64 Tabel 5.6 Modal fisik yang dimiliki rumah tangga
Modal fisik Lapisan Sosial
Atas n=8
Menengah n=24
Bawah Pemilik
n=16 Bawah
Penggarap n=16
Bawah Buruh
n=16
Bangunan rumah tinggal
- Milik sendiri 100
100 93.3
85.7 81.8
- Atap genteng 100
100 100
100 100
- Dinding tembok 100
100 100
92.9 100
- Lantai keramik m
2
85.7 81
40 28.6
18.8 - Luas lantai m
2
94.2 71
50.3 58.2
48.3
Air minum
- Air kemasanulang 57.1
75 60
50 63.6
- Air sumur 42.9
25 40
50 36.4
Air memasak
- Air kemasanulang 14.3
- Air sumur 85.7
100 100
100 100
Jamban sendiri
100 95.2
93.3 85.7
81.8
PLN meteran 100
100 80
78.6 81.8
LPG memasak 100
85.7 78.6
85.7 72.7
Jumlah Aset bergerak - Traktor no.
0.5 0.125
0.0625 - Sprayer no.
0.75 0.625
0.625 0.375
- Trasher no. 0.125
0.21 - Mobil no.
0.29 0.1
- Sepeda no. 0.29
0.56 0.4
0.66 0.36
- Sepeda motor no. 2.57
1.26 1.27
0.83 0.9
- TV no. 1.4
1.1 0.8
0.92 0.73
- Komputerlaptop no. 1
0.2 0.07
0.09 - HP no.
3 1.3
0.8 1.5
1.6 - Lemari es no.
1.57 1
0.27 0.33
0.45
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
4.4 Modal Finansial
Modal finansial merupakan sumber daya finansial yang dapat digunakan rumah tangga untuk melaksanakan strateg penghidupan dan mencapai tujuan
penghidupannya. Modal finansial mencakup 1 ketersediaan uang atau barang yang dapat dicairkan dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan penghidupan,
seperti simpanan uang di rumah, tabungan di bank maupun di perorangan, emas perhiasan, hewan ternak yang bisa dijual kapan saja dengan cepat, serta pinjaman
yang dapat diperoleh dengan cepat; dan 2 aliran uang yang rutin diterima, seperti remitans dari luar dan dalam negeri.
Pada Tabel 5.7 terlihat untuk memenuhi kebutuhan modal usaha tani aktivitas bertani, sebagian besar rumah tangga lapisan atas menggunakan modal
sendiri, sebagian kecil lainnya menggunakan pinjaman bank dan kombinasi dari keduanya, dan tidak menggunakan uang pinjaman dari perseorangan. Setengah
tumah tangga lapisan atas pernah meminjamkan uang kepada rumah tangga lainnya. Sementara itu, rumah tangga menengah sebagian besar menggunakan
65 modalnya sendiri, disusul pinjaman dari perseorangan, pinjaman bank, dan
kombinasinya. Sedangkan, rumah tangga bawah, baik pemilik maupun penggarap, sangat mengandalkan pinjaman dari perseorangan. Modal sendiri dan pinjaman
dari bank hanya digunakan oleh sebagian kecil rumah tangga bawah. Hal ini menandakan bahwa pinjaman dari perseorangan rumah tangga lain memberikan
peranan besar terhadap penghidupan masyarakat pedesaan, bahkan jauh lebih besar dari pinjaman bank. Bahkan, untuk rumah tangga lapisan bawah buruh yang
tidak mempunyai lahan garapan pun, semuanya pernah meminjam uang kepada perseorangan.
Banyaknya persyaratan dan rumitnya proses kredit bank menyebabkan masyarakat desa lebih memilih meminjam dari perseorangan, terkecuali rumah
tangga atas. Adanya persyaratan agunan menjadi perbedaan mendasar atas akses yang dimiliki oleh rumah tangga atas dengan rumah tangga bawah. Dengan
kepemilikan lahan sawah yang luas, rumah tangga atas bisa dengan mudah meminjam di bank. Namun, sedikitnya luas lahan yang dimiliki atau bahkan tidak
ada, menjadikan rumah tangga lapisan bawah sangat sulit mendapatkan pinjaman dari bank.
Untunglah, masih kuatnya ikatan kekerabatan, persaudaraan antar tetangga, dan patron-klien mampu menjadi solusi susahnya akses rumah tangga
bawah terhadap pinjaman bank. Di desa, jenis pinjaman mempunyai pranata atau aturan yang berbeda. Pinjaman yang sifatnya untuk keperluan kesehatan,
misalnya, biasanya tidak dipungut bunga. Namun, untuk pinjaman yang akan digunakan untuk keperluan usaha, biasanya dikenakan bunga uang lebih yang
harus dibayarkan. Untuk usaha tani padi, misalnya, dikenakan dua aturan, yaitu 1 bunga 30 persen untuk pinjaman selama 2-3 bulan dan 2 bunga 50 persen
untuk pinjaman selama 5-6 bulan. Pinjaman dengan skema pertama diberikan setelah pemupukan dan dibayar setelah panen. Pinjaman dengan skema kedua
diberikan sebelum tanam dan dibayar setelah panen. Apabila gagal panen karena kekeringan, banjir, atau serangan HPT, sebagian rumah tangga pemberi pinjaman
masih memberikan keringanan untuk menunda pembayaran, baik dengan tambahan bunga maupun tanpa tambahan bunga. Namun, ada juga pinjaman
modal usaha yang diberikan tanpa bunga. Biasanya, skema tanpa bunga dilakukan oleh rumah tangga atas teradap rumah tangga bawah yang menggarap lahan
sawahnya. Pinjaman tanpa bunga juga seolah-olah diberikan oleh rumah tangga yang menjadi tengkulak sayuran kepada rumah tangga penanam sayuran.
Pranata atau aturan yang berbeda juga berlaku bagi pinjaman yang digunakan untuk modal persiapan dan keberangkatan ke Korea. Pinjaman yang
diberikan paling sedikit Rp 18.5 juta dan paling banyak Rp 25 juta. Rp 18.5 juta merupakan biaya resmi yang harus dikeluarkan seorang migran Korea selama
pelatihan, seleksi, sampai keberangkatan ke Korea. Karena harus mengeluarkan biaya untuk selametan dan juga bekal selama bulan pertama di Korea biasanya
jumlah yang dipinjam lebih dari Rp 18.5 juta. Jumlahnya yang sangat besar,
66 berisiko tinggi, dan jangka waktu pembayaran yang cukup lama 20-30 bulan
menjadikan pinjaman ini dikenakan bunga sangat tinggi, yaitu 100 persen. Di desa sendiri tercatat ada dua or
ang yang memang dikenal sebagai “donatur” untuk “modal ke Korea”. Keduanya berada di satu perusahaan yang sama dan menjadi
bagian dari responden berstatus lapisan atas.
Tabel 5.7 Modal finansial yang dimiliki dan dapat diakses rumah tangga dalam persen
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Menurut “donatur” tersebut, dasar pertimbangan yang diberikan untuk memberikan pinjaman adalah prestasi calon migran dan ikatan sosial antara
dirinya dengan rumah tangga calon migran tersebut. Calon migran yang berhasil lolos tes dan dipastikan berangkat serta orang tuanya rumah tangga secara
keseluruhan mempunyai ikatan yang baik, bisa kekerabatan, pertemanan, dan patron-klien merupakan syarat calon migran yang diberikan pinjaman modal.
Salah satu donatur menceritakan bahwa sebelumnya dia memberikan pinjaman pada siapa pun, termasuk masyarakat luar desa dan luar kecamatan. Namun,
ternyata anaknya calon migran bermasalah sehingga baru sebulan di Korea sudah dipulangkan ke Indonesia. Karena sistem pembayarannya adalah dicicil
setiap bulan dari gaji yang diterima, maka donatur tersebut tidak pernah menerima cicilan pembayaran sedikit pun dari peminjam tersebut. Kejadian tersebut menjadi
Modal Finansial Lapisan Sosial
Atas n=8
Menengah n=24
Bawah Pemilik
n=16 Bawah
Penggarap n=16
Bawah Buruh
n=16
Modal usaha tani padi sawah
- Modal sendiri 60
42.9 8.3
16.7 - Pinjam bank
20 19
16.7 25
- Pinjaman dari perseorangan 23.8
66.7 50
- Modal sendiri pinjam bank 20
- Pinjaman bank perseorangan 14.3
- Modal sendiri pinjam perseorangan
8.3 8.3
Pernah meminjammeminjamkan kepada perorangan
50 72.7
83.3 81.8
100
Pernah menolakditolak pinjaman perorangan
33.3 25
18.2 45.5
100
Pernah mengalami kesulitan ketika mengajukan pinjaman bank
20 15.4
12.5
Tabungan dan investasi
- Tabungan uang di rumah 50
33.3 9.1
10 - Tabungan uang di bank
50 17.6
18.2 - Tabungan uang di perorangan
33.3 11.8
9.1 - Emas dan perhiasan
83.3 35.4
18.2 11.1
- Hewan ternak 50
5.9 27.3
11.1
Aliran uang dari remitans
- Remitans dari luar negeri 25
12.5 6.25
12.5 37.5
- Remitans dari dalam negeri 4.2
18.75 12.5
6.25
67 pelajaran bagi donatur tersebut. Apalagi dalam pinjam meminjam perseorangan
tidak ada agunan apapun yang dijaminkan. Kedua belah pihak hanya mengandalkan kepercayaan yang terbentuk dari ikatan-ikatan sosial yang terjalin.
Meskipun terlihat seperti “rentenir”, namun bagi rumah tangga yang dipinjamkan skema pinjaman perseorangan yang dikenakan bunga merupakan
jaminan sosial atas kelangsungan penghidupannya. Bagi mereka, selain beratnya persyaratan dan rumitnya proses, meminjam uang dari bank juga dikenakan bunga
yang sama saja, bahkan ada yang lebih tinggi. Meminjam uang dari bank juga dianggap sangat berisiko dan merugikan apabila terjadi gagal panen. Pihak bank
tidak mau mengerti dengan kondisi kegagalan panen. Bagi bank apabila telat membayar akan dikenakan denda bunga tambahan dan apabila tidak sanggup
membayar agunan lahan sawahnya akan diambil alih. Hal ini jelas berbeda dengan perseorangan yang lebih fleksibel dan penuh rasa kekeluargaan.
5.5 Modal Insani Sumber Daya Manusia
Di tingkat rumah tangga, modal insani atau sering juga disebut sebagai sumber daya manusia dapat dilihat dari jumlah kuantitas dan kualitas kepala
ruamh tangga dan anggota rumah tangga. Dari segi jumlah kuantitas, yang dilihat adalah ukuran rumah tangga banyaknya seluruh anggota rumah tangga,
termasuk kepala rumah tangga. Sedangkan, dari segi kualitas yang dilihat adalah keterampilan, pendidikan, dan kesehatan.
Pada Tabel 5.8 dapat dilihat faktor ukuran dan umur, pendidikan formal, dan pelatihan. Dalam pertanyaan survei sebetulnya ditanyakan juga kondisi
kesehatan kepala rumah tangga KRT dan juga anggota rumah tangga ART, namun hasil survei tidak menunjukkan kondisi kesehatan yang signifikan yang
menyebabkan anggota rumah tangga tersebut tidak bisa melakukan aktivitas penghidupan, misalnya sakit flu pada saaat wawancara. Oleh karena itu, peneliti
memutuskan untuk tidak memunculkan hasil survei untuk faktor kesehatan. Dengan kata lain, semua rumah tangga memiliki kondisi kesehatan yang baik dan
mampu untuk melakukan aktivitas-aktivitas penghidupan.
Dari bagian ukuran rumah tangga terlihat bahwa kisaran rata-rata anggota rumah tangga di setiap lapisan tidak begitu berbeda, yaitu berjumlah 2.9 s.d. 3.9.
Rumah tangga lapisan bawah justru memiliki jumlah anggota rumah tangga terkecil, yaitu 2.9 anggota per rumah tangga. Ini menggambarkan situasi yang
menunjukkan pandangan masyarakat agraris pada umumnya yang beranggapan “banyak anak banyak rezeki” tidak lagi diyakini di Karangmulya. Ini juga
menandakan keberhasilan program keluarga berencana KB di Karangmulya. Ini juga mengurangi beban yang harus diberi makan oleh setiap rumah tangga.
Dengan jumlah ini, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian menjadi berkurang. Namun, di sisi lain, kondisi seperti ini menjadi tanda bahwa setiap
rumah tangga di desa tidak bisa lagi mengandalkan jumlah kuantitas anggota rumah tangganya untuk melakukan aktivitas penghidupan dan menghasilkan
68 pendapatan. Bahkan, bagi aktivitas pertanian padi sawah yang selama ini
membutuhkan banyak tenaga kerja, terutama pada saat tandur dan panen, dalam jangka menengah dan jangka panjang akan kekurangan tenaga kerja.
Kemudian, sex rasio yang menunjukkan 100 di Karangmulya menunjukkan bahwa rasio jumlah laki-laki dan perempuan yang ada di desa
adalah sama. Namun begitu, rasio yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh sex rasio lapisan menengah 80, yang artinya jumlah anggota perempuan lebih banyak;
dan sex rasio lapisan bawah pemilik 140, yang artinya jumlah anggota laki-laki lebih banyak. Sex rasio lapisan menengah ternyata berbanding lurus dengan
persentase KRT perempuan lapisan menengah yang memiki nilai lebih besar daripada lapisan lainnya dan juga kondisi masyarakat desa pada umumnya. Hasil
survei menunjukkan rumah tangga KRT perempuan adalah rumah tangga janda. Menurut Freeman dan Ellis, biasanya rumah tangga dengan KRT perempuan lebih
rentan terhadap permasalahan-permasalahan ekonomi dan berada di lapisan bawah. Namun, kondisi di Desa Karangmulya menunjukkan sebaliknya: mereka
berada dalam lapisan menengah.
Dari segi umur, dengan kategori usia produktif 15 – 64 tahun, kepala
rumah tangga di semua lapisan berada pada kategori usia produktif. Bahkan, untuk lapisan bawah buruh, rata-rata umur kepala rumah tangganya adalah 48.5
persen. Dari segi kekuatan fisik, usia ini masih dianggap mampu untuk melakukan aktivitas pertanian dan berbagai aktivitas penghidupan lainnya.
Untuk faktor pendidikan formal, setengahnya rumah tangga di Desa Karangmulya tidak tamat SD. Dengan kata lain, mereka mengenyam pendidikan
formal 6 tahun. Rendahnya pendidikan formal sangat berpengaruh pada aktivitas penghidupan yang dipilih, terutama aktivitas penghidupan yang
mensyaratkan ijazah pendidikan formal. Bahkan, untuk lapisan menengah, bawah pemilik, dan bawah penggarap persentasenya lebih dari 50 persen. Kepala rumah
tangga yang mampu menyelesaikan kuliah hanya ada pada lapisan menengah. Itupun persentasenya sangat kecil, yaitu hanya 4.3 persen, sisanya 56.5 persen
tidak tamat SD, 17.4 persen tamat SLPT, dan 17.4 persen tamat SLTA. Meskipun tidak ada yang sampai ke jenjang kuliah, namun secara umum, pendidikan lapisan
atas relatif lebih baik, yaitu sebanyak 37.5 persen tamat SLTA.
Untuk pendidikan non formal, berbagai pelatihan yang dilakukan melalui kelompok tani, seperti penyuluhan rutin, sekolah lapang iklim SLI, sekolah
lapang pengendalian hama dan penyakit tanaman SLPHT, dan informasi perubahan iklim melalu berbagai media, bisa menjadi tambahan pengetahuan
untuk meningkatkan keterampilan rumah tangga dalam melakukan aktivitas bertani. Pada Tabel 5.8 terlihat KRT lapisan atas sangat mendominasi pelatihan-
pelatihan yang pernah ada di desa. Sebaliknya, rumah tangga lapisan bawah buruh tani tidak ada satu pun yang pernah terlibat. Seperti yang telah dibahas dalam
bagian institusi di atas, rumah tangga yang bisa menjadi anggota kelompok tani adalah rumah tangga yang mempunyai lahan garapan, baik milik sendiri maupun
69 milik orang lain. Namun demikian, fakta sebenarnya sebagian KRT lapisan bawah
buruh juga tetap mendapat pengetahuan dari berbagai pelatihan tersebut, baik sebagai peserta tidak resmi di luar yang terdaftar resmi maupun yang mendapat
informasi dari KRT yang ikut tepo seliro.
Kondisi yang menggembirakan datang dari pendidikan anggota rumah tangga di luar KRT. Hasil survei menunjukkan semua anggota rumah tangga usia
sekolah tidak ada satu pun yang tidak bersekolah. Bahkan, ada beberapa anggota rumah tangga lapisan atas yang sedang berkuliah.
Tabel 5.8 Karakteristik sumber daya manusia rumah tangga
Karakteristik Sumber Daya Manusia
Lapisan Sosial DESA
n=60 Atas
n=10 Menengah
n=30 Bawah
Pemilik n=20
Bawah Penggarap
n=20 Bawah
Buruh n=20
Ukuran dan Umur
Banyaknya ART no. 3.4
3.5 3.8
3.9 2.9
3.6 Sex Rasio ART L:P
1.1 0.8
1.4 1.0
1.1 1.0
KRT Perempuan 0.0
4.2 0.7
0.0 0.1
0.1 Umur KRT no.
53.5 51.2
51.9 46.7
48.5 50.1
Umur Total ART no 38.5
35.8 37.6
30.1 29.0
33.6
Pendidikan KRT
-
Tidak tamat SD 37.5
56.5 57.1
62.5 31.3
50.6
-
Tamat SD 12.5
17.4 35.7
25.0 56.3
29.9
-
Tamat SLTP 12.5
17.4 7.1
12.5 0.0
7.8
-
Tamat SLTA 37.5
4.3 0.0
0.0 12.5
10.4
-
Tamat kuliah 0.0
4.3 0.0
0.0 0.0
1.3
Pendidikan ART
-
Belum sekolah 0.0
7.4 4.7
11.1 10.0
7.7
-
Tidak tamat SD 22.2
33.3 34.9
30.2 13.3
27.4
-
Sedang SD 11.1
4.9 2.3
4.8 11.7
6.6
-
Tamat SD 22.2
18.5 30.2
23.8 40.0
26.6
-
Sedang SLTP 0.0
2.5 7.0
6.3 1.7
3.6
-
Tamat SLTP 7.4
13.6 9.3
11.1 10.0
10.9
-
Sedang SLTA 3.7
1.2 2.3
4.8 0.0
2.2
-
Tamat SLTA 29.6
16.0 9.3
7.9 13.3
13.9
-
Sedang kuliah 3.7
0.0 0.0
0.0 0.0
0.4
-
Tamat kuliah 0.0
2.5 0.0
0.0 0.0
0.7
Pelatihan KRT
-
Penyuluhan 100
72.2 27.3
40 -
-
-
SLI 40
16.7 9.1
20 -
-
-
SLPHTSLPTT 40
16.7 9.1
10 -
-
-
Informasi iklim dari media
40 16.7
10 -
-
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
70
Ikhtisar
Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dari berbagai lapisan sosial mempunyai kuantitas dan kualitas aset penghidupan yang berbeda-
beda. Seperti yang diilustrasikan oleh Gambar 5.1, rumah tangga lapisan atas mempunyai aset penghidupan yang terlengkap dan mendekati sempurna
dibanding rumah tangga lapisan sosial lainnya. Bahkan, untuk kepemilikan modal alam yang terdiri dari luas lahan sawah yang dimiliki jumlahnya sangat timpang
dibandingkan rumah tangga lainnya, seperti rumah tangga bawah penggarap dan buruh yang tidak memiliki modal alam sama sekali. Luas kepemilikan lahan
sawah memang menjadi penentu lapisanstatus sosial suatu rumah tangga. Semakin luas kepemilikannya, semakin tinggi lapisan sosialnya.
Bagi masyarakat Desa Karangmulya, pelapisan sosial merupakan hal yang wajar dan memang seharusnya terjadi. Bagi mereka, setiap rumah tangga memang
mempunyai kedudukanstatus struktur dan fungsi masing-masing. Dengan perbedaan struktur dan fungsi yang dimilikinya, mereka dituntut harus bisa saling
berbagi tugasperan, kemampuan, dan sumber daya aset yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga. Norma dan etika moral inilah yang senantiasa
ditanamkan oleh para orang tua kepada anak cucunya sejak desa ini bangun oleh Ki Banyak Wangi dan terus direproduksi oleh Bapak Tua Bar dan anak cucunya
yang sekarang ini menjadi para orang tua tersebut lihat bagian sejarah dalam Bab IV.
Ikatan sosial masyarakat desa yang kuat dan sudah terbentuk sejak lama serta ditambah kondisi konteks ekologi yang sangat rentan, terutama terkait
dengan sumber daya air menjadikan masyarakat terus mempertahankan nilai-nilai kekerabatan sosial, prinsip resiprositas, dan prinsip pertukaran. Ini pula yang
menyebabkan modal sosial menjadi modal yang dimiliki oleh seluruh rumah tangga secara hampir merata. Modal sosial yang terlembagakan dalam institusi
sosial produksi telah memberikan akses terhadap aset penghidupan yang tidak dimiliki. Berbagai institusi sosial produksi tersebut, setidaknya dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu 1 institusi yang mengatur hubungan rumah tangga petani sebagai manusia dengan tuhan habluminallah,
dengan buruh tani habluminannas, dan dengan alam habluminallam melalui berbagai ritual tradisi budaya religi; 2 institusi yang mengatur hubungan antar
rumah tangga dalam tahapan kegiatan budidaya padi; dan 3 institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam antar rumah tangga.
Berbagai insitusi sosial produksi tersebut dijalankan secara terpisah maupun bersama-sama oleh organisasi asli informal yang sudah terbentuk sejak
kelahirannya dan belakangan ada yang juga dijalankan bersama-sama oleh organsisasi modern formal yang dibentuk oleh pemerintah. Institusi penyediaan
air irigasi, misalnya, diorganisasikan oleh ulu-ulu dan raksa bumi organisasi asli- informal kelompok tani, pemerintah desa, dan mantri air organisasi modern-
formal. Berbagai institusi sosial tersebut juga mampu menghadirkan akses
71 terhadap aset penghidupan yang dibutuhkan rumah tangga tersebut. Institusi sewa
sawah “yarnen” yang dilatarbelakangi oleh patron-klien organisasi asli-informal dan dicatat oleh kelompok tani organisasi modern-formal memberikan
kesempatan kepada rumah tangga yang tidak mempunyai modal alam lahan sawah untuk bisa mengakses atau menggarap lahan sawah. Begitu pun, untuk akses
terhadap aset penghidupan yang lainnya.
Gambar 5.1 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial tanpa akses yang diberikan modal sosial
Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Oleh karena itu, meskipun secara umum rumah tangga lapisan atas memiliki aset penghidupan yang lebih banyak dari lapisan lainnya. Namun, aset-
aset penghidupan tersebut dapat diakses oleh rumah tangga lain yang lapisan sosialnya lebih berada di bawahnya. Begitu pun sebaliknya, rumah tangga lapisan
atas bisa mengakses modal insani tenaga kerja untuk menggarap lahan, tandur, dan panen dari rumah tangga lapisan bawah melalui institusi tandur, bawon, dan
lain-lain. Untuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan, saat ini, sudah tidak menjadi masalah. Pembangunan infrastruktur sekolah-sekolah baru, baik formal
SD, SMP, SMASMK, perguruan tinggi maupun formal majelis taklim, madrasah diniyah, pesantren di sekitar desa dan kebijakan wajib pendidikan
sekolah dasar SD-SMA gratis telah memberi kesempatan kepada seluruh rumah tangga untuk mengakses pendidikan dengan baik. Pembangunan infrastruktur
kesehatan dan adanya jaminan kesehatan nasional dan daerah juga sangat membantu akses semua rumah tangga terhadap kesehatan. Apalagi, di desa ini
selalu tersedia mobilnya salah satu rumah tangga lapisan atas yang bisa digunakan kapan saja untuk keperluan sosial dengan gratis.
Peran modal sosial dalam memberikan akses terhadap peningkatan aset penghidupan dapat dilihat pada Gambar 5.2. Pada gambar tersebut terlihat peran
modal sosial sangat signifikan pada akses rumah tangga buruh penggarap terhadap
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
M.Insani
M.Alam
M.Fisik M.Finansial
M.Sosial RT Atas
RT Menengah RT B.Pemilik
RT B.Penggarap RT B.Buruh
72 modal alam dan akses seluruh rumah tangga terhadap modal finansial. Modal
sosial menjaga resiliensi seluruh rumah tangga, terutama rumah tangga bawah yang memiliki keterbatasan aset penghidupan yang lainnya. Meskipun begitu,
rumah tangga atas merupakan rumah tangga yang mampu memanfaatkannya. Dengan modal sosial yang kuat dan melahirkan institusi sosial, rumah tangga
lapisan atas mampu menyempurnakan aset penghidupannya
Gambar 5.2 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial dengan akses yang diberikan modal sosial
Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
M.Insani
M.Alam
M.Fisik M.Finansial
M.Sosial RT Atas
RT Menengah RT B.Pemilik
RT B.Penggarap RT B.Buruh
73
BAB VI ANALISIS STRATEGI PENGHIDUPAN DAN PENDAPATAN
Dalam kerangka penghidupan, berbagai aset penghidupan yang dimiliki atau berhasil diakses rumah tangga pedesaan dikombinasikan ke dalam tiga
strategi penghidupan, yaitu pertanian intensifikasi-ekstensifikas, diversifikasi penghidupan non-pertanian, dan migrasi Scoones 1998, 2009. Menurut Ellis
2000, strategi penghidupan terdiri dari berbagai aktivitas penghidupan. Ini berarti dalam satu strategi penghidupan terdapat berbagai aktivitas penghidupan.
Strategi diibaratkan sebagai “kategori” dan aktivitas sebagai “sub-kategori”. Ellis menyebutkan kerangka penghidupan yang disampaikan Scoones sebagai
konfigurasi dari
“aset-akses-aktivitas penghidupan”. Mengikuti kerangka penghidupan yang disampaikan oleh Scoones dan
Ellis, bab ini akan menganalisis strategi penghidupan yang dijalankan rumah tangga dalam berbagai bentuk aktivitas penghidupan. Analisis didasarkan pada
hasil analisis Bab V yang telah membahas aset penghidupan dan akses terhadap aset penghidupan yang dihadirkan oleh institusi dan organisasi sosial. Peran
institusi dan organisasi sosial dalam membantu rumah tangga menjalankan aktvitas penghidupan ikut dianalisis dalam bab ini.
Analisis dilakukan pada tingkat rumah tangga di semua tingkatan lapisan sosial. Semua aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh semua anggota rumah
tangga, termasuk kepala rumah tangga, ikut dianalisis. Oleh karena itu, bisa dipastikan hampir semua rumah tangga mempunyai aktivitas penghidupan lebih
dari satu. 6.1 Strategi Penghidupan Rumah Tangga
6.1.1 Strategi Pertanian
Sebagai masyarakat desa persawahan, seluruh rumah tangga di Desa Karangmulya memliki ketergantungan yang sangat tinggi dengan lahan sawah.
Apalagi, seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, masyarakat desa menilai dan memandang pertanian padi sawah bukan hanya sebagai budi daya,
namun juga sebagai budaya. Namun, keterbatasan air irigasi dan variabilitas iklim menyebabkan mereka tidak bisa menanam padi sepanjang tahun. Ancaman
kekeringan, banjir, dan serangan HPT membuat mereka dalam aturan resmi hanya bisa menanam padi dengan optimal satu kali saja di musim hujan atau disebut
dengan musim tanam rendeng. Hal ini dibenarkan oleh pejabat pemerintahan Kabupaten Indramayu di dinas yang berwenang mengurusi pertanian dan dinas
yang berwenang mengurusi pengairan.
Namun, keterbatasan keadaan dan kerentanan ekologi yang tinggi ini tidak membuat masyarakat desa menyerah. Mereka melakukan strategi intensifikasi
maupun ekstensifikasi pertanian melalui berbagai aktivitas penghidupan Dari