-lahan sawah irigasi teknis baru di Subang. Aliran irigasi yang mengalir dari Jaringan Irigasi Jatiluhur ke wilayah Pantura, termasuk beberapa daerah Subang, telah merubah lahan-lahan sawah di daerah yang tadinya tadah hujan menjadi sawah irigasi teknis. Akibatnya, permintaan tenaga kerja buruh tani pun meningkat. Selain itu, pada tahun 1990- an usaha tani semangka di desa mengalami puncak-puncak kejayaan. Selain di desa, sebagian besar rumah tangga di desa juga melakukan usaha tani semangka di luar desa, terutama pada musim kemarau di desa. Pada saat itu, banyak rumah tangga yang menjadi kaya dari semangka dan merubah gaya hidup. Usaha tani semangka terus mengalami kejayaan sampai terjadinya pergantian pemerintahan yang membuka kran impor buah-buahan dari luar negeri pada akhir tahun 1990-an. Kondisi ini diperparah dengan krisis ekonomi nasional yang menutup berbagai usaha di kota-kota besar. Rumah tangga dan anggota rumah tangga yang tadinya merantau kembali ke desa menjadi petani padi sawah. Pergantian pemerintahan dan gaya pembangunan dari sentralistik ke desentralistik dijadikan peluang bagi mereka untuk mengembalikan kejayaan pertanian desa. 109 Di awal tahun 2000-an, dengan berbagai cara, termasuk memperkuat institusi irigasi, dan lobi-lobi politik dengan pemerintah daerah eksekutif dan legislatif, beberapa remaja perantauan dengan didukung statusnya sebagai rumah tangga atas dan menengah kepemilikan lahan sawah warisan orang tua menjelma menjadi tokoh masyarakat. Dimulai dengan mendapatkan kembali aliran air irigasi untuk musim tanam kedua, meskipun harus membayar ke preman air, sampai keberhasilan membangun bendungan embung Kali Bojong telah membuat sebagian lahan sawah dapat menanam padi sawah sampai dua kali. Ditambah dengan harga jual padi yang cukup lumayan membuat banyak perantauan kembali ke desa dan mengintensifkan tanaman padinya. Kesempatan bekerja bagi rumah tangga buruh pun meningkat. Pengaruh yang signifikan juga terjadi ketika pada tahun 2004 lahirnya kesempatan bekerja di Korea. Berbeda dengan bekerja di negara-negara Arab, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan yang melibatkan PJTKI dan tanpa pesyaratan ketat, bekerja di Korea langsung ditangani oleh Departemen Tenaga Kerja dan memerlukan kemampuan bahasa Korea. Tidak adanya peran PJTKI membuat gaji yang diterima menjadi sangat besar bila dibandingkan dengan gaji bekerja di negara yang melibatkan PJTKI. Persyaratan kemampuan bahasa Korea juga memberi peluang kepada dua orang rumah tangga atas untuk membuka LPK Al- Amin dan menciptakan institusi pinjaman modal berangkat ke Korea. Sejak saat itulah, banyak rumah tangga yang memberangkat anggotanya ke Korea. Remitans yang dikirim pun jauh lebih besar dan mampu meningkatkan penghidupan rumah tangganya dan juga perekonomian desa secara umum. Sayangnya, kesempatan bekerja ke Korea, saat ini, terbatas pada anggota rumah tangga yang berijazah SMA dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk syarat pertama sebetulnya tidak menjadi masalah. Program wajib belajar gratis sampai SMA dan pembangunan sekolah-sekolah di sekitar desa telah membuka kesempatan pendidikan sampai SMA kepada semua lapisan rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, untuk syarat kedua-lah yang tidak bisa dipenuhi oleh anggota rumah tangga perempuan. Oleh karena itu, sampai saat ini, bekerja di negara-negara selain Korea yang masih melibatkan peran PJTKI tetap menjadi pilihan meskipun pendapatan yang diterimanya jauh lebih kecil dan remitans yang dikirimnya pun jauh lebih kecil. Adanya pilihan beragam aktivitas penghidupan yang lebih menguntungkan dan ditambah dengan pendidikan formal yang dapat diakses semua lapisan rumah tangga juga sangat mengurangi jumlah anggota perempuan yang bekerja sebagai wanita penghibur. Dari seluruh penduduk desa pada saat survei yang berjumlah 3,224 jiwa tinggal tersisa 21 jiwa atau 0.0065 persen yang berprofesi sebagai wanita penghibur dan sebagian besar umurnya sudah tua. Mereka yang terpaksa masih melakukannya sebagian besar adalah para janda yang tidak mempunyai suami dan tidak tamat SD. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa pekerjaan tersebut dilakukan sebagai pekerjaan sampingan ketika tidak ada pekerjaan di 110 sawah. Sebagian lagi menyatakan karena sudah terjebak dengan jeratan utang kepada para mucikari sehingga sebelumnya utangnya lunas, mereka tidak bisa keluar dari pekerjaannya sebagai wanita penghibur. Dari uraian di atas sangat terlihat adaptasi-adaptasi aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh rumah tangga berbagai lapisan sosial di desa. Namun, apapun bentuk adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga semuanya dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan penghidupan rumah tangganya dan berharap terwujudnya penghidupan berkelanjutan. Semuanya berkeinginan untuk bisa melakukan akumulasi penghidupan untuk meningkatkan status sosialnya. Namun, ternyata tidak semua adaptasi penghidupan yang dilakukan berhasil dan dilakukan di jalan yang positif dilihat dari etika. Beberapa berhasil mampu menaikkan status sosialnya mobilitas sosial vertikal melalui peningkatan luas lahan yang dimiliki dan digarapnya, namun ada juga yang malah mengalami penurunan kelas lapisan sosial, seperti yang terlihat pada Tabel 5.4 di Bab V. Pada tabel tersebut terlihat sebagian rumah tangga mengalami kenaikan kelas lapisan sosial melalui pembelian lahan sawah. Surplus produksi, keuntungan usaha, dan remitans yang dihasilkan dari aktivitas penghidupan mereka menjadi modal bagi mereka untuk mengakumulasi lahan sawahnya dan berujung pada peningkatan kelas lapisan sosial. Pada tabel tersebut juga terlihat penurunan kelas lapisan sosial yang dialami oleh satu orang rumah tangga dari lapisan menengah menjadi lapisan bawah buruh tani. Penurunan terjadi ketika masyarakat tidak lagi memandang rumah tangga tersebut sebagai lapisan menengah akibat rumah tangga tersebut telah lama gagal menebus kembali lahan sawahnya yang digadaikan kepada rumah tangga lain. Pemenuhan kebutuhan pangan Hasil survei menunjukkan bahwa semua rumah tangga mendahulukan padi yang diperolehnya baik hasil panen usaha tani maupun bawon, senggang, dan remi untuk keamanan konsumsi rumah tangganya selama setahun. Bagi masyarakat desa, adanya stok padi atau beras di rumah membuat rumah tangganya tenang. Meskipun demikian, hasil survei yang ditampilkan Tabel 4.3 pada Bab IV menunjukkan hanya rumah tangga atas saja yang stok pangannya cukup untuk satu tahun. Sebagian rumah tangga lainnya menyatakan stok pangan yang ada di rumah tidak cukup untuk satu tahun. Selain dijual untuk mendapatkan uang, padi yang diperoleh oleh sebagian rumah tangga lapisan menengah dan bawah memang jumlahnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan selama setahun, terutama di tahun-tahun terjadinya kegagalan panen. Pada Tabel 7.1 terlihat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila terjadi kekurangan. Bagi rumah tangga yang masih mempunyai pendapatan rutin atau tabungan tentunya tidak terlalu menjadi masalah. Mereka bisa membeli beras di warung, toko, ataupun penggilingan. Namun, bagi yang tidak, tentunya ini menjadi 111 masalah yang memicu kelaparan dan mengancam keberlangsungan hidup rumah tangga. Untunglah, di desa ini ada dua jaminan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, yaitu program raskin beras miskin yang merupakan program pemerintah dan institusi sosial asli yang mengatur pinjaman beras ke rumah tangga lain tetanggakerabatpatron. Tabel 7.1 Tindakan yang dilakukan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila kekurangan stok pangan Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014 Pada Tabel 7.1 terlihat semua rumah tangga bawah pemilik dan bawah buruh serta sebagian besar rumah tangga bawah penggarap yang memanfaatkan program raskin. Namun, yang menarik adalah adanya 71.4 persen rumah tangga menengah yang juga memanfaatkan raskin. Menurut penjelasan aparat pemerintahan desa, di Desa Karangmulya program “raskin” beras miskin dimodifikasi menjadi program “rasta” beras rata. Artinya, semua rumah tangga dari semua lapisan sosial diberikan hak untuk mengajukan penerimaan beras setiap bulannya apabila memang tidak mempunyai stok beras yang cukup di rumah. Menurutnya, ketika terjadi kegagalan panen, semua rumah tangga di desa sangat rentan terhadap kekurangan panagn, termasuk lapisan menengah. Jaminan sosial yang kedua adalah institusi sosial asli yang mengatur pinjaman beras ke rumah tangga lain. Institusi ini berlaku sejak dulu. Rumah tangga yang memang kekurangan beras atau padi dapat meminjam kepada tetangga, kerabat, maupun patron yang masih mempunyai beras atau padi. Mereka kemudian mengembalikan berasnya dengan beras yang dibeli atau menunggu sampai panen musim berikutnya. Meskipun istilahnya pinjam, sebagian besar rumah tangga, terutama rumah tangga atas, seringkali mengikhlaskan memberikan beras tersebut kepada tetangga, kerabat, atau klien yang benar- benar membutuhkannya dan tidak mampu mengembalikannya. Pengamatan selama di desa, rumah tangga atas selalu mempunyai persediaan beras atau padi yang memang disiapkan untuk dipinjamkan atau diberikan kepada tetangga, kerabat, atau klien yang membutuhkannya. Jadi dengan institusi bawon, senggang, remi, dan institusi pinjam beras yang merupakan institusi sosial asli masyarakat desa dan juga program raskin dari pemerintah yang kemudian dengan Ketahanan pangan Lapisan Sosial Atas n=8 Menengah n=24 Bawah Pemilik n=16 Bawah Penggarap n=16 Bawah Buruh n=16 Pemenuhan kebutuhan pangan apabila kekurangan - Beli 28.6 18.2 44.4 37.5 - Dipinjamidiberi tetangga, kerabat, patron 50 54.6 55.5 87.5 - Raskin 71.4 100 88.9 100 112 prinsip resiprositas menjadi program rasta telah menjadi jaminan sosial ketahanan pangan seluruh rumah tangga di desa. Keberlanjutan Sumber Daya Alam Lahan sawah, air irgasi, dan sumber daya alam lainnya menjadi aset penghidupan terpenting bagi penghidupan masyarakat Desa Karangmulya. Keberlanjutan sumber daya alam tersebut akan menjamin keberlanjutan penghidupan untuk generasi berikutnya. Hal ini disadari betul oleh masyarakat desa. Terlebih, bagi masyarakat desa, lahan sawah bukan sekedar aset penghidupan, namun sebagai “bumi” yang dianugerahkan sang Maha Pencipta untuk memberikan manusia. Sistem nilai dan cara pandang yang diwariskan para leluhur pendiri desa tersebut dan juga ajaran agama Islam tentang habluminalam yang melengkapi habluminallah dan habluminannas dituangkan dalam penghormatan yang sangat tinggi terhadap lahan sawah, air, dan sumber daya alam lainnya. Berbagai ritual tradisi budaya, seperti sedekah bumi yang masih dilakukan di tingkat desa dan juga tingkat rumah tangga dalam setiap tahapan proses budidaya padi mencerminkan pentingnya keberlanjutan sumber daya alam, tidak serakah, dan ingat pada sesama rumah tangga lainnya. Hal ini pula-lah yang mendasari lapisan sosial sebuah rumah tangga di Desa Karangmulya. Lapisan sosial ditentukan oleh luasnya kepemilikan lahan sawah, bukannya oleh pendapatan atau kepemilikan aset lainnya. Semakin luas lahan yang dimilikinya, semakin tinggi lapisan sosialnya, dan semakin tinggi pula tanggung jawab sosialnya. Rumah tangga pemilik lahan membagi padi yang dihasilkannya melalui panen dengan sistem bawon. Hasil panennya pun disisihkan untuk kepentingan umum dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang membutuhkan. Rumah tangga pemilik lahan pun harus menyediakan makanan yang disajikan dalam setiap ritual tradisi budaya. Berbagai acara selamatan yang menyediakan makanan bagi banyak rumah tangga lainnya di desa sering dilakukan. Semua lapisan rumah tangga pun berusaha melakukan akumulasi kepemilikan luas lahan untuk meningkatkan lapisan sosialnya. Pendapatan dari usaha atau pekerjaan ditabungkan untuk kemudian dibelikan sawah. Remitans hasil bekerja di luar negeri pun ditabung untuk kemudian digunakan menggadai atau membeli lahan sawah. Oleh karena itu, tidak heran hasil survei menunjukkan setengah dari rumah tangga sampel mendapatkan lahan sawah yang sekarang dimilikinya dengan cara membeli dari orang lain. Secara kebetulan, lahan-lahan sawah di desa selalu diberakan pada musim ketiga. Artinya, lahan-lahan sawah tersebutkan diistirahatkan dan tidak ditanami apapun. Menurut tokoh petani, ajaran bera sawah memang diajarkan dari dulu oleh para sesepuh pendiri desa biar lahan sawahnya tetap sehat dan subur. Entah kebetulan atau tidak, pada saat panen musim rendeng 2014, produktivitas tanaman 113 padi di Desa Karangmulya mencapai 4-5 ton per hektar. Jauh lebih besar dibandingkan dengan produktivitas tanaman padi di desa-desa tetangga yang ditanami tiga kali setahun tanpa bera, yaitu hanya mencapai 0.5 – 2 ton per hektar. Aktivitas penghidupan lainnya yang tergantung dengan sumber daya alam, seperti pembuatan batu bata, tetap mengindahkan keberlanjutan sumber daya alam. Aktivitas ini hanya dijalankan ketika musim kemarau dan lahan sawah diberakan. Hal ini berhubungan dengan tanah yang menjadi bahan baku pembuatan bata merah. Berbeda dengan di daerah lain, tanah yang menjadi bahan baku bata merah di Desa Karangmulya adalah tanah lebih yang posisinya lebih atas dibanding permukaan lainnya. Sistem pengambilan seperti ini bahkan disenangi oleh petani yang tanah sawahnya diambil karena lahan sawah menjadi rata sehingga air yang masuk ke sawah pun merata dan produktivitas padi pun menjadi meningkat dengan merata. 114

BAB VIII KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI KERENTANAN EKOLOGI